Renovasi Bagas Godang dan Sopo Godang Menurut Pewaris dan Masyarakat

(1)

RENOVASI BAGAS GODANG DAN SOPO GODANG

MENURUT PEWARIS DAN MASYARAKAT

Studi Kasus Pada Bagas Godang dan Sopo Godang Di Pidoli Dolok

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Dan Memenuhi Persyaratan Ujian Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial

Oleh :

IMAN SULAIMAN

020905008

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

2 0 0 8


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh Nama : Iman Sulaiman

NIM : 020905008 Departemen : Antropologi

Judul : Renovasi Bagas Godang dan Sopo Godang Menurut Pewaris dan Masyarakat

Pembimbing Skripsi Ketua Departemen

( Drs. Agustrisno, M.Sp ) ( Drs. Zulkifli Lubis, MA ) Nip. 131 659 306 Nip.131 882 275

Dekan Fisip USU

( Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA ) Nip. 131 757 010


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya kepada penulis. Karena dengan rahmat dan karunia-Nyalah penulis dapat menyelesaikan tulisan ini. Adapun skripsi ini disusun sebagai tugas akhir guna memenuhi syarat untuk memperoleh gelar sarjana Antropologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Sumatera Utara.

Judul Skripsi ini adalah “Renovasi Bagas Godang dan Sopo Godang Menururt Pewaris dan Masyarakat”. Penelitian ini dilakukan di desa Pidoli Dolok, Penyabungan.

Selanjutnya penulis menyadari bahwa tulisan ini tidak akan dapat diselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tulisan ini. Rasa terimakasih sedalam-dalamnya penulis sembahkan kepada kedua orang tua penulis, yaitu kepada Alm. Ayahanda Ir. H. Sumarli dan kepada Ibunda Hj. Suparmi yang selalu memberikan kasih sayangnya kepada penulis. Dan beserta dukungan dari kakanda Ir. H. Sri Utami, MP dan keluarga, kakanda Irwani Wisudewi, SS, SPd dan keluarga, abangda Tri Harto Gunawan, SE, MM dan keluarga, abangda Ir. H. Budi Budoyo dan keluarga, yang mendorong semangat dan inspirasi dari awal kuliah hingga tugas akhir ini telah selesai.

Kepada keluarga dan saudara-saudara penulis, penulis ucapkan banyak terimakasih. Karena berkat dorongan dan bantuan moril dan materil yang diberikan maka penulis dapat menyelesaikan penulisan ini.


(4)

Kemudian penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan sedalam- dalamnya kepada yang terhormat :

1. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Zulkifli Lubis, M.A, selaku Ketua Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. Agustrisno, M.Sp, Selaku Dosen Penasehat Akademik sekaligus dosen pembimbing skripsi penulis.

4. Bapak dan Ibu staf pengajar di Departemen Antropologi dan staf pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

5. Kepada Yulita Suyatmika, SE. yang selalu setia memberikan bantuan dan dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan tulisan ini.

6. Kepada rekan-rekan yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tulisan ini. Seperti :Hovni Dede Sihombing, S.Sos, Aulia Kemala Sari, S.Sos, Indra Suryadarma, Sri Yulianingsih, Fery Purba, ST, Lerry Fernando, ST, rekan-rekan Vector-Net dan rekan-rekan Dream-Net 7. Serta seluruh kerabat Antropologi FISIP USU, dan kerabat-kerabat

Antropologi 2002 yang selalu memberikan inspirasi dan semangat kepada penulis serta yang lainnya yang tidak bisa saya sebutkan semuanya.

Medan, September 2008


(5)

DAFTAR ISI

Bab I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang……….………1

1.2Ruang Lingkup Penelitian………...10

1.3Lokasi Penelitian………10

1.4Tujuan dan Manfaat Penelitian………...11

1.5Tinjauan Pustaka ………12

1.6Metode Penelitian ………..….16

1.6.1 Tipe Penelitian…………..……….16

1.6.2 Teknik Pengumpulan data . ……….………….16

1.6.3 Analisa Data ………..………..…………....18

Bab II Gambaran Umum lokasi penelitian………..………19

2.1. Sejarah ………...……….……….19

2.1.1. Sejarah Mandailing ……….………...19

2.1.2 Sejarah Panyabungan ………..………….…………..….26

2. 2. Letak dan Kondisi Geografis ………...………...27

2.2.1. Letak dan Batas- batas Mandailing ……...………..………. .27

2.2.2. Letak dan Batas- batas Penyabungan ……..…….…..………29

2. 3 Kondisi Demografi ……….………..29


(6)

2.3.2. Agama dan Etnisitas ………...……….30

2. 4. Keterjangkauaan ………..… ………..30

2.4.1. Sarana Jalan dan Prasarana Transportasi ………..30

2.5. Potensi Ekonomi………..31

2.5.1. Kekayaan Alam ………31

2.5.2. Mata Pencaharian ……….32

Bab III Bangunan Adat Daerah Mandailing ………...37

3.1 Lokasi Penyebaran Rumah Adat Mandaling, Bagas Godang dan Sopo Godang……….37

3.2 Fungsi Bagas Godang dan Sopo Godang ………39

3.3 Bagas Godang dan Sopo Godang di Pidoli Dolok ………..41

Bab IV Renovasi Bagas Godang dan Sopo Godang di Pidoli Dolok ………46

4.1 Perubahan Pada Renovasi Bagas Godang …………..……….46

4.1.1 Bahan Atap ………...46

4.1.2 Bentuk Tiang ………47

4.1.3 Dasar Tiang ……….………..47

4.1.4 Bentuk Ruangan Dalam Bangunan ………..……….47

4.1.5 Isi Ruangan Utama ………...48

4.1.6 Bentuk Dinding Teras Depan ...………...48


(7)

4.2 Perubahan Pada Renovasi Sopo Godang……….………....50

4.2.1 Bahan Atap ………...………...50

4.2.2 Tiang penyangga tengah ………..50

4.2.3 Dasar Tiang ………..51

4.2.4 Bentuk Tiang ………51

4.2.5 Dinding Pada Sekitar Ruang ………51

4.3 Nilai- Nilai Yang Diubah Pada Renovasi Bagas Godang …………...52

4.4 Nilai- Nilai Yang Diubah Pada Renovasi Sopo Godang ……….53

4.5 Bagian Yang Dipertahankan Pada Renovasi Bagas Godang ………...54

4.5.1 Bentuk Atap ………..54

4.5.2 Rumah Panggung ………..54

4.5.3 Jumlah Anak Tangga ………55

4.5.4 Tiang Penyangga Berjumlah Ganjil ………..56

4.5.5 Bahan Tiang yang Dibuat dari Kayu ………....56

4.5.6 Bahan Dasar Dinding rumah ……….56

4.5.7 Pewarnaan ……….56

4.5.8 Halaman Yang Luas ……….57

4.5.9 Letak Bangunan ………...57

4.5.10 Ornamen Pada bagian Atap ………57

4.6 Bagian Yang Dipertahankan Pada Renovasi Sopo Godang………….66

4.6.1 Bentuk Atap ………….……….66

4.6.2 Jumlah Tiang……….66

4.6.3 Bahan Tiang ……….66


(8)

4.6.5 Jumlah Anak Tangga ………67 4.7 Nilai- Nilai yang Dipertahankan Pada Renovasi Bagas Godang …….67 4.8 Nilai- Nilai Yang Dipertahankan pada renovasi Sopo Godang ……..68

Bab V

Kesimpulan ………...………71


(9)

Abstrak

Salah satu kekayaan budaya masyarakat Mandailing terwujud dalam bentuk seni bangunan. Bangunan tersebut dinamakan Bagas Godang dan Sopo Godang. Keberadaan Bagas Godang dan Sopo Godang pada sebuah desa atau huta yang menandakan bahwa wilayah tersebut telah ada tatanan masyarakat dengan peraturan dan pemerintahannya.

Bagas Godang merupakan sebuah bangunan yang diperuntukan bagi tempat tinggal raja dan keluarganya. Sementara Sopo Godang berfungsi sebagai bangunan yang diperuntukan bagi kegiatan-kegiata pertemuan masyarakat dan kegiatan pertunjukan kesenian.

Dalam hal pembangunannya, Bagas Godang dan Sopo Godang menyertakan persyaratan-persyaratan tertentu. Dan dalam beberapa bagian banguna terkandung nilai-nilai yang tertentu pula. Dimana nilai- nilai ini diperlambangkan dalam bentuk, bahan, maupun rupa bangunan.

Salah satu Bagas Godang dan Sopo Godang yang terdapat wilayah Mandailing adalah Bagas Godang dan Sopo Godang ynag terdapat diPidoli Dolok .Sama seperti Bagas Godang dan Sopo Godang diwilayah lain bangunan ini memiliki fungsi, nilai dan bentuk yang khas.

Sekitar lima belas tahun yang lalu bangunan ini telah mengalami renovasi. Renovasi dimaksudkan agar bangunan terhindar dari kerusakan dan dapat dilestarikan keberadaannya. Namun dalam renovasi tersebut terdapat beberapa bagian yang diubah dan dipertahankan bentuknya seperti sebelum direnovasi. Maka tulisan ini akan mebahas mengenai bagian-bagian apa yang mengalami perubahan serta nilai-nilai yang terkandung dalam perubahan tersebut. Serta membahas bagian-bagian yang dipertahankan beserta nilai-nilai yang terkandung didalamnya.


(10)

Abstrak

Salah satu kekayaan budaya masyarakat Mandailing terwujud dalam bentuk seni bangunan. Bangunan tersebut dinamakan Bagas Godang dan Sopo Godang. Keberadaan Bagas Godang dan Sopo Godang pada sebuah desa atau huta yang menandakan bahwa wilayah tersebut telah ada tatanan masyarakat dengan peraturan dan pemerintahannya.

Bagas Godang merupakan sebuah bangunan yang diperuntukan bagi tempat tinggal raja dan keluarganya. Sementara Sopo Godang berfungsi sebagai bangunan yang diperuntukan bagi kegiatan-kegiata pertemuan masyarakat dan kegiatan pertunjukan kesenian.

Dalam hal pembangunannya, Bagas Godang dan Sopo Godang menyertakan persyaratan-persyaratan tertentu. Dan dalam beberapa bagian banguna terkandung nilai-nilai yang tertentu pula. Dimana nilai- nilai ini diperlambangkan dalam bentuk, bahan, maupun rupa bangunan.

Salah satu Bagas Godang dan Sopo Godang yang terdapat wilayah Mandailing adalah Bagas Godang dan Sopo Godang ynag terdapat diPidoli Dolok .Sama seperti Bagas Godang dan Sopo Godang diwilayah lain bangunan ini memiliki fungsi, nilai dan bentuk yang khas.

Sekitar lima belas tahun yang lalu bangunan ini telah mengalami renovasi. Renovasi dimaksudkan agar bangunan terhindar dari kerusakan dan dapat dilestarikan keberadaannya. Namun dalam renovasi tersebut terdapat beberapa bagian yang diubah dan dipertahankan bentuknya seperti sebelum direnovasi. Maka tulisan ini akan mebahas mengenai bagian-bagian apa yang mengalami perubahan serta nilai-nilai yang terkandung dalam perubahan tersebut. Serta membahas bagian-bagian yang dipertahankan beserta nilai-nilai yang terkandung didalamnya.


(11)

BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang

Indonesia adalah salah satu negara kepulauan yang memiliki berbagai budaya yang dilatarbelakangi suku dari berbagai daerah masing-masing. Masing-masing budaya memiliki ciri khas berdasarkan daerah yang disesuaikan dengan daerah dan kondisi masyarakat yang ada di daerah tersebut. Budaya yang ada tersebut masih bersifat tradisional dan ada yang masih primitif. Budaya yang ada itulah yang mengatur kehidupan manusia yang ada dalam masyarakatnya.

Manusia dalam hidupnya, berupaya untuk menciptakan lingkungan yang utuh, dengan tujuan agar dirinya dapat menampung semua kebutuhannya, baik kebutuhan sebagai tempat tinggalnya, untuk tempat berusaha, ataupun untuk melaksanakan kegiatan aktivitas sosial budayanya (Budiharjo, 1997:3). Segala upaya yang dilakukan manusia dalam mempertahankan hidupnya diwujudkan dalam berbagai hasil karya cipta manusia itu sendiri. Salah satu wujud dari hasil karya manusia tersebut bisa dilihat dari bangunan adat yang dilengkapi dengan ornamen-ornamennya. Bangunan tersebut biasanya bercirikan budaya yang ada pada suatu suku bangsa. Setiap budaya memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda satu dengan yang lainnya.

Keanekaragaman budaya Indonesia yang tersebar luas di beberapa daerah kepulauan Nusantara ini memiliki nilai-nilai estetis yang tinggi, terutama dilihat dan diukur dari kadar nilai seninya. Seni bangunan, seni tari, seni kerajinan, seni pahat, seni ukir, seni hias atau seni ornamen, dan lain sebagainya, merupakan


(12)

jenis-jenis ragam budaya yang dimiliki daerah-daerah setempat yang berciri tradisional. Bahkan seni sastra daerah terus menerus dipelihara dan dijaga kelestariannya, dalam bentuk ungkapan cerita atau dongeng yang selalu hidup terus di kalangan masyarakat. Banyak ragam seni tersebut yang masih terpelihara sampai sekarang, misalnya sastra daerah, nyanyian, puisi maupun seni tari dan seni ukir yang di dalamnya tersimpan berbagai makna dari falsafah hidup yang biasa terdapat di ukiran rumah adat dari daerah yang bersangkutan. Budaya yang ada tersebut terus dijaga dan selalu dilakukan berbagai upaya untuk melestarikannya.

Keanekaragaman budaya yang terdapat di Indonesia, memiliki suatu tradisi budaya yang kuat dan berciri khas kedaerahan. Perbedaan tersebut dikarenakan keadaan masyarakat pada sukunya masing-masing yang telah diwariskan secara turun menurun. Salah satu ciri kebudayaan yang ada di suatu daerah dapat dilihat dari bangunan tradisionalnya. Bentuk bangunan tradisional yang merupakan ciri suatu suku akan diungkapkan dalam tulisan ini. Bentuk bangunan yang akan dibahas yaitu bangunan tradisional yang berasal dari suku Mandailing.

Pada saat sekarang ini, masih banyak kita temui bangunan-bangunan tradisional yang masih terpelihara keaslianny. Bangunan tradisional memiliki arti yang sangat penting bagi masyarakatnya. Bangunan tradisioanl erat kaitannya dengan budaya yang ada pada masyarakat yang menggambarkan kehidupan sosial masyarakat di daerah tersebut. Salah satu bangunan tradisional yang masih dijaga kelestariannya adalah bangunan rumah adat atau rumah yang diadatkan.


(13)

Bangunan rumah adat dari daerah Mandailing adalah salah satu contoh karya manusia, yang sangat kaya dengan hiasan simbol-simbol yang berbentuk ragam ornamen. Nilai-nilai simbolis yang ada pada ornamen-ornamen tersebut sangat erat kaitannya dengan kehidupan adat dan kebiasaan budaya dari nenek moyang masyarakat. Keberadaan karya bangunan atau arsitektur tradisional Mandailing menurut para ahli diperkirakan sudah ada sejak abad ke-14.

Seperti yang tercantum dalam satu syair ke-13 Kakawin Negarakertagama

hasil karya Prapanca (1287 Caka/1365 M), yang dikatakan bahwa: “ Daerah-daerah di luar Jawa yang pernah dibawah pengaruh Majapahit pada abad ke-14, diantaranya ada disebutkan kata Mandailing”. Hal ini membuktikan bahwa pada masa itu, peradaban kebudayaan Mandailing sudah berkembang, dikenal, dan tersohor dikalangan penduduk dari daerah lainnya.

Bangunan arsitektur tradisional Mandailing adalah bukti budaya fisik yang memiliki peradaban yang tinggi. Sisa-sisa peninggalan arsitektur tradisional Mandailing masih dapat kita lihat sampai sekarang ini dan merupakan salah satu dari beberapa peninggalan hasil karya arsitektur tradisional bangsa Indonesia yang patut mendapat perhatian dan dipertahankan oleh Pemerintah dan masyarakat baik secara langsung baik tidak langsung.

Secara fisik, bentuk dan struktur bangunan rumah adat Mandailing diduga sangat arif dalam menyikapi situasi dan perilaku alam yang terdapat pada alam sekitarnya. Hiasan yang terdapat pada bangunan rumah tradisional Mandailing mengandung berbagai arti simbolik yang berkaitan dengan kehidupan sosial budaya masyarakat Mandailing. Bangunan tradisional ini merupakan salah satu


(14)

ciri atau identitas masyarakat Mandailing. Kenyataan inilah yang menjadikan bukti bahwa sebuah karya bangunan tradisional Mandailing masih ada sampai sekarang dan terus dipelihara oleh setiap generasinya walaupun beberapa bagian bangunan tradisional tersebut telah mengalami perubahan yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat sekarang ini.

Karya bangunan arsitektur tradisional Mandailing adalah bentuk upaya kreativitas orang-orang Mandailing dalam berinteraksi antara dirinya dengan lingkungan alam atau lingkungan fisiknya. Interaksi antara manusia dengan pengalaman hidupnya sebagai makhluk berbudaya, dan juga interaksi antara eksistensi dirinya bersama dengan yang lain, sebagai makhluk yang hidup bersosial.

Dalam kehidupan sehari-hari sebagai makhluk bersosial, masyarakat Mandailing memiliki garis keturunan yang ditarik dari pihak laki-laki (patrilineal) yang dikenal dengan istilah marga. Ada sembilan marga yang diyakini oleh masyarakat Mandailing. Marga-marga tersebut antara lain adalah marga: Nasution, Hasibuan, Lubis, Pulungan, Rangkuti, Matondang, Daulay, Regar, Harahap, Dalimunte dan lain sebagainya. Masyarakat Mandailing dalam kehidupan sosial juga mengenal adanya lapisan sosial yang terdiri dari tiga tingkatan, masing-masing yang umum disebut : namora-mora (kaum bangsawan), “alak najaji” atau “alak na bahat” (orang kebanyakan), dan “hatoban” (hamba sahaya)1

1 Pandapotan Nasution, H, “ Adat Budaya-Mandailing Dalam Tantangan Zaman “ FORKALA

Prov.Sum.Utara, 2005.


(15)

Rumah adat atau arsitektur bangunan tradisional Mandailing, diantara dikenal dengan sebutan Bagas Godang dan Sopo Godang. Bagas Godang

merupakan rumah besar yang dahulu menjadi tempat tinggal atau tempat peristirahatan para Raja yang dibangun secara bergotong royong oleh masyarakat Mandailing. Bagas Godang biasanya juga dibangun berpasangan dengan sebuah balai sidang adat yang terletak dihadapan atau persisnya bersebelahan dengan rumah Raja. Balai sidang adat tersebut dinamakan Sopo Godang. Bangunan pada

Bagas Godang mempergunakan tiang-tiang besar yang berjumlah ganjil dan anak tangganya juga berjumlah ganjil.

Sopo Godang dibangun tanpa menggunakan dinding atau penutup. Hal ini melambangkan bahwa pemerintahan dalam suatu perkampungan, yang disebut

Huta, adalah pemerintahan yang demokratis. Semua sidang adat dan pemerintahan dapat dilihat secara langsung dan bebas disaksikan dan didengar oleh masyarakat di dalam satu “Huta” (kampung). Sopo Godang digunakan oleh Raja dan tokoh-tokoh Na Mora Na Toras, sebagai wakil rakyat untuk tempat mengambil keputusan-keputusan yang sangat penting dan juga memiliki fungsi menerima tamu-tamu terhormat.

Bagas Godang senantiasa didampingi oleh sebuah Sopo Godang yang posisinya biasanya tepat di depan bangunan Bagas Godang. Pembangunan sebuah

Bagas Godang membutuhkanhalaman yang cukup luas. Halaman Bagas Godang

tersebut dinamakan Alaman Bolak Silangse Utang (halaman luas pelunas hutang) ”semua warga masyarakat yang berada di sekitarnya, jika ingin mencari perlindungan dari ancaman yang membahayakan dirinya boleh mendapat


(16)

keselamatan dalam halaman ini. Menurut adat Mandailing pada saat orang yang sedang dalam bahaya memasuki halaman ini, ia akan dilindungi oleh Raja, dan tidak boleh diganggu-gugat, walaupun orang tersebut bersalah ataupun benar.

Hasil karya arsitektur tradisional Mandailing masih dapat dilihat dari peninggalan rumah-rumah adat berupa Bagas Godang dan Sopo Godang yang tersebar di Kecamatan Penyabungan, Kecamatan Kotanopan dan Kecamatan Muara Sipongi. Rumah-rumah adat ini merupakan peninggalan dari kerajaan-kerajaan yang ber-marga Lubis yang berada didaerah Mandailing Julu (berada pada daerah kawasan Kotanopan), dan kerajaan-kerajaan marga Nasution di daerah Mandailing Godang (berada pada daerah kawasan Penyabungan).

Peninggalan masa kerajaan marga Lubis dapat dijumpai di Singengu, Sayur Maincat, Tambangan, Manambin, Tamiang dan Pakantan yang ditandai dengan masih berdirinya Bagas Godang Raja Panusunan Singengu, Bagas Godang dan Sopo Godang Raja Panusunan Pakantan, Bagas Godang dan Sopo Godang Raja Pamusuk Hutanagodang (wilayah kerajaan Manambin) dan reruntuhan Bagas Godang Raja Panusunan Tamiang, yang dimaksud dengan Raja Panusunan ini merupakan raja tertinggi dari kesatuan beberapa huta, sedangkan Raja Pamusuk merupakan raja yang berada di bawah Raja Ihutan yang memimpin satu huta2

2

Huta merupakan suatu tempat pemukiman masyarakat dalam perkampungan didalam komunitas masyarakat Mandiling.


(17)

Peninggalan masa kerajaan yang bermarga Nasution berada di Panyabungan Tonga yang masih berdiri dan meninggalkan sebuah bangunan

Bagas Godang Raja Panusunan Panyabungan dan Sopo Godangnya. Selain itu juga terdapat beberapa peninggalan rumah untuk tempat tinggal yang berbentuk

Sopo Godang seperti yang terdapat di Hutasiantar, Pidoli Dolok, Panyabungan Tonga, Gunung Baringin, Hutadangka, Tobang, Botung, Husortolang, Muarasoro dan Muara Sipongi.

Bukanlah suatu gejala yang baru apabila kian hari jumlah arsitektur tradisional seperti Bagas Godang maupun Sopo Godang tersebut semakin berkurang. Bangunan arsitektur tradisional tersebut merupakan penjelmaan atau cerminan sosiokultural3

Bangunan arsitektur sekarang tampak lebih beranekaragam dan majemuk. Namun apakah sudah menunjukkan keramahan atau keharmonisan lingkungan fisik maupun sosiokulturalnya, sebagaimana yang sudah dimiliki oleh nenek di jamannya, yang barangkali dirasakan tidak lagi sesuai dengan kondisi dan kenyataan kehidupan yang ada disaat ini. Hal itu dimungkinkan karena posisi geografis maupun terpaan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini sudah demikian berkembang. Ataupun juga disebabkan oleh pengaruh budaya lain yang telah melandanya, sehingga nilai-nilai yang tidak lagi relevan mengalami perubahan, atau dimodifikasi sesuai dengan keadaan sekarang. Benturan nilai budaya inilah yang melatar belakangi bentuk perkembangan dan selera arsitektur yang ada sekarang di daerah Mandailing.


(18)

moyangnya di jaman dahulu. Menurut Bruno Zevi, pembangunan modern yang ada sekarang justru tidak memiliki kepedulian yang semacam itu.4

Gambar 1. Sopo Godang yang menggunakan bahan ijuk enau.

Berdasarkan hasil penelitian awal oleh penulis di daerah Penyabungan dengan menggunakan kamera photo ternyata telah banyak terjadi perubahan. Atap bangunan yang pada awalnya menggunakan bahan ijuk enau (gambar1), telah diganti dengan bahan dari seng (gambar 2). Hal ini disebabkan oleh seng lebih praktis, tahan lama, terjamin mutunya dan mudah mendapatkannya.


(19)

Gambar 2 : Sopo Godang yang menggunakan bahan atap dari seng/asbes

Pewaris merupakan garis keturunan dari Raja yang terdahulu, dan diberikan kekuasaan sebagai generasi penerus untuk memelihara Bagas Godang

maupun Sopo Godang agar tidak punah oleh perkembangan zaman. Pada kenyataannya, bangunan Bagas Godang dan Sopo Godang mulai dari bangunannya, maupun dari cara pemanfaatannya telah mengalami renovasi dan perubahan. Bangunan dapur Bagas Godang juga telah direnovasi menjadi bangunan dapur berdindingkan tembok batu, sedangkan dahulunya dibangun dengan menggunakan dinding kayu. Mungkin hal ini disebabkan, karena saat ini harga kayu lebih mahal dan semakin sulit mendapatkannya. Cat-cat pewarna yang melekat juga, sudah menggunakan produk-produk yang tersedia pada saat sekarang ini.


(20)

1. 2. Ruang Lingkup Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah :

1. Pemaknaan para generasi pewaris maupun masyarakat setempat dalam melakukan renovasi terhadap sosok bangunan arsitektur Bagas Godang

maupun Sopo Godang tersebut?

2. Nilai-nilai apa yang terus dilestarikan ketika merenovasi bangunan arsitektur tersebut?

3. Mengapa nilai tersebut, terus dilestarikan? Sebaliknya nilai-nilai apa yang dirobah atau dimodifikasikan ketika melakukan renovasi. Apa alasannya, mengapa hal itu dapat dilakukan?

Berdasarkan ruang lingkup penelitian yang dipaparkan diatas tersebut, maka penulis terdorong untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai bangunan tradisional pada masyarakat Mandailing yang disebut dengan Bagas Godang dan

Sopo Godang.

1. 3. Lokasi Penelitian

Penelitian terhadap bangunan tradisional masyarakat Mandailing ini dilakukan di Desa Pidoli Dolok, Panyabungan Tonga, Kecamatan Penyabungan, Kabupaten Mandailing Natal. Pemilihan lokasi penelitian di daerah ini disebabkan karena di daerah ini banyak terdapat bangunan Bagas Godang dan Sopo Godang

yang telah mengalami proses renovasi yang dilakukan oleh pewaris dari rumah adat tersebut.


(21)

1. 4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapat gambaran tentang penilaian ataupun pemaknaan terhadap bangunan arsitektur seperti Bagas Godang dan

Sopo Godang tersebut. Hal-hal apa saja yang harus terus dipertahankan atau dilestarikan, dan sebaliknya hal apa saja yang boleh dirubah ketika dilakukan renovasi terhadap bangunan tersebut. Manfaat dari penelitian ini dapat dilihat dari dua sisi yaitu :

1. Secara akademis dapat menambah pemahaman tentang nilai-nilai kehidupan masyarakat Mandailing disaat melakukan renovasi terhadap peninggal-peningalan budaya fisik yang mereka warisi, khususnya terhadap bangunan arsitektur Bagas Godang dan Sopo Godang.

2. Secara praktis penelitian ini bisa dimanfaatkan atau menjadi kontribusi, khususnya terhadap masyarakat Indonesia yang berkecimpung dibidang

developer. Sungguh berguna dalam menentukan strategi kebijakan yang berkaitan dengan hal-hal yang menyentuh nilai-nilai kehidupan budaya fisik di dalam masyarakat.


(22)

1. 5. Tinjauan Pustaka

Bagas Godang dan Sopo Godang adalah wujud bangunan arsitektur tradisional. Wujudnya tentu tidak terlepas dari ungkapan nilai-nilai sosiokultural kehidupan masyarakat Mandailing. Jika kita melihat dari sisi fungsinya, dapat digolongkan sebagai salah satu unsur kebudayaan, yaitu: sistem teknologi ataupun peralatan hidup, yang berguna sebagai tempat berteduh dan berlindung terhadap kondisi-kondisi lingkungan alamnya.

Bangunan arsitektur itu sendiri adalah yang pertama adalah kulit tubuh manusia itu sendiri, kulit yang kedua adalah busana dan kulit yang ketiga bagi manusia penghuninya, yaitu berfungsi sebagai tempat untuk berlindung terhadap ganasnya lingkungan alam, berdasarkan penjelasan mengenai sistem arsitektural yang telah dijabarkan sebelumnya maka fungsi Bagas Godang dan Sopo Godang

termasuk pada kulit ketiga dari sistem arsitektural, yaitu sebagai tempat untuk berlindung dari ganasnya lingkungan alam, sistem arsitektural Bagas Godang dan

Sopo Godang juga memiliki peranan lainnya yaitu sebagai tempat tinggal yang memiliki nilai-nilai adat.

Arsitektur seperti Bagas Godang maupun Sopo Godang juga digolongkan sebagai unsur kebudayaan yang mengandung corak berupa ungkapan rasa keindahan, atau seni yang mengandung nilai-nilai estetika. Oleh karena itu di dalamnya melekat upaya-upaya kemanusiaan dalam rangka mengekspresikan dirinya. Curahan yang terdapat dari dalam batin manusia di zamannya, sehingga terciptalah hasil yang sering kali dinamakan seni arsitektur tradisional.


(23)

Arsitektur tradisional Mandailing yang terdapat sekarang sudah jauh berbeda dengan struktur bangunan yang aslinya maka dalam hal ini, keberadaannya lebih ditekankan dari sudut perspektif atau pandangan sistem pengetahuan para pewarisnya. Para pewaris dimaksud tidak hanya pewaris langsung atau keturunan dari pemiliknya saja, tetapi dapat juga warga masyarakat biasa yang bukan tergolong keturunan dari si-pemilik bangunan.

Masyarakat biasa secara tidak langsung adalah pewaris nilai-nilai akan arsitektur tradisional tersebut. Upaya mengkaji arsitektur tradisional Mandailing semacam itu tidak terlepas dari pengertian-pengertian tentang konsepsi-konsepsi budaya.

Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1980:193), dan dari definisi kebudayaan ini

Bagas Godang dan Sopo Godang dapat dikatakan sebagai hasil karya manusia, untuk menjadikan sebagai suatu hasil karya manusia diperlukan adanya proses penyampaian hasil karya tersebut kepada generasi selanjutnya, proses transmisi ini meliputi cara pandang, cara pembuatan maupun penggunaan yang dapat diperoleh melalui tiga wujud kebudayaan yang secara singkat dapat dituliskan sebagai berikut, yaitu : wujud ide/gagasan, wujud sistem sosial, dan wujud kebudayaan fisik

Ketiga wujud kebudayaan ini berjalan seiring dan berkaitan serta dalam penjelasan suatu fenomena kebudayaan ketiga wujud kebudayaan tersebut tidak dapat dipisahkan namun dapat dijelaskan secara terpisah.


(24)

Dari definisi dan wujud kebudayaan tersebut Bagas Godang dan Sopo Godang dalam penelitian ini dapat dilihat sebagai suatu bagian dari kebudayaan fisik, tetapi juga dapat bersifat ide dan gagasan mengenai Bagas Godang dan

Sopo Godang yang merupakan suatu karya kognitif yang menjadi milik masyarakat Mandailing, untuk memperkuat hal ini digunakan analisis folklor, dimana folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan secara turun temurun, diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat peraga pembantu pengingat (mnemonic device) (James Danandjaja, 1986:2).

Karena fokus perhatian penelitian ini tidak hanya tertuju semata pada wujud konkret arsitektur saja, teapi juga erat berkaitan dengan hal-hal yang bersifat abstrak yaitu mengenai nilai-nilai ataupun sistem pengetahuan para pewarisnya. Bagaimana mereka merenovasi struktur bangunan arsitektur sehingga terwujud sebagaimana adanya saat ini.

Kalau dahulu arsitektur tradisional Bagas Godang dan Sopo Godang

dibuat sedemikian rupa karena memiliki nilai-nilai simbol pada bangunan dengan motif dan corak yang mencerminkan sifat-sifat Raja dalam menjalani kekuasaan yang juga arif terhadap masyarakatnya, yang mana bangunan bagian atap berbentuk seperti perahu yang melengkung dan menyerupai tanduk kerbau yang melambangkan bahwa Raja memiliki sifat yang keras dalam segala apapun, dan dalam peperangan tidak ada kata mundur terus maju tanpa menyerah terhadap lawannya.


(25)

Saat ini zaman telah berubah berbagai bangunan arsitektur tradisional seperti Bagas Godang maupun Sopo Godang khususnya di daerah Penyabungan telah dilakukan renovasi, sehingga mengalami adanya perbedaan ataupun perobahan dari bentuk aslinya. Bagaimana sistem pengetahuan atau cara para pewaris melakukan perobahan tersebut tentu saja hal ini erat kaitannya dengan kajian-kajian mengenai kebudayaan. Kebudayaan dalam hal ini lebih dimengerti sebagaimana dikatakan oleh Parsudi Suparlan (1981), yang menyatakan bahwa:

...“keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial, yang

digunakan untuk menginterpretasikan dan memahami lingkuangan yang dihadapi, dan untuk menciptakan serta mendorong terwujudnya kelakuan”.

Oleh karena itu kebudayaan berfungsi dapat menjadikan seseorang individu membuat sistem pengkategorisasian terhadap keanekaragaman yang ada di lingkungan hidupnya secara lebih sederhana. Dapat membuat identifikasi,

membuat metode yang sistematis, memprediksi kemungkinan yang terjadi, serta membuat model-model berpikir yang khas dalam rangka menginterpretasikan lingkungan hidupnya. Dengan demikian kebudayaan dipahami sebagai faktor stimulus bagi seseorang individu atau suatu warga masyarakat yang berasal dari pengalaman hidup dalam lingkungannya dan sekaligus juga sebagai faktor pendorong keinginan atau motivasinya dalam melakukan renovasi-renovasi terhadap struktur bangunan arsitektur tersebut.


(26)

1. 6. Metode Penelitian 1. 6. 1. Tipe Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode kualitatif. Metode ini akan menghasilkan data deskriptif: ucapan/tulisan dan perilaku yang dapat diamati dari orang-orang (subjek/pewaris/warga masyarakat) itu sendiri (Fufchan, 1992). Ini berarti bahwa hasil data deskriptif tersebut berupa uraian tertulis yang berasal dari informan, baik itu informasi tertulis maupun tidak tertulis, hal ini sejalan dengan Goodenough :

When I speak of describing a culture, then formulating a set of standards that will meet this critical test is what I have in mind. There are many other things, too, that we anthropologists wish to know and try to describe. We have often reffered to these other things as culture, also consequently (1970:101).

Terjemahan :

Ketika aku berbicara tentang menguraikan suatu budaya, kemudian merumuskan satu standar yang akan dihadapkan pada test kritis ini adalah apa yang aku maksud. Ada banyak hal lain, juga, bahwa kita ahli antropologi ingin mengetahui dan usaha untuk menguraikan. Kita mempunyai sering masuk ke berbagai hal lain ini sebagai budaya, juga sebagai konsekwensi.

1. 6. 2. Teknik Pengumpulan Data

Untuk dapat menjaring data ketika penelitian dilaksanakan, diperlukan beberapa cara yang relevan dalam mencapai tujuan penelitian, yakni studi lapangan sebagai bentuk teknik pengumpulan data secara primer dan studi kepustakaan sebagai bentuk teknik pengumpulan data secara skunder.


(27)

1. Studi Lapangan.

Teknik pengumpulan data yang dipakai ketika peneliti melakukan penelitian di lapangan adalah menggunakan metode wawancara.

1.1. Wawancara

Wawancara yang dipakai dalam penelitian ini adalah bentuk wawancara mendalam (depth interview) dengan menggunakan alat bantu pedoman wawancara (interview guide) yang berhubungan dengan masalah penelitian. Pemilihan waktu untuk wawancara disesuaikan dengan keadaan dilapangan dan kegiatan yang dilakukan oleh informan.

1.2. Observasi..

Metode observasi partisipasi dengan melakukan pengamatan langsung dalam penelitian. Pada masyarakat sekitar, maupun para ahli waris yang merawat bangunan Bagas Godang . Ini digunakan untuk mengamati dan menangkap kemungkinan interaksi informan terhadap simbol-simbol pada bangunan Bagas Godang dan Sopo Godang.

2. Studi Kepustakaan.

Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data arsip/dokumentasi berupa data historis Bagas Godang dan Sopo Godang. Selain itu juga untuk mencari data yang berhubungan dengan masalah penelitian.


(28)

1. 6. 3. Analisa Data

Analisa data diperlukan untuk dapat menjelaskan tentang kedudukan nilai data yang nantinya akan diperoleh pada lapangan penelitian, adapun tahapan analisa data dipergunakan setelah penelitian lapangan selesai dan data terkumpul, maka tahap selanjutnya adalah melakukan analisa data. Seluruh data yang terkumpul dari metode-metode yang dipakai akan dibaca, diteliti dan ditelaah. Dan tahap terakhir, melakukan pengkategorian data sehingga dapat dibagi dalam beberapa kategori dengan tujuan agar terlihat perbedaan antara data primer dan data sekunder, hasil kategorisasi data akan dideskripsikan demi pencapaian tujuan penelitian.


(29)

BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2. 1 Sejarah

2. 1. 1 Sejarah Mandailing

Menurut Kitab Nagarakertagama yang mencatat perluasan wilayah Majapahit sekitar 1365 yang telah dijelaskan diatas di nama Mandailing. Munculnya nama Mandailing pada suku akhir abad ke 14 menunjukkan adanya satu bangsa dan wilayah bernama Mandailing, yang telah muncul sebelum abad itu lagi.

Dengan demikian tidak disangsikan lagi bahwa bersandar ungkapan dalam kakawin itu yang dapat diperkirakan sesuai dengan perkembangan sejarah, di Mandailing sudah berkembang suatu masyarakat yang homogen. Dan sebagai wilayah lain di Sumatera yang diungkapkan oleh Prapanca (dalam Nagarakretagama) seperti Minangkabau, Siak, Panai, Aru dan lain-lain, demikian Mandailing bahwa masyarakatnya yang tumbuh, mulai dari luas, besar ataupun kecilnya, yang terhimpun dalam suatu ketatanegaraan kerajaan.

Setelah nama Mandailing dicatat dalam kitab Nagarakretagama di abad ke 14 juga, kemudian ada beberapa abad berikutnya tak ada lagi nama Mandailing disebut. Selama lebih lima abad lamanya, Mandailing seakan-akan hilang di telan oleh sejarahnya. Baru pada abad ke 19 ketika Belanda mulai menguasai Mandailing, baru berbagai tulisan mengenainya dan masyarakatnya dibuat oleh beberapa pejabat kolonial.


(30)

Salah satunya beberapa pendapat telah dikemukakan mengenai asal-usul nama Mandailing. Maka pendapat-pendapat ini berupa andaian-andaian yang bertolak atau didasarkan pada persamaan bunyi kata. Ada yang menduga berasal dari kata: Mande Hilang (dalam bahasa Minang), yang berarti ibu yang hilang.

Menurut cerita-cerita rakyat yang masih hidup di tengah-tengah masyarakat, asal-usul nama Mandailing berasal dari kata Mande Hilang (dalam bahasa Minangkabau) yang artinya ibu yang hilang. Versi lain juga mengatakan bahwa nama Mandailing berasal dari kata Mandala Holing, adalah satu kerajaan yang diperkirakan sudah ada sejak abad ke-12. Cakupan wilayah kerajaan

Mandala Holing diperkirakan terbentang dari Portibi di Padang Lawas hingga ke Pidoli di dekat Panyabungan, Mandailing Godang. Berkaitan dengan hal ini, orang-orang Mandailing juga sering menyebut kata holing yang bagi mereka memiliki arti yang cukup penting, seperti tertuang dalam ungkapan berikut ini :

muda tartiop opat na ni paspas naraco holing ni ungkap buntil ni adat ni suat dokdok ni hasalaan ni dabu utang dohot baris …

Ungkapan tersebut di atas kurang lebih berarti, bahwa untuk mengadili seseorang harus didasarkan kepada empat syarat. Apabila ke empat syarat itu telah terpenuhi barulah naraco holing (suatu lambang pertimbangan yang seadil-adilnya) dibersihkan, selanjutnya dilihat ketentuan adat, diukur beratnya kesalahan, dan setelah itu barulah hukuman dapat dijatuhkan. Selain itu, kata

holing juga terdapat dalam ungkapan surat tumbaga holing na so ra sasa , yang secara harafiah artinya surat tumbaga holing yang tidak mau hapus. Maksudnya


(31)

ialah bahwa ketentuan adat-istiadat tersebut akan tetap menjadi panutan hidup orang Mandailing selamalamanya.

Mandailing mengandung dua macam pengertian yang tidak sama, akan tetapi keduanya saling mengikat dan tidak terpisahkan, yaitu dalam pengertian

budaya dan territorial . Dalam pengertian budaya, Mandailing adalah salah satu kelompok etnik atau suku-bangsa. Karena menurut Koentjaraningrat, suku-bangsa adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan kebudayaan, sedangkan kesadaran dan identitas tadi seringkali (tapi tidak selalu) dikuatkan oleh kesatuan bahasa5, sedangkan dalam pengertian territorial, Mandailing adalah salah satu wilayah tertentu yang terletak di Kabupaten Tapanuli Selatan Propinsi Sumatera Utara6

Secara tradisional orang Mandailing membagi wilayahnya menjadi dua bagian utama, yaitu Mandailing Godang meliputi Kecamatan Panyabungan, Batang Natal dan Siabu, dan Mandailing Julu meliputi Kecamatan Kotanopan dan Muarasipongi. Meskipun terdapat pembagian wilayah Mandailing secara tradisional menjadi dua bagian, orang Mandailing yang bermukim di Mandailing

. Wilayah Mandailing memiliki batas-batas tertentu dan mayoritas penduduknya adalah suku-bangsa Mandailing. Sejalan dengan perkembangan zaman sekarang ini, wilayah Mandailing hanya meliputi lima wilayah kecamatan, yaitu Panyabungan, Batang Natal, Siabu, Kotanopan dan Muarasipongi.

5

Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, Aksara Baru. Jakarta1980, hal. 278. 6

Pada tahun 1992, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ( DPRD) Tingkat I Propinsi Sumatera Utara mengambil kebijakan untuk melakukan pemekaran terhadap wilayah Daerah Tingkat I Propinsi Sumatera Utara. Sesuai dengan kebijakan tersebut, Mandailing dan Natal dinaikkan statusnya menjadi Daerah Tingkat II dengan nama Kabupaten Mandailing-Natal yang sekarang


(32)

Godang dan Mandailing Julu boleh dikatakan masih tetap memiliki adat istiadat yang sama. Pada masa sebelum Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945, wilayah Mandailing Godang berada di bawah kekuasaan raja-raja yang bermarga

Nasution, sedangkan wilayah Mandailing Julu dikuasai oleh raja-raja yang bermarga Lubis. Menurut informasi dari masyarakat wilayah Mandailing sekarang berbatas dengan Kecamatan Angkola di sebelah utara yang perbatasannya terletak di suatu tempat bernama Simarongit di Desa Sihepeng. Sedangkan perbatasannya dengan wilayah Padang Bolak berada di suatu tempat bernama Rudang Sinabur.

Di sebelah barat Mandailing terletak wilayah Natal yang perbatasannya terletak di suatu tempat bernama Lingga Bayu. Sebelah selatan wilayah Mandailing berbatas dengan Kabupaten Pasaman yang perbatasannya terletak di suatu tempat bernama Ranjo Batu . Namun batas wilayah Mandailing dengan wilayah sebelah timur tidak diketahui karena jarang disebut-sebut orang.

Tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa sesungguhnya sangat sulit untuk mendapatkan sejarah masa silam dalam suku Mandailing. Dalam hal ini,

Pangaduan Lubis ada menjelaskan, bahwa walaupun suku-bangsa Mandailing memiliki aksara tradisional yang disebut surat tulak-tulak dan biasa digunakan untuk menulis kitab-kitab kuno yang disebut pustaha, pada umumnya pustaha itu tidaklah berisi catatan sejarah melainkan tentang pengobatan tradisional, ilmu-ilmu gaib, ramalan tentang waktu yang baik dan buruk serta ramalan tentang mimpi. Semua pustaha itu disimpan orang Mandailing sebagai warisan leluhur7

7

Pangaduan Lubis, "Na Mora Na Toras: Kepemimpinan Tradisional Mandailing", (Skripsi FISIP USU Medan, 1986), hal. 43-44.


(33)

Silsilah keturunan yang disebut tarombo yang kemungkinan merupakan satu-satunya sumber sejarah asal-usul orang Mandailing di masa lalu. Pada umumnya orang Mandailing mengelompokkan diri mereka ke dalam beberapa

marga (klan) dan masing-masing marga selalu menempatkan diri mereka sebagai keturunan dari seorang tokoh nenek moyang yang berlainan asal. Tokoh leluhur suatu marga biasanya bersifat legendaris, dan senantiasa mereka tempatkan diawal silsilah keturunan ( tarombo ) mereka.

Dengan adanya tarombo ini, setiap marga di Mandailing dapat mengetahui asal-usul dan jumlah keturunan mereka sampai sekarang. Istilah

marga dalam hal ini dapat didefinisikan sebagai kelompok orang yang berasal dari keturunan seorang nenek moyang yang sama dan garis keturunan diperhitungkan melalui pihak lakilaki atau ayah ( patrilineal ).

Salah satunya marga Lubis dan Nasution mempunyai jumlah warga yang terbesar di antara marga-marga lain di Mandailing. Marga Lubis memiliki satu kakek bersama yang bernama Na Mora Pande Bosi , yang menurut kisahnya adalah cucu dari seorang nakhoda kapal laut bernama Angin Bugis dari Pulau Sulu. Sedangkan satu kakek bersama dari marga Nasution bernama Si Baroar . Menurut legendanya, Si Baroar semasa bayi ditemukan oleh Sutan Pulungan , adalah seorang Raja dari Huta Bargot di Mandailing Godang. Cerita dalam versi lain dari masyarakat menyebutkan bahwa marga Nasution pertama adalah putra dari Raja Iskandar Muda dari Pagaruyung, yang di masa lalu adalah pusat kerajaan Minangkabau. Seperti dikemukakan pada paragraph diatas, bahwa setiap marga biasanya mempunyai ompu parsadaan (nenek moyang) yang sama, akan


(34)

tetapi ada juga beberapa marga yang berlainan nama marganya yang mempunyai

ompu parsadaan yang sama. Seperi marga Rangkuti dan Parinduri nenek moyangnya adalah Mangaraja Sutan Pane dan marga Pulungan , Lubis dan

Harahap nenek moyangnya adalah Namora Pande Bosi . Sedangkan marga

Matondang, Daulay dan Batubara memiliki nenek moyang dua orang yang bersaudara kandung (kakak beradik), yaitu Parmato Sopiak menurunkan marga

Matondang dan Daulay , dan Bitcu Raya menurunkan marga Batubara. Menurut pendapat dari masyarakat ada reruntuhan candi di sekitar Desa Simangambat di Kecamatan Siabu merupakan sisa-sisa peninggalan dari sejarah kuno Mandailing. Candi tua itu mungkin termasuk sisa-sisa bangunan tertua di Sumatera Utara karena diperkirakan berasal dari abad ke 8 dan 9 Masehi, dimana pendapat bahwa bentuk dan ornamennya menyerupai candi gaya Jawa Tengah asli.

Di samping itu, ada pula di lokasi penelitian suatu tempat di sekitar Desa Pidoli yang dinamakan Saba Biara ( biara =vihara). Biara-biara ini pada masa sekarang hanya tinggal pondasinya saja yang tertimbun di dalam areal persawahan penduduk. Dan Pada saat sekarang ini sudah tidak tampak. Sementara itu ada juga di lereng gunung Sorik Marapi di Desa Maga dahulu terdapat beberapa buah "pilar batu" yang bertuliskan aksara Jawa Kuno bertanggal 9-9-12428

Di Mandailing terdapat areal pemakaman kuno yang disebut lobu atau

huta lobu dapat ditemukan patung batu yang disebut tagor . Menurut kepercayaan masyarakat lama, tagor tersebut dapat memberi suatu pertanda dengan suara

.

8


(35)

gemuruh apabila terjadi sesuatu hal penting dalam keluarga raja, misalnya seandainya ada seorang raja yang akan wafat. Selain itu, di empat sudut huta

(wilayah perkampungan kerajaan disebut juga banua ) biasanya terdapat patung kuno bernama pangulu balang, yang di masa lalu dipercayai mampu menjaga kesatuan wilayah huta dan akan memberikan pertanda apabila ada sesuatu yang akan mengganggu komunitas huta.

Kotanopan adalah sebuah kota kecil di Mandailing Julu yang memiliki arti penting bagi kelompok marga Lubis. Sebab menurut kepercayaan mereka, di sekitar tempat itulah dahulu putra kembar Na Mora Pande Bosi, yaitu

Silangkitang dan Si Baitang yang untuk pertama kalinya membuka tempat pemukiman. Hal itu dilakukan sesuai dengan pesan ayah mereka Na Mora Pande Bosi , bahwa apabila dalam pengembaraan ke wilayah Mandailing Julu mereka menemukan suatu tempat dimana terdapat dua buah sungai yang muaranya bertentangan, maka ditempat itulah mereka harus membuka perkampungan baru. Lokasi ini kemudian dikenal dengan nama Muara Patontang , yaitu tempat pertemuan muara Aek Singengu dari arah barat dan Aek Singangir dari arah timur yang saling berhadapan lalu keduanya bermuara ke Aek Batang Gadis .

Selanjutnya Muara Patontang mereka namakan Huta Panopaan, yang kemudian menjadi Hutanopan, yang lama kelamaan menjadi Kotanopan. Dari sinilah Si Langkitang pergi menuju suatu tempat yang dinamakan Singengu, dan kemudian dari Singengu inilah keturunanya menyebar dan menjadi raja-raja bermarga Lubis di beberapa desa seperti Simpang Tolang, Sayurmaincat, Tambangan dan sebagainya. Sementara itu saudaranya Si Baitang melanjutkan


(36)

perjalanan ke arah selatan. Dikemudian hari keturunannya juga menyebar dan menjadi raja-raja bermarga Lubis di beberapa desa seperti Tamiang, Huta Dangka, Huta Pungkut, Huta Godang, Pakantan dan lain-lain.

2. 1. 2 Sejarah Panyabungan

Mandailing memiliki kota kecil yaitu Panyabungan. Penyabungan sejak dahulu dianggap sebagai suatu tempat yang cukup penting. Kota kecil ini berada di tengah-tengah dataran rendah yang subur, sehingga menarik minat penduduk desa lain untuk pindah ke penyabungan demi mencari penghidupan yang lebih baik sebagai petani atau pedagang. Seperti kepindahan orang-orang bermarga

Lubis yang mendirikan suatu tempat pemukiman baru bernama Huta Lubis sekitar setengah kilometer dari kota kecil Panyabungan.

Panyabungan terdiri atas tiga bagian utama, yaitu Panyabungan Julu di bagian hulu, Panyabungan Tonga-tonga di bagian tengah, dan Panyabungan Jae

di bagian hilir. Pembagian wilayah kota kecil Panyabungan yang demikian itu disesuaikan dengan arah mengalirnya sebuah sungai bernama Aek Mata yang melintang ke arah Panyabungan, dari timur ke barat dan bermuara ke Aek Batang Gadis . Dalam hubungan ini, orang Mandailing memiliki kebiasaan untuk membagi dan menamai bagian-bagian dari huta mereka menurut arah aliran sungai yang terdapat di dekat daerah pemukiman mereka.

Panyabungan Tonga-tonga adalah merupakan bagian terpenting di Mandailing Godang karena kelompok marga Nasution mempercayai, bahwa leluhur mereka Si Baroar pertama kali bermukim di tempat tersebut. Setelah


(37)

dinobatkan penduduk menjadi raja, Si Baroar diberi gelar Sutan Diaru . Sampai saat ini masih terdapat Bagas Godang (istana raja) dan Sopo Godang (balai sidang adat) di Panyabungan Tonga-tonga. Dari Panyabungan Tonga-tonga inilah kemudian keturunan Si Baroar menyebar menjadi raja-raja di beberapa huta di kawasan Mandailing Godang, antara lain: Panyabungan Julu, Panyabungan Jae, Huta Siantar, Maga, Pidoli Dolok dan lain-lain

2. 2 Letak dan Kondisi Geografis

2. 2. 1 Letak dan Batas-batas Mandailing

Pada Kabupaten Mandailing Natal secara geografis terletak antara 00.10’- 98050’ Lintang Utara 98050’ – 100010’ Bujur Timur. Wilayah administrasi Mandailing Natal dibagi atas 17 Kecamatan dan 375 desa / kelurahan yang ditetapkan oleh pemerintah Republik Indonesia dengan Undang-undang No. 12 Tahun 1998 pada tanggal 23 November 1998.

Kabupaten Mandailing Natal merupakan pemecahan dari Kabupaten Tapanuli Selatan. Wilayah Administrasi Kabupaten Mandailing Natal terdiri dari atas 8 Kecamatan yakni : Kecamatan Batahan yang terdiri dari 12 desa, Kecamatan Batang Natal yang melikupi 40 desa, Kecamatan Kota Nopan dengan 85 desa, Kecamatan Muara Sipongi dengan 16 desa, Kecamatan Penyabungan dengan 61 desa, Kecamatan Natal dengan 19 desa, Kecamatan Muara Batang Gadis dengan 10 desa, dan Kecamatan Siabu yang melingkupi 30 desa.

Kabupaten Mandailing Natal secara geografis terletak paling selatan dari propinsi Sumatera Utara. Kabupaten Mandailing berbatasan dengan :


(38)

1. Sebelah Utara dengan Kabupaten Tapanuli Selatan. 2. Sebelah Selatan dengan Propinsi Sumatera Barat 3. Sebelah Timur dengan Propinsi Sumatera Barat 4. Sebelah Barat dengan Samudera Indonesia

Pada tanggal 29 Juli 2003 Kabupaten Mandailing Natal mengeluarkan Perda No. 7 dan 8 mengenai pemekaran kecamatan dan desa. Dengan dikeluarkannya Perda No. 7 dan 8 tersebut, maka Kabupaten Mandailing Natal kini telah memiliki 17 Kecamatan dengan jumlah desa sebanyak 322 dan Kelurahan sebanyak 7 kelurahan. Nama-nama kecamatan hasil pemekaran tersebut terdiri atas ; (1)Kecamatan Batahan; (2) Kecamatan Batang Natal; (3) Kecamatan Lingga Bayu; (4) Kecamatan Kotanopan; (5) Kecamatan Ulu Pungkut; (6) Kecamatan Tambangan; (7) Kecamatan Lembar Sorik Merapi; (8) Kecamatan Muara Sipongi; (9) Kecamatan Penyabungan Kota; (10) Kecamatan Penyabungan Selatan; (11)Kecamatan Penyabungan Barat; (12) Kecamatan Penyabungan Utara; (13) Kecamatan Penyabungan Timur; (14) Kecamatan Natal; (15) Kecamatan Muara Batang Gadis; (16) Kecamatan Siabu dan; (17) Kecamatan Bukit Malintang.

Kabupaten Mandailing Natal mempunyai luas daerah sebesar 662.070 Ha atau 9,24 persen dari wilayah propinsi Sumatera Utara. Wilayah yang terluas adalah Kecamatan Muara Batang Gadis yakni 143.502 Ha (21,67 %) dan terkecil yaitu Kecamatan Muara Sipongi sebesar 22.930 Ha (3,46 %).

2. 2. 2 Letak dan Batas-batas Panyabungan

Kota Panyabungan merupakan hasil sebuah pemekaran dari Kecamatan Mandailing Natal. Pada tanggal 23 November tahun 1998, Pemerintah Republik


(39)

Indonesia menetapkan Undang-undang No. 12 Tahun 1998 yaitu Undang-undang tentang pembentukan Pemerintahan Kabupaten Mandailing Natal menjadi daerah Otonom yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri dengan mengangkat Kepala Daerah (Bupati) yang pertama yaitu, H. Amru Daulay, SH dan Wakil Bupati yaitu : Ir. Masruddin Dalimunthe.

H. Amru Daulay, SH telah memerintah Kabupaten Mandailing Natal dari tahun 1998 hingga sekarang dibantu oleh Sekretaris Daerah yaitu : Drs. Hasyim Nasution.

2. 3 Kondisi Demografi

2. 3. 1 Etnik Mandailing

Etnik Mandailing adalah orang yang berasal dari Mandailing secara turun temurun di manapun ia bertempat tinggal.

Etnik ini menurut garis keturunan ayah (patrilineal) yang terdiri dari marga-marga : Nasution, Lubis, Pulungan, Rangkuti, Batubara, Daulay, Matondang, Parinduri, Hasibuan, dan lain-lain.

Marga-marga ini tidak serentak mendiami wilayah Mandailing. Ada beberapa marga yang datang kemudian dan mendiami wilayah Mandailing yang kemudian dianggap sebagai warga Mandailing dan tidak mau disebut sebagai warga pendatang.

2. 3. 2 Agama dan Etsinitas


(40)

upacara adat. Bahkan dalam upacara-upacara kematian dan hukum waris sebahagian besar di antara mereka banyak memakai hukum Islam.

Di Mandailing ada falsafah yang menyebutkan Hombar do adat dohot ibadat. Artinya adat dan istiadat tidak dapat dipisahkan, adat tidak boleh bertentangan dengan agama Islam. Jika dalam upacara adat ada hal-hal yang mengganggu dengan pelaksanaan agama, adat itu harus dikesampingkan.

2. 4 Keterjangkauan

2. 4. 1 Sarana Jalan dan Prasarana Transportasi

Sarana jalan menuju lokasi penelitian akan melintasi beberapa daerah, tetapi dari sudut garis besarnya daerah yang akan dilintasi di mulai dari Medan, Pematang Siantar, Parapat, Padangsidimpuan, hingga Panyabungan. Kondisi selama diperjalanan sangat memperihatikan, karena sudah mengalami kerusakan yang sangat parah rusaknya dan kurang diperhatikan oleh dinas PU.

Pada dasarnya Mandailing Natal dan Panyabungan dapat dikatakan memiliki prasarana transportasi yang sangat memadai dan strategis, dikarenakan Kabupaten Mandailing dan Kecamatan Panyabungan berada di tengah Pulau Sumatera yang terletak sepanjang jalan raya Lintas Sumatera yang + 40 km dari Padangsidempuan.

Dari Medan menuju lokasi akan menggunakan angkutan Bus antar Provinsi yang dengan menggunakan menaiki Bus ALS dengan tujuan Medan-Padangsidimpuan-Panyabungan dengan menggunakan tarif dari loket pembelian Rp.70.000,-


(41)

2. 5 Potensi Ekonomi

2. 5. 1 Kekayaan Alam

Wilayah dan posisi Mandailing Godang dari dahulu hingga sekarang dikelilingi oleh banyaknya gunung-gunung. Di tengah-tengah kawalan dari beberapa gunung itu terhampar dataran rendah yang cukup luas dan berhawa panas. Sungai yang bernama Aek Batang Gadis yang hulunya berada di Mandailing Julu melintasi wilayah Mandailing mulai dari bagian selatan dan menyusuri bagian baratnya menuju ke arah utara.

Oleh karena air sungai ini dahulu sering terhalang alirannya menuju muaranya bernama Singkuang di Samudera Indonesia, maka keadaan itu menimbulkan daerah rawa-rawa di dataran rendah yang dikelilingi gunung-gunung tersebut.

Di Mandailing Julu terdapat kekayaan alam yang sangat luar biasa, walaupun kekayaan alam tersebut banyak ditemukan bekas-bekas penambangan emas yang telah ditinggalkan orang Agam (Minangkabau), sama halnya seperti di sekitar Huta Godang ada suatu tempat yang dinamakan garabak ni agom . Dan orang Belanda pun pernah membuka tambang emas di dekat kota kecil Muarasipongi. Di samping itu, Aek Batang Gadis yang hulunya terletak di

Gunung Kulabu di dekat Pakantan itu melintasi wilayah Mandailing mulai dari selatan hingga utara dan bermuara di Singkuang di pantai barat mengandung bijih-bijih emas pula. Pada waktu-waktu tertentu di Aek Batang Gadis sampai sekarang banyak penduduk yang manggore (mendulang emas) sebagai mata pencaharian tambahan terutama pada masa pacekelik, yaitu sewaktu harga kopi, kayu manis,


(42)

cengkeh dan karet turun di pasaran. Oleh sebab itulah, tano rura Mandailing juga dikenal dengan sebutan tano sere.

2. 5. 2 Mata Pencaharian

Mata Pencaharian utama penduduk Mandailing adalah bertani dengan mengolah sawah. Areal persawahan yang cukup luas terdapat di Mandailing Godang. Sedangkan di Mandailing Julu, karena areal persawahan sempit, maka penduduk memanfaatkan lereng-lereng gunung untuk ditanami tanaman keras.

Boleh dikatakan bahwa kehidupan sosial orang Mandailing erat kaitannya dengan masalah kepemilikan lahan persawahan. Menurut Pangaduan Lubis, bahwa meskipun sempit atau pun keadaannya kurang subur, pemilikan sebidang lahan persawahan amat penting artinya bagi orang Mandailing untuk mendukung martabat dan statusnya di tengah-tengah masyarakat. Satu keluarga yang tidak memiliki sebidang tanah di suatu desa biasanya dianggap sebagai orang penumpang di desanya, sehingga keluarga tersebut akan merasa dirinya bukanlah bagian yang integral dari komunitas desanya. Sebab keaslian dan keutuhan ikatannya sebagai anggota masyarakat desanya ditandai oleh adanya kepemilikan lahan persawahan yang diwarisi secara turun-temurun.8Ibid , hal. 69. M

Di masa-masa lalu orang Mandailing senantiasa bergotong-royong untuk mengolah sawah, misalnya dalam mengerjakan tanah dan menanam padi secara bersama-sama disebut marsialap ari , dan kegiatan bersama-sama untuk memanen padi disebut manyaraya . Akan tetapi kegiatan gotong- royong yang demikian itu pada masa sekarang ini sudah sangat jarang mereka lakukan. Kegiatan mengolah


(43)

sawah hanya dilakukan oleh anggota keluarga batih yang sudah mampu bekerja di sawah.

Suatu wadah berbentuk rumah kecil bertingkat dua yang disebut opuk atau

sopo eme di setiap desa digunakan untuk menyimpan padi yang sudah selesai diirik. Bagian atasnya yang beratap ijuk (serabut pohon enau) dan berdinding

gogat (bambu yang dipecah) digunakan untuk menyimpan padi, sedangkan bagian bawahnya yang hanya berlantai bambu atau kayu (papan) tanpa dinding biasanya digunakan sebagai tempat duduk-duduk untuk beristirahat. Biasanya setiap keluarga batih memiliki sebuah opuk . Namun ada juga gabungan dari beberapa keluarga batih memiliki opuk bersama sebagai cadangan bahan makanan yang dapat dipinjamkan kepada keluarga yang membutuhkannya terutama di musim pacekelik yang disebut aleon .

Sekitar dua puluh tahun lalu, petani sawah di Mandailing masih bertanam padi sekali dalam setahun. Seraya menunggu masa tanam berikutnya, areal sawah yang sudah dipanen padinya itu dibersihkan lalu ditanami dengan tanaman muda (palawija) seperti kacang tanah dan jagung. Namun semenjak mereka memakai bibit padi jenis unggul, bertanam padi dilakukan dua kali dalam setahun, sehingga kegiatan bertanam palawija mulai jarang dilakukan. Dalam kegiatan bercocok tanam padi di sawah dipergunakan berbagai macam peralatan yang terbuat dari logam (besi), antara lain: cangkul , tajak , sasabi , dan goluk . Sedangkan untuk

marhauma (bercocok tanam palawija atau padi di ladang) dipergunakan sebuah alat berupa sepotong kayu yang diruncingkan yang disebut ordang . Dapat ditambahkan bahwa dari dahulu sampai sekarang petani sawah di Mandailing


(44)

umumnya masih memakai sistem irigasi tradisional yang disebut bondar saba , yaitu suatu sistem distribusi (tali) air yang kontruksinya masih sangat sederhana untuk dapat mengairi areal sawah- sawah mereka. Di setiap huta biasanya terdapat sebidang lahan persawahan milik raja yang disebut saba bolak (sawah yang luas).

Begitupun bukan berarti bahwa saba bolak milik raja itu lebih luas daripada areal sawah milik penduduk huta . Menurut Pangaduan Lubis juga, penamaan saba bolak untuk sawah milik raja adalah sebagai suatu penghormatan yang menunjukkan bahwa raja memiliki kelebihan dari alak na jaji (orang kebanyakan). Memang sudah seharusnyalah raja memperoleh hasil panen yang lebih banyak karena raja mengemban fungsi sebagai inganan marsali , yaitu sebagai tempat peminjaman padi bagi warga huta terutama di masa-masa pacekelik.

Selain itu, raja juga memiliki areal sawah tertentu yang disebut saba olet

yang hasil panennya secara khusus dipergunakan untuk menjamu tamu-tamu raja yang datang berkunjung ke Bagas Godang atau setiap orang yang meminta makan kepada Raja. Adanya kewajiban raja yang demikian itu karena raja adalah

talaga na so hiang (tempat persediaan makanan yang tidak pernah habis) bagi orang Mandailing. Di masa lalu, beternak juga termasuk sumber mata pencaharian tambahan bagi penduduk huta . Terutama beternak manuk (ayam), itik (bebek),

ambeng (kambing), lombu (sapi) dan orbo (kerbau). Ternak kerbau banyak diperlukan sebagai hewan sembelihan disebut longit pada berbagai upacara adat dan ritual. Di beberapa huta, raja memiliki padang pengembalaan kerbau sendiri


(45)

yang disebut jalangan . Akan tetapi sangat disayangkan bahwa kegiatan beternak kambing dan kerbau sekarang ini sudah mulai berkurang.

Kolam ikan yang disebut tobat banyak ditemukan di setiap huta , baik itu di samping rumah maupun di tempat-tempat lainnya sebagai milik pribadi. Ada pula kolam ikan yang cukup luas milik raja yang dinamakan tobat bolak , yang pada waktu-waktu tertentu ikannya diambil oleh penduduk huta setempat secara bersama-sama. Kegiatan bersama untuk mengambil ikan dari tobat milik raja yang dinamakan mambungkas tobat bolak ini biasanya dilakukan setahun sekali. Dapat dikatakan bahwa kegiatan mambungkas tobat bolak ini merupakan sumbangsih raja kepada rakyatnya dan juga suatu bentuk hiburan yang dapat menggembirakan rakyatnya.

Selain menghasilkan padi, daerah ini juga banyak menghasilkan buah kelapa karena semua penduduknya memanfaatkan tanah pekarangan rumah yang cukup luas dan lingkungan sekitarnya dengan menanam pohon kelapa. Sedangkan di lokasi kaki-kaki gunung dan juga tanah-tanah yang tidak dipergunakan untuk lahan persawahan ditanami penduduk dengan tanaman pohon karet. Beberapa kilometer ke arah utara, di sepanjang aliran Aek Batang Gadis banyak ditemukan pohon pisang dan umbi-umbian milik warga Huta Bargot, Saba Jior dan Jambur-Padang Matinggi.

Wilayah Mandailing Julu yang berhawa sejuk ternyata sangat ideal untuk tanaman kopi yang diperkenalkan kolonial Belanda6 pada abad ke-19 melalui

sistem tanam paksa di masa lalu, terutama di daerah Pakantan dan Huta Godang (Ulu Pungkut). Sejak saat itulah, sebelum Perang Dunia Kedua, kopi yang berasal


(46)

dari tanah Mandailing diekspor ke Amerika dan Eropah, sehingga kopi dari luat

(wilayah) Mandailing ini lama-kelamaan menjadi cukup terkenal di dunia internasional dengan sebutan " Mandailing Coffee ". Selain itu, penduduk juga memanfaatkan lereng- lereng gunung untuk ditanami pohon karet, cengkeh dan kayu manis. Sementara pohon enau yang banyak tumbuh secara alami di daerah ini mereka sadap niranya untuk dijadikan gulo bargot (gula aren) yang cukup terkenal di Sumatera Utara. Dari hasil-hasil tanaman keras inilah penduduk Mandailing Julu memperoleh penghasilan tambahan untuk kemudian dibelikan beras dan kebutuhan hidup lainnya.


(47)

BAB III

BANGUNAN ADAT DAERAH MANDAILING

3. 1. Lokasi Penyebaran Rumah Adat Mandailing, Bagas Godang dan Sopo Godang

Memperhatikan peta wilayah daerah Kabupaten Tapanuli Selatan khususnya, akan terlihat beberapa lokasi sebagai daerah penyebaran bangunan rumah adat. Umumnya bangunan rumah adat ini paling banyak ditemukan di daerah Kecamatan Panyabungan, Kecamatan Kotanopan, dan Kecamatan Muara Sipongi.

Berdasarkan pengamatan lapangan, jumlah bangunan rumah adat yang masih baik keadaannya yang tersebar di ketiga kecamatan tersebut adalah sejumlah + 25 buah bangunan. Bangunan rumah adat tersebut masih terpelihara dan terjaga baik, terutama oleh ahli waris dan ada juga bangunan yang mendapat bantuan perbaikan dari pemerintah daerah, karena dianggap bangunan rumah adat tersebut adalah sebagai bangunan tradisional dan cagar budaya yang harus terjaga kelestariannya.

Bangunan rumah adat tersebut ada yang secara langsung dijadikan sebagai tempat tinggal oleh pemilik bangunan (ahli waris) dan ada bangunan rumah adat yang tidak dijadikan sebagai tempat tinggal, tetapi tetap terawat dan terpelihara oleh pemiliknya.


(48)

Yang memiliki bangunan rumah adat di daerah Mandailing terdiri dari kelompok marga mayoritas, yakni kelompok marga Nasution yang mendiami daerah Kecamatan Panyabungan dan kelompok marga Lubis yang mendiami daerah Kecamatan Kotanopan dan Kecamatan Muara Sipongi.

Hal ini tentu tidak terlepas dari mayoritas marga yang menguasai daerah Mandailing, karena kedua kelompok marga ini adalah merupakan pendiri kerajaan yang terbesar di daerah Mandailing pada zaman-zaman dahulunya. Peninggalan atau bekas-bekas kerajaan marga Nasution dan marga Lubis masih dapat ditemukan pada saat ini. Seperti kerajaan marga Nasution masih dapat kita temukan bekasnya berupa bangunan rumah adat Panyabungan Tonga, Huta Siantar, dan Pidoli Dolok yang memiliki ukuran besarnya berbeda. Diserta sebuah kuburan yang dianggap sebagai nenek moyang marga Nasution yakni si Baroar gelar Sutan Diaru. Sedang kerajaan marga-marga Lubis kita temukan di Singengu, Hutanagodang, Tamiang, dan Pakantan, yang ditandai dengan masih ditemukannya bangunan rumah adat yang besar (Singengu dan Pakantan) maupun kuburan-kuburan tua raja-raja marga Lubis. Menurut silsilah marga Lubis diyakini bahwa yang menurunkan marga Lubis di daerah Mandailing adalah si Lengkitang si Baitang anak Namora Pande Bosi dari Hutatonga Angkola.


(49)

Bangunan rumah adat daerah Mandailing sekarang ini masih dapat kita jumpai, daerah penyebarannya dimulai dari daerah Panyabungan, Gunung Baringin dan diteruskan sampai ke Kotanopan, Singengu, Sayurmaincat, Hutadolok, Hutadangka, Muarasoro, Botung, Husortolang, Hutanagodang dan diteruskan ke Muara Sipongi dan Pakantan. Daerah-daerah inilah yang masih dapat memberi kenyataan keberadaan bangunan rumah adat Mandailing sampai sekarang ini.

3. 2 .Fungsi Bagas Godang dan Sopo Godang

Jenis bangunan rumah adat yang ditemukan di daerah Mandailing, pada umumnya terdiri dari dua macam jenis bangunan yakni Bagas Godang dan Sopo Godang. Di luar kedua jenis bangunan ini adalah rumah biasa sebagai pelengkap dari lingkungan sekitar rumah Raja.

Ditinjau dari segi fungsi bangunannya, masing-masing jenis bangunan memiliki fungsi sendiri-sendiri tetapi saling berhubungan artinya tidak lepas dari makna simbolik sebagai rumah adat.

Bagas Godang, yang disebut juga bagas adat, sebagai tempat tinggal raja huta atau tunggane ni huta, sebagai pemimpin desa (huta), mengatur desa, menegakkan keadilan (hukum) dan menjaga adat ( Basral Hamidy, 1987 ), disebut juga gelar Raja Panusunan Bulung.

Bagas Godang memiliki fungsi sebagai bangunan yang diadatkan oleh masyarakat yang mendiami satu desa satu marga, yang melambangkan bona bulu, artinya bahwa kampung tersebut telah memiliki satu kesatuan adat istiadat yang


(50)

dilengkapi namora natoras (orang yang dituakan), kahanggi (keluarga semarga), anak horu (keluarga pihak menantu), datu, sibaso, ulu balang, ahli seni serta raja pamusuk sebagai raja adat. Di samping itu, bangunan adat juga berfungsi sebagai tempat berkumpul dalam kerja adat, tempat perlindungan bagi setiap anggota masyarakat yang mendapat gangguan bahaya dari perang.

Sopo Godang, berfungsi sebagai tempat penyimpanan benda-benda atau alat-alat kesenian, seperti gordang sambilan, gendang besar (ogung), serta tempat musyawarah adat yang disaksikan semua golongan masyarakat, tempat memutuskan sesuatu perkara adat atau hukum. Di samping itu, juga berfungsi sebagai tempat tamu luar yang akan bermalam, tempat acara kesenian atau tortor. Bangunan Sopo Godang ini biasanya berada di depan atau disamping bangunan

Bagas Godang .

Untuk melengkapi Bagas Godang dan Sopo Godang sebagai bangunan rumah adat di daerah Mandailing, beberapa tempat terdapat bangunan kecil yang berfungsi sebagai tempat menyimpan padi, disebut hopuk. Bangunan kecil ini terdapat di samping bangunan Bagas Godang atau Sopo Godang. Bangunan hopuk sebagai lumbung padi, juga memiliki arti perlambangan yakni lambang kesejahteraan sosial, di mana setiap anggota masyarakat kampung yang kekurangan pangan (makanan, yang sumber makanan pokok adalah beras), dapat meminta bantuan kepada raja (namora), berupa padi yang diambil dari hopuk tersebut.


(51)

Berdasarkan fungsi bangunan rumah adat serta bangunan hopuk tadi, dapat kita temukan betapa tingginya tatanan adat dan kehidupan sosial yang diperlihatkan oleh masyarakat Mandailing. Hubungan yang harmonis antara raja (namora) dengan rakyatnya maupun hubungan di antara sesama anggota keluarga masyarakat dalam satu ikatan adat.

Apabila diperhatikan dari kedua jenis bangunan rumah adat ini, akan terlihat perbedaan struktur dan bentuk bangunan. Bagas Godang memiliki ukuran yang lebih besar dan indah, serta memiliki variasi bangunan yang dilengkapi ruang-ruang dan dapur. Dan kadang-kadang bentuk atap bangunan memiliki empat sudut yang dilengkapi tutup ari dan dilengkapi masing-masing ornamen sebagai perlambang adat. Sedangkan bangunan Sopo Godang, bentuk dan struktur bangunannya lebih kecil dan sederhana. Tidak semua badan bangunan ditutupi oleh dinding, kecuali ruang penyimpanan alat-alat kesenian.

Persamaan yang ditemukan pada bangunan Bagas Godang dan Sopo Godang, terletak pada pola bentuk atapnya serta penerapan maupun penggunaan ornamen pada bagian tutup ari (alo angin).

3.3. Bagas Godang dan Sopo Godang di Pidoli Dolok

Bagas Godang dan Sopo Godang di Pidoli Dolok merupakan bangunan warisan peninggalan Raja marga Nasution. Bagas Godang dan Sopo Godang

didaerah ini juga memiliki fungsi dan kedudukan yang sama dengan Sopo Godang


(52)

Pada sekitar lima belas tahun yang lalu Bagas Godang dan Sopo Godang

telah mengalami perenovasian. Dengan peronovasian maka diharapkan bangunan dapat tetap dilestarikan keberadaanya. Dimana pada saat itu sudah banyak bagian bangunan yang telah rusak dan telah lapuk.

Bangunan Bagas Godang dan Sopo Godang berbentuk persegi panjang. Dibangun menghadap barat. Bangunan Bagas Godang di Panyabungan Tonga memiliki beberapa ciri. Ciri-ciri tersebut diantaranya memiliki atap yang mengarah keempat mata angin. Pada bagian puncak atap menggunakan garis lengkung yang menghubungkan empat tutup ari. Adapun pada saat sebelum direnovasi bahan atap terbuat dari ijuk, namun saat ini sudah diganti dengan seng..

Dibawah atap bangunan diletakkan tutup ari yang berbentuk segi tiga.dan diletakan di keempat arah atap. Tutup ari yang berbentuk segi tiga menggambarkan dalihan natolu sebagai falsafah kehidupan adat Mandailing. Bagian miring disebelah kiri disebut Gaja Manyusu dan miring sebelah kanan disebut Naniang Pamulakan. Pada bagian puncak tutup ari diberi dua buah gambar pedang terbuat dari kayu bersilang yang melambangkan adat dan hukum. Pada bagian tutup ari ini beri gambar ornamen-ornamen yang memiliki makna dan arti yang tersendiri. Ornamen–ornamen tersebut melambangkan adat dan hukum yang berlaku. Ornamen-ornamen tersebut diberi warna merah, putih, dan hitam.

Sementara untuk pewarnaaan, bangunan Bagas Godang dan Sopo Godang

di Pidoli Dolok memiliki warna yang khas. Yaitu warna merah, putih, dan hitam. Yang memiliki arti yang sangat penting yaitu warna merah dapat diartikan bahwa Raja memiliki keberanian dalam memperjuangkan kedudukan dan wilayahnya


(53)

demi membela masyarakat. Warna putih mengandung arti bahwa Raja sangat memperhatikan rakyatnya, baik dalam kondisi susah maupun senang. Dan yang terakhir warna hitam memiliki makna bahwa Raja sangat menghargai nenek moyang dari keturunan Raja yang terdahulunya.

Pada dasarnya badan bangunan Bagas Godang dapat dikategorikan menjadi beberapa bagian. Bagian pertama adalah ruang berupa kamar 3 bilik yaitu ,ruang tengah, ruang depan dan ruang untuk dapur. Pada dasarnya pembagian ruangan dan penyusunaan Bagas Godang berpatok pada keperluan bangunan dan luas bangunan.

Setiap ruangan Bagas Godang memiliki fungsi tersendiri. Ruangan tengah berfungsi sebagai ruangan penerima tamu, ruangan tempat berkumpul keluarga, atau tempat sidang adat. Ruangan ini juga dapat dimanfaatkan masyarakat pada untuk suatu acara ataupun urusan tertentu.

Ruangan depan berfungsi untuk tempat pos pengawal Raja, berfungsi sebagai menjaga keamanan di sekitar wilayah rumah Raja. Kamar tidur berfungsi untuk tempat tidur anak-anak raja. Selain itu juga terdapat kamar terlarang diperuntukan persembahan raja untuk penguasa gaib. Ruangan ini juga diperuntukan untuk menyimpan benda-benda pusaka, seperti : tombak, panah, pedang, tameng dan lain- lain. Dan terakhir ruangan dapur yang berguna sebagai tempat untuk memasak dan menyiapkan makanan.

Pada ruang depan tepatnya pada bagian kanan dan kiri atas tangga masuk terdapat bentuk pahatan dari kayu segi dengan bentuk bulatan yang melambangkan penjaga.


(54)

Sementara bagian tiang sebagai penyangga bangunan terbuat dari kayu bulat dan utuh. Kayu bulat ini kemudian dipahat hingga berbentuk segi delapan. Sementara jumlah tiang sendiri berjumlah ganjil.

Tangga pada bagian depan dan belakang bangunan berguna untuk naik kebangunan. Tangga bagian depan merupakan tangga utama. Bahan anak tangga terbuat dari kayu yang berjumlah sembilan anak tangga. Menurut informasi anak tangga tersebut menandakan adanya kekuasaan Raja yang menempati dalam satu huta. Ada juga yang beranggapan bahwa menunjukkan sembilan anak tangga tersebut mewakilkan sembilan marga yang menduduki seluruh wilayah Mandailing.

Pada Bagas Godang ini konon dikatakan memiliki halaman yang luas dikatakan dengan halaman na bolak. Halaman yang luas ini berbentuk hamparan tanah yang terhampar didepan bangunan. Halaman berfungsi untuk kegiatan yang berkaitan dengan upacara adat. Selain itu halaman berfungsi sebagai tempat perlindungan bagi warga dari kejaran lawanya saat terjadi perkelahian. Orang yang telah berlindung dibagian tengah halaman Bagas Godang tersebut tidak boleh diganggu. Orang tersebut berada didalam perlindungan raja sehingga hanya Raja yang berhak mengambil tindakan untuk mengadilinya.

Sopo Godang sendiri memiliki ukuran yang lebih kecil dari Bagas Godang

. Bentuk atapnya sama dengan atap pada Bagas Godang . Bahan penutup atapnya menggunakan ijuk.

Bangunan ini berbentuk ruang terbuka dengan dinding yang hanya beberapa meter. Pada Bagas Godang hanya ditemukan dua ruangan yakni ruangan


(55)

musyawarah, berbentuk ruangan terbuka dengan ruang memanjang. Ruangan lainya adalah bilik yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan benda-benda perlengkapan kesenian seperti yang telah disebut diatas diantaranya gordang sembilan, gong, gendang umbul–umbul adat dan sebagainya.

Konon dikatakan bangunan Sopo Godang ini memiliki suatu keistimewaan. Pada bagian tengah bangunan terdapat sebuah tiang berbentuk bulat besar dengan ukiran yang indah. Tiang ini berfungsi sebagai penyangga dan berfungsi sebagai tempat bersandar raja pada saat memimpin sebuah pertemuan-pertemuan kerajaan dan bermusyawarah..


(56)

BAB IV

Renovasi Bagas Godang dan Sopo Godang di Pidoli Dolok

Untuk lebih memperjelas mengenai gambaran dalam perenovasian Bagas Godang dan Sopo Godang di Pidoli Dolok. Maka penulis membagi bab ini kedalam beberapa bagian perubahan-perubahan yang telah direnovasi.

4.1. Perubahan dalam renovasi Bagas Godang.

Perubahan Bagas Godang dan Sopo Godang dilakukan pada kurang lebih 15 tahun yang lalu. Dikatakan adanya perubahan melibatkan pihak pemerintahan daerah dan serta pihak pewaris. Kemudian dalam perubahan ini telah terjadi berbagai perubahan. Adapun perubahan-perubahan tersebut adalah :

4.1.1. Bahan Atap.

Bentuk atap pada bangunan Bagas Godang tetap dipertahankan. Namun mengalami perubahan pada bahan yang dipergunakan. Jika pada masa dahulu memakai bahan ijuk nira atau ijuk kelapa sebagai atap rumah, maka saat ini telah diganti menjadi bahan seng. Hal ini dapat diketahui dari keterangan seorang pewaris yang bernama Ali Sultan Nasution.beliau mengatakan :

“ Bentuknya tetap seperti dulu, tapi bahannya kalau aslinya dulu pakai ijuk nira atau ijuk kelapa yang dibentuk sejajar tapi sekarang pakai seng, karna menggunakan seng lebih praktis dan banyak didapat“

Adapun alasan penggantian bahan ijuk menjadi seng disebabkan beberapa alasan. Diantaranya dikatakan bahwa bahan seng lebih kuat dan tahan lama dari pada bahan ijuk. Kemudian bahan seng lebih mudah memperolehnya. Dan bahan seng lebih sesuai dengan kondisi bangunan yang ada saat ini.


(57)

4.1.2. Bentuk tiang.

Pada masa sebelum renovasi tiang merupakan kayu bulat utuh yang diukir menjadi bentuk segi delapan. Saat ini tiang tersebut sudah berubah menjadi bentuk bulat. Tidak tampak lagi pahatan segi delapan pada tiang tersebut. Namun demikian bahan tiang tetap terbuat dari bahan kayu pilihan dari tukang bangunan.

4.1.3. Dasar tiang

Pada saat sebelum renovasi dasar tiang langsung bersentuhan dengan tanah. Tiang yang terbuat dari kayu langsung menghujam tanah . Namun seperti yang saat ini pada bagian dasar tiang sudah diberi beton atau campuran bahan dari adonan semen yang dibentuk persegi atau bulat. Kemudian tiang diletakkan diatas semen tersebut. Menurut beberapa responden hal ini tidak memberikan arti apa-apa hal ini dilakukan agar tiang tidak mudah rusak dan bangunan menjadi kuat dan terlihat kokoh.

4.1.4. Bentuk ruang-ruang dalam bangunan

Setelah direnovasi terjadi beberapa perubahan dalam susunaan ruangan. Menurut responden perubahan ruangan itu boleh saja dilakukan sesuai dengan kebutuhan yang ada.

Saat ini terdapat ruangan kamar yang letaknya lebih didepan.dan diruangan ini juga terdapat kamar mandi. Dimana pada masa sebelum renovasi tidak terdapat ruangan yang memliki kamar mandi. Melainkan diluar ruangan utama dari bangunan Bagas Godang.


(58)

4.1.5. Isi ruangan utama.

Dimana pada ruangan utama pada masa lalu terdapat barang-barang pusaka dan peralatan perang Raja. Tetapi pada masa sekarang hanya ada peralatan perlengkapan ornamen pesta pernikahan seperti pelaminaan mini dan perlengkapan lainnya, seperti foto-foto pemilik pewaris beserta keturunan keluarga besar dari Raja Nasution yang mendiami Pidoli Dolok.

4.1.6. Bentuk dinding teras depan

Pada bagian luar bangunan tepatnya dibagian depan terdapat dinding yang menjadi penghalang menjadikan sebuah teras atau ruang tamu. Dimana pada masa sebelum renovasi pagar ini berbentuk susunan kayu tegak lurus. Maka pada saat renovasi ini dilakukan sudah berubah menjadi bentuk susunan kayu yang menyilang. Menurut beberapa responden perubahan ini tidak memberikan pengaruh apapun, hal ini semata-mata hanya dilakukan sesuai dengan keinginan yang membangun rumah.

4.1.7 Ruangan dapur.

Pada ruangan dapur dimasa sebelum renovasi adalah ruangan yang terbuat dari kayu. Namun setelah direnovasi maka berubah menjadi bangunan beton. Hal ini dilakukan gara dapur dapat terlihat lebih tahan lama.

Perubahan pada Bagas Godang dapat disimpulkan kedalam Tabel dibawah ini, berdasarkan data dari beberapa responden. Sebagai berikut :


(59)

Tabel 1. Perubahan dalam Renovasi Bagas Godang No. Bagian yang

diubah Sebelum renovasi Sesudah renovasi Alasan

1 Bahan Atap Ijuk Seng Lebih tahan lama.

Lebih mudah diperoleh. Serta

mengikuti perkembangan

zaman 2 Bentuk tiang Segi delapan Bulat Lebih mudah

membuatnya/lebih praktis 3 Dasar tiang Langsung di

tanam menghujam

tanah

Di beri alas dari adonan semen

Lebih kuat dan mengikuti model bangunaan saat ini

4 Bentuk

ruangan Kamar

Dibagian belakang

Bagian depan Untuk mengikuti kebutuhan pemakaiaan

ruangan 5 Penambahan

bagian dalam kamar

Tidak ada kamar mandi

Ada kamar mandi beserta bak mandi dan

westafel

Untuk kemudahan sebagai tempat

tinggal oleh pewarisnya 6 Isi ruangan Peralatan

perang,

Pelaminaan pengantin

Peralatan perang sudah tidak ada. Pelaminaan mini

diletakan sekaligus untuk hiasan agar orang

mengetahu pelaminaan adat

Mandailing

7 Bentuk

dinding ruangan teras

luar

Sejajar Silang Hanya untuk

hiasan. Agar lebih indah. 8 Ruangan dapur Dari kayu

Berbentuk panggung

Sudah terbuat dari semen dan

dilantai semen Berada dipermukaan

tanah

Lebih kuat, lebih bersih dan mudah


(60)

4.2. Perubahan dalam renovasi Sopo Godang. 4.2.1. Bahan Atap.

Pada masa sebelum renovasi dikatakan oleh beberapa informan bahwa bahan atap terbuat dari ijuk. Namun setelah renovasi bahan atap telah diganti menjadi bahan seng. Adapun alasan penggantian bahan atap ini dikarenakan seng lebih kuat dan tahan lama serta lebih mudah dalam perawatannya sama halnya dengan Bagas Godang.

4.2.2. Tiang penyangga tengah.

Salah satu keunikan Sopo Godang yang terdapat didaerah ini adalah memiliki tiang penyangga tengah berbentuk bulat yang berukiran indah. Namun saat setelah renovasi tiang tengah tersebut sudah tiada. Dan dikatakan bahwa tiang tengah tersebut adalah tenpat raja bersandar Raja ketika sedang berkumpul, namun saat ini tiang tersebut sudah tidak ada.

4.2.3. Dasar tiang.

Pada masa dahulu tiang Sopo Godang langsung menghujam ketanah. Namun, pada saat ini tiang sudah dilapisi beton pada bagian bawahnya. Dimana tiang tidak langsung menghujam tanah namun sudah dibuatkan dudukannya yang terbuat dari beton.

4.2.4. Bentuk tiang.

Salah satu ciri khas bangunan Bagas Godang dan Sopo Godang di Payabungan Tonga adalah tiang penyanggga bangunaan yang berbentuk segi delapan. Namun saat dilakukan renovasi telah terjadi perubahan. Tiang tidak lagi


(61)

berbentuk segi delapan. Tetapi berbentuk bulat. Namun demikian bahan tiang tetap dipertahankan dengan menggunakan bahan yang terbuat dari kayu.

4.2.5. Dinding pada sekitar ruangan.

Pada masa sebelum renovasi responden mengatakan bahwa Sopo Godang

dulunya terdapat dinding yang berbentuk susunan kayu yang disusun lurus tegak berjajar. Namun pada saat sekarang ini susunan bentuk dinding sudah tidak lurus tegak berjajar. Melainkan sekarang susunan pagar sudah menyilang melingkari sekitar bangunan Sopo Godang.

Perubahan pada Sopo Godang dapat disimpulkan kedalam Tabel dibawah ini, berdasarkan data dari beberapa responden. Sebagai berikut :

Tabel 2. Perubahan pada Renovasi Sopo Godang. No Bagian yang

diubah Sebelum renovasi Sesudah renovasi Alasan

1. Bahan atap Ijuk Seng Lebih kuat

Lebih mudah perawatanya 2. Tiang penyangga

tengah Satu buah tiang Tidak ada tiang Tiang sudah lapuk maka tidak ada penggantinya 3. Dasar tiang Langsung

menghujam tanah

Diberi landasan dari

coran semen

Lebih kuat dan mengikuti gaya permintaan dari yang punya 4. Bentuk tiang Segi delapan Bulat Karena dalam

pembuatannya lebih mudah di

bangun dari pada di bentuk. 5. Dinding sekitar

bangunan

Bentuk berjajar

Bentuk silang Hanya untuk hiasan agar terlihat bagus

dan tampak dingin


(62)

4.3. Nilai-nilai pada bagian yang dirubah saat renovasi Bagas Godang.

Dalam perenovasian Bagas Godang telah terjadi beberapa perubahan. Perubahan itu terlihat baik dari segi bahannya maupun bentuknya. Berikut akan diuraikan nilai-nilai yang terkandung pada bagian-bagian yang telah diubah dalam perenovasian Bagas Godang .Adapun nilai-nilai tersebut diperoleh dari responden dapat dilihat dari table brerikut.

Tabel 3. Nilai-nilai pada bagian yang diubah saat renovasi Bagas Godang

No Bagaian yang diubah

Nilai yang terkandung 1 Bahan Atap

bangunan

Tidak terdapat nilai. Hanya sebagi penutup 2 Bentuk tiang Tiang segi delapan menggambarkan urutan pelaksanaan adapt dan hokum suatu kampong. 3 Dasar tiang Tidak ada nilai, menurut selera pewaris 4 Bentuk ruangan

dalam

Terdapat beberapa ruangan tertentu. Ruangan ini terdiri dari ruang tengah untuk penerima tamu dan tempat berkumpulnya masyarakat. Siapa yang berada diruangan ini merupkan tamu raja. Kamar tidur . ruang

depan tempat penjaga berjaga jaga. Kamar terlarang , tempat raja menyembah mulana jadi nabolon dan

penyimpanaan pusaka. Namun dalam susunaan ruanganya berbeda- beda tergantung dari ukuran besar

ruangan. 5 Isi ruangan

utama

Ruangan ini difungsikan untuk menerima tamu atau berkumpul keluarga raja.

6 Bentuk dinding teras luar

Tidak ada nilai . hanya ornamen penghias sekaligus berfungsi untuk pagar berdinding setengah. Pada bagian ini bentuk yang digunakan adalah bentuk berjajar dan menyilang. Setiap Bagas Godang boleh

saja menggunakan bentuk yang sesuai kehendak pembangunnya.

7 Ruangan dapur Tidak ada nilai. Pada dasarnya ruang dapur dapat dibentuk sesuai selera pemiliknya. Baik bentuk panggung atau tidak panggung, yang penting harus

rendah dari bangunan Bagas Godang.


(63)

4.4. Nilai–nilai pada bagian yang dirubah saat renovasi SopoGodang.

Ada nilai-nilai yang terkandung pada bagian yang mengalami perubahan pada bangunan Sopo Godang berdasarkan data yang diperoleh dari responden dan disimpulkan kedalam tabel berikut ini sebagai berikut :

Tabel 4. Nilai-nilai pada bagian yang dirubah saat renovasi Sopo Godang

No Bagian yang diubah

Nilai yang terkandung

1. Bahan atap Tidak ada nilai yang terkandung didalamnya, hanya sebagai penutup dan bahan atap bebas memakai apaq

saja

2. Tiang

Penyangga Tengah

Tidak ada nilai tertentu hanya sebagai tempat raja bersandar,tapi sekarang pewaris yang mengelola 3. Dasar tiang Tidak ada nilai di rubah atau tidak dirubah dasar tiang 4. Bentuk tiang Menggambarkan urutan pelaksanaan adat dan hukum

suatu kampung 5. Pagar disekitar

bangunan

Tidak ada nilai. Bentuk yang digunakan bergantung pada selera pemiliknya. Bentuk yang jamak adalah

bentuk sejajar dan menyilang. 6. Banyak

penyangga tiang rumah

Tidak ada nilai banyak penyangga tiangnya semua tergantung besar kecilnya bangunan Sopo Godang


(1)

(2)

Gambar 4. Seluruh bangunan Bagas Godang yang sudah direnovasi


(3)

Gambar 6. Bangunan Sopo Godang yang sudah di renovasi. Tidak menggunakan tiang tengah sebagai bersandar Raja

`

Gambar 7. Bangunan Sopo Godang yang belum di renovasi. Masih menggunakan tiang tengah sebagai bersandar Raja


(4)

DAFTAR INFORMAN 1. Nama : M. Fahri Lubis

Umur : 32 tahun

Pekerjaan : Pegawai Pemkot

Jabatan : Karyawan Pegawai Negeri Alamat : Panyabungan

2. Nama : Darman Nasution Umur : 30 tahun

Pekerjaan : Pegawai Swasta Jabatan : Kepala Security Alamat : Panyabungan kota 3. Nama : M. Zein Nasution

Umur : 52 tahun Pekerjaan : Pegawai Jabatan : Karyawan Alamat : Pidoli Dolok 4. Nama : Ali Sutan Nasution

Umur : 47 tahun

Pekerjaan : Petani/berladang Jabatan : -


(5)

5. Nama : H.M.Yusuf Daulay Umur : 52 tahun

Pekerjaan : Pegawai Negeri Jabatan : Karyawan Alamat : Pidoli Dolok

6. Nama : Hj. Maisyaroh Siregar Umur : 54 tahun

Pekerjaan : Pedagang Jabatan : -

Alamat : Pidoli Dolok 7. Nama : Hamdan Hasibuan

Umur : 52 tahun Pekerjaan : Petani Jabatan : -

Alamat : Panyabungan 8. Nama : Edi Nasution

Umur : 29 tahun Pekerjaan : Wartawan Jabatan : -


(6)

9. Nama : Johan Matondang Umur : 61 tahun

Pekerjaan : Pengetua Adat Jabatan : -

Alamat : Pidoli Dolok 10.Nama : Situmorang

Umur : 46 tahun Pekerjaan : Supir Jabatan : -