Tinjauan Hukum Atas Tanggung Jawab Yayasan Pengelola Tanah Pemakaman Dalam Pembayaran Pajak Di Kabupaten Deli Serdang Berdasarkan Perda Nomor 26 Tahun 2000

(1)

DELI SERDANG BERDASARKAN PERDA

NOMOR 26 TAHUN 2000

TESIS

Oleh

TIMBUL KUSNADI

067011130/MKn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TINJAUAN HUKUM ATAS TANGGUNG JAWAB

YAYASAN PENGELOLA TANAH PEMAKAMAN

DALAM PEMBAYARAN PAJAK DI KABUPATEN

DELI SERDANG BERDASARKAN PERDA

NOMOR 26 TAHUN 2000

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar

Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan

pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

TIMBUL KUSNADI

067011130/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Judul Tesis : TINJAUAN HUKUM ATAS TANGGUNG JAWAB YAYASAN PENGELOLA TANAH PEMAKAMAN DALAM PEMBAYARAN PAJAK DI KABUPATEN DELI SERDANG BERDASARKAN PERDA NOMOR 26 TAHUN 2000

Nama Mahasiswa : Timbul Kusnadi Nomor Pokok : 067011130

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum) Ketua

(Dr. Pendastaren Tarigan, S.H., M.S) Anggota

(Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H., C.N., M.Hum) Anggota

Ketua Program Studi Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H.,M.S.,C.N) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum) Tanggal lulus: 15 Oktober 2009


(4)

Telah diuji pada

Tanggal: 15 Oktober 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum. Anggota : 1. Dr. Pendastaren Tarigan, S.H., M.S.

2. Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H., C.N., M.Hum. 3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., M.S., C.N. 4. Notaris/PPAT Syafnil Gani, S.H., M.Hum.


(5)

ABSTRAK

Peraturan Daerah Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan dikeluarkan pemerintah Deli Serdang, berlaku mulai 2003. Sejak itu pajak kuburan berlaku bagi semua kawasan kuburan di Deli Serdang, termasuk kuburan Tionghoa yang dikelola 12 yayasan pada tahun 2007. Sementara itu, pada Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 18 tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Undang Nomor 16 tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan tidak diatur tentang pajak kuburan mewah.

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, yaitu penelitian yang bertujuan untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh, lengkap dan sistematis mengenai Tanggung Jawab Yayasan pengelola tanah pemakaman dalam melakukan pembayaran pajak tanah pemakaman berdasarkan Peraturan Daerah di Kabupaten Deli Serdang. Bersifat analisis karena gejala dan fakta yang dinyatakan oleh responden kemudian akan dianalisa terhadap berbagai aspek hukum baik dan segi hukum pertanahan nasional maupun hukum politik dan hukum administrasi Negara serta hukum pajak. Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan yuridis empiris yaitu suatu penelitian yang meneliti peraturan-peraturan hukum yang kemudian dihubungkan dengan data dan perilaku masyarakat dan pejabat pemerintah di daerah Kabupaten Deli Serdang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembayaran pajak luas dan kemewahan penghiasan kuburan berdasarkan Perda Nomor 26 tahun 2000 tidak dapat dilaksanakan oleh 12 yayasan pengelola tanah pekuburan di Kabupaten Deli Serdang, namun 12 yayasan pengelola tanah pekuburan di Kabupaten Deli Serdang merasa mempunyai rasa tanggung jawab dalam upaya pembayaran pajak sebagai sumber pendapatan asli daerah Kabupaten Deli Serdang. Oleh karena itu, 12 yayasan pengelola tanah pekuburan dan pemerintah Kabupaten Deli Serdang melakukan kesepakatan dengan pembayaran pajak luas dan kemewahan serta pengiasan kuburan di Kabupaten Deli Serdang ditetapkan sebesar Rp. 150.300.000,- (seratus lima puluh juta tiga ratus ribu rupiah) setiap tahun yang menjadi tanggung jawab 12 yayasan pengelola tanah pekuburan di Kabupaten Deli Serdang. Sedangkan yang menjadi kendala di dalam pembayaran pajak luas dan kemewahan serta penghiasan pekuburan di Kabupaten Deli Serdang adalah sulitnya bagi yayasan untuk menghubungi ahli waris di dalam pengutipan pajak.


(6)

ABSTRACT

The Local Regulations No.26 of 2000 regarding the luxurious funeral taxes as issued by Deli Serdang Authority commenced since 2003, since that year the grave tax shall be effective to all funeral plot throughout Deli Serdang area, including Chinese grave as controlled by at least 12 foundations in 2007. The Regulations No.34 of 2000 regarding amendment upon the Regulations No.18 of 1997 regarding Local Taxes and Local Revenue and the Regulations No. 16 of 2000 regarding a secondly amendment upon the Regulations regarding a general rules of the imposition for taxes is not ruled about a tax on luxurious funeral.

This study adopted an analytical descriptive method which research aims to obtain a comprehensive and detail description and systematic about the responsibility of the management to the funeral in their willingness to pay the tax of the funeral itself according to local regulations, still with analytical sense for the indication and the reality as expressed by those respondents as later to be analyzed upon variously legal aspect either its law side of national land or political law and state administration law and tax law, in completing this study was with a empirical juridical approaching namely a study to research the regulations rule as later once to connect it with the data and people behavior and public official on Deli Serdang District.

The result of research shown that payment the tax on its width and luxurious with decoration to the funeral based on the regulations No.26 of 200 is unallowable by those 12 foundations as the management of the funeral plot, but to the 12 foundations perhaps feel has own responsibility in effort to pay the taxes as the source revenue for the local district. Therefore, all the 12 foundations as the management and local authority should make agreement with the board for the foundation in paying the taxes upon the funeral and decoration over the funeral is already made with a Rp.150,300,000 charged annually, to be paid by the 12 foundation management of the funeral. It is noted that found barriers mainly in pay the tax upon the width and the luxurious on the decoration on Deli Serdang District such as difficulties for the foundations to contact all the heir while collecting the tax. Keywords: Foundation, Funeral Tax


(7)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Kuasa, karena berkat dan hidayah-Nya, maka tesis ini telah dapat diselesaikan dengan judul; Tinjauan Hukum Atas Tanggung Jawab Yayasan Pengelola Tanah Pemakaman Dalam Pembayaran Pajak Di Kabupaten Deli Serdang Berdasarkan Perda Nomor 26 tahun 2000.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam menyelesaikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Dalam penyusunan tesis ini telah banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Terima kasih yang mendalam dan tulus saya ucapkan secara khusus kepada yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum selaku Ketua Komisi Pembimbing serta Bapak Dr. Pendastaren Tanigan, SH, MS. dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum selaku anggota Komisi Pembimbing, dan juga kepada Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., M.S., C.N dan Notaris/PPAT Syafnil Gani, S.H., M.Hum selaku Dosen Penguji, yang masing-masing telah memberikan pengarahan, nasehat serta bimbingan kepada saya, dalam penulisan tesis ini.

Selanjutnya ucapan terima kasih yang tidak terhingga disampaikan kepada: 1. Bapak Prof. Chairudin P. Lubis, DTM&H., Sp.A (K), selaku Rektor Universitas

Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.


(8)

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, MHum Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH., MS., CN., dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH., CN., M.Hum., selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 4. Bapak-bapak dan Ibu-ibu Guru Besar dan Staf Pengajar diantaranya Bapak

Prof. Dr. M. Solly Lubis, SH., Prof. Dr. Tan Kamello, Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH., M.Hum., Ibu Hj. Chairani Bustami, SH., M.Kn dan lain-lain yang telah banyak membimbing penulis mulai saat studi sampai dengan penyelesaian tesis ini

5. Para pada Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara diantaranya Ibu Fatimah, SH., Mbak Sari, Mbak Lisa, Mbak Afni, Mas Adi, Mas Rizal dan lain-lain yang telah banyask membantu dalam penulisan ini dari awal hingga selesai.

6. Rekan-rekan serta teman-temanku tercinta pada Program Magister Kenotariatan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang selalu memberikan semangat, memberikan dorongan, bantuan pikiran serta mengingatkan di kala lupa kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan tesis ini dalam rangka untuk menyelesaikan studi.

Secara khusus, penulis menghaturkan sembah dan sujud dan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada yang tercinta Ayahanda almarhum Suyanto dan Ibunda almarhumah Aw Siu Lien yang telah bersusah payah melahirkan, membesarkan dengan penuh pengorbanan, kesabaran, ketulusan dan kasih sayang,


(9)

serta memberikan doa restu, dan juga adik-adikku yang telah memotivasi sehingga penulis dapat melanjutkan dan menyelesaikan pendidikan di Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis, mendapa rahmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa, agar selalu dilimpahkan kebaikan, keseahatan, kesejahteraan dan rejeki yang melimpah kepada kita semua.

Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, terutama kepada penulis dan kalangan yang mengembangkan ilmu hukum, khususnya dalam bidang ilmu kenotariatan.

Medan, Oktober 2009 Penulis,


(10)

RIWAYAT HIDUP

I. Identitas Pribadi

Nama : Timbul Kusnadi

Tempat/ Tgl. Lahir : Lubuk Pakam, 10 Juli 1978 Jenis Kelamin : Laki-laki

II. Orang Tua

Nama Ayah : Suyanto (Alm). Ibu : Aw Siu Lien (Almh).

III. Pekerjaan

Anggota DPRD Kabupaten Serdang Bedagai IV. Pendidikan

1. SD Methodist Lubuk Pakam 2. SMP Methodist Lubuk Pakam

3. SMA Methodist Lubuk Pakam

4. S-1 Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa Medan

5. S-2 Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Medan, Oktober 2009


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR TABEL ... ix

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 12

E. Keaslian Penelitian ... 13

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi ... 14

1. Kerangka Teori ... 14

2. Konsepsi ... 19

G. Metode Penelitian ... 25

BAB II. TANGGUNG JAWAB YAYASAN PENGELOLA TANAH PEKUBURAN DALAM PEMBAYARAN PAJAK BERDASARKAN PERATURAN DAERAH NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PAJAK LUAS DAN KEMEWAHAN / PENGHIASAN KUBURAN DI KABUPATEN DELI SERDANG ... 29


(12)

A. Pengaturan Hukum Yayasan di Indonesia ... 29

B. Eksistensi Yayasan Sebagai Badan Hukum Sosial ... 38

C. Pengaturan Pembayaran Kewajiban Pajak di Indonesia ... 44

D. Problemática Pelaksanaan dan Tanggung Jawab Yayasan Pengelola Tanah Pekuburan Dalam Pembayaran Pajak Berdasarkan Perda Nomor 26 Tahun 2000 di Kabupaten Deli Serdang ... 63

BAB III. KENDALA YAYASAN PENGELOLA TANAH PEKUBURAN DALAM PEMBAYARAN PAJAK DI KABUPATEN DELI SERDANG ... 69

A. Problemática Yayasan Antara Badan Sosial dan Komersil .. 69

B. Yayasan Sebagai Subjek Pajak ... 72

C. Kendala Yayasan Pengelola Tanah Pekuburan Dalam Pembayaran Pajak di Kabupaten Deli Serdang ... 74

BAB IV. UPAYA YANG DILAKUKAN YAYASAN PENGELOLA TANAH PEKUBURAN DALAM MEMBAYAR PAJAK BERDASARKAN PERDA NOMOR 26 TAHUN 2000 DI KABUPATEN DELI SERDANG ... 81

A. Sekilas Tentang Kabupaten Deli Serdang ... 81

B. Pengenaan dan Penetapan Pajak Luas dan Kemewahan/ Penghiasan Kuburan di Indonesia ... 85

C. Kesepakatan Pembayaran Pajak Kuburan Antara Yayasan Pengelola Tanah Kuburan Dengan Pemerintah Kabupaten Deli Serdang ... 90

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 99

A. Kesimpulan ... 99

B. Saran ... 100


(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Tentang Kesepakatan Yayasan Untuk Pembayaran Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan Tahun Anggaran 2003 ... 96 2. Tentang Hasil Keputusan Rapat Tanggal 29 Juli 2005 Tempat


(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dewasa ini tanah pekuburan di kota-kota besar di Indonesia, seperti di Jakarta, Medan dan kota-kota besar lainnya, serta persoalan areal pekuburan ini sudah merembes ke kota-kota lainnya di Indonesia, sehingga tanah merupakan sesuatu yang sangat mahal sehingga sulit didapatkan secara layak oleh masyarakat miskin,1 misalnya yang dialami masyarakat Tionghoa di Daerah Kabupaten Deli Serdang.

Pemerintah Daerah Kabupaten Deli Serdang mempunyai Peraturan Daerah Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan, yang mulai berlaku sejak tahun 2003 bagi semua kawasan kuburan di Deli Serdang, termasuk kuburan Tionghoa yang dikelola 12 yayasan di daerah tersebut.

Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang itu mengatur pajak atas kemewahan kuburan senilai Rp. 100.000,- (seratus ribu) sampai dengan Rp. 4.000.000,- (empat juta) tergantung luas kuburan. Pajak itu harus dibayarkan tiap tahun, bahkan kini dengan harapan dapat menambah pemasukan, Pemerintah Kabupaten Deli Serdang berencana merevisi peraturan itu dan menaikkan pungutan pajak pekuburan tersebut.

Rencana revisi peraturan daerah ini menuai protes, khususnya bagi masyarakat Tionghoa, sebagaimana yang dikemukakan Yogi Lingga:

1


(15)

Bagi mereka (masyarakat Tionghoa), membuat kuburan bagus bagi keluarga yang meninggal adalah bentuk bakti mereka kepada leluhur. Sehingga jika Peraturan Daerah soal pajak kuburan ini direvisi, mereka akan mengeluarkan biaya yang lebih banyak lagi. Apalagi juga bukan rahasia bahwa selain biaya yang tertulis, ada banyak biaya siluman yang harus mereka bayar, agar kuburan keluarga tetap terawat. Karenanya masyarakat keturunan Tionghoa di Deli Serdang sejak awal Pebruari kemudian berusaha melobi atau melakukan pendekatan kepada DPRD Kabupaten Deli Serdang sampai Depatemen Dalam Negeri agar Peraturan Daerah itu tidak hanya gagal direvisi tapi juga dicabut. Selain jumlahnya yang besar, aturan Pemerintah Kabupaten Deli Serdang juga memaksa dan bahkan dengan ancaman sanksi. Bagi mereka yang menolak membayar, Pemerintah Daerah bisa melakukan penyitaan atau bahkan pidana dengan sanksi maksimun dua tahun kurungan kepada ahli waris. Yang lebih menyebalkan, pembayaran uang pajak pekuburan itu tidak termasuk biaya perawatan pekuburan.2

Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 26 tahun 2000, Pemerintah Daerah Kabupaten Deli Serdang sudah mengutip pajak kuburan Rp. 2,8 juta per tahun untuk kuburan berukuran 4 meter x 16 meter. Padahal, kuburan itu berdiri di atas tanah milik sendiri yang setiap tahun dibayar Pajak Bumi Dan Bangunan (PBB). Di mana tanah itu dibeli dari yayasan, dan yayasan pula yang membayar Pajak Bumi Bangunan dan pajak kemewahan kuburan itu,3

Perubahan Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 26 Tahun 2000 menurut Abdul Latif Khan selaku Wakil Sekretaris Panitia Khusus Peraturan Daerah Kuburan Mewah DPRD Deli Serdang:

Bahwa dalam Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) perubahan itu, nilai pajak untuk kuburan mewah memang akan disesuaikan. Namun berapa penyesuaiannya, masih dalam pembahasan. Sekarang kami sedang membahas kedudukan Ranperda itu. Peraturan Daerah kuburan mewah tidak berbicara

2

Yogi Lingga, Perda Pajak Di Deli Serdang Menuai Protes, Harian Analisa, Edisi Hari Rabu, Tanggal 23 September 2005, hal. 3.

3

Karya Elly, Pejabat Sementara Ketua Paguyuban Sosial Masyarakat Tionghoa, Harian Analisa, Hari Rabu, tanggal 30 September 2005, hal. 3.


(16)

apa pun dari sisi teks terhadap etnis tertentu, siapa saja mestinya bisa menjadi objek Peraturan Daerah ini. Sebelum disahkan, mestinya perlu dikonsultasikan ke Departemen Dalam Negeri.4

Perwakilan Warga Tionghoa berencana melakukan uji publik, bahkan mengajukan peninjauan kembali jika Rancangan Perda itu disahkan DPRD dan Bupati Deli Serdang. Peraturan Daerah ini dari sisi hukum sangat lemah. Sebab, dalam aturan yang lebih tinggi tidak aturannya memungut pajak dari tempat pemakaman mewah.

Tim Pencari Keadilan Perda Kuburan menuntut agar Pemerintah Kabupaten Deli Serdang tidak lagi memberlakukan Peraturan Daerah itu, apalagi merevisinya dengan tarif pajak baru, karena dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan tidak diatur tentang Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan.

Pembahasan Rencana revisi Peraturan Daerah pajak untuk kuburan mewah itu belum bersifat final, masih dimungkinkan membuat Peraturan Daerah sejauh tidak melanggar Undang-Undang. Tanah lokasi pekuburan atau kuburan di Deli Serdang, Sumatera Utara, dikenai pajak tahunan. Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan, Pemerintah Kabupaten Deli Serdang sudah mengutip pajak kuburan Rp. 2,8 juta per tahun untuk kuburan berukuran 4 meter x 16 meter.

4

Abdul Latif Khan, Wakil Sekretaris Panitia Khusus Peraturan Daerah Kuburan Mewan DPRD Deli Serdang, Harian Analisa, Hari Rabu Tanggal 30 September 2005, hal. 3.


(17)

Yayasan Pengelola Pekuburan Tionghoa menolak pemberlakuan pajak atas kuburan mewah di Kabupaten Deli Serdang yang diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 26 Tahun 2000 yang sedang dalam pembahasan revisi oleh Eksekutif dan DPRD Kabupaten Deli Serdang. Sehingga apapun hasil pembahasan rencana perubahan peraturan daerah itu, akan tetap ditolak. Alasan penolakan itu sudah jelas, bahwa itu tidak mempunyai dasar hukum yang kuat. Tidak ada aturannya pajak diberlakukan pada tempat makam mewah.5

Selama ini Yayasan Angsa Pura mengordinasikan 12 yayasan pengelola kuburan Tionghoa untuk mengurus pungutan pajak ke Pemerintah Kabupaten Deli Serdang. Dalam pelaksanaannya, Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan itu hanya diperuntukkan bagi warga Tionghoa. Sementara tempat makam etnis lain yang juga menempati tanah luas, bangunannya tinggi dan mewah, tidak dikenai pajak.6 Oleh karena itu itu, yayasan menolak membayar sehingga beban pajak ditanggung oleh ahli waris. Padahal ahli waris keluarga Tionghoa yang mempunyai makam berasal dari strata sosial yang berbeda kesanggupannya untuk membayar pajak sesuai ketentuan Peraturan Daerah Nomor 26 Tahun 2003 tersebut.

Walaupun adanya berbagai protes atau keberatan masyarakat Tionghoa atas pajak pekuburan menurut Peraturan Daerah Nomor 26 Tahun 2000 yang kini sedang dalam pembahasan revisi di DPRD tetap akan dilanjutkan, sebagaimana yang

5

Tarman Hartono, Sekretaris Umum Yayasan Sosial Angsa Pura, pada Siaran Pers Yayasan Sosial Angsa Pura dalam hal Peraturan Daerah Kuburan di Deli Serdang, Minggu 25 Februari 2005, hal. 1.

6


(18)

dikemukakan Abdul Latif selaku Wakil Sekretaris Pansus DPRD Kabupaten Deli Serdang, bahwa “pihak eksekutif tetap menginginkan Peraturan Daerah ini berlaku meskipun nantinya ada perubahan dalam pasal-pasalnya, bisa jadi setelah mendapatkan masukan dari masyarakat, nama dan sejumlah pasal di dalamnya akan berubah secara revolusioner”.7

Pembahasan revisi atas Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan itu, mengakibatkan warga Tionghoa membentuk Tim Pencari Keadilan Perda Kuburan yang sudah menyiapkan langkah hukum jika Peraturan Daerah itu tidak dibatalkan, bahkan langkah hukum sampai ke Mahkamah Agung. Jika memang latar belakang diterbitkannya pajak kuburan tersebut adalah untuk Pendapatan Asli Daerah, maka seharusnya Pemerintah Kabupaten Deli Serdang dapat mencari sumber dari banyak sektor, termasuk industri. Mengapa harus mencari dari kuburan yang tidak ada aturannya.8

Langkah yang hendak dilakukan Tim Pencari Keadilan Kuburan Tionghoa adalah menyurati Mahkamah Agung agar melakukan Judicial Review atas Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan tersebut, dan juga menyurati Menteri Dalam Negeri agar membatalkan peraturan itu. Selain itu Tim Pencari Keadilan Kuburan Tionghoa juga melaporkan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Upaya hukum ini terpaksa ditempuh karena warga Tionghoa menganggap peraturan tentang

7

Abdul Latif Khan, Op. Cit., hal. 3.

8


(19)

kuburan merupakan perlakuan diskriminasi kepada warga Tionghoa, karena warga diluar suku Tionghoa tidak dipungut pajak kuburan.9

Demikian juga, Yayasan Marga Ong keberatan terhadap pemungutan pajak itu. Di mana pada saat ini terdapat puluhan kuburan di Yayasan Marga Ong. Ukuran pekuburan itu bervariasi yaitu lebar 4 meter x 5 meter, atau lebar 6 meter x 6 meter dan lebar 8 meter x 12 meter. Di areal yang luas sedikitnya dua hektare itu terdapat juga tempat penyimpanan abu kremasi. Semua kuburan dan Pajak Bumi dan Bangunan dikenakan pajak. Dengan adanya Peraturan Daerah Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan, pihak keluarga yang anggota keluarganya dikuburkan di sini wajib membayar pajak.

Pasal 1 huruf f Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan menyebutkan pajak yang dimaksud Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan adalah pungutan daerah setiap kuburan yang melebihi panjang 2 meter x lebar 1,75 meter. Selanjutnya dalam Pasal 1 huruf g disebutkan Pajak atas bangunan diatas kuburan yang melebihi ukuran panjang 2 meter, lebar 1,75 meter dan tinggi 0,50 meter.

Peraturan Daerah itu dimaksudkan untuk membatasi pemakaian lahan yang tidak produktif. Kuburan yang dikenakan pajak yaitu kuburan yang melebihi ukuran yang diatur dalam Peraturan Daerah yaitu panjang 2 meter, lebar 1,75 meter dan tinggi 0,50 meter. Kalau lebih dari itu dikenakan pajak karena dianggap kemewahan.

9


(20)

Ini membatasi agar areal yang produktif jangan dijadikan kuburan sehingga tidak produktif lagi.10

Berbagai pro dan kontra diberlakukan peraturan daerah atas pungutan pajak kuburan di Deli Serdang, yang di satu sisi sebagaimana dikemukakan di atas adalah demi membatasi agar areal yang produktif jangan dijadikan kuburan sehingga tidak produktif lagi. Namun di sini lain juga harus diperhatikan nilai religi dari suatu pekuburan itu bagi etnis tertentu, sebagaimana pandangan Agustrisno, Staf Pengajar Departemen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sumatera Utara yang menyatakan:

Untuk membuat standarisasi istilah luas dan kemewahan pada sebuah kuburan dan sekaligus menghindari konflik diperlukan suatu resolusi seperti dialog. Pandangan masyarakat Tionghoa memelihara kuburan orang mati dengan harapan yang dimakamkan itu tidak mengalami kesengsaraan di dalam kuburan. Kuburan penuh dengan gaya arsitektur sesuai dengan feng sui dan hong sui. Pada hari Cheng Beng, warga Tionghoa berkumpul di kuburan orang tuaya untuk membersihakn, memelihara dan menghormati arwah orang tua mereka. Ada juga yang berpendapat bahwa pemeliharaan kuburan merupakan ungkapan terima kasih yang berkaitan dengan hau atau bakti kepada orang tua. Oleh Karena itu istilah luas atau mewah sebuah kuburan sebagaimana yang dimaksud pihak yang berwenang pada Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan itu belum tentu benar bagi masyarakat Tionghoa. Bagi mereka atau masyarakat Tionghoa bentuk sebuah kuburan adalah ungkapan atau Ekspresi Metafisis-Religius untuk menunjukkan kemewahan atau gengsi sosial, tetapi lebih mengarah pada sikap hau atau bakti kepada keluarga yang sudah mati.11

Selanjutnya menurut Nur A Fadhil Lubis, Guru Besar Institute Agama Islam Negeri Sumatera Utara mengatakan:

10

Poltak Tobing, Kepala Bagian atau Kabag Hukum Pemerintah Kabupaten Deli Serdang Poltak Tobing, Harian Warta Kita, edisi Hari Jumat, 16 Maret 2008, hal. 8.

11

AGustrisno, Staf Pengajar Departemen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sumatera Utara, Harian Waspada, Hari Rabu, tanggal 17 Maret 2005, hal. 5.


(21)

Tanah kuburan umum, dan sebagian kuburan keluarga, berstatus benda wakaf. Sebagai benda wakaf maka pengaturan tentang pekuburan jenis ini sesuai dengan wakaf, umumnya. Ini termasuk ketentuan bahwa benda wakaf tidak dikenakan pajak. Hal inilah sebabnya juga pajak terhadap kuburan tidak dikenal dalam pemikiran maupun pengamalan hukum Islam. Sedangkan retribusi terhadap pelayanan tertentu bagi kepentingan kuburan merupakan bagian dari yang ditentukan melalui jalur musyawarah. Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 26 tahun 2001 tentang Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan di Kabupaten Deli Serdang sebaiknya ditinjau ulang dengan lebih seksama dan dengan mengikutsertakan seluruh elemen masyarakat serta didasarkan atas asas keadilan, kemaslahatan dan pemusyawaratan.12

Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan itu bertentangan dengan azas hukum yang berlaku. Pasal 1 huruf f Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan itu bertentangan dengan Pasal 3 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan yang menentukan bahwa objek yang tidak dikenakan Pajak Bumi Bangunan adalah objek pajak yang digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala atau yang sejenis dengan itu. Selain itu, Peraturan Daerah tersebut juga bertentangan dengan Pasal 2 Ayat (4) huruf b Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 yang menyebutkan objek pajak terletak atau terdapat di wilayah Daerah Kabupaten atau Kota yang bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah serta hanya melayani masyarakat di wilayah Daerah Kabupaten atau Kota yang bersangkutan. Apakah meninggal dunia dan dikuburkan pada pemakaman umum yang terdapat pada

12

Nur A Fadhil Lubis, Guru Besar Institute Agama Islam Negeri Sumatera Utara, Harian Waspada, dalam Ibid., hal. 8.


(22)

daerah Kabupaten atau Kota memang benar hanya penduduk Kabupaten Deli Serdang. Praktiknya banyaknya orang yang meninggal dunia dikebumikan di luar domisili tempat ia semula bertempat tinggal. 13

Berbagai protes atas peraturan daerah ataupun revisi peraturan daerah yang terkait dengan pajak pekuburan di Deli Serdang tersebut akhirnya mendapat tanggapan dari Komisi A DPRD Kabupaten Deli, yang akan segera mencabut Peraturan Daerah tersebut, dan akan membahas revisi Peratuan Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan yang nantinya mengatur kuburan yang sesuai ukuran yang tidak dikenakan pajak.14

Sikap desakan mencabut Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan itu juga disampaikan Janwar Juandi, selaku Wakil Ketua Partai Amanat Nasional (PAN) Deli Serdang, dengan menyatakan:

Peraturan Daerah ini tidak mengacu kepada prinsip-prinsip keadilan. Yang menyediakan kuburan itu yayasan bukan pemerintah, tapi Pemerintah Kabupaten Deli Serdang mengutip pajak. Padahal Pemerintah Kabupaten sendiri sudah mengutip PBB dari pihak yayasan, tapi juga mengutip pajak dari keluarga orang mati yang ada di kuburan. Ini namanya mengenakan pajak pada orang mati. Padahal Undang-Undang kita tak mengenal pajak untuk orang mati.15

13

Faisal Akbar, Wakil Ketua Laboratorium Konstitusi Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Harian Medan Pos, Hari Seni, tanggal 21 Maret 2005, hal. 6.

14

Siswo Adi Suwito, Komisi A DPRD Kabupaten Deli Sedang dari Fraksi Golkar, Harian Waspada, Hari Senin, tanggal 24 Maret 2005, hal. 3.

15

Janwar Juandi, Wakil Ketua Partai Amanat Nasional (PAN) Deli Serdang, Harian Waspada, Hari Senin, tanggal 24 Maret 2005, hal. 3.


(23)

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan turut mengkritisi Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan. LBH menilai, Peraturan Daerah ini telah menempatkan sosialita kehidupan masyarakat dari kacamata perpajakan, sehingga jelas bertentangan dengan kemanusiaan. Pemberlakuan Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan sudah cenderung bertentangan dengan norma hukum yang berlaku. Bukankah membangun kuburan seindah mungkin bagi agama atau beberapa suku di Indonesia merupakan suatu tanda kehormatan terhadap keluarga atau leluhur yang meninggal, ini harus dihormati. Bukannya malah dilakukan pemungutan pajak.16

Namun, demikian dari seluruh pembahasan, Panitia Khusus di DPRD bersepakat muatan Peraturan Daerah itu tidak perlu dirubah, keputusan yang diambil semata-mata karena muatan Peraturan Daerah masih dianggap layak dan sesuai diterapkan hingga kini. Untuk itu, secara hukum hingga saat ini Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan masih berlaku. Jadi penolakan tersebut dapat dikategorikan pelanggaran hukum. Untuk itu Dinas Pendapatan Daerah harus tegas, menyikapi nihilnya pencapaian pajak kuburan mewah.17

Berkaitan dengan latar belakang di atas maka dilakukan penelitian tentang Pajak Pekuburan dengan judul penelitian “Tinjauan Hukum Atas Tanggung Jawab Yayasan Pengelola Tanah Pekuburan Dalam Pembayaran Pajak di Kabupaten Deli

16

Ikwaluddin Simatupang, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Medan, dalam Ibid., hal. 3.

17


(24)

Serdang Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dan gambaran latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah yang dibahas dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah tanggung jawab yayasan pengelola tanah pekuburan dalam pembayaran pajak tanah pekuburan berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pajak Luas dan Kemewahan/ Penghiasan Kuburan?

2. Apakah yang menjadi kendala yayasan pengelola tanah pekuburan dalam membayar Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan di Kabupaten Deli Serdang?

3. Apakah upaya yang dilakukan yayasan pengelola tanah pekuburan sehubungan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan?

C. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan perumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui tanggung jawab yayasan pengelola tanah pekuburan dalam pembayaran pajak tanah pekuburan berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten


(25)

Deli Serdang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pajak Luas dan Kemewahan/ Penghiasan Kuburan?

2. Untuk mengetahui kendala yayasan pengelola tanah pekuburan dalam membayar Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan di Kabupaten Deli Serdang ? 3. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan yayasan pengelola tanah pekuburan

sehubungan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan?

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberi manfaat antara lain : 1. Secara Teoritis

a. Sebagai bahan informasi bagi akademisi maupun sebagai bahan perbandingan bagi para peneliti yang hendak melaksanakan penelitian lanjutan tentang pajak tanah pekuburan bagi yayasan dan badan hukum pengelola tanah pekuburan di Indonesia.

b. Sebagai bahan bagi Pemerintah Republik Indonesia dalam penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Pajak dan Retribusi di Indonesia, khususnya tentang tanah dan lokasi pekuburan yang pengaturan lebih tegas dan terarah dalam menentukan tanggung jawab badan hukum dan yayasan selaku pengelola areal dan tanah pekuburan tentang pajak luas dan kemewahan/penhiasan kuburan.

c. Memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum, terutama hukum pertanahan dan badan hukum serta yayasan selaku pengelola tanah pekuburan di Indonesia.


(26)

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan kepada Pemerintah Republik Indonesia khususnya Pemerintah Kabupaten Deli Serdang terutama dalam membuat produk Peraturan Daerah dapat memperhatikan nilai/norma-norma yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat serta mengkaji permasalahan dari berbagai aspek, sehingga produk Peraturan Daerah yang dihasilkan dapat mengakomodir kepentingan masyarakat dan akseptabel.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian ini difokuskan untuk meneliti tentang tanggung jawab badan hukum atau yayasan selaku pengelola tanah pekuburan dalam melakukan pembayaran pajak kepada Pemerintah Daerah yang mana hal tersebut telah ditetapkan dan diatur dengan Peraturan Daerah.

Berdasarkan penulusuran kepustakaan dari hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan, khususnya di Universitas Sumatera Utara, penelitian mengenai “Tinjauan Hukum Atas Tanggung Jawab Yayasan Pengelola Tanah Pekuburan Dalam Pembayaran Pajak di Kabupaten Deli Serdang Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan”, belum pernah dilakukan. Oleh karena itu penelitian ini adalah asli, serta dapat dipertanggung jawabkan keasliannya secara ilmiah.


(27)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat18, artinya bahwa hukum itu harus mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat, hal ini sesuai dengan pendapat Roscoe Pound, Eugen Ehrlich, Benyamin Cardozo, Kantorowics, Gurvitch dan lain-lain, dimana aliran pemikiran ini berkembang di Amerika.

Pemikiran ini dibedakan dengan apa yang dikenal dengan sosiologi hukum yang tumbuh dan berkembang di Eropa Continental dan hukum sebagai gejala sosial. perbedaan antara sosiologi hukum dan hukum sebagai gejala sosial diantara keduanya ialah kalau Sociological Jurisprudence itu merupakan suatu mazhab dalam filsafat hukum yang mempelajari pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat dan sebaliknya. Sedangkan sosiologi hukum adalah cabang sosiologi yang mempelajari pengaruh masyarakat kepada hukum dan sejauh mana gejala-gejala yang ada dalam masyarakat itu dapat mempengaruhi hukum tersebut di samping juga diselidiki, sebaliknya pengaruh hukum terhadap masyarakat.19 Dengan demikian yang terpenting adalah bahwa “Sociological Jurisprudence merupakan cara pendekatan yang bermula dari hukum ke masyarakat, sedangkan sosiologi hukum sebaliknya dari masyarakat ke hukum”.20

18

Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hal. 66.

19

Ibid., hal. 66.

20


(28)

Mazhab dari Sociological Jurisprudence ini mengetengahkan tentang pentingnya living law hukum yang hidup di dalam masyarakat, dimana kelahirannya menurut beberapa anggapan merupakan suatu sinthese dari thesenya, yaitu positivisme hukum dan antithesenya mazhab sejarah. Dengan demikian “Sociological Jurisprudence berpegang kepada pendapat pentingnya baik akal maupun pengalaman dimana pandangan ini berasal dari Roscoe Pound yang intisarinya adalah konsepsi masing-masing aliran yaitu positivisme hukum dan mazhab sejarah”.21

Agar dalam pelaksanaan perundang-undangan yang bertujuan untuk pembaharuan itu dapat berjalan sebagaimana mestinya, hendaknya perundang-undangan yang dibentuk itu sesuai dengan apa yang menjadi inti pemikiran aliran Sociological Jurisprudence yaitu hukum yang baik hendaknya disesuaikan dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat.22 Sebab jika ternyata tidak. Akibatnya ketentuan hukum tersebut tidak akan dapat dilaksanakan dan bekerja dan mendapat tantangan dari masyarakat itu sendiri.

Menurut Soerjono Soekanto dalam teori ilmu hukum,

Berlakunya hukum dibedakan kedalam tiga macam, yaitu: secara yuridis, secara sosiologis dan secara filosofis. Berlakunya hukum secara yuridis berdasarkan pada kaidah yang lebih tinggi, terbentuk menurut cara yang telah ditetapkan, menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dan akibatnya. Dengan demikian, hukum dikatakan berlaku secara yuridis, apabila pembentukannya mengikuti urutan dan tata cara yang ditetapkan.23

21

Roscou Pond, dalam Lili Rasjidi, Op. Cit., hal. 66.

22

Ibid., hal. 67.

23


(29)

Berlakunya hukum secara sosiologis, berintikan pada efektivitas hukum. Dalam hal ini ada dua teori:

1. Teori Kekuasaan, pada teori ini hukum yang berlaku secara sosiologis apabila dipaksakan berlakunya oleh penguasa dan hal itu terlepas dari masalah apakah masyarakat menerima atau menolaknya.

2. Teori Pengakuan, dalam teori ini hukum berlaku secara sosiologis didasarkan pada penerimaan atau pengakuan oleh mereka kepada siapa hukum tadi tertuju. Sedangkan berlakunya hukum secara filosofis, artinya hukum tersebut ssuai dengan cita-cita hukum, sebagai nilai positif yang tertinggi misalnya Pancasila, masyarakat yang adil dan makmur dan seterusnya.24

Suatu kaidah hukum yang berfungsi dengan baik harus memenuhi ketiga macam cara berlakunya hukum tersebut di atas :

a. Bila suatu kaidah hukum hanya berlaku secara yuridis, maka kemungkinan besar kaidah tersebut merupakan kaidah mati.

b. Kalau hanya berlaku secara sosiologis maka kaidah tersebut menjadi aturan pemaksa (Teori Pemaksa).

c. Apabila hanya berlaku secara fisiologis, maka mungkin hukum tersebut hanya merupakan hukum yang di cita-citakan.25

Agar suatu kaidah hukum atau peraturan yang tertulis, benar-benar berfungsi, senantiasa pula diperlukan keserasian dalam hubungan antara empat faktor:

a. Kaidah hukum atau peraturan itu sendiri. Kemungkinannya adalah bahwa terjadi ketidak cocokan dalam peraturan perundang-undangan, mengenai kehidupan tertentu. Kemungkinan lain adalah, ketidak cocokan antara perundang-undangan dengan hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan, misalnya antara Undang-undang dengan sistem pemerintahan dan

24

Ibid., hal. 54.

25


(30)

kebiasaan yang sederhana di daerah. Kadangkala ada ketidak serasian antara hukum tertulis dengan hukum kebiasaan dan seterusnya.

b. Mentalitas petugas yang menegakkan hukum atau menerapkan hukum. Penegak hukum antara lain mencakup hakim, polisi, jaksa, pengacara, petugas pemasyarakatan dan seterusnya. Apabila peraturannya sudah baik akan tetapi mental para penegak hukumnya kurang baik, maka kan terjadi gangguan pada system penegakan hukum.

c. Fasilitas yang diharapkan akan dapat mendukung pelaksanaan kaidah hukum. Apanila peraturannya sudah baik mental penegak hukumnya juga baik, akan tetapi fasilitas kurang memadai (dalam ukuran tertentu), penegakan hukum tidak akan berjalan dengan semestinya.

d. Warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan tersebut. Kalau kesadaran hukum dan kepatuhan hukum dan perilaku masyarakatnya kurang mendukung, maka hukum itu juga akan sulit ditegakkan.26

Dengan demikian efektif tidaknya suatu peraturan akan dipengaruhi oleh keempat faktor tersebut di atas. Agar peraturan berjalan efektif, maka keempat faktor tersebut harus berjalan secara seiring dan serasi saling mendukung.

Jauh sebelum zaman Romawi dan Yunani kuno serta zaman Firaun di Mesir, telah ada suatu wadah yang menguasai dan memerintah penduduk. Le Contract Social atau perjanjian masyarakat yang dikemukakan oleh Rousseau adalah teori yang menjawab pertanyaan mengapa penduduk atau rakyat harus patuh pada pemerintah negaranya. Bahwa sebagian dari hak mereka diserahkan kepada suatu wadah yang mengurus kepentingan bersama. Wadah mana kemudian dikenal sebagai L’etat, Staat, State, Negara. Eksistensi pajak sebagai species dari genus pungutan telah ada sejak zaman romawi. Pada awal Republik Roma (509-27 SM) dikenal beberapa jenis pungutan seperti Censor, Questor dan beberapa jenis pungutan lain. Pelaksanaan pemungutannya diserahkan kepada warga tertentu yang disebut

26


(31)

publican. Tributum sebagai pajak langsung dipungut pada zaman perang terhadap penduduk Roma sampai tahun 167 SM. Sesudah abad ke 2 penguasa Roma mengandalkan pada pajak tidak langsung disebut vegtigalia seperti portoria yanki pungutan atas penggunaan pelabuhan.27

Di zaman Julius Caesar dikenal Centesima Rerum Venalium yakni sejenis pajak penjualan dengan tariff 1% dari omzet penjualan. Di daerah lain di italia dikenal Decumae, yakni pungutan sebesar 10 % dari para petani atau penguasa tanah. Setiap penduduk italia, termasuk penduduk roma sendiri dikenakan tributum yang tetap yang sering kali disebut Stipendium. Demikian pula di Mesir, pembuatan piramida yang tadinya merupakan pengabdian dan bersifat sukarela dari rakyat Mesir, pada akhirnya menjadi paksaan, bukan saja dalam bentuk uang, harta kekayaan, tetapi juga dalam bentuk kerja paksa. Pada abad XIV di Spanyol dikenal Alcabala, salah satu bentuk pajak penjualan. Di Indonesia, berbagai pungutan baik dalam bentuk natura atau Payment In Kind, kerja paksa maupun dengan uang dan upeti telah lama dikenal. Pungutan dan beban rakyat Indonesia semakin terasa besarnya terutama sesudah berdirinya VOC tahun 1602, dan dilanjutkan dengan Pemerintahan Kolonial Belanda.28

Ada berbagai macam fungsi pemerintah suatu negara yaitu melaksanakan penertiban atau law and order; mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya; pertahanan dan menegakkan keadilan yang hal ini dilaksanakan melalui

27

Bambang Sudibyo, Sejarah Pajak Sebagai Pemasukan Negara, Bina Insani, Jakarta, 2005, hal. 32.

28


(32)

badan-badan pengadilan. Terdapat berbagai sumber penghasilan suatu Negara atau public revenues, antara lain kekayaan alam; laba perusahaan negara; Royalty; Retribusi; Kontribusi; Bea Cukai; Denda dan Pajak.29

2. Konsepsi

Konsepsi merupakan unsur pokok dalam usaha penelitian atau untuk membuat karya ilmiah. Menurut Hilman Hadikusuma:

Sebenarnya yang dimaksud dengan konsepsi adalah suatu pengertian mengenai sesuatu fakta atau dapat berbentuk batasan atau defenisi tentang sesuatu yang akan dikerjakan. Jadi jika teori kita berhadapan dengan sesuatu hasil kerja yang telah selesai, sedangkan konsepsi masih merupakan permulaan dari sesuatu karya yang setelah diadakan pengolahan akan dapat menjadikan suatu teori.30

Selanjutnya, dinyatakan Hilman Hadikusuma:

Kegunaan dari adanya konsepsi agar supaya ada pegangan dalam melakukan penelitian atau penguraian, sehingga dengan demikian memudahkan bagi orang lain untuk memahami batasan-batasan atau pengertian-pengertian yang dikemukakan. Dalam hal ini seolah-olah ia tidak berbeda dari suatu teori, tetapi perbedaannya terletak pada latar belakangnya. Suatu teori pada umumnya merupakan gambaran dari apa yang sudah pernah dilakukan penelitian atau diuraikan, sedangkan suatu konsepsi lebih bersifat subjektif dari konseptornya untuk sesuatu penelitian atau penguraian yang akan dirampungkan.31

Konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum di samping yang lain-lain, seperti asas dan standar. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum. Konsep adalah suatu kontruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh sutu proses yang

29

Ibid., hal. 32.

30

Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 5.

31


(33)

berjalan dalam penelitian untuk keperluan analistis.32 Kerangka konseptional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.33

Suatu konsep atau suatu kerangka konsepsionil pada hakikatnya merupakan suatu pengarah, atau pedoman yang lebih konkrit daripada kerangka konsepsionil belaka, kadang-kadang dirasakan masih juga abstrak, sehingga diperlukan defenisi-defenisi operasional yang akan dapat pegangan konkrit di dalam proses penelitian.34

Koentjoroningrat mengemukakan:

Konsep atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian, kalau masalahnya dan kerangka konsep teoritisnya sudah jelas, biasanya sudah diketahui pula fakta mengenai gejala-gejala yang menjadi pokok perhatian, dan suatu konsep sebenarnya adalah defenisi secara singkat dari sekelompok fakta atau gejala itu. Maka konsep merupakan defenisi dari apa yang perlu diamati, konsep menentukan antara variable-variabel yang ingin menentukan adanya hubungan empiris.35

Oleh karena itu, untuk dapat menjawab permasalahan dalam penelitian tesis ini perlu didefinisikan beberapa konsep dasar dalam rangka menyamakan persepsi untuk dapat menjawab permasalahan penelitian.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ada dua pengertian yayasan yaitu sebagai Foundation dan sebagai perkumpulan. Seharusnya Undang-Undang yayasan memperjelas pasal-pasalnya supaya terdapat kepastian maupun keadilan hukum,

32

Satjipto Rshardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 397.

33

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hal. 7.

34

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Perss, Jakarta, 1986, hal. 133.

35

Koentjoroningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Edisi ketiga, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, hal. 21.


(34)

bukannya memukul rata pengertian tentang yayasan.36 Misalnya banyak sekali yayasan pendidikan didirikan justru menggunakan dana pribadi. Di Pontianak, yayasan Tionghoa jelas ada pemiliknya yaitu marga yang berdasarkan lineage atau garis keturunan. Mestinya dalam pembentukan undang-undang, para pembuat Undang-Undang mengundang dan meminta pertimbangan pengurus-pengurus yayasan, ahli-ahli bahasa yang membuat Kamus Bahasa Indonesia.

Dalam Undang-Undang Yayasan, dikatakan dalam yayasan tak boleh memiliki anggota. Jika demikian, apakah yayasan Tionghoa termasuk yang tidak diatur oleh Undang-Undang yayasan. satu lagi cara bagi pemilik atau pengurus yayasan untuk menyikapi persoalan ini adalah dengan melakukan penyesuaian. Artinya dengan cara merubah AD atau ART dan menghapuskan keanggotaan. Ini juga menjadi masalah, karena seperti yang dikatakan sebelumnya, umur yayasan sudah puluhan tahun. Sementara Undang-Undang tentang Yayasan baru ditetapkan pada Tahun 2001 dan direvisi pada Tahun 2004.

Pekuburan adalah sebidang tanah yang disediakan untuk kuburan. Pekuburan bisa bersifat umum atau semua orang boleh dikuburkan di sana maupun khusus, misalnya pekuburan menurut agama, pekuburan pribadi milik keluarga, taman makam pahlawan, dan sebagainya.

Pajak adalah iuran wajib yang dipungut oleh pemerintah dari masyarakat atau wajib pajak untuk menutupi pengeluaran rutin Negara dan biaya pembangunan tanpa balas jasa yang dapat ditunjuk secara langsung atau dapat juga berarti pajak adalah

36

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1976, hal. 20.


(35)

iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-Undang sehingga dapat dipaksakan dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum.

Pajak dalam istilah asing disebu tax atau Import Contribution, Taxe, Droit atau Prancis; Steuer, Abgabe, Gebuhr atau Jerman; Impuesto Contribution, Tribute, Gravamen, Tasa atau Spanyol dan Belasting atau Belanda. Dalam literature Amerika selain istilah Tax dikenal pula istilah tarif. .

P.J.A.Andriani merumuskan:

Pajak adalah iuran masyarakat kepada Negara atau yang dapat dipaksakan yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum atau undang-undang dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. 37

Kemudian, menurut Rochmat Soemitro, ”Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment”.38

Di dalam Literatur Ilmu Keuangan Negara terdapat dua pendekatan yang merupakan dasar bagi fiskus untuk memungut pajak yakni Benefit Principle dan Ability To Pay Principle. Secara sederhana kedua prinsip tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Benefit Principle pada intinya menjelaskan, bahwa fiskus berwenang

37

P.J.A. Adriani, dalam Bohari, Pengantar Perpajakan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, hal. 31.

38


(36)

memungut pajak karena penduduk menerima mamfaat dari adanya Negara. Terutangnya suatu pajak sekurang-kurangnya harus memenuhi unsur-unsur rumus pajak, yakni adanya tax base atau dasar pengenaan pajak, tax rate atau tarif pajak dan adanya tax payer atau wajib pajak. tarif dikalikan dasar pengenaan pajak akan menghasilkan utang pajak atau tax liability.39

Retribusi adalah pungutan yang dilakukan pemerintah kepada sejumlah penduduk yang menggunakan fasilitas yang disediakan pemerintah. Dalam menyediakan fasilitas tersebut pemerintah telah mengeluarkan sejumlah biaya. Retribusi yang dipungut adalah mengganti biaya yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. Pemerintah berwenang untuk memungut bea pada waktu ada barang-barang masuk atau keluar daerah pabean.

Pemerintah juga berwenang untuk memungut cukai pada waktu pembuatan rokok, gula, alkohol dan hasil sulingan lainnya. Pemerintah berwenang untuk mengenakan denda kepada penduduk yang melanggar ketentuan yang ditetapkan pemerintah, misalnya denda karena melanggar rambu-rambu lalu lintas. Pemerintah pusat atau daerah maupun lembaga pemerintah lainnya berwenang untuk mengadakan pungutan-pungutan tertentu seperti uang tambang, leges, uang nikah, talak, rujuk (NTR) dan sebagainya.

Lembaga Pemerintah yang mengelola perpajakan Negara Indonesia adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang merupakan salah satu Direktorat Jenderal yang ada dibawah naungan Departemen Keuangan Republik Indonesia.

39


(37)

Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.

Jasa adalah kegiatan Pemerintah Daerah berupa usaha dan pelayanan yang menyebabkan barang, fasilitas atau kemamfaatan lainnya yang dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.

Jasa umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemamfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.

Jasa usaha adalah jasa yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip-prinsip komersil karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.

Perizinan tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atau kegiatan, pemamfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Penerimaan lain-lain adalah penerimaan yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku diluar pajak daerah dan retribusi daerah.

Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan adalah pungutan daerah setiap kuburan yang melebihi ukuran: Panjang 2 m, dan Lebar 1,75 m, dan juga pungutan daerah setiap bangunan diatas kuburan yang melebihi ukuran: Panjang 2 m, Lebar 1,75 m dan Tinggi 0,50 m.


(38)

G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini bersifat Deskriptif Analisis, yaitu penelitian yang bertujuan untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh, lengkap dan sistematis mengenai tanggung jawab yayasan pengelola tanah pekuburan dalam melakukan pembayaran pajak tanah pekuburan berdasarkan peraturan daerah di Kabupaten Deli Serdang.

Bersifat analisis karena gejala dan fakta yang dinyatakan oleh responden kemudian akan dianalisa terhadap berbagai aspek hukum baik dari segi hukum pertanahan nasional maupun hukum politik dan hukum administrasi Negara serta hukum pajak. pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan yuridis empiris yaitu suatu penelitian yang meneliti peraturan-peraturan hukum yang kemudian dihubungkan dengan data dan perilaku pejabat pemerintah daerah Kabupaten Deli Serdang.

Data primer atau materi pokok dalam penelitian ini diperoleh langsung dari para responden melalui penelitian lapangan (field research) yaitu Pemerintah Kabupaten Deli Serdang serta Masyarakat di Kabupaten Deli Serdang.

Data sekunder diperoleh melalui badan hukum primer dan badan hukum sekunder serta badan hukum tertier yaitu melalui penelitian kepustakaan (Library Research) berupa peraturan perundang-undangan buku-buku, laporan hasil penelitian terdahulu, dokumen resmi dan bahan-bahan kepustakaan lainnya berbentuk tertulis yang ada kaitannya dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini.


(39)

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini berlokasi di Kabupaten Deli Serdang, dengan melakukan penelitian di daerah yang terdapat lokasi dan areal tanah pekuburan yang dikelola oleh badan hukum dan yayasan.

3. Wawacara dan Nara Sumber

Dalam melakukan penelitian ini, maka penulis melakukan teknik wawancara dengan beberapa sumber, yaitu tokoh masyarakat untuk mengetahui bagaimana selama ini pengaturan tanah pekuburan dan pengelolaan badan hukum dan yayasan yang mengelola tanah pekuburan di Kabupaten Deli Serdang, khususnya yang berkaitan dengan pembiayaan, retribusi dan pembayaran pajak.

Untuk menunjang kelengkapan data maka diambil sebagai nara sumber atau informan tambahan sebanyak 5 (lima) orang dengan perincian sebagai berikut :

1. 1 (satu) orang Staf Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Deli Serdang. 2. 1 (satu) orang pengurus yayasan pengelola tanah pekuburan di Deli Serdang. 3. 1 (satu) orang tokoh masyarakat Kabupaten Deli Serdang.

4. 1 (satu) orang anggota DPRD Kabupaten Deli Serdang.

5. 1 (satu) orang Camat Lubuk Pakam yang wilayahnya terdapat tanah pekuburan di Kabupaten Deli Serdang.40

40

Wawancara ini bertujuan untuk mendapatkan informasi masalah aset tersebut dari sisi sejarah dan lokasi dalam upaya mengidentifikasi masalah.


(40)

4. Alat Pengumpul Data

Data dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan alat : a. Studi Dokumentasi

Untuk memperoleh data sekunder perlu dilakukan studi dokumentasi yaitu dengan cara mempelajari peraturan-peraturan, teori dan dokumen-dokumen lain yang berhubungan dengan permasalahan yang akan diteliti.

b. Wawancara

Untuk memperoleh data primer, dilakukan wawancara dengan 10 (sepuluh) orang yang terdiri dari pejabat Pemerintah Kabupaten Deli Serdang, pengurus badan hukum dan yayasan pengelola tanah pekuburan, tokoh masyarakat, anggota DPRD Deli Serdang dan masyarakat dengan menggunakan pedoman wawancara dan daftar pertanyaan.

5. Analisis Data

Semua data yang diperoleh dari bahan pustaka serta data yang diperoleh dilapangan dianalisa secara kualitatif. Metode analisa yang dipakai adalah metode deduktif. Melalui metode deduktif, data sekunder yang telah diuraikan dalam tinjauan pustaka secara komparatif aan dijadikan pedoman dan dilihat pelaksanaannya dalam melihat tinjauan hukum atas tanggung jawab yayasan pengelola tanah pekuburan dalam pembayaran pajak di Kabupaten Deli Serdang berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pajak Luas dan Kemewahan/Penghiasan Kuburan.


(41)

Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini dianalisa dengan cara kualitatif, selanjutnya dilakukan proses pengolahan data. Setelah selesai pengolahan data baru ditarik kesimpulan dengan metode deduktif.41

Kegiatan analisis dimulai dengan dilakukan pemeriksaan terhadap data yang terkumpul baik melalui wawancara yang dilakukan, inventarisasi karya ilmiah, peraturan perundang-undangan, yang berkaitan dengan judul penelitian baik media cetak dan laporan-laporan hasil penelitian lainnya untuk mendukung studi kepustakaan. Kemudian baik data primer maupun data sekunder dilakukan analisis penelitian secara kuantitatif dan untuk membahas lebih mendalam dilakukan secara kualitatif. Sehingga dengan demikian diharapkan dapat menjawab segala permasalahan hukum yang ada dalam tesis ini.

41

Sutandyo Wigjosoebroto, Apakah Sesungguhnya Penelitian Itu, Kertas Kerja, Universitas Erlangga, Surabaya, hal. 2. Prosedur Deduktif yaitu bertolak dari suatu proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui dan diyakini dan berakhir pada suatu kesimpulan yang bersifat lebih khusus. Pada prosedur ini kebenaran pangkal merupakan ideal yang bersifat aksiomatik (self efident) yang esensi kebenarannya sudah tidak perlu dipermasalahkan lagi.


(42)

NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PAJAK LUAS DAN KEMEWAHAN/ PENGHIASAN KUBURAN DI KABUPATEN DELI SERDANG A. Pengaturan Hukum Yayasan di Indonesia

Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan dan tidak mempunyai anggota.42

Yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk mencapai maksud tujuannya dengan cara mendirikan badan usaha dan/atau ikut serta dalam suatu badan usaha dengan syarat bahwa usaha kegiatan badan usaha tersebut harus sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan. Kegiatan yayasan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan/atau perundang-undangan yang berlaku, dapat mencakup bidang-bidang hak asasi manusia, kesenian, olahraga, perlindungan konsumen, pendidikan, lingkungan hidup, kesehatan dan ilmu pengetahuan.

Hal ini sesuai dengan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2001 tentang Yayasan, jumlah penyertaan maksimum 25% dari seluruh nilai kekayaan yayasan, anggota Pembina, Pengurus dan Pengawas Yayasan dilarang merangkap sebagai anggota Direksi dan anggota Komisaris atau Pengawas dari badan usaha tersebut.

Yayasan mempunyai organ yang terdiri dari Pembina, Pengurus dan Pengawas. Kepada mereka tidak dapat diberikan gaji, upah atau honorarium atau

42

Jusuf Patrick, Pengaturan Yayasan di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16

Tahun 2001, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008, Wawasan, Jakarta, 2007, hal. 5.


(43)

bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang, hal ini sesuai dengan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.

Khusus mengenai pengurus dapat diadakan pengaturan pengecualiaannya dalam anggaran dasar yayasan, yaitu pengurus dapat diberi gaji, upah atau honorarium dengan syarat bahwa anggota pengurus tersebut, bukan pendiri yayasan dan tidak terafiliasi dengan Pendiri, Pembina atau Pengawas, melaksanakan kepengurusan yayasan secara langsung dan penuh.

Disamping larangan untuk memberikan upah, gaji atau honorarium, yayasan juga dilarang untuk membagikan hasil kegiatan usahanya kepada Pembina, Pengurus dan Pengawas sesuai dengan Pasal 3 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan. Pelanggaran terhadap larangan ini diancam dengan pidana sesuai dengan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan. Namun segala biaya dan ongkos yang dikeluarkan oleh organ yayasan dalam rangka menjalankan tugas yayasan wajib dibayar oleh yayasan.

Jadi kalau gaji, upah atau honorarium tidak boleh, tapi kalau biaya perjalanan, biaya seminar, ongkos penginapan, ongkos pemeliharaan atau service kenderaan dan lain-lain yang dikeluarkan lebih dahulu oleh organ yayasan dapat diminta ganti rugi kepada yayasan. Pastilah akan banyak pos-pos pengeluaran di bidang ini kalau mau mengamati laporan keuangan yayasan.

Menurut Pasal 9 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 28 tahun 2004 tentang Yayasan. Yayasan dapat didirikan oleh satu orang atau


(44)

lebih dengan memisahkan sebahagian harta kekayaannya sebagai kekayaan awal yayasan, dilakukan dengan akta notaris dan dibuat dalam bahasa Indonesia. Disamping oleh orang yang masih hidup, maka yayasan dapat pula didirikan dengan suatu wasiat. Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, disebutkan bahwa penerima wasiat mewakili pemberi wasiat, permasalahan yang utama adalah dapatkah orang yang telah meninggal dunia menjadi subjek hukum.

Kalau penerima warisan itu sudah pasti jelas, namun penerima wasiat adalah hal pendirian yayasan sangat kabur. Seharusnya dipakai kata-kata pelaksana wasiat dengan bantuan ahli waris pemberi wasiat wajib melaksanakan ketentuan dalam wasiat, disini yang menjadi subjek hukum adalah boedel harta peninggalan pewaris bukan pewaris.

Kekeliruan ini rupanya disadari oleh pemerintah sehingga dikoreksi dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 Pasal 8 memuat materi bahwa wasiat tersebut harus dengan wasiat terbuka yaitu wasiat yang dibuat dihadapan notaris sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.43

Kata terbuka ini menutup kemungkinan bagi pendirian yayasan yang dilakukan dengan menggunakan surat wasiat olograpis, wasiat rahasia atau tertutup, jadi maksud pemerintah tegas bahwa pendirian yayasan hanya dimungkinkan dengan surat wasiat dalam bentuk akta umum.

43


(45)

Pendirian yayasan oleh orang asing, pengertian orang disini adalah orang perorangan dan/atau badan hokum baik nasional maupun asing sesuai dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan. Pendirian yayasan oleh orang asing diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal 14 dan Peraturan Keimigrasiaan serta Peraturan Ketenagakerjaan atau Penjelasan Pasal 10 Peraturan Pemerintah. Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh yayasan yang didirikan oleh orang asing, yayasan yang mengandung unsur asing. Orang asing/pendiri memisahkan minimal senilai Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) untuk modal awal yayasan. Dimana modal awal itu dinyatakan harta kekayaan tersebut berasal dari harta yang sah. Menyatakan bahwa kegiatan yayasan tidak merugikan masyarakat, Bangsa dan Negara Indonesia. Salah seorang pengurus yayasan wajib dijabat oleh orang Indonesia. Anggota pengurus wajib bertempat tinggal di Indonesia.44

Anggota pengurus asing wajib sebagai pemegang izin melakukan kegiatan atau usaha di wilayah Republik Indonesia atau izin kerja, izin melakukan penelitian, izin belajar, izin melakukan kegiatan keagamaan, izin usaha sesuai Undang-Undang Penanaman Modal sesuai dengan Penjelasan Pasal 12 Peraturan Pemerintah dan juga pemegang kartu izin tinggal sementara.

Anggota Pembina atau Pengawas asing jika bertempat tinggal di Indonesia wajib sebagai pemegang izin melakukan kegiatan atau usaha di wilayah Republik

44

Agus Suyanto, Prosedur Pendirian Yayasan Bagi Orang Asing, CV. Setia, Jakarta, 2007, hal. 8.


(46)

Indonesia dan juga pemegang kartu izin tinggal sementara khusus bagi pejabat korps diplomatic atau suami, istri dan anak-anaknya tidak wajib sebagai pemegang izin melakukan kegiatan atau usaha di wilayah Republik Indonesia dan juga pemegang kartu izin tinggal sementara.

Bandingkan dengan ketentuan yang mengatur tentang cara beroperasinya yayasan asing dimana hal ini sangat berbeda dengan yayasan yang mengandung unsur asing dalam Pasal 26 Peraturan Pemerintah. Peraturan ini sangat bias, karena mengatur yayasan asing atau yayasan yang didirikan menurut hukum asing tidak diperbolehkan melakukan kegiatan dibidang pengembangan dan penelitian sesuai dengan Pasal 26 Peraturan Pemerintah, sebaliknya yayasan yang mengandung unsur asing dimana yayasan yang didirikan menurut hukum Indonesia yang memprioritaskan anggota Korps Diplomatic sebagai pendiri, Pembina, Pengurus atau Pengawas dari yayasan yang mengandung unsur asing dan diperbolehkan melakukan semua kegiatan sesuai maksud dan tujuan yayasan termasuk di bidang pengembangan dan penelitian.45

Dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 ditentukan bahwa minimal kekayaan awal dari yayasan yang harus disediakan oleh pendiri yayasan adalah sebagai berikut, jika yayasan didirikan oleh orang Indonesia dimana perorangan atau badan hukum maka harus dipisahkan dari harta kekayaan pribadi pendiri sebesar Rp. 10.000.000,-, jika yayasan didirikan oleh orang asing atau orang

45


(47)

asing bersama dengan orang Indonesia, maka harus dipisahkan dari harta kekayaan pribadi pendiri sebesar Rp. 100.000.000,-

Menurut Agus Suyanto:

Permasalahan hukum yang timbul disini adalah penyebutan status yayasan, ada yayasan nasional, ada yayasan yang mengandung unsur asing dan yayasan asing. Perlu ditelaah lebih lanjut perbedaan antara yayasan yang mengandung unsur asing yang didirikan menurut hukum Indonesia dengan yayasan asing yang didirikan menurut hukum asing. Yayasan asing dalam melaksanakan kegiatan operasionalnya wajib bermitra dengan yayasan yang didirikan oleh orang Indonesia sesuai dengan yayasan nasional dan Pasal 26 Peraturan Pemerintah, sedangkan yayasan yang mengandung unsur asing tidak perlu bermitra dengan yayasan nasional dan berhak melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan.46

Status badan hukum yayasan diperoleh sejak tanggal pengesahan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia sesuai dengan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan sedangkan prosedurnya diuraikan dalam Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 yaitu dalam jangka waktu maksimal 10 hari sejak tanggal akta pendirian, pendiri atau kuasanya melalui notaris yang membuat akta pendirian yayasan mengajukan permohonan tertulis dilampiri dengan salinan akta pendirian yayasan, foto copi NPWP yayasan yang dilegalisir notaries, surat pernyataan kedudukan disertai alamat lengkap yayasan ditanda tangani pengurus diketahui oleh Lurah atau Kepala Desa, bukti penyetoran atau keterangan bank atas nama yayasan atau pernyataan tertulis dari pendiri yang memuat keterangan nilai kekayaan yayasan yang dipisahkan sebagai kekayaan awal untuk mendirikan yayasan, surat pernyataan pendiri mengenai

46


(48)

keabsahan kekayaan awal tersbut, bukti penyetoran biaya pengesahan dan pengumunan yayasan.

Prosedur mana lebih lengkap daripada yang disyaratkan dalam surat edaran Dirjen Administrasi Hukum Umum Nomor C-HT.01.10-21 tanggal 4 Nopember 2002 Jo Surat Nomor C-HT.01.10-07 Tanggal 5 Mei 2003 perihal Pengesahan dan Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar Yayasan. Jadi secara praktis sebaiknya dilengkapi semuanya termasuk biaya Penghasilan Negara bukan Pajak atau PNBP dan Biaya Pengumuman Berita Negara Republik Indonesia..

Mengenai Anggaran Dasar Yayasan yang perlu diperhatikan adalah baik pendirian yayasan maupun perubahan anggaran dasar yayasan harus menggunakan akta otentik dan dibuat dalam Bahasa Indonesia sesuai dengan Pasal 9 Jo Pasal 18 ayat 3 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.

Perubahan substansi anggaran dasar dapat dikategorikan menjadi 3 kategori, hal yang tidak boleh dirubah, hal yang boleh dirubah dengan mendapat persetujuan Menteri dan hal yang boleh dirubah cukup diberitahukan kepada Menteri. Sedangkan perubahan data yayasan cukup diberitahukan kepada Menteri sesuai dengan Pasal 19 Peraturan Pemerintah.

Hal yang tidak boleh dirubah dari substansi anggaran dasar yayasan adalah perubahan maksud dan tujuan yayasan. Hal yang boleh dirubah dengan persetujuan menteri adalah perubahan nama dan kegiatan yayasan. Hal yang boleh dirubah cukup diberitahukan kepada Menteri adalah substansi anggaran dasar selain yang disebutkan diatas termasuk perubahan tempat kedudukan yayasan. Sesuai dengan dengan Pasal 18 ayat 1 dan 3.


(49)

Perubahan susunan Pengurus, Pembina, Pengawas dan perubahan alamat lengkap yayasan adalah termasuk perbuatan hukum yang tidak merubah Anggaran Dasar Yayasan namun dikategorikan sebagai perubahan data sesuai dengan Pasal 19 Peraturan Pemerintah dan Penjelasannya.

Hati-hati disini karena perubahan tempat kedudukan dan perubahan alamat lengkap yayasan adalah perbuatan hukum yang berbeda. Yang menjadi permasalahan hukum adalah penentuan waktu efektif berlakunya perubahan-perubahan tersebut.

Perubahan anggaran dasar yang membutuhkan persetujuan menteri secara tegas ditetapkan berlaku sejak tanggal persetujuan Menteri tidak ditetapkan efektif berlakunya, sebaliknya dalam Pasal 19 ditetapkan perubahan data yayasan efektif berlaku sejak tanggal perubahan tersebut dicatat dalam data yayasan.

Lebih lanjut Agus Suyanto menyatakan:

Pembuat Peraturan Pemerintah telah melakukan kekeliruan yang fatal, jika penetapan waktu efektifitas berlakunya perubahan anggaran dasar ditetapkan sejak pencatatan dalam data yayasan maka tidak ada masalah, namun ketentuan tentang efektifitas berlakunya perubahan data yayasan ditetapkan berdasarkan tanggal pencatatan adalah bertentangan dengan Pasal 33 Jo Pasal 45 atau Point 9 dan Point 14 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2008 yang menentukan bahwa perubahan data tersebut wajib disampaikan oleh pengurus yang menggantikan pengurus lama, padahal Pasal 19 Peraturan Pemerintah efektifitas penggantian tersebut atau data perubahan terhitung sejak dicatatkan dalam data yayasan, jadi bukan berlaku sejak ditutupnya rapat Pembina yang merubah susunan pengurus dan/atau pengawas sejak ditutupnya rapat pengurus yang menetapkan perubahan alamat yayasan atau dalam satu kelurahan. Ironis memang dimana Peraturan Pemerintah diadakan dengan maksud untuk lebih menjamin kepastian hukum namun substansinya justru menimbulkan ketidak pastian hukum. Langkah hukum yudicial review sebaiknya perlu segera ditempuh oleh para praktisi hukum untuk meniadakan ketidak pastian tersebut.47

47


(50)

Permasalahan hukum yang paling penting adalah keberadaan Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 sebagai aturan yang memaksa apabila yayasan yang diakui sebagai badan hukum nemun tidak menyesuaikan anggaran dasarnya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2001 Jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan sampai dengan selambat-lambatnya tanggal 6 Oktober 2008, maka yayasan tersebut yang mempunyai kesamaan kegiatan dengan yayasan yang dibubarkan. Padahal dalam Pasal 71 ayat 4 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Jo Pasal 20 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentan Yayasan hanya menegaskan bahwa terhadap yayasan tersebut tidak dapat menggunakan kata “Yayasan” di depan namanya dan dapat dibubarkan dengan putusan pengadilan atas permohonan Kejaksaan atau pihak yang berkepentingan. Jelas Peraturan Pemerintah telah melampaui pengaturan yang diatur dalam Undang-Undang. Dengan adanya norma “harus melikuidasi kekayaannya” ini berarti semua yayasan yang sudah berbadan hukum yang belum menyesuaikan diri dengan Undang-Undang tentang yayasan wajib membubarkan diri.

Jika analisa di atas, diterima maka terjadilah permasalahan hukum, yaitu apabila dibandingkan ketentuan tersebut dengan ketentuan dalam Pasal 36 Peraturan Pemerintah mengenai yayasan yang tidak diakui sebagai badan hukum; terhadap yayasan ini tidak perlu dibubarkan cukup dimintakan permohonan pengesahan ke Menteri dan terhadap seluruh tindakan yayasan tetap diakui sebagai perbuatan hukum yang sah dimana hal ini hanya saja menjadi tanggung jawab pribadi secara tanggung jawab renteng dari anggota organ yayasan, Pasal 36 ayat 3 Peraturan Pemerintah.48

48


(51)

Sebaiknya redaksi Pasal 36 ayat 2 diubah menjadi: “Didalam premise akta perubahan anggaran dasar disebutkan asal usul pendirian yayasan …dst”. Argumentasinya : tidak mungkin di dalam akta pendirian ditambahkan premise seperti yang disyaratkan kecuali dengan mengadakan perubahan terhadap akta tersebut.49

Dalam premise akta ditegaskan pula bahwa perbuatan hukum yang dilakukan oleh organ yayasan sebelum di sahkannya yayasan sebagai badan hukum, terhitung sejak disahkannya yayasan sebagai badan hukum, segala hak dan kewajiban yang timbul diambil alih dan oleh karena itu menjadi hak dan kewajiban yayasan, hal ini mengadopsi ketentuan dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Karena dalam Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tidak disebutkan peralihan hak dan kewajiban atas suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh organ yayasan sebelum yayasan disahkan sebagai badan hukum, maka itu hal paling tepat disebutkan dalam akta perubahan anggaran dasar yayasan.

B. Eksistensi Yayasan Sebagai Badan Hukum Sosial

Setelah 56 tahun Indonesia Merdeka, tepatnya 6 Agustus 2001, barulah dapat dibuat Undang-Undang yang mengatur mengenai yayasan yaitu Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan dimuat dalam Lembaran Negara Nomor 112 Tahun 2001 dan Tambahan Lembaran Negara 4132. Itu pun baru diberlakukan tanggal 6 Agustus 2002 Juncto Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan. Sebelumnya, tidak ada satu pun peraturan perundang-undangan yang

49


(52)

mengatur secara khusus tentang yayasan di Indonesia. Namun demikian, tidaklah berarti bahwa di Indonesia sama sekali tidak ada ketentuan yang mengatur tentang yayasan. Secara sporadik dalam beberapa peraturan perundang-undangan seperti KUH Perdata, Rv, Undang-undang kepailitan atau faillissements verordening, undang-undang perpajakan, perundang-undangan agraria, telah tersebar beberapa ketentuan yang menyinggung tentang yayasan. 50

Ketentuan perundang-undangan yang ada pada waktu itu, tidak satu pun yang memberikan rumusan mengenai defenisi yayasan, serta cara mendirikan yayasan. Berbeda halnya dengan di Belanda, yang secara tegas di dalam undang-undangnya menyebutkan bahwa yayasan adalah badan hukum.

Walaupun tidak disebutkan secara tegas, yayasan di Indonesia telah diakui pula sebagai badan hukum. Pengakuan sebagai badan hukum didasarkan pada kebiasaan dan yurisprudensi. Untuk diakui sebagai badan hukum, yayasan hanya perlu memenuhi syarat tertentu, yaitu:

1. Syarat materil yang terdiri dari harus ada suatu pemisahan harta kekayaan, adanya suatu tujuan dan mempunyai organisasi.

2. Syarat formil yaitu harus dengan akta otentik.

Di dalam praktik hukum yang berlaku di Indonesia, pada umumnya yayasan didirikan dengan akta notaris. Akta notaris ini ada yang didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Berita Negara dan ada pula yang tidak didaftarkan di Pengadilan Negeri, dan tidak pula diumumkan dalam Berita Negara. Hal ini

50


(53)

dikarenakan tidak ada ketentuan yang mengaturnya sehingga masih bebas bentuk. Dengan demikian, yayasan dapat pula didirikan dengan akta dibawah tangan.51

Setelah keluarnya undang-undang yayasan, secara otomatis penentuan status badan hukum yayasan harus mengikuti ketentuan yang ada didalam Undang-Undang Yayasan tersebut. Dalam Undang-Undang Yayasan disebutkan bahwa yayasan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian memperoleh Pengesahan dari Menteri.

Dari ketentuan Undang-Undang yayasan dapat disimpulkan bahwa ada beberapa syarat pendirian yaitu;

1. Didirikan oleh 1 (satu) orang atau lebih.

2. Ada kekayaan yang dipisahkan dari kekayaan pendirinya.

3. Harus dilakukan dengan akta notaris dan dibuat dalam Bahasa Indonesia. 4. Harus memperoleh Pengesahan Menteri.

5. Diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia.

6. Tidak boleh memakai nama yang telah dipakai secara sah oleh yayasan lain, atau bertentangan dengan ketertiban umum dan/atau kesusilaan. 7. Nama yayasan harus didahului dengan kata yayasan.52

Dari ketentuan Pasal 71 Undang-Undang Yayasan dapat disimpulkan bahwa yayasan yang telah ada sebelum berlakunya undang-undang yayasan tetap diakui sebagai badan hukum, asal saja memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Yayasan. Persyaratan yang dimaksud, antara lain yayasan tersebut telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia atau didaftarkan di Pengadilan Negeri dan mempunyai izin operasi dari instansi terkait.

51

Ibid., hal. 3.

52


(54)

Ketentuan ini belum menuntaskan permasalahan, sebab di satu sisi yayasan yang ada selama ini sebagian besar tidak terdaftar di Pengadilan Negeri. Di sisi lain, pengaturan lebih lanjut mengenai penyelesaian yayasan yang tidak terdaftar, tidak ditemukan di dalam pasal serta penjelasan undang-undang yayasan tersebut sehingga masih dipersoalkan tentang eksistensi yayasan yang tidak terdaftar tersebut.

Jika hanya dilihat dari bunyi ketentuan Undang-Undang Yayasan, dapat disimpulkan bahwa yayasan yang tidak terdaftar di Pengadilan Negeri, tidak tercakup dalam ketentuan tersebut sehingga sulit untuk mencarikan jalan keluarnya. Dengan kata lain, yayasan tersebut tidak diakui sebagai badan hukum, dan juga tidak disediakan sarana penyelesaiannya. Untuk mencapai tujuan hukum perlu dicari jalan keluar agar kepastian, keadilan dan kemanfaatannya dapat tercapai.

Jalan keluar yang dapat ditempuh di antaranya, sebagaimana yang dikemukakan Sugiono berikut ini:

Sebenarnya ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan persoalan ini, antara lain dengan mengambil perbandingan dengan Negara lain. Seperti halnya di Belanda, ketika Undang-Undang yayasan atau stichting wet diberlakukan, maka yayasan-yayasan yang telah ada sebelum mulai berlakunya stichting wet tetap diakui. Hanya saja persyaratannya harus mengadakan penyesuaian dengan Undang-Undang tersebut, antara lain untuk menyusun kembali anggaran dasarnya dalam suatu akta otentik atau akta notaries, dengan tetap mempertahankan sebagai badan hukum.53

Selain cara yang dilakukan di Belanda, sebenarnya dapat juga dilakukan dengan mengambil model di Amerika dan Inggris. Di kedua Negara tersebut, bagi organisasi nonprofit yang tidak memenuhi syarat sebagaimana yang dientukan di

53


(1)

Berdasarkan pada penelitian dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya maka diperoleh kesimpulan dan saran dalam penelitian sebagai berikut:

A. Kesimpulan

1. Subjek pajak menurut Perda Kabupaten Deli Serdang No. 26 Tahun 2000 adalah bukan Yayasan Pengelola Kuburan. Yayasan dapat ditunjuk sebagai badan pemungut pajak luas dan kemewahan/penghiasan kuburan karena adanya kesepakatan antara Pengelola dengan Pemkab Deli Serdang. Akan tetapi akibat naiknya tentang target pajak, sebagai pemungut seolah-olah menjadi kewajiban Yayasan untuk memenuhi target pajak luas dan kemewahan/penghiasan kuburan tersebut.

2. Kendala yayasan pengelola tanah pekuburan dalam pembayaran pajak sesuai Perda No. 26 Tahun 2000 di Kabupaten Deli Serdang adalah disebabkan yayasan kesulitan menghubungi para ahli waris dari kuburan-kuburan yang telah berusia lama dan tidak diketahui lagi ahli warisnya, dan ahli waris yang masih ada banyak berdomisili di luar daerah Deli Serdang. Selain itu, banyak para ahli waris yang berasal dari keluarga yang tidak mampu, yang mana kuburan tersebut merupakan sumbangan dari pihak-pihak lain dalam prosesnya.

3. Upaya yang dilakukan Yayasan Pengelola Tanah Pekuburan dalam membayar Pajak berdasarkan Perda No.26 Tahun 2000 di Kabupaten Deli Serdang adalah melakukan kesepakatan bersama dengan pihak Pemerintah Daerah untuk


(2)

membayar pajak sesuai dengan tingkat ekonomi ahli waris. Selain itu melakukan upaya hukum ke Mahkamah Agung untuk judicial review terhadap Perda tersebut.

B. Saran

1. Diharapkan kepada Pemerintah Kabupaten Deli Serdang dalam membuat Peraturan Daerah dapat meningkatkan frekuensi dalam melakukan public hearing dengan para pengurus yayasan, tokoh-tokoh masyarakat, ahli-ahli agama dalam rangka menggali nilai-nilai/norma yang hidup dan berkembang pada masyarakat yang berada di daerah tersebut, sehingga produk Peraturan Daerah yang dihasilkan dapat mengakomodir kepentingan masyarakat yang ada di Kabupaten Deli Serdang, mengingat masyarakat yang ada di Kabupaten Deli Serdang adalah masyarakat yang pluraristik.

2. Diharapkan kepada Pemerintah Kabupaten Deli Serdang agar dalam pemungutan pajak luas dan kemewahan/penghiasan kuburan dapat dilakukan secara ekspansi dan tidak hanya dilakukan scara intensif agar target pajak tersebut dapat terpenuhi.

3. Diharapkan kepada Yayasan Pengelola Kuburan di Kabupaten Deli Serdang untuk mengatasi kesulitan tentang keberadaan ahli waris mengenai kewajiban wajib pajak tersebut maka untuk ke depan dapat mendata setiap keluarga atau ahli waris setiap masyarakat Tionghoa yang dikubur di tanah yayasan tersebut secara berkelanjutan.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku:

Bohari, Pengantar Perpajakan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985.

Borahima, Anwar, Eksistensi Yayasan di Indonesia, Swara Bangsa, Jakarta, 2007. ________, Problematika Pendirian Yayasan di Indonesia, Fakultas Hukum

Universitas Hasanuddin, Makassar, 2005.

Brotodiharjo, R. Santoso, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Djambatan, Jakarta, 2002. Ginting, Tengteng, Sejarah Kersidenan Sumatera Timur, Bina Insani, Medan, 1973. Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005. Harahap, Usman, Perjalanan Pemerintahan Kabupaten Deli Serdang, Biro Humas

LPMNN, Medan, 2007.

Ismawan, Indra, Memahami Reformasi Perpajakan 2000, Media Komputindo, Jakarta, 2001.

Koentjoroningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Edisi ketiga, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997.

Kurniawi, Yani, Mahalnya Mati di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Kwong, Edmond, Pentingnya Tanah Pemakaman di Ibukota, Taman Kenangan

Lestari, Jakarta, 2003.

Mardiasmo, Perpajakan, Edisi Revisi, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2006.

Marsugindo, Sugondo, Asas Pemungutan Pajak di Indonesia, FE Undip, Semarang, 2005.

Patrick, Jusuf, Pengaturan Yayasan di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008, Wawasan, Jakarta, 2007.

Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1976.


(4)

Prayitno, Erman, Pelayanan Pemakanan di DKI Jakarta Raya, Opini, Jakarta, 12 Juli 2007.

Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.

Rasjidi, Lili, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004.

Rubianto, Pemekaran Kabupaten Deli Serdang, LP3S, Medan, 2008.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995.

Soekanto, Soerjono, Penegakan Hukum, Bina Cipta, Jakarta, 1983. _______, Pengantar Penelitian Hukum, UI Perss, Jakarta, 1986. _______, Pokok-Pokok Sosiologi, LP3S, Jakarta, edisi tiga, 1986.

Soemitro, Rochmat, Pajak dan Pembangunan, Eresco, Bandung-Jakarta, 1974.

Sudibyo, Bambang, Sejarah Pajak Sebagai Pemasukan Negara, Bina Insani, Jakarta, 2005.

Sugiono, Proses Pendirian Yayasan di Indonesia, Bina Insani, Yakarta, 2008. Suprianoto, Penetapan Pajak, Djambatan, Jakarta, 2002.

Susillo, Tarman, Pentingnya Pajak Untuk Pembangunan, Bina Media, Jakarta, 2005. Suwiryo, Sugondo Marto, Mahalna Mati di Ibukota, Opini, Jakarta, 2005.

Suyanto, Agus, Prosedur Pendirian Yayasan Bagi Orang Asing, CV. Setia, Jakarta, 2007.

Tamatjita, Sumadi, Perjalanan Pemerintahan Kabupaten Deli Serdang, Sinar Mulia, Medan, 2005.

Wantjik, K., Perkembangan Perundang-Undangan (1966-1973), Pustaka Bangsa, Jakarta, 1975.

Widjaja, I.G. Rai, Penetapan Pajak di Indonesia, Dajambatan, Jakarta, 2005.

Wigjosoebroto, Sutandyo, Apakah Sesungguhnya Penelitian Itu, Kertas Kerja, Universitas Erlangga, Surabaya.


(5)

B. Artikel, Makalah dan Karya Ilmiah

“Antara Ceng Beng dan Jiarah Pekuburan Cina”, Harian Analisa, tanggal 12 Juli 2002.

“Ketika Kerawang Menjadi Lokasi Pekuburan Favorit”, Media Indonesia, 12 Agustus 2003.

“Ketika Undang-Undang Yayasan Menuai Konflik”, Kompas, tanggal 23 April 2002. “Lippo Karawaci Bangun Pekuburan Mewah”, Kompas, 23 Agustus 2003.

”Pekuburan Mewah Laku Keras”, Kompas,, tanggal 26 Agustus 2005. ”Peluang Bisnis Kuburan”, Harian Media Indonesia, 2 September 2003.

”Peraturan Daerah Kuburan di Deli Serdang Diskriminatif”, Harian Analisa, tanggal 3 Juli 2008.

”Perda Pajak Di Deli Serdang Menuai Protes”, Harian Analisa, Edisi Hari Rabu, Tanggal 23 September 2005.

”Problematika Yayasan Tionghoa di Kalimantan Barat”, Media Indonesia, tanggal 6 April 2002.

”Target Penerimaan Pajak di Indonesia”, Media Indonesia, tanggal 28 April 2001. Harian Medan Pos, Hari Seni, tanggal 21 Maret 2005.

Harian Waspada, Hari Rabu, tanggal 17 Maret 2005. C. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.

Undang Nomor 16 tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan.

Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.


(6)

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penghasilan Pajak dengan Surat Paksa.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Peralihan Hak Atas Tanah dan Bangunan.

Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Undang-Uindang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Bea dan Materai.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak Sebagai Pengganti Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.

Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Peraturan Daerah Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pajak Luas dan Kemewahan/ Penghiasan Kuburan