Perbandingan Tahapan Upacara Perkawinan pada Masyarakat Jepang dan Masyarakat Aceh

(1)

PERBANDINGAN TAHAPAN UPACARA PERKAWINAN

PADA MASYARAKAT JEPANG DAN MASYARAKAT ACEH

NIHON TO ACEH NO KEKKONSHIKI NO DANKAI NO

HIKAI

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana

Bidang Ilmu Sastra Jepang Oleh:

FITRI YANI NIM:040708007

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG

MEDAN


(2)

PERBANDINGAN TAHAPAN UPACARA PERKAWINAN

PADA MASYARAKAT JEPANG DAN MASYARAKAT ACEH

NIHON TO ACEH NO KEKKONSHIKI NO DANKAI NO

HIKAI

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana

Bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh: FITRI YANI

NIM:040708007

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

Drs.Eman Kusdiyana.M.Hum Prof.Hamzon Situmorang.M.S.Ph.D NIP : 19600919 1988 03 1 001 NIP: 19580704 1984 12 1 001

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG

MEDAN


(3)

Disetujui oleh

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

Departemen Sastra Jepang Ketua Program Studi

Prof. Hamzon Situmorang. M.S. Ph.D NIP.19580704 1984 12 1 001


(4)

PENGESAHAN

Diterima oleh,

Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu Ujian Sarjana dalam bidang Ilmu Sastra Jepang pada Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

Pada : Pukul

Tanggal : Hari :

Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara Dekan

Prof.Drs. Syaifuddin, M.A, Ph.D NIP.132098531

Panitia Ujian

No. Nama Tanda Tangan 1. Prof. Hamzon Situmorang, M.S, Ph.D ( ) 2. Drs.Eman Kusdiyana, M.Hum ( ) 3. Drs.Yuddi Adrian, M.A ( )


(5)

KATA PENGANTAR

BISMILLAHIRROHMANIRRAHIM....

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT, karena dengan rahmat dan ridhoNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Perbandingan Tahapan Upacara Perkawinan pada Masyarakat Jepang dan Masyarakat Aceh, ini diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam mencapai gelar kesarjanaan pada Fakultas Sastra Program Studi Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih, penghargaan, serta penghormatan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan studi dan skripsi ini, antara lain kepada:

1. Bapak Prof. Drs. Syaifuddin, M.A, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S, Ph.D, selaku Ketua Program Studi S-1 Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara dan sebagai dosen pembimbing II.

3. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum, selaku dosen pembimbing I yang telah menyediakan waktu di sela-sela kesibukannya untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. 4. Dosen Penguji Ujian Skripsi, yang telah menyediakan waktu untuk

membaca dan menguji skipsi ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada semua Dosen Pengajar Program Studi S-1 Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan banyak ilmu kepada penulis, sehingga penulis dapat meyelesaikan perkuliahan dengan baik.


(6)

5. Terima kasih yang sebesar - besarnyanya penulis ucapkan untuk kedua orang tua tersayang dan tercinta Ayahanda Busmar dan Ibunda Yuliar yang telah banyak mencurahkan kasih sayangnya, do’a dan perhatiaanya kepada penulis.

6. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada saudara-saudaraku yang telah banyak memberikan dukungan dan doanya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini ( kak Evi, bang Imang, kak

Agus, bang Iwan, bang Iwin, kak Dewi ).

7. Tidak lupa juga penulis ucapkan terima kasih kepada kakak dan abang iparku.Buat kak yuli terima kasih atas kebersamaannya selama ini.

8. Keponakan – keponakanku tercinta ( Agung, Gunawan, Intan, Melly, Nayla, Raisha, Fatan, Faliq, Faiz, Icha, Aira, Habib ) aku sayang kalian.

9. Teman-teman yang telah membantu dan memberi support kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Teman-teman Sastra Jepang stambuk 2004,,,, Uchi, Dhona, Mischa, Rahma, Tobey, Citra, Rudi, Salim, Ai terima kasih atas kebersamaannya selama ini. Semoga kita sukses dalam menghadapi masa depan yang lebih cerah.

10. Kepada sahabat ku Ulfa terima kasih buat persahabatan kita selama ini.Semoga persahabatan kita tetap terjaga.

11. Buat Icut dan Sarah yang selalu menemani perjalananku antara Jakarta – UI.

12. Semua pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.


(7)

Penulis menyadari bahwa tidak ada yang sempurna dalam hidup ini, termasuk juga dalam penulisan skripsi ini. Namun penulis tetap mencari kesempurnaan tersebut dalam suatu nilai pekerjaan yang dilakukan secara maksimal. Maka dengan berangkat dari prinsip itu jugalah, penulis berusaha merampungkan skripsi penulis tersebut.

Medan, Maret 2010 Penulis

Fitri Yani


(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 7

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan ... 8

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ... 9

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 14

1.6 Metode Penelitian ... 15

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TAHAPAN UPACARA PERKAWINAN PADA MASYARAKAT JEPANG DAN MASYARAKAT ACEH ... 16

2.1. Perkawinan Pada Masyarakat Jepang ... 16

2.1.1 Bentuk Keluarga pada Masyarakat Jepang ... 19

2.1.2 Makna Perkawinan pada Masyarakat Jepang ... 22


(9)

2.1.4 Tahapan Upacara Perkawinan pada Masyarakat

Jepang ... 24

2.2 Perkawinan pada Masyarakat Aceh ... 26

2.2.1 Bentuk Keluarga pada Masyarakat Aceh ... 27

2.2.2 Makna Perkawinan pada Masyarakat Aceh ... 28

2.2.3 Jenis-jenis Perkawinan pada Masyarakat Aceh ... 28

2.2.4 Tahapan Upacara Perkawinan pada Masyarakat Aceh ... 30

BAB III PERBANDINGAN TAHAPAN UPACARA PERKAWINAN PADA MASYARAKAT JEPANG DAN MASYARAKAT ACEH ... 31

3.1 Tahapan Upacara Perkawinan pada Masyarakat Jepang ... 31

3.1.1 Sebelum Upacara Perkawinan... 31

3.1.2 Upacara Perkawinan ... 37

3.1.3 Setelah Upacara Perkawinan ... 42

3.2 Tahapan Upacara Perkawinan pada Masyarakat Aceh ... 43

3.2.1 Sebelum Upacara Perkawinan ... 43


(10)

3.2.3 Setelah Upacara Perkawinan ... 52

3.3 Analisis Perbandingan Upacara Perkawinan pada Masyarakat Jepang dan Masyarakat Aceh ... 54

3.3.1 Sebelum Upacara Perkawinan... 55

3.3.2 Upacara Perkawinan ... 57

3.3.3 Setelah Upacara Perkawinan ... 59

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN... 62

4.1. Kesimpulan ... 62

4.2. Saran ... 63

DAFTAR PUSTAKA


(11)

ABSTRAK

Upacara perkawinan adalah tahapan acara yang dilakukan mulai dari awal menentukan pasangan sampai kepada pesta pernikahan sesudahnya, didalamnya mengandung unsur ritual dan nilai. Penyelenggaraan tersebut disebabkan adanya kesadaran bahwa setiap tahap baru dalam daur hidup, menyebabkan masuknya seseorang kedalam lingkungan sosial yang baru dan lebih luas.

Bentuk perkawinan sangat erat kaitannya dengan bentuk keluarga. Dalam masyarakat Jepang ada dua buah bentuk keluarga yaitu Kazoku dan Ie. Kazoku adalah sistem kekerabatan yang terbentuk hanya atas dasar hubungan suami – isteri, orang tua dan anak – anak dalam kurun waktu beberapa generasi saja, sedangkan Ie anggota – anggotanya terdiri dari beberapa generasi meliputi anggota yang masih hidup dan sudah mati.

Upacara perkawinan di Jepang dibedakan menjadi tiga macam, yaitu

Shinzen Kekkonshiki ( perkawinan berdasarkan agama Shinto ), Butsuzen

Kekkonshiki ( perkawinan berdasarkan agama Budha ) dan Kirisutokyoo

Kekkonshiki ( perkawinan berdasarkan agama Kristen ).

Sedangkan dalam masyarakat Aceh bentuk keluarga dikenal dengan istilah keluarga batih. Keluarga batih adalah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak – anak yang belum menikah. Upacara perkawinan di Aceh dilakukan berdasarkan hukum Islam karena masyarakat Aceh kebanyakan beragama Islam.

Secara garis besar perkawinan masyarakat Jepang dan masyarakat Aceh dibagi atas tiga tahapan, yaitu : adat sebelum menikah, adat pelaksanaan upacara perkawinan, dan adat setelah menikah.


(12)

Persamaan yang terdapat sebelum upacara perkawinan masyarakat Jepang dan masyarakat Aceh yaitu adanya perantara. Di Jepang perantara perkawinan disebut Nakoodo sedangkan di Aceh disebut Seulangke. Tidak hanya itu, fungsi antara Nakoodo dan Seulangke pun hampir sama yaitu disamping memperkenalkan, juga bertanggung jawab dalam pelaksanaan upacara dan menjaga hubungan baik berkelanjutan antara kedua pasangan yang menikah.

Persamaan yang lain yaitu di Jepang ada acara pertunangan yang disebut

Yuinoo, dimana dilakukan pertukaran barang – barang pihak pria dan wanita.

Barang – barang yang biasanya diberikan adalah berupa uang sebanyak tiga bulan gaji. Pada masyarakat Aceh ada juga acara antar tanda sebagai peresmian pertunangan. Pihak laki – laki juga memberikan barang – barang kepada pihak perempuan berupa bahan – bahan makanan, pakaian dan sebagian mas kawin.

Untuk perbedaan sebelum upacara perkawinan, pada masyarakat Aceh seminggu sebelum hari upacara perkawinan terdapat rentetan kegiatan yang sangat padat sekali yaitu kegiatan meukeureuja, malam berinai, mandi berlimau dan akad nikah. Sedangkan di Jepang, sebelum upacara perkawinan kegiatan yang dilakukan adalah pengiriman hadiah – hadiah dari pihak laki – laki kepada pihak perempuan, pengiriman hocha, dan kekantor catatan sipil.

Tahapan kegiatan upacara perkawinan antara masyarakat Jepang dan masyarakat Aceh jelas berbeda. Di Jepang kegiatan yang dilakukan adalah Karishugen, noshi no gi, san – san – ku – do dan resepsi perkawinan. Sedangkan di masyarakat Aceh kegiatan yang dilakukan adalah berhias, mengantarkan pengantin laki – laki kerumah pengantin perempuan, santap bersama, bersanding, peusijuk, makan berhadap – hadapan dan berfoto.


(13)

Kegiatan yang dilakukan setelah upacara perkawinan dalam masyarakat Jepang adalah upacara minum sake bersama dengan tujuan saling berkenalan dengan keluarga besar. Sedangkan dalam masyarakat Aceh diadakan upacara Tueng Dara Baro, yaitu mengantarkan pengantin wanita kerumah mertuanya.


(14)

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah

Dalam pandangan Gennep (Winangun,1990 : 33) ketika seseorang memasuki masa peralihan (Rites of Passage) akan mengalami tiga proses, yaitu (1) Ritus pemisahan, yaitu ketika seseorang meninggal dan dimakamkan, orang tersebut akan pisah dengan sanak keluarga, dan memasuki cara hidup yang lain (2) Ritus peralihan, yaitu suatu pemindahan status dari tempat, umur tertentu ke status lain, misalkan kehamilan, supitan, tetesan dan sebagainya (3) Ritus Inkorporasi, yaitu ritus yang menyatukan, misalkan hubungan pernikahan. Pernikahan adalah menyatukan dua keluarga.

Jepang adalah negara yang kaya akan tradisi dan budayanya. Jika kita membahas mengenai Jepang secara keseluruhan, ada hal yang tidak luput dari pandangan kita yaitu kebiasaaan masyarakat Jepang dengan tradisinya yang unik dan beragam. Meskipun Jepang dikenal sebagai negara maju, namun masyarakatnya tetap menjaga tradisi itu secara turun menurun seperti upacara minum teh, hari anak laki-laki, upacara pernikahan, dan masih banyak lainnya. Diantara semuanya, upacara pernikahan merupakan salah satu peristiwa terpenting didalam ritus-ritus kemanusiaan orang Jepang.

Kebudayaan bersifat universal dimililki oleh setiap bangsa didunia ini. Hampir tiap bangsa memiliki kebudayaan yang berbeda-beda. Jepang merupakan salah satu negara didunia yang selalu berusaha memelihara dan melestarikan kebudayaan bangsanya. Bangsa Jepang umumnya dikenal sebagai bangsa yang mampu mengambil dan menarik manfaat dan hasil budidaya bangsa lain tanpa


(15)

mengorbankan kepribadian sendiri. Selain itu juga sifat bangsa Jepang yang menunjukkan naluri yang sangat kuat untuk menjamin kelangsungan hidupnya serta meneruskan nilai-nilai budaya bangsanya. Banyak sikap dan sifat orang Jepang yang berkaitan erat dengan nilai-nilai penting yang harus dipertahankan didalam kehidupan masyarakat Jepang (Reishchaver, 1982:192).

Koentjaraningrat (1997: 92) menyatakan bahwa dalam setiap masyarakat hidupnya dibagi-bagi kedalam tingkat-tingkat. Tingkatan tersebut dinamakan tingkat-tingkat sepanjang daur hidup yang meliputi: masa bayi, masa anak-anak, masa remaja, masa dewasa, masa sesudah menikah, masa kehamilan, masa tua. Pada masa peralihan antara satu tingkat kehidupan ketingkat berikutnya biasanya diadakan pesta atau upacara yang bersifat universal.

Penyelenggaraaan upacara tersebut disebabkan adanya kesadaran bahwa setiap tahap baru dalam daur hidup, menyebabkan masuknya seseorang kedalam lingkungan sosial yang baru dan lebih luas. Pada banyak bangsa, upacara daur hidup dilaksanakan sebagai upaya untuk menolak bahaya gaib yang timbul ketika masa peralihan. Disamping itu, upacara-upacara itu juga memilki fungsi sosial; antara lain memberitakan kepada khalayak ramai mengenai perubahan tingkat hidup yang telah dicapai.

Upacara perkawinan adalah tahapan acara yang dilakukan mulai dari awal menentukan pasangan sampai kepada pesta pernikahan dan sesudahnya, yang mana didalamnya mengandung unsur unsur ritual dan nilai-nilai. Upacara perkawinan menurut Suyanto dan Narwoko (2004:207), adalah kegiatan-kegiatan yang telah dilazimkan dalam usaha mematangkan, melaksanakan dan menetapkan suatu perkawinan.


(16)

Bentuk perkawinan sangat erat kaitannya dengan bentuk keluarga. Dalam masyarakat Jepang dikenal ada dua buah konsep keluarga yaitu keluarga sebagai “Kazoku” dan keluarga sebagai “Ie”.

Keluarga (Kazoku) menurut Situmorang (2006 : 22), adalah hubungan suami istri, hubungan orang tua dan anak dan diperluas pada hubungan persaudaraan yang didasarkan pada struktur masyarakat tersebut. Kazoku merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang merupakan komponen terpenting dalam pembentukan sistem kekerabatan dari kazoku inilah akan lahir sistem keluarga tradisional Jepang yang disebut dengan Ie.

Ie (), yang banyak diungkapkan dengan katakana (イ エ) adalah

sekelompok orang yang tinggal disebuah lingkungan rumah memilki keterikatan antara anggota. Ikatan sosial para anggota khususnya dibidang kepercayaan (pemujaan), ekonomi dan moral (Situmorang 2000 : 98).

Ariga Kizaemon dalam Situmorang (2006 : 24), mengatakan bahwa pada awalnya Ie terbentuk karena adanya pernikahan yaitu terbentuknya keluarga inti. Tetapi setelah mereka mempunyai anak dan apabila suami atau ibu didalam keluarga tersebut meninggal maka kepala keluarga tersebut diganti oleh anak laki-laki tertua. Jika keluarga tersebut tidak mempunyai anak laki-laki-laki-laki maka suami dari anak perempuan dapat diangkat menjadi kepala keluarga.

Jadi dapat disimpulkan bahwa perbedaan Kazoku dengan Ie adalah bahwa

Kazoku adalah sistem kekerabatan yang terbentuk hanya atas dasar hubungan


(17)

sedangkan Ie anggota-anggotanya terdiri dari beberapa generasi meliputi anggota yang masih hidup dan mati.

Peranan Nakoodo sangat penting sebagai perantara Ie dengan Ie dalam perkawinan di Jepang. Nakoodo adalah orang yang bertugas mencarikan pasangan calon pengantin. Berdasarkan pendapat Marta (1995 :6), perkawinan dalam bahasa Jepang dikenal dengan istilah “Kekkon” atau “Kon’in”. upacara perkawinan di Jepang dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu: Shinzen kekkon shiki (perkawinan berdasarkan agama Shinto), Butsuzen kekkon shiki (perkawinan berdasarkan agama Budha) dan Kiritsutokyoo kekkon shiki (perkawinan bersarkan agama Kristen).

Saat ini di Jepang, terdapat dua tata cara pernikahan yaitu, tata cara pernikahan modern yang dilangsungkan di gereja dengan sistem agama Kristen dan tata cara pernikahan tradisional yang dilangsungkan di kuil dengan sistem Budha atau Shinto. Masyarakat Jepang sendiri saat ini lebih tertarik pada upacara pernikahan dengan cara yang modern, yaitu menikah denngan tata cara Kristen di gereja meski keduanya tidak beragama Kristen, tetapi yang menikahkan keduanya tetap pendeta. Banyak diantara mereka tertarik dengan tata cara ini karena ingin memakai gaun pengantin berwarna putih yang indah serta disaksikan oleh keluarga, teman dan kerabat dekat.

Oleh karena itu dalam penelitian ini, Aceh diambil sebagai bahan perbandingan kebudayaan untuk mewakili bangsa Indonesia secara keseluruhan. Sedangkan untuk kajian Jepang yang diambil secara keseluruhan karena kebudayaan jepang dianggap bisa mewakili seluruh sub-sub di daerah tersebut.


(18)

Masyarakat Aceh adalah masyarakat yang memegang teguh adat istiadatnya. Jiwa adat yang sejalan dengan agama islam masih dikhayati oleh masyarakat Aceh, sesuai dengan ungkapan dalam adat Meukuta Alam/Adat Poteu

Meureuhom, yakni: Hukom ngon Adat han jeut cre, lagee dzat ngon sipheut

“Hukum dengan adat tidak bercerai, seperti tidak bercerainya zat dengan sifat” (Alamsyah, dkk, 1990:10). Jika dikaji ulang semua strata kehidupan dilaksanakan secara adat.

Bagi masyarakat Aceh perkawinan bukan saja menyangkut penggabungan dua insan saja, tetapi lebih kepada penyatuan dua keluarga besar. Bentuk keluarga di Aceh dikenal dengan istilah “keluarga Batih” atau “rumah tangga”. Keluarga Batih adalah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak yang belum menikah. Keluarga Batih merupakan kesatuan ekonomi dan kesatuan adat, dalam hal ini laki-laki lebih dititikberatkan tanggung jawabnya dalam usaha perekonomian, hubungan pemerintahan, dan kemasyarakatan. Sedangkan kaum wanita disamping bertugas membantu kaum laki-laki dalam berbagai usaha, juga peranannya lebih dituntut untuk mengurus rumah tangga dan pengasuhan anak.

Secara garis besar upacara perkawinan masyarakat Aceh dibagi atas tiga tahapan yaitu: adat sebelum perkawinan, adat pelaksanaan perkawinan dan adat sesudah perkawinan. Di dalam ketiga tahapan tersebut mempunyai bagian-bagian tardisi yang unik dan syarat akan nilai. Makna perkawinan bagi masyarakat Aceh berdasarkan fungsi sosial perkawinan yaitu pasangan yang baru saja menikah, hidup bersama dalam satu ikatan, diakui dan disetujui oleh anggota-anggota masyarakat. Kepada mereka dituntut untuk bekerja sama antara sesamanya dan


(19)

kadang-kadang dengan anggota kerabat lainnya dalam mengasuh rumah tangga (Suwondo, 1978:43).

Satu diantara kegiatan yang khas pada upacara perkawinan di Aceh adalah

Cah Ret. Alamsyah, dkk (1990:37), menyimpulkan bahwa Cah Ret adalah

langkah awal dalam mencari jodoh yang dilakukan oleh ibu anak laki-laki ditemani oleh seorang atau dua orang wanita lain secara tidak resmi datang ke rumah gadis yang dimaksud. Alasan yang dicari umpamanya kalau dirumah itu ada orang sakit, datangnya untuk menjenguk orang sakit, atau jika didalam kebun pekarangan rumah gadis tersebut ada pohon buah-buahan, maka mereka berpura-pura mencari buah-buahan.

Dalam perkawinan tradisional masyarakat Aceh, orang yang bertugas sebagai perantara keluarga calon pengantin disebut dengan Seulangke (Alamsyah, dkk, 1990:38). Seulangke ditunjuk dari orang yang dituakan di dalam kampong yang cukup bijaksana, berwibawa, berpengaruh dan alim serta mengetahui seluk-beluk adat perkawinan. Pada tradisi perkawinan di Aceh dikenal istilah “upacara mengantar tanda”. Mengantar tanda adalah pihak laki-laki menyerahkan “tanda” kepada pihak wanita sebagai ikatan. Tanda itu berupa bawaan, bawaan itu berupa bahan-bahan makanan, pakaian, dan sebagian dari mahar atau mas kawin (Soewondo, 1979:69). Pelaksanaan upacara ini dilakukan oleh Seulangke. Disamping Seulangke sebagai pelopornya, disertai juga orang-orang tua kampong,

Keuchik, Tengku Meunasah, Ketua adat dan beberapa orang kaum kerabat dari


(20)

Upacara mengantar tanda juga terdapat pada tradisi upacara perkawinan di Jepang.Menurut Situmorang dalam Dani (2005:20), menjelaskan bahwa bukti-bukti janji perkawinan yang berasal dari calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan disebut Yuuino. Benda pengikat dari bukti tersebut disebut Yuinomono yang biasanya terdiri dari sejumlah uang, barang tekstil, beras, sake dan lain-lain. Hal ini dipertegas lagi oleh Wibowo (2005:19), yang mengatakan bahwa tata cara untuk meresmikan kedua calon pengantin dalam masyarakat Jepang dimulai dari Yuinoo. Yuinoo dibagi dua yaitu Yuinoohin dan Yuinookin. Pertukaran barang-barang sebagai tanda pertunangan disebuat Yuinoohin, sedangkan pemberian uang sebanyak dua atau tiga bulan gaji calon pengantin pria disebut dengan Yuinookin. Sebagai balasan Yuinookin pihak akan memberikan setengah dari uang yang diterimanya.

Pada dasarnya tahapan-tahapan upacara perkawinan dalam masyarakat Aceh dan masyarakat Jepang sama-sama memilki tiga fase yaitu: masa pra upacara perkawinan, upacara perkawinan, dan pasca perkawinan. Disamping mempunyai perbedaan dalam substansi kegiatan pada fase tersebut, namun setelah ditelaah lebih lanjut terdapat juga persamaan-persamaan upacara tersebut.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penelitian ini akan berusaha mengungkapkan persamaan dan perbedaan yang terdapat dalam upacara perkawinan tradisional masyarakat Jepang dan masyarakat Aceh melalui judul skripsi “Perbandingan Tahapan Upacara Perkawinan Pada Masyarakat Jepang Dan Masyarakat Aceh”.


(21)

1.2. Perumusan Masalah

Salah satu wujud dari kebudayaan adalah sistem sosial, yaitu tindakan berpola dari masyarakat, terdiri dari aktifitas-aktifitas manusia yang saling berinteraksi, berhubungan serta bergaul dengan yang lainnya. Sebagian rangkaian tersebut dapat di observasi, dikaji dan di dokumentasikan.

Dalam masyarakat Jepang dan masyarakat Aceh terdapat beberapa persamaan dan perbedaan dalam hal perkawinan. Persamaan dan perbedaan terebut merupakan hal yang wajar dalam sebuah konsep perbandingan. Salah satu contoh persamaan adalah dalam menentukan pasangan. Di Jepang, menentukan pasangan dilakukan oleh seorang perantara yang disebut Nakoodo dengan melakukan penjajakan antar Ie, sedangkan dalam masyarakat Aceh menentukan pasangan dilakukan juga oleh perantara yang disebut Seulangke dengan melakukan kegiatan Cah Ret atau penjajakan.

Persamaan yang lain adalah dalam hal bentuk perkawinan yang berkaitan erat dengan bentuk keluarga. Kemudian dalam hal pertunangan, masyarakat Jepang dan Masyarakat Aceh sama-sama melakukan pertunangan dengan menyerahkan benda-benda berharga sebagai syarat untuk melanjutkan ke jenjang perkawinan. Dalam masyarakat Jepang benda-benda tersebut dapat berupa uang, barang tekstil, beras, sake dan lain-lain. Tetapi di Aceh menurut Soewondo (1979:69), benda-benda yang dibawa adalah berupa bahan-bahan makanan , pakaian dan sebagian mahar atau mas kawin. Jadi, untuk mengetahui bagaimana perbandingan upacara perkawinan tradisional dalam masyarakat Jepang dan


(22)

Masyarakat Aceh akan dilihat dari persamaan dan perbedaan upacara serta sistem perkawinannya. Dalam bentuk pertanyaan permasalahannya adalah:

1. Bagaimana bentuk keluarga dan tahapan upacara perkawinan masyarakat Jepang dan masyarakat Aceh?

2. Apa saja persamaan dan perbedaan tahapan upacara perkawinan tradisional dalam masyarakat Jepang dan masyarakat Aceh?

1.3. Ruang Lingkup Pembahasan

Adanya persamaan dan perbedaan dalam upacara perkawinan dalam masyarakat Jepang dan Aceh masyarakat merupakan hal menarik, karena Jepang dan Propinsi Aceh merupakan dua tempat yang berjauhan. Namun tidak menutup kemungkinan adanya persamaan unsur kebudayaan antara dua suku bangsa tersebut, terutama dalam tahapan upacara perkawinannya. Dengan demikian ruang lingkup pembahasannya terbatas pada persamaan dan perbedaan tahapan upacara perkawinan masyarakat Jepang dan masyarakat Aceh serta unsur-unsur yang mempengaruhinya. Dalam menguraikan tahapan upacara perkawinan, penulis akan menggunakan beberapa konsep perkawinan dan kajian pranata perkawinan, juga mengenai bentuk keluarga, makna perkawinan, jenis – jenis perkawinan dan tahapan upacara perkawinan pada kedua masyarakat tersebut.


(23)

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

1.4.1. Tinjauan Pustaka

Perkawinan adalah suatu transaksi dan kontrak yang sah dan resmi antara seorang pria dan wanita yang mengukuhkan hak mereka secara tetap (Haviland, 1993:77).

Perkawinan merupakan pengatur tingkah laku manusia yang berkaitan dengan kehidupan biologisnya. Disamping itu perkawinan mempunyai beberapa fungsi yaitu melanjutkan generasi keluarga, memenuhi hak dan kewajiban sebagai suami istri, tentu juga memelihara hubungan baik dengan kelompok-kelompok kerabat tertentu (Koentjaraningrat, 1997:93).

Lebih lanjut Koentjaraningrat (1980:76), secara tegas menyatakan bahwa perkawinan mempunyai dua arti biologis dan sosiologis. Dipandang dari sudut biologis, perkawinan merupakan pengatur perilaku manusia yang berkaitan dengan seksual. Sedangkan dari sudut sosiologis, perkawinan memiliki beberapa fungsi yaitu memberi ketentuan hak dan kewajiban serta perlindungan terhadap anak. Selain itu perkawinan juga memenuhi kebutuhan manusia akan teman hidup dan memenuhi akan status dalam masyarakat.

Dengan menikah sepasang suami isteri akan membentuk suatu kesatuan sosial yang disebut rumah tangga, yaitu kesatuan yang mengurus ekonomi rumah tangganya (Haviland, 1993:105). Selanjutnya William dalam Hendry (1987:322-323), menyatakan bahwa perkawinan merupakan rencana untuk meneruskan keturunan yang diberitakan pada masyarakat umum, diakui oleh masyarakat


(24)

sebagai penyatuan seksual. Berdasarkan perjanjian perkawinan diuraikan hak dan kewajiban pasangan dan masa depan anak-anak.

Di Jepang ada dua bentuk keluarga tradisional yaitu Kazoku dan Ie. Kazoku adalah general konsep dalam keluarga Jepang yaitu hubungan antar suami istri dan hubungan antara orang tua dengan anak diperluas pada hubungan persaudaraan. Keluarga tradisional Jepang cenderung merupakan keluarga besar. Dalam melanjutkan kehidupan keluarga tradisional tidak lepas dari pekerjaan-pekerjaan yang religius. Keluarga yang telah mempunyai usaha, tradisi, simbol-simbol tertentu disebut dengan Ie. Jadi, yang dimaksud dengan Ie adalah keluarga yang anggota-anggotanya terdiri dari beberapa generasi dan telah mempunyai tradisi tertentu (Situmorang, 2005:45).

Pada masyarakat tradisional Jepang, perkawinan yang sering terjadi adalah

miakekkon, yaitu perkawinan yang dijodohkan oleh pihak ketiga dengan tujuan

meneruskan keturunan sistem Ie. Pada masa sekarang miaikekkon sudah jarang terjadi yang digantikan oleh ren’ai kekkon, yaitu perkawinan atas dasar cinta. Sejak Jepang mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat yaitu sejak tahun 1970, menurut Situmorang (2005:18-19), bentuk-bentuk perkawinan menjadi beraneka ragam. Misalnya, perkawinan internasional, perkawinan tanpa melapor ke catatan sipil, perkawinan pisah rumah dan sebagainya.

Tujuan perkawinan dalam masyarakat Jepang ada bermacam-macam. Pada masyarakat tradisional, perkawinan bertujuan untuk meneruskan keturunan Ie terutama bagi Shison (Putera pertama yang harus membawa istri ke dalam keluarga suami untuk menghasilkan keturunan). Sedangkan pada masyarakat pada


(25)

masyarakat modern, perkawinan dilaksanakan atas dasar cinta sebagai landasan tunggal dan rasa saling membutuhkan antara kedua pihak yang melaksanakan perkawinan (Hendry, 1987:115).

Bentuk keluarga pada masyarakat Aceh disebut keluarga batih (rumah tangga). Menurut Suwondo (1979:23), keluarga batih adalah bentuk keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak yang belum menikah.

Pada masyarakat Aceh, perkawinan dianggap sebagai suatu pekerjaan yang sangat suci, religi dan sakral. Orang tua yang mempunyai anak menginjak usia 15 tahun ke atas akan mengutus Seulangke untuk mencarikan pasangan yang cocok. Tujuannya adalah untuk terlaksananya perkawinan yang ideal menurut pandangan masyarakat Aceh. Dikatakan seimbang apabila berlangsung antara pasangan yang seimbang. Dalam istilah Aceh disebut “kawin sekufu”. Keseimbangan yang dimaksud adalah keseimbangan menurut ukuran keturunan, strata sosial, umur, kekayaan dan seimbang menurut ukuran bentuk dan paras (Suwondo, 1979:47).

Dari penjelasan diatas ada kesamaan dari tujuan perkawinan menurut Koentjaraningrat, William dan Hendry yaitu perkawinan merupakan rencana untuk melanjutkan generasi keluarga.

1.4.2. Kerangka Teori

Untuk membuktikan bahwa dalam sebuah perkawinan juga terdapat hal-hal yang mengungkapkan konsep perbandingan yaitu persamaan dan perbedaan, maka penulis akan menggunakan teori komparatif. Konsep perbandingan yang


(26)

terdapat dalam kebudayaan yaitu perkawinan akan dijadikan sebagai tanda untuk di interpretasikan dengan melihat perilaku dari masyarakat yang melaksanakannya.

Teori komparatif yang mengelompokkan masyarakat-masyarakat yang sama besarnya maupun sistem ekonominya, akan menganalisa bagaimana organisasi masyarakat tersebut disusun. Teori ini juga memperhatikan urutan yang sungguh-sungguh terjadi, bukan urutan-urutan imajiner yang disusun dari masyarakat yang terpisah jauh. Ruang dan waktu adalah satu usaha untuk membahas masalah-masalah penting dengan cara strategis yang bermanfaat (Keesing, 1992:2).

Menurut Staruss (2000:12), ada beberapa teori yang dapat menjelaskan penyebab adanya persamaan pada dua kebudayaan yang berbeda dalam ilmu antropologi, teori tersebut adalah:

1. Teori Sruktualisme, menyatakan bahwa kebudayaan sebagai perwujudan

yang tampak dari struktur mental yang terpengaruh oleh lingkungan fisik dan sosial kelompok maupun sejarahnya. Dengan demikian, dalam kebudayaan banyak terdapat perbedaan antara satu dengan yang lainnya meskipun struktur proses berpikir manusia dianggap elementer. Oleh karena itu, kebudayaan bersifat universal sehingga menyebabkan kebudayaan itu dimana-mana sama.

2. Teori Difusianisme, menyatakan bahwa adanya persamaan unsur-unsur


(27)

hubungan antara bangsa pemilik kebudayaan yang bersangkutan dimasa lampau.

Jadi, untuk memahami perkawinan secara perbandingan kita harus melihatnya sebagai suatu hubungan yang legal, menentukan pihak-pihak yang terlibat, hak-hak dan barang berharga apa saja yaitu tukarkan. Semua itu ditujukan untuk siapa dibagi-bagikan,antara siapa dan kepentingan apa saja yang terdapat pada individu maupun kelompok yang akan mendapatkan keuntungan dari persetujuan kontrak yang seperti itu.

1.5. Tujuan dan Manfaat penelitian

1.5.1. Tujuan penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui sistem perkawinan masyarakat Jepang dan unsur-unsur yang mempengaruhinya.

2. Untuk mengetahui sistem perkawinan masyarakat Aceh dan unsur-unsur yang mempengaruhinya.

3. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan tahapan upacara perkawinan tradisional masyarakat Jepang dan masyarakat Aceh.

1.5.2. Manfaat Penelitian


(28)

1. Memberikan pengetahuan kepada pembaca mengenai tahapan upacara perkawinan tradisional masyarakat Jepang dan masyarakat Aceh.

2. Memberikan pengetahuan bagi orang yang akan menikah dengan orang Jepang atau orang Aceh.

1.6. Metode Penelitian

Bentuk penelitian adalah penelitian sosial, karena objek kerjanya adalah manusia dan interaksi manusia (Djojo Suroto, 2000:1). Metode yang digunakan dalam metode penelitian adalah metode deskriptip. Deskriptip menurut Mulyadi (2004:51), adalah tulisan yang menggambarkan bentuk objek pengamatan.

Disamping itu, penulis juga menggunakan metode studi kepustakaan. Studi kepustakaan merupakan sutudi aktifitas yang sangat penting dalam penelitian yang dilakukan. Beberapa aspek perlu dicari dan diteliti meliputi: masalah, teori, konsep, dan penarikan kesimpulan (Nasution, 1946:14). Dengan kata lain studi kepustakaan adalah pengumpulan dengan cara membaca buku-buku yang berkaitan dengan penelitian ini. Data yang diperoleh dari referensi tersebut kemudian dianalisa untuk mendapatkan kesimpulan.

Teknik penelitian yang digunakan adalah meneliti data berupa buku-buku yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas. Jadi teknik pengumpulan data yang digunakan adalah library research. Selain itu, penulis juga mengambil data-data dari situs internet.


(29)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG TAHAPAN PERKAWINAN PADA MASYARAKAT JEPANG DAN MASYARAKAT ACEH 2.1.Perkawinan pada Masyarakat Jepang

Perkawinan dalam Bahasa Jepang disebut dengan istilah kekkon ( 結婚 ) atau kon’in ( 婚姻 ). Istilah kekkon terdiri dari dua karakter kanji yaitu ketsu ( 決 ) yang berarti ikatan, dan kon ( 婚 ) yang berarti perkawinan. Sedangkan kon’in terdiri dari kon ( 婚 ) yang berarti perkawinan dan in ( 姻 ) yang juga berarti perkawinan.

Masyarakat Jepang memiliki adat istiadat tentang perkawinan yang berbeda dari negara lain. Perkawinan dan penyelenggaraan kehidupan berkeluarga di Jepang diatur oleh sebuah sistem keluarga (Martha,1995 : 2).

Pada umumnya perkawinan orang Jepang bersifat monogami, walaupun pergundikan juga dilakukandan keturunannya diakui dalam masyarakat, namun dari segi pewarisan kekayaan maupun kedudukan dalam lingkungan sosial, status mereka lebih rendah dari isteri sah anak - anaknya.

Kira – kira sampai tahun 50 showa ( 1975 ), sebagian besar wanita Jepang tidak memiliki pikiran untuk menikah. Hal itu menyebabkan pandangan mengenai perkawinan adalah kebahagian wanita mulai runtuh. Tahun 55 showa ( 1980 ) setelah diadakan penelitian, banyak wanita yang menjawab tentang harapan perkawinan yaitu perkawinan akan memberikan ketenangan bathin ( Hendry, 1987 : 234 ).

Usia perkawinan orang Jepang sejak Zaman Meiji berkisar pada usia 26 – 27 tahun bagi pria dan 23 – 24 tahun bagi wanita. Sampai tahun 20 showa ( 1945 )


(30)

biasanya perbedaan umur suami dan isteri adalah 4 tahun, tetapi setelah tahun 1945, perbedaan umur suami dan isteri semakin dekat yaitu menjadi 3 tahun bahkan hanya 2 tahun pada tahun 1975.

Penyebab tingginya usia perkawinan bagi wanita di Jepang menurut Martha ( 1995 : 4 ) adalah meningkatnya pendidikan, kemajuan dalam pekerjaan, sifat bebas dan mandiri serta kemajuan ilmu kedokteran.

Cara bagaimana calon suami atau calon isteri dipilih ada dua macam, yaitu berdasarkan miai ( 見合い ) dipertemukan dalam konteks perkawinan memiliki pengertian dijodohkan ) dan ren’ai ( 連愛 ) cinta ). Perkawinan yang terjadi karena miai disebut miai kekkon ( 見合い結婚 ), sedangkan karena ren’ai disebut ren’ai kekkon ( 連合い 結婚 ).

Miai kekkon terlaksana dengan cara orang tua dari seorang anak yang telah dewasa meminta bantuan perantara yang disebut Nakoodo ( 仲人) untuk mempertemukan kedua belah pihak. Fungsi Nakoodo menurut Martha ( 1995 : 5 ) adalah mengatur perkawinan, termasuk memperkenalkan pihak – pihak yang berminat untuk mencari calon suami atau calon isteri. Namun lain halnya menurut Wibowo ( 2005 : 18 ), Nakoodo adalah orang yang bertindak sebagai perantara pada awal perundingan sebelum perkawinan, memimpin upacara perkawinan dan mengurus hubungan yang berlangsung terus - menerus setelah perkawinan, termasuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi diantara pasangan itu.

Ren’ai kekkon yaitu perkawinan yang didasari oleh cinta, semakin banyak terjadi terutama sejak zaman Meiji, dimana pemikiran – pemikiran barat banyak diserap dalam segala aspek kehidupan orang Jepang, bahkan dewasa ini banyak perkawinan yang berdasarkan cinta kasih dan didahului dengan pacaran. Dalam


(31)

kelompok umur 20 – 24 tahun, mereka yang memilih pasangannya sendiri adalah 63% di desa 90% di kota. Angka – angka itu termasuk pasangan yang diperkenalkan oleh pihak ketiga, yaitu perantara, meskipun keputusan terakhir ada pada mereka sendiri ( Rahmadayani, 2005 : 25 ).

Hukum perkawinan Jepang didasari pada monogami dan secara legal melindungi suatu perkawinan yang hanya merupakan penyatuan diantara seorang pria dan seorang wanita yang terbentuk sesuai syarat – syarat hokum yang berlaku.

Di bawah Undang – Undang 1898, perkawinan di Jepang diatur secara besar – besaran dalam satu Ie yang di kontrol oleh seorang koshu ( 戸主 ). Jadi perkawinan menyangkut satu kelompok yang meninggalkan Ie nya. Sebagai seorang Yome ( menantu perempuan ) atau Muko ( menantu laki – laki ) untuk menjadi bagian dari Ie lain. Supaya tercapai hal ini, maka persetujuan diantara kedua kepala keluarga sangat diperlukan.

Sesuai ketentuan yang dituliskan dalam Undang – Undang tahun 1947, yang melindungi martabat individu dan kesamaan diantara pria dan wanita, maka Ie di hapuskan dan juga ketidaksamaan antara suami – isteri di hapuskan.

Menurut Undang – Undang Perdata Jepang, perkawinan baru di anggap sah jika dapat memenuhi syarat – syarat secara hukum, sebagai berikut :

1. Sesuai dengan Koseki Hoo ( Registrasi Keluarga ) diperlukan sebagai pemberitaan secara tertulis, seorang wakil dan dua orang dewasasebagai saksi dari masing – masing keluarga.

2. Kedua pihak harus telah menyetujui perkawinan ini. Perkawinan yang dilakukan atas dasar paksaan dapat dibatalkan.


(32)

3. Pria sekurang – kurangnya berumur 18 tahun dan wanita 16 tahun. 4. Kalau wanita yang telah bercerai melangsungkan perrnikahan,

sekurang – kurangnya 6 bulan sejak keputusan perceraiannya dari perkawinan yang terdahulu.

5. Perkawinan tidak boleh dengan dua orang isteri ( bigami ).

6. Perkawinan tidak boleh dilangsungkan dengan orang yang memiliki hubungan darah dengan pasangannya.

7. Seseorang yang belum dewasa atau dibawah umur yang telah ditentukan, harus memperoleh izin dari kedua orang tua mereka (Martha, 1995 : 19 – 20).

Setelah perkawinan terbenruk, kedua pasangan dipanggil dengan satu nama keluarga. Berdasarkan pasal 75 Undang – Undang Perdata, myoji ( nama keluarga ) dapat dipakai dari nama suami atau nama isteri. Namun demikian, 89,9 % isteri di Jepang mengubah nama keluarganya dengan nama keluarga suaminya, atau dengan kata lain, pihak wanita ikut pihak keluarga pria.

2.1.1. Bentuk Keluarga pada Masyarakat Jepang A. Bentuk Keluarga

Menurut Situmorang ( 2000 : 22 ) kazoku adalah general konsep tentang keluarga dalam masyarakat Jepang. Dalam konsep umum, yang dimaksud dengan Kazoku adalah hubungan suami – isteri , hubungan orang tua dan anak dan akhirnya diperluas pada hubungan persaudaraan yang didasarkan pada struktur masyarakat tersebut dan struktur keluarga berbeda pada masing – masing masyarakat budaya.


(33)

Dasar dari kazoku adalah pernikahan. Dengan adanya pernikahan melahirkan hubungan darah dan hubungan bukan darah. Hubungan darah dapat di bagi atas hubungan vertikal dan hubungan horizontal. Hubungan vertikal misalnya hubungan antara kakek, ayah, diri sendiri, anak dan cucu. Sedangkan hubungan horizontal maksudnya hubungan antara diri sendiri dengan saudara laki –laki atau saudara perempuan atau juga dengan sepupu. Dengan adanya pernikahan ini pula melahirkan hubungan keluarga inzoku, yaitu pihak keluarga isteri. Memang tidak ada hubungan darah dengan diri sendiri tetapi ada hubungan keluarga melalui pernikahan.

Hubungan keluarga yang dibentuk atas hubungan darah secara langsung seperti hubungan vertikal dan horizontal tersebut diatas disebut Shinru. Sedangkan hubungan dengan dengan sepupu atau kemenakan disebut Enru dan hubungan keluarga melalui pernikahan disebut Enja. .

Lebih lanjut Situmorang ( 2006 : 22 ) mengatakan jenis – jenis kazoku adalah keluarga keluarga inti ( nuclear family ), keluarga poligami ( polygamy family ), keluarga luas ( extende family ).

Jadi yang dimaksud dengan kazoku adalah kelompok yang terkecil yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak – anak yang belum menikah. Adapun dasar pembentuknnya adalah hubungan suami – isteri.

Kazoku merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang merupakan

komponen terpenting dalam pembentukan sistem kekerabatan, dari kazoku inilah akan lahir sistem keluarga tradisional Jepang yang disebut dengan Ie.


(34)

B. Ie

Menurut kamus besar Bahasa Jepang, Ie adalah bangunan tempat tinggal keluarga keluarga yang terdiri dari orang tua dan anak. Kata Ie ini, dimana huruf ( I ) berfungsi sebagai imbuhan dan huruf ( e ) berarti ro, yaitu tungku perapian sebagai alat memasak yang biasanya diletakkan ditengah – tengah rumah dan tungku ini merupakan simbol tempat berkumpulnya anggota keluarga untuk makan bersama – sama.

Menurut Kizaemon dalam Situmorang ( 2000 : 46 – 47 ), Ie adalah suatu jenis keluarga khas Jepang yang anggota – anggotanya terdiri dari beberapa generasi, meliputi anggota yang masih hidup dan mati. Didalam keluarga tersebut diusahakan melanjutkan simbol – simbol keluarga dan menjalankan usaha keluarga. Disamping itu ada pendapat yang dikemukakan oleh Nakane dalam Oktarina ( 2002 : 7 ), bahwa Ie dapat dikatakan sebagai kelompok yang tinggal bersama di bawah satu atap dan makan dari makanan yang dimasak dari dandang yang sama.

Keluarga Ie adalah bentuk keluarga luas yang mengikuti satu garis keturunan ayah. Perbedaan yang paling utama antara antara kazoku dengan keluarga Ie adalah bahwa kazoku dapat berakhir karena kematian suami atau isteri atau karena perceraian, jadi keberadaan kazoku adalah satu generasi. Sedangkan Ie terbentuk minimal dua generasi, karenanya Ie tidak hancur karena perceraian atau meninggalnya salah satu pihak suami atau isteri dalam keluarga tersebut ( Situmorang, 2006 : 22 ).

Dari pendapat diatas , jelaslah bahwa Ie bukan hanya adanya ikatan tali darah saja, tetapi lebih ditekankan kepada kelompok yang menyelenggarakan


(35)

kehidupan bersama, baik dalam sosial maupun ekonomi. Ie juga tidak mengacu kepada anggota keluarga yang masih hidup, tetapi leluhur atau nenek moyang mereka juga merupakan suatu kesatuan yang mengikat antara masa lalu mereka dan sampai masa sekarang. Oleh karena itu terdapat suatu ikatan yang berkesinambungan antara orang – orang yang masih hidup dengan para leluhur mereka.

Dalam sebuah Ie, adanya perkawinan tidak dengan sendirinya akan membentuk Ie baru, tetapi lebih merupakan masuknya anggota baru yaitu pengantin perempuan ke dalam sebuah keluarga lain yaitu keluarga suami ( Dilla, 2004 : 16 ).

Selanjutnya Dilla ( 2004 : 16 ) juga menjelaskan keluarga tradisional Jepang biasanya terdiri dari tiga generasi, yaitu anak yang akan mewarisi Ie, orang tua, serta kakek dan nenek yang semuanya hidup dibawah naungan atap yang sama dan menjalankan kehidupan sosial dan ekonomi bersama – sama.

Apabila keluarga Ie tidak mempunyai anak yang dapat meneruskan kesenambungan Ie, maka Ie dapat dilanjutkan oleh orang – orang yang bekerja ( hokonin ) di dalam Ie yang telah di percaya, walaupun tidak mempunyai hubungan darah dengan kepala keluarga.

Dilla ( 2004 : 18 ) juga menerangkan bahwa dalam struktur sosial Ie, yang memegang kekuasaan terbesar adalah ayah sebagai kepala keluarga ( kacho ). Kepala keluarga memegang peranan penting dalam penyelenggaraan kehidupan. Oleh karena itu, ayah haruslah dihormati dan ditaati oleh anggota keluarganya. Anggota – anggota keluarga yang lain harus menjalankan tugas masing – masing di bawah pengawasan kepala rumah.


(36)

2.1.2. Makna Perkawinan pada Masyarakat Jepang

Dasar dari sebuah keluarga adalah pernikahan, dengan adanya pernikahan melahirkan hubungan dalam anggota keluarga. Hubungan tersebut dalam masyarakat Jepang adalah hubungan darah dan hubungan bukan darah. Hubungan darah dapat dibagi atas hubungan vertikal dan horizontal. Hubungan vertikal misalnya hubungan antara kakek, ayah, diri sendiri, anak dan cucu, sedangkan hubungan horizontal maksudnya hubungan antara diri sendiri dengan saudara laki – laki atau saudara perempuan atau juga dengan sepupu Dengan adanya pernikahan ini pula melahirkan hubungan keluarga inzoku, yaitu pihak keluarga isteri. Memang tidak ada hubungan darah dengan diri sendiri tetapi ada hubungan keluarga melalui pernikahan. Hubungan keluarga yang dibentuk atas hubungan darah secara langsung seperti hubungan vertikal dan horizontal tersebut diatas disebut Shinru. Sedangkan hubungan dengan sepupu atau kemenakan disebut Enru dan hubungan keluarga melalui pernikahan disebut Enja.

Dalam sebuah Ie, pernikahan tidak dengan sendirinya membentuk Ie baru, tetapi lebih merupakan masuknya anggota baru yaitu pengantin perempuan kedalam sebuah keluarga lain, yaitu keluarga suami. Bentuk ini jelas dalam fokogu kazoku atau keluarga besar yang kompleks. Pada keluarga ini, baik Ji – sannan atau anak laki – laki kedua, ketiga dan seterusnya maupun kokonin ( pembantu ), akan tetapi berada dibawah naungan atap yang sama. Mereka tetap merupakan merupakan bagian dari Ie, hidup dan bekerja sama dengan kacho termasuk didalam penghitungan anggaran belanja Ie bersangkutan ( Martha, 1995 : 25 ).


(37)

Dari ulasan diatas dapat dikemukakan bahwa perkawinan bagi masyarakat Jepang disamping sebagai pengukuhan hak dan kewajiban sebagai suami – isteri, tetapi juga perkawinan bermakna sebagai sarana dalam pelestarian keluarga tradisional Jepang.

2.1.3. Jenis – jenis Perkawinan dalam Masyarakat Jepang

Jenis – jenis perkawinan dalam masyarakat Jepang menurut Hendry ( 1981 : 320 ) selalu didasarkan pada gishiki ( 儀式 ), sebagai cara untuk mengumumkan kepada masyarakat. Bentuk perkawinan tersebut terdiri dari lima jenis yaitu : Shinzen Kekkon Shiki ( 前結婚式 ), Butsuzen Kekkon Shiki ( 仏前結婚式 ), Kirisutokyoo Kekkon Shiki ( キ スト 教結婚式 ), Hitomae Kekkon Shiki ( 人前結婚式 ) dan Katei Kekkon Shiki ( 家庭結婚式 ). Dewasa ini yang paling banyak dilakukan adalah Shinzen Kekkon Shiki, Butsuzen Kekkon Shiki dan Kiritsutokyoo Kekkon Shiki.

Hotamae Kekkon Shiki adalah upacara yang dilakukan dengan cara

pengucapan janji perkawinan didepan undangan yang hadir, sedangkan Katei

Kekkon Shiki biasanya banyak dilakukan didaeran – daerah yang bertempat di

rumah penganti pria.

Situmorang ( 2006 : 66 ), mengatakan jenis – jenis perkawinan di Jepang sejak negara itu mengalami pertumbuhan ekonomi pada tahun 1970, menjadi beraneka ragam. Misalnya perkawinan internasional, perkawinan tanpa melapor ke catatan sipil, perkawinan pisah rumah dan lain – lain.


(38)

2.1.4. Tahapan Upacara pada Perkawinan Masyarakat Jepang

Apabila pasangan sepakat untuk meneruskan hubungan mereka sampai jenjang perkawinan, maka akan di mulailah tahapan – tahapan acara untuk melangkah kearah tersebut, dimana upacara perkawinan adalah puncaknya. Tahapan pertama adalah peresmian atau pemberitahuan pertunangan yang disebut dengan Yuinoo. Dalam acara itu akan dilakukan pertukaran barang – barang pemberian pihak pria sebagai tanda yang disebut dengan Yuinookin dan sebaliknya pihak wanita juga memberikan tanda kepada pihak pria yang disebut dengan Yuinoohi.

Biasanya barang – barang Yuinookin adalah pemberian uang sebanyak dua atau tiga bula gaji calon pengantin pria, sebagai balasannya pihak wanita akan memberikan lagi setengah uang yang diterimanya. Setelah tercapai kesepakatan diantara kedua calon pengantin, maka pihak pria segera mengirimkan pemberian – pemberian sebagai hadiah, tanda persetujuan dari pihak wanita. Kemudian mereka mengundang sanak saudaranya untuk mendengar kabar ini. Istilah ini disebut dengan Kimecha ( 決 茶 ) yaitu pemberian berupa teh kepada sanak saudaranya. Dalam merayakan pertunangan ini juga diberikan kugicha ( 卯木茶 ), yaitu sejenis arak Jepang dan ikan tai ( イ ) sejenis ikan kakap ) kepada undangan yang datang. Arti dari hadiah – hadiah ini ditemukan dalam nama – namanya : satu botol sake bertuliskan ishoo ( ―歩 ), yang berarti ‘satu kehidupan’ ; seekor ikan tai ( イ ), memberikan pengertian yang mengacu pada ichidai ( 一台 ) yang berarti ‘satu generasi’. Jadi keduanya ishoo dan ichidai melambangkan kehidupan yang bersama yang dimulai dalam paristiwa ini.


(39)

Setelah jarak waktu seminggu acara kimecha atau kigucha, maka Nakoodo akan merundingkan dengan pihak wanita tentang penentuan waktu yang baik untuk pelaksanaan resepsi upacara perkawinan. Waktu yang baik artinya hari yang mempunyai keberuntungan terbesar dalam siklus enam hari untuk satu perkawinan. Untuk tujuan ini, penduduk didaerah tertentu, selalu berkonsultasi dengan seorang Ogamiyasan yang dapat memberikan nasehat tentang hal tersebut. Buku petunjuk tentang perkawinan juga digunakan untuk memberikan keterangan praktis seperti menghindari dari hari – hari menstruasi pengantin wanita dan pada musim, karena akan menyusahkan untuk berdandan. Kemudian banyak tamu yang bekerja pada hari – hari biasa, maka hari Minggu banyak dipilih. Jadi, pada hari Minggu dai’an pada musim gugur ( aki ), yaitu sekitar bulan September – November banyak dilangsungkan resepsi perkawinan.

2.2. Perkawinan pada Masyarakat Aceh

Perkawinan dalam masyarakat Aceh merupakan suatu peristiwa yang dilaksanakan menurut adat, dan telah menjadi kelaziman dalam masyarakat. Upacara perkawinan didaerah ini banyak dipengaruhi oleh kebudayaan – kebudayaan luar sejak berabad – abad yang lalu,namun begitu pengaruh luar itu telah diasimilasikan dengan budaya masyarakat setempat.

Perkawinan adalah sesuatu yang penting. Hal ini terlihat pada pengaturan yang sangat ketat, mencerminkan nilai – nilai luhur agama dan budaya yang dianut oleh masyarakat. Kemudian tujuan perkawinan pada hakekatnya adalah legalisasi tingkah laku sosial seksual antara suami – isteri yang sah guna


(40)

menampung semua akibatnya, terutama keturunan atau kelahiran anak ( Suwondo, 1979 : 42 ).

Usia perkawinan di daerah ini sebelum era modern saat sekarang ini adalah untuk laki – laki berkisar antara 17 – 25 tahun, dan bagi perempuan berkisar antara 15 – 20 tahun. Pada zaman sekarang usia perkawinan dalam masyarakat Aceh sudah tinggi, yaitu untuk laki – laki antara 23 – 30 dan wanita antara 20 – 25 tahun. Perubahan tersebut disebabkan antara lain :

1. Tingginya tingkat pendidikan dalam masyarakat. 2. Pola pikir masyarakat yang telah maju.

3. Terjadinya perubahan peranan adat dalam kehidupan masyarakat. Perbedaan usia antara suami dengan isteri biasanya berkisar antara 3 sampai 5 tahun. Pada umumnya pasangan yang baru menikah mempunyai kebiasaan menetap di rumah orang tua isterinya sebelum mereka mampu mendirikan sebuah rumah. Kemudian peranan adat sangat penting dalam mengatur sistem perkawinan dalam masyarakat ini. Adat yang dimaksud bersumber dari ajaran agama Islam sebagai landasan kehidupan orang Aceh yang umumnya beragama Islam.

2.2.1. Bentuk Keluarga pada Masyarakat Aceh

Dalam masyarakat Aceh terdapat kesatuan kekerabatan yang secara teknis disebut keluarga inti ( batih ), keluarga luas dan klen kecil.

Bentuk keluarga inti masyarakat Aceh pada umumnya mempunyai kesamaan dari berbagai sub etnis. Adapun bentuk keluarga terdiri dari seorang suami, isteri dan anak – anak yang belum kawin ( Alfian, 1977 : 118 ).


(41)

Disamping keluarga lengkap, terdapat pula keluarga tidak lengkap. Seorang isteri berpisah dengan suaminya karena bercerai atau kematian. Pada keluarga seperti ini, isteri mempunyai kedudukan ganda yaitu sebagai kepala keluarga dan ibu rumah tangga.

Disamping adanya wujud keluarga inti, terdapat pula wujud keluarga luas,yaitu apabila salah satu anggota ke;luarga sudah menikah, ia akan pindah kedalam satu bilik ( kamar ), tetapi dalam rumah itu juga, dan masih dalam satu kesatuan ekonomi dengan keluarga senior.

Dalam keluarga batih ayah dan ibu mempunyai peranan penting untuk mengasuh anak sampai dewasa. Peranan ini sudah menjadi tanggung jawab ayah dan ibu meliputi segala kebutuhan keluarga seperti kebutuhan akan sandang, pangan, kesehatan dan pendidikan.

2.2.2. Makna Perkawinan pada Masyarakat Aceh

Dalam masyarakat Aceh, perkawinan adalah sesuatu yang sakral dan religius, dan dianggap sebagai suatu ibadah dalam menjalankan perintah Tuhan. Selain itu tidak hanya sebagai sarana untuk kebutuhan biologis, tetapi juga dalam rangka peningkatan status sosial.

Suwondo ( 1979 : 40 ), mengungkapkan bahwa perkawinan bagi masyarakat Aceh mempunyai tujuan dalam rangka meneruskan keturunan dan memenuhi hasrat seksual manusia.

Pendapat diatas dipertegas lagi oleh Alfian ( 1978 : 118 ), antara tujuan memperoleh anak dan perbuatan seksual dalam perkawinan terdapat hubungan yang erat, terutama bagi kedudukan anak.


(42)

Dari pendapat diatas, jelaslah bahwa makna perkawinan bagi masyarakat Aceh adalah untuk meneruskan keturunan yang sah. Dalam perkawinan akan terbentuklah sebuah keluarga dimana akan terlihat bagaimana tanggung jawab seorang suami terhadap isteri dan anak – anak dan sebaliknya. Perkawinan juga dapat membina kasih sayang dan saling menghormati.

2.2.3. Jenis – jenis Perkawinan pada Masyarakat Aceh

Suwondo ( 1979 47 ), mengatakan jenis – jenis perkawinan dalam masyarakat Aceh dibagi dalam dua bagian, yaitu : Perkawinan yang baik dan perkawinan yang tidak baik. Perkawinan baik adalah perkawinan yang didasarkan pada ajaran agama dan adat – istiadat serta diakui oleh masyarakat sekitarnya. Sedangkan perkawinan tidak baik adalah perkawinan yang tidak sesuai dengan tuntunan agama, berlawanan dengan adat dan mencemarkan nama baik.

Perkawinan baik meliputi :

1. Perkawinan biasa, yaitu perkawinan yang dilakukan secara normal dan menurut adat – istiadat.

2. Perkawinan gantung, yaitu dilakukan dengan jarak waktu yang relatif lama, pelaksanaannya menurut hukum dan adat – istiadat.

3. Perkawinan janda atau duda, yaitu perkawinan antara laki – laki duda dengan wanita janda atau laki – laki duda dengan perawan dan bisa sebaliknya dimana pelaksanaannya masih menurut hukum dan adat – istiadat.


(43)

4. Perkawinan berimpal, yaitu perkawinan antara anak – anak saudara laki – laki ibu atau saudara perempuan ayah yang sekandung.

5. Perkawinan tukar tikar, yaitu perkawinan apabila seorang laki – laki kematian isterinya kemudian ia kawin dengan adik isterinya demi melanjutkan hubungan keluarga dan kepentingan anak – anak.

Kemudian perkawinan tidak baik meliputi :

1. Perkawinan paksa, yaitu perkawinan karena terpaksa. Bisa karena kecelakaan atau termakan budi, untuk menebus hutang dipaksa kawin oleh orang tuanya.

2. Kawin tangkap, yaitu perkawinan yang dilakukan karena pasangan tersebut tertangkap basah melakukan perbuatan maksiat, melakukan keluarga dan dikucilkan dalam masyarakat.

3. Kawin lari, yaitu terpaksa dilakukan oleh pihak laki – laki karena memalukan kedua belah pihak dan hukum adat.

4. Kawin madu, yaitu seorang suami kawin lagi dengan wanita lain karena isterinya sakit – sakitan.

5. Kawin lain agama, yaitu perkawinan yang dilakukan dengan pasangan yang tidak seagama.

6. Kawin busuk, yaitu perkawinan dengan perempuan jahat ( pelacur ), yang pernah berzina atau tidak perawan lagi dan sebaliknya.

2.2.4. Tahapan Upacara Perkawinan pada Masyarakat Aceh

Dalam adat – istiadat orang Aceh, menentukan pasangan adalah kegiatan pertama yang dilakukan dalam tahapan perkawinan. Banyak cara yang dilakukan


(44)

untuk mendapatkan hasil didalam menentukan pasangan hidup. Singkatnya, apabila lamaran diterima maka akan dilakukan acara pertunangan sekaligus antar tanda. Pada acara pertunangan ini juga akan dibicarakan tentang hari yang baik untuk melangsungkan hari resepsi perkawinan.

Sebelum upacara perkawinan, kegiatan yang tidak boleh ditinggalkan adalah pengucapan ijab qabul atau akad nikah. Acara ini biasanya diadakan selesai sholat magrib atau pagi hari sebelum upacara perkawinan dimulai. Pada saat upacara perkawinan, pengantin pria akan diarak kerumah pengantin wanita sebagai simbol mengantarkan anak laki – laki untuk pindah ke rumah kerumah isterinya.


(45)

BAB III

PERBANDINGAN TAHAPAN UPACARA PERKAWINAN PADA MASYARAKAT JEPANG DAN MASYARAKAT ACEH 3.1. Tahapan Upacara Perkawinan Pada Masyarakat Jepang 3.1.1. Sebelum Upacara

Perkawinan selalu berdasarkan pada gishiki ( 儀式 ), sebagai cara untuk mengumumkan kepada masyarakat. Ada bermacam – macam upacara perkawinan di Jepang. Kemudian, juga diselenggarakan resepsi. Resepsi biasanya dalam bentuk jamuan makan. Dalam hal ini tamu – tamu yang diundang dianggap sebagai saksi, yaitu orang – orang yang mengakui perkawinan itu.

Di Jepang perkawinan selain didasarkan atas hukum perkawinan yang berlaku, juga diselenggarakan dengan upacara tradisional yang masih berlaku dalam masyarakat. Hal ini juga ditegaskan oleh Aoyama Michio :

“Prinsip Hooritsukon sejak awal Zaman Meiji tidak akrab dengan kebiasaan rakyat. Sejak zaman feodal diubahnya Gishikikon dengan Hooritsuko sebagai kebiasaan rutin merupakan hal yang sangat sulit ” . Tahapan upacara dari beberapa jenis perkawinan di Jepang hampir sama. Perbedaannya hanya pada latar belakang dan altar yang digunakan, dan mempunyai tahapan – tahapan yang kompleks di dalam pelaksanaannya.

Ada dua cara dalam menentukan pasangan yang akan dinikahi dalam masyarakat Jepang, yaitu dengan ren’ai atau saling cinta dan mia atau dijodohkan. Sedangkan perkawinan yang terjadi karena didasari oleh saling cinta disebut ren’ai kekkon dan perkawinan karena dijodohkan disebut mia kekkon.


(46)

Ada dua istilah yang umum digunakan dalam bahasa Jepang untuk mengartikan “ cinta “ adalah ren’ai ( 恋愛 ) dan aijoo ( 愛情 ), dimana keduanya memiliki unsur yang sama yaitu ai ( 愛 ). Konsep “ cinta “ dalam pengertian yang luas, meliputi cinta diantara orang tua dan anak, antara teman, manusia dengan hewan dan lain – lain.

Perkawinan yang didasari oleh cinta ( ren’ai kekkon ) bagi masyarakat Jepang adalah sangat menarik karena cinta merupakan landasan yang kuat dalam suatu perkawinan. Terutama ini sangat menarik hati para gadis ; seperti yang diungkapkan oleh Kamishima Jiroo dalam bukunya “ Nihonjin Ni Kekkon “ . “ Wanita terpesona dalam impian dan lamunan tentang seorang pria yang menjadi kekasihnya ; yang rela mati untuk wanita, bekerja demi wanita, berperang demi wanita, bekerja demi wanita karena cinta yang abadi ; seperti yang dinyatakan dalam drama, puisi dan novel. Para wanita ini kemudian akan menikah. Tanpa adanya cinta, perkawinan tidak ada………..”

Selain ren’ai, ada yang dinamakan dengan miai. Miai dalam pengertian yang luas adalah mempertemukan orang – orang yang bersangkutan untuk tujuan tertentu ; sedangkan dalam pengertian yang sempit menurut Situmorang ( 2005 : 18 ), adalah perkawinan yang dijodohkan atau terjadi karena bantuan seorang perantara mempertemukan kedua calon pengantin.

Pendapat diatas dipertegas oleh Martha ( 1995 : 25 ) bahwa miai ( 見合い ) itu sendiri secara harfiah berarti “ saling melihat “, dimana pertemuan resmi, melalui perkenalan yang diatur oleh Nakoodo ( perantara ) antara seorang pria dan seorang wanita yang mencari pasangan untuk menikah.


(47)

Miai selain diadakan di restaurant, bioskop, tempat pertunjukan biasanya juga dilakukan dirumah calon pengantin wanita. Melalui miai, yang dilihat bukan hanya kecantikan fisik saja, melainkan juga pembawaan diri dan tingkah laku.

Salah satu cara dari miai adalah kagemi ( 影身 ),artinya adalah “ melihat dan bersembunyi “ dimana seorang Nakoodo sering membawa seorang laki – laki untuk memandang sekilas seorang gadis, kemudian laki – laki tersebut akan memikirkan sejenak sebelum mengambil keputusan untuk melakukan pendekatan langsung kepada wanita tersebut.

Berbicara mengenai Nakoodo, banyak pengertian yang diberikan oleh para ahli kejepangan tentang itu. Namun definisi umum yang sering dipakai adalah perantara yang berperan dalam proses perkawinan, biasanya terdiri dari sepasang suami – isteri. Tugasnya adalah memperkenalkan pihak – pihak yang berminat untuk mencari pasangan hidup, bertindak sebagai perantara pada awal perundingan, memimpin upacara perkawinan dan mengurus hubungan baik yang berkelanjutan dengan pasangan yang telah menikah bahkan turut serta dalam pemecahan permasalahan yang dapat terjadi antara suami – isteri.

Apabila pasangan sepakat untuk meneruskan hubungan mereka sampai ke jenjang perkawinan, maka akan dimulailah tahapan – tahapan acara untuk melangkah ke arah tersebut, dimana upacara perkawinan adalah puncaknya. Tahapan pertama adalah peresmian atau pemberitahuan pertunangan pasangan tersebut yang disebut dengan Yuinoo. Dalam acara itu akan dilakukan pertukaran barang – barang pemberian pihak pria sebagai tanda yang disebut Yuinookin dan sebaliknya pihak wanita juga memberikan tanda kepada pihak pria yang disebut Yuinoohi.


(48)

Biasanya barang – barang Yuinookin adalah pemberian uang sebanyak dua atau tiga bulan gaji calon pengantin pria, sebagai balasannya pihak wanita akan memberikan lagi setengah uang yang diterimanya. Kemudian barang – barang Yuinoohi terdiri dari Mokuroku ( 目録 ), naga – noshi ( 長野 ), kimpozatsumi ( 着ん歩 つ見 ) yang terdiri dari on obiryoo ( 恩帯慮尾 ) atau oh hakamaryoo ( は ま慮 ), suehiro ( 末広 ), tomoshiraga ( 友 白髪 ), konbu ( 昆 ), surume (

), yanagidaru ( 柳 ), katsuobushi ( 鰹節 ).

Setelah tercapai kesepakatan diantara kedua calon pengantin, maka pihak pria segera mengirimkan pemberian – pemberian sebagai hadiah, tanda persetujan dari pihak wanita. Kemudian mereka mengundang sanak saudaranya untuk mendengat kabar ini. Istilah ini disebut dengan kimecha ( 決 茶 ) yaitu pemberian berupa teh kepada sanak saudaranya. Dalam merayakan pertunangan ini juga diberikan kugicha ( 釘茶 ), yaitu sejenis arak Jepang dan ikan tai ( sejenis ikan kakap ) kepada undangan yang datang. Arti dari hadiah – hadiah ini ditemukan dalam nama – namanya : satu botol sake bertuliskan ishoo (-歩 ), yang berarti ‘satu kehidupan’ ; seekor ikan tai ( イ ), memberikan pengertian yang mengacu pada ichidai ( 一台 ) yang berarti ‘satu generasi’. Jadi keduanya ishoo dan ichidai melambangkan kehidupan bersama yang dimulai dalam peristiwa ini.

Setelah jarak waktu seminggu acara kimecha atau kugicha, maka Nakoodo akan merundingkan dengan pihak wanita tentang penentuan waktu yang baik untuk pelaksanaan resepsi upacara perkawinan. Waktu yang baik artinya hari yang mempunyai keberuntungan yaitu keuntungan terbesar dalam siklus enam hari untuk satu perkawinan. Untuk tujuan ini, penduduk didaerah tertentu, selalu berkonsultasi dengan seorang ogamiyasan yang dapat memberikan nasehat


(49)

tentang hal tersebut. Buku petunjuk tentang perkawinan digunakan untuk memberikan keterangan praktis seperti menghindari dari hari – hari menstruasi pengantin wanita dan pada musim panas, karena akan menyusahkan berdandan. Kemudian banyak tamu yang bekerja pada hari – hari biasa, maka hari Minggu banyak dipilih. Jadi, pada hari Minggu dai’an pada musim gugur ( aki ), yaitu sekitar bulan September – November banyak dilangsungkan resepsi perkawinan.

Keputusan – keputusan selanjutnya yang harus dibuat, yaitu mengenai pemberian – pemberian lain yang akan ditukar dan tentang jenis perkawinan, apakah secara tradisional atau secara modern dan lain – lain. Nakoodo berkewajiban mengkoordinasikan kepada kedua keluarga.

Jika hari perkawinan telah ditetapkan maka akan dipilih hari baik untuk melangsungkan acara pemberian hadiah pertunangan utama dari rumah pengantin pria ke rumah pengantin wanita. Perundingan bersama harus dilakukan setiap akan menetapkan suatu keputusan terutama tentang pemberian selanjutnya yang akan diberikan. Pemberian itu berupa kimono dan aksesorisnya atau sejumlah uang, namun ada juga yang memberikan sebentuk cincin pertunangan yang mahal.

Hocha ( 穂茶 ) dikirim beberapa hari sebelum upacara perkawinan

dilangsungkan, ditempatkan diatas nampan atau baki kayu berkaki pendek, yang diletakkan didua sudut dari ruangan yang besar. Ada baki tempat teh, dimana teh hijau yang telah dibungkus dengan indah dalam kotak silinder ditumpuk keatas menjadi dua piramid, satu berwarna merah muda dan yang lainnya merah. Sesudah upacara perkawinan paket – paket silinder ini akan dibagikan pada sanak saudara dan tetangga. Pada hari – hari sebelum upacara perkawinan dilangsungkan, sejumlah hadiah berupa uang akan diberikan oleh sanak saudara


(50)

dan para tetangga kepada kedua pihak yang bersangkutan yang disebut

hanamuke. Jumlahnya sama banyak untuk pihak pria dan wanita dimana besar

jumlahnya bergantung pada erat tidaknya hubungan sosial diantara mereka.

Wakare ( 別 ) adalah acara perpisahan yang diselenggarakan oleh calon pengantin wanita untuk teman – temannya, sanak saudaranya, atau tetangganya. Biasanya dilakukan setelah pemberian Yuinoo dan sebelum barang – barang keperluan rumah tangga dikirim. Pada saat itu para tamu bisa menikmati sake sambil mendengar lagu – lagu yang dinyanyikan.

Wakare ada yang dilangsungkan hanya satu kali. Pihak wanita akan

menyewa satu ruangan pada salah satu rumah makan tertentu sebagai tempat menerima para undangan. Calon pengantin wanita akan mengajak para undangan untuk melihat Yuinoohin dan perabotan rumahnya sebelum mereka pergi kerumah makan. Acara ini disebut ochami ( 茶見 ), dimana teh merupakan Yuinoohin. Selain itu ada ada juga yang melakukan wakare sehari sebelum resepsi perkawinan yang merupakan perpisahan terakhir dengan sanak saudara.

Perabotan rumah tangga yang dibawa oleh pengantin wanita ke rumah barunya, disebut choodohin ( 著小戸品 ). Barang – barang ini dianggap sebagai bagian dari harta rumah tangga, dapat disamakan dengan mas kawin. Beberapa daerah tertentu, mas kawin berupa pakaian pengantin wanita. Pengantin wanita akan memperoleh pakaian – pakaian dan biasanya juga lemari – lemari untuk menyimpannya. Barang – barang lain biasanya adalah satu meja hias dengan cermin panjang dihiasi dengan sutera berwarna merah yang bergambar burung merak dan cemara, tempat tidur, peralatan dapur, dan barang – barang elektronik seperti mesin cuci dan lemari es atau televisi.


(51)

Pasangan baru biasanya diberikan satu ruangan tersendiri dalam rumah pihak suaminya. Barang – barang perabotan rumah tangga akan dikirim sehari atau dua hari sebelum hari perkawinan, jika pasangan itu akan tinggal bersama orang tua mereka. Tetapi jika mereka membangun rumah sendiri, mereka akan menerima kiriman perabotan rumah tangga setelah mereka kembali dari bulan madu.

Sebelum upacara perkawinan diselenggarakan, maka pasangan pengantin tersebut akan mendaftarkan diri mereka pada kantor catatan sipil setempat untuk mendapatkan pengakuan yang sah berdasarkan hukum yang berlaku. Pendaftaran kira – kira sampai dua puluh hari sebelum upacara berlangsung.

3.1.2. Upacara Perkawinan

Pada pagi hari saat upacara perkawinan akan berlangsung, pihak wanita sudah menyiapkan diri sedemikian rupa. Seorang juru rias sudah dipesan untuk hari itu dan akan menolong pengantin wanit untuk berdandan dan menata rambutnya. Beberapa gadis memutuskan untuk tidak menggunakan pakaian tradisional dan memilih untuk memakai pakaian pengantin barat yang berwarna putih. Kimono tradisional digunakan saat upacara berlangsung. Tetapi dalam resepsi yang diadakan setelah upacara, mereka akan mengganti kimono tersebut dengan pakaian pengantin barat. Kebiasaan ini dikenal sebagai ironaoshi ( 色直し ). Di beberapa daerah tertentu, pengantin wanita akan memakai kimono putih pada hari pertama dan kedua perkawinannya, kemudian menggantinya dengan kimono berwarna cerah pada hari ketiga.


(52)

Pakaian pengantin utama disebut uchikake ( 内掛け ). Di bagian dalam dari uchikake ini, pengantin wanita akan memakai kimono putih yang menandakan kesucian. Pengertian dari kimono putih ini yaitu pengantin wanita akan melupakan kehidupan lamanya dan bersiap untuk mewarnai dirinya dengan cara apapun sesuai dengan keinginan disebut tsunokakushi ( 角隠し ).

Selain gaun pengantin barat yang digunakan sebagai, kimono yang berwarna – warni juga sering dipilih para wanita Jepang. Biasanya bercorak indah dan berwarna terang, seperti merah atau jingga sesuai suasana bahagia. Penutup kepala biasanya terbuat dari kulit kura – kura tiruan. Biasanya pengantin wanita menyelipkan sebuah kipas pada kimononya. Pengantin pria memakai pakaian tradisional untuk upacara perkawinannya kemudian akan menggantinya dengan jas barat ketika pengantin wanita juga mengganti kimononya. Pakaian resmi pengantin pria untuk upacara, yang ditetapkan oleh pemerintah sejak tahun 1877, adalah jas hitam khususnya upacara perkawinan.

Setelah pengantin wanita berhias dan berpakaian, ia akan duduk untuk sarapan pagi sebagai sarapan terakhir di keluarganya, saling memberikan sake dan menyanyikan beberapa lagu. Tirai yang dihias sering digantung didepan pintu rumah pengantin wanita dan para tamu dapat memberikan salam padanya.

Jika tiba waktunya untuk pergi ketempat upacara, maka pengantin akan mengambil waktu sebentar untuk berlutut didepan butsudan dalam rangka mengucapkan salam perpisahan dan berterima kasih pada nenek moyang atas berkat dan perlindungannya, karena mulai sekarang ia akan menyembah butsudan milik suaminya dan kelak sekali – kali akan berkunjung lagi. Nakoodo akan menyertai pengantin wanita pergi ketempat berlangsungnya upacara.


(53)

Ada berbagai cara melangsungkan perkawinan dan merayakan, misalnya ; dirumah selama tiga hari berturut – turut. Sekarang banyak orang yang menyelenggarakan dalam satu resepsi besar di kekkon shikijoo ( suatu tempat yang ditata khusus untuk resepsi perkawinan ), termasuk penyewaan pakaian, fasilitas fotografi, hadiah untuk para tamu dan beberapa pelayanan lainnya, seperti ruangan – ruangan untuk resepsi dan upacara. Suasana resepsi yang mewah tersedia pada beberapa rycotei ( rumah makan tradisional Jepang ) yang memberikan fasilitas – fasilitas khusus untuk berbagai resepsi.

Upacara perkawinan akan mendahului resepsi. Upacara perkawinan yang paling populer di Jepang adalah upacara perkawinan berdasarkan agama ; yaitu

Shinzen kekkonshiki ( upacara perkawinan Shinto ), Butsuzen kekkonshiki (

upacara perkawinan Budha ), dan Kiritsutokyoo kekkonshiki ( upacara perkawinan Kristen ), selain itu ada juga perkawinan yang tidak bercorak agama yaitu Hitomae kekkonshiki dan Katei kekkonshiki.

Shinzen kekkonshiki merupakan jenis upacara yang banyak dilakukan di

Jepang. Banyak kuil Shinto yang menyediakan fasilitas lengkap untuk peristiwa penting seperti perkawinan. Ada juga pasangan yang memilih kuil Budha atau Gereja sebagai tempat melangsungkan upacara perkawinannya.

Upacara perkawinan diawali dengan Karishuugen ( 仮 言 ). Menurut Martha ( 1995 : 57 ) hal yang terpenting dari perkawinan adalah suatu perjanjian yang ditetapkan dengan cara saling memberikan cangkir berisi sake antara pengantin wanita dan pengantin pria. Acara ini dilangsungkan sebelum acara lain, merupakan upacara singkat yang disebut Karishuugen. Upcara ini dilakukan sebelum upacara utama yang disebut san – san – ku – do ( 三-三-ク ー度 ).


(54)

Karishuugen dilakukan didepan butsudan, dimana pengantin wanita dan orang tuanya memberikan penghormatan terakhir setelah mereka memasuki rumah pengantin pria. Mereka memakai kimono tetapi pengantin wanita tidak memakai gaun pengantinnya, maupun penutup kepalanya. Pengantin wanita didampingi oleh ibunya, kakeknya, kakak laki – laki dan adik perempuannya. Pengantin wanita dan pengantin pria duduk di tengah didampingi Nakoodoo serta isterinya disamping masing – masing pengantin serta sanak saudara kedua pihak juga duduk. Saudara perempuan pengantin wanita, yaitu gadis yang belum menikah dan anak – anak kecil dari pihak pengantin pria, membantu jalannya upacara ini. Jika semua sudah duduk, kedua pihak akan saling memberi hormat, kemudian tuan rumah akan mengucapkan terima kasih kepada para undangan.

Nakoodo akan berpindah ke dekat nenek pengantin pria, untuk berperan

sebagai Shikaisha ( pemimpin upacara ). Upacara diawali dengan pendahuluan berupa pemberitahuan akan tujuan acara ini. Kemudian seorang gadis kecil membawa baki berkaki pendek, yang didalamnya terdapat Noshi, meletakkannya di depan pasangan itu dan membungkuk. Ini disebut noshi no gi ( upacara noshi ). Setelah itu, dua orang gadis yang lebih tua akan membawa seperangkat cangkir sake dan dua wadah bercorak berisi sake. Seorang akan menyajikan sake kepada pengantin wanita dan yang lain akan menuangkan sake kecangkir lainnya. Pada saat itu juga, kakak laki – laki pengantin wanita akan keluar kebelakang pintu sorong untuk menyajikan beberapa lagu yang disebut Kageutai. Setelah lagu selesai, pengantin wanita minum sake dan cangkir sake dipindahkan ke pengantin pria. Kembali sake dituangkan dan diminum lagi setelah lagu lain dinyanyikan. Akhirnya, cangkir akan kembali kepada pengantin wanita, berarti seluruh proses


(55)

telah berulang sekali. Sebelum dan sesudahnya tiap lagu dinyanyikan, para gadis dan kedua pengantin membungkuk. Ini mengakhiri upacara dan Nakoodo memberikan sedikit ucapan terima kasih.

Susunan tempat duduk di Karishuugen seperti dibawah ini :

Butsudan      Tokonoma 

Nakoodo  Pengantin pria  Pengantin wanita 

Isteri  Nakoodo  Ayah 

pengantin 

pria     

Kakek  pengantin 

wanita  Ibu 

pengantin 

pria     

Ibu  pengantin 

wanita  Nenek 

pengantin 

pria     

Kakak laki‐ laki  pengantin 

wanita 

Shikaisha     

Penyanyi  Kageutai 

Setelah Karishugen berakhir, upacara utama yang disebut san – san – ku-do akan dilakukan. Ada tiga cangkir dalam satu kumpulan yang berbeda – beda ukurannya. Seluruh proses san – san – ku – do adalah sebagai berikut : pengantin pria, kemudian pengantin wanita, kembali ke pengantin pria yang menghabiskan cangkir kedua yang berukuran kecil ; pengantin wanita, kemudian pengantin pria dan kembali ke pengantin wanita menghabiskan cangkir kedua yang berukuran sedang ; terakhir adalah pengantin pria, ke pengantin wanita dan kembali ke pengantin pria yang menghabiskan cangkir ketiga yang berukuran besar, maka mereka bersama minum sebanyak sembilan kali.


(56)

Seluruh proses diatas dapat terjadi sebaliknya, yaitu dimulai dari pengantin wanita dan akhirnya kembali lagi kepadanya. San – san – ku – do merupakan bagian terpenting dari upacara perkawinan. Saling memberikan cangkir diartikan sebagai lambang membagi suka duka dalam kehidupan bersama.

Setelah upacara perkawinan diselenggarakan, akan diadakan resepsi yang disebut hiroen ; yaitu resepsi untuk memberitahukan perkawinan ini kepada masyarakat. Pasangan pengantin akan pergi ke gedung atau rumah makan tertentu, dimana mereka akan bergabung dengan para tamu yang akan memberikan ucapan selamat.

3.1.3. Setelah Upacara Perkawinan

Kegiatan yang lazim dilakukan setelah upacara perkawinan diantaranya adalah upacara minum sake bersama sanak saudara. Biasanya diikuti dengan dengan perkenalan resmi dari masing – masing pihak dengan menyebutkan nama dan hubungannya dengan pengantin pria atau pengantin wanita dan dilanjutkan dengan acara berfoto.

Tempat tinggal setelah menikah bagi pasangan baru ditetapkan setelah upacara perkawinan. Ada beberapa pilihan yang akan diputuskan pasangan pengantin tersebut ; apakah mereka akan tinggal bersama orang tua atau bahkan mungkin akan tinggal dirumah sendiri. Menurut Martha (1995 : 79 ) didaerah perkotaan Jepang, pasangan baru lebih suka hidup terpisah dari orang tua mereka. Keluarga golongan ekonomi atas, meskipun mempunyai ruangan dirumah lama bagi pengantin baru, mungkin lebih suka membangun rumah baru bagi mereka.


(57)

Secara keseluruhan di Jepang, kecenderungan untuk membangun rumah sendiri setelah mereka menikah belumlah sepenuhnya merupakan cara hidup yang mapan. Didaerah pedesaan orang menganggap wajar bila pasangan baru tetap tinggal di rumah yang sama dengan orang tuanya. Berdasarkan data dalam Martha ( 1995 : 80 ), disimpulkan bahwa mereka semakin cenderung membentuk keluarga inti. Vitrilokal ( patrilokal ) yaitu adat yang menghendaki agar pasangan baru menetap disekitar kaum kerabatnya suaminya, yaitu orang tua dari suami, sekarang ini semakin cenderung kearah neoloka, yaitu adat yang menentukan pasangan baru untuk tinggal terpisah di kediaman yang baru, tidak disekitar kaum kerabat suami atau isteri.

3.2. Tahapan Upacara Perkawinan pada Masyarakat Aceh 3.2.1. Sebelum Upacara

Dalam adat – istiadat Aceh secara umum, yang pertama dilakukan dalam tahapan perkawinan adalah menentukan pasangan / memilih jodoh. Bila seseorang hendak mencari seorang wanita untuk jodoh anak lelakinya, bermufakatlah kedua orang tua tersebut, membicarakan tentang wanita yang bakal menjadi menantunya.

Setelah pilihan mereka jatuh pada salah seorang anak gadis, maka diberitahukan kepada anak laki – lakinya. Bila sudah mendapat persetujuan, maka dimulailah kegiatan untuk meminang. Acara yang pertama sekali ditempuh, yaitu : Cah Ret atau Cah Rot ( Alamsyah, 1990 : 37 ).

Ibu pemuda tersebut ditemani oleh seorang atau dua orang wanita lain secara tidak resmi datang kerumah gadis yang dimaksud. Alasan yang dicari umpamanya


(58)

kalau dirumah itu ada orang sakit, datangnya untuk menjenguk orang sakit, atau jika didalam kebun pekarangan rumah anak gadis tersebut ada pohon buah – buahan, maka mereka berpura – pura mencari buah – buahan.

Sesudah didalam rumah, ibu si pemuda dengan ibu si anak gadis berbincang – bincang. Dalam pembicaraan antara ibu si pemuda dengan ibu si anak gadis pada setiap kesempatan diselipkan kata – kata : Adak meu – ek jeud bungong nyoe bah keu ulon tuan, bek jipot di gob le ( Bunga ini kalau boleh, biarlah saya yang menyuntingnya, jangan dipetik oleh orang lain ).

Pengertian dari pembicaraan tersebut adalah bahwa ibu / keluarga si pemuda akan datang untuk meminang anak gadis tersebut.

Pihak keluarga wanita yang telah mengetahui bahwa ada yang sedang menginginkan anak perempuan mereka, biasanya orang tua akan menanyakan terlebih dahulu kepada anaknya, apakah sudah siap untuk menikah dan menerima lamaran. Memang pada dahulunya hal ini jarang terjadi, biasanya orang tua memegang otoritas tinggi atas setiap keputusan untuk anaknya dan dianggap itu adalah terbaik. Tetapi sekarang ini, seiring dengan perkembangan zaman, sudah jarang terjadi dan malah sudah banyak terjadi setiap jodoh mereka tidak menjadi keputusan mutlak dari orang tua lagi.

Selanjutnya pihak keluarga laki –laki menunjuk seorang Seulangke sebagai perantara dalam menyelesaikan berbagai kepentingan diantara pihak calon linto baro ( calon mempelai laki – laki ) dengan pihak calon dara baro ( calon mempelai perempuan ), begitu juga sebaliknya. Dikala meulakee ( melamar ) Seulangke menggunakan kata – kata yang tersusun rapi, sambil mengunyah sirih.


(59)

Selesai upacara jak meulakee ( melamar ), maka tiba - lah saatnya upacara

ba ranub kong haba ( sirih pertunangan ). Ranub kong haba ini dimaksudkan

sebagai meminang secara resmi. Sesuai dengan janji dan waktu yang telah disetujui oleh kedua belah pihak, maka pada hari yang telah ditetapkan serombongan utusan dari pihak keluarga laki – laki berkunjung ke rumah orang tua anak gadis tersebut, yang terdiri dari Geuchik ( kepala kampung ), Teungku Meunasah, Seulangke, dan orang – orang yang layak diikut sertakan.

Disana mereka dinantikan oleh keluarga anak gadis, Geuchik, Teungku Meunasah dan sanak keluarga. Dalam upacara adat yang berlangsung diserambi muka, pihak tamu yang diwakili oleh Geuchik menyampaikan secara adat mengenai maksud kedatangannya, yakni untuk melamar anak gadis dirumah tersebut.

Dari pihak tuan rumah yang diwakili oleh Geuchik pula menyampaikan pernyataan persetujuan dari ahli bait. Setelah itu pihak tamu menyerahkan sirih pertunangan ( ranub kong haba ) yang dibawanya, berbentuk sirih bersusun, pinang bercelup dengan serba kelengkapannya yang beraneka corak.

Beberapa buah dalong ( dulang ) berisi bahan – bahan pakaian dan alat rias diserahkan pula ditengah – tengah majelis tersebut, berikut telur ayam rebus yang bercelup aneka warna dan kembang.

Sebagai tanda khas pertunangan diserahkan sejenis perhiasan emas yang akan dipakai oleh anak gadis selama masa pertunangan. Setelah menerima benda – benda ini pihak keluarga perempuan tidak boleh lagi menerima lamaran orang lain. Bila ketentuan ini dilanggar pihak keluarga perempuan akan didenda sebanyak dua kali lipat dari tanda ranub kong haba yang harus dikembalikan


(60)

kepada pihak keluarga laki – laki, dan jika yang memutuskan hubungan pihak laki – laki perhiasaan tersebut akan menjadi milik perempuan.

Dalam upacara ini kedua belah pihak merundingkan tentang : a. Jeunamee ( mas kawin ),

b. Waktu yang baik untuk gatib ( menikah ) dan mem – pleue ( bersanding ), c. Dan lain – lain yang dirasa perlu sehubungan dengan upacara

berlangsungnya perkawinan tersebut.

Beberapa hari kemudian serombongan utusan dari pihak keluarga perempuan berkunjung kerumah keluarga laki – laki, membawa beberapa buah dalong ( dulang ) berisi penganan – penganan adat yang disebut balasan pertunangan ( beunalah kong haba ). Pengganan itu dibagi mereka kepada tetangga dan sanak saudara.

Beberapa selang waktu sebelum menuju hari perkawinan yang telah ditetapkan sebelumnya, pihak keluarga laki – laki maupun keluarga perempuan akan mengadakan suatu kegiatan yang disebut meuduk pakat. Menurut Suwondo ( 1979 : 66 ), duduk musyawarah didaerah Aceh disebut meuduk pakat ( duduk bermufakat ). Duduk bermufakat bertujuan untuk memberitahukan kepada seluruh keluarga, bahwa salah seorang dari anggota keluarga mereka akan memasuki jenjang rumah tangga, serta merencanakan persiapan – persiapan selanjutnya. Dimusyawarahkan juga apakah nanti dalam pelaksanaan perkawinan akan dilangsungkan kenduri sekedarnya atau secara besar – besaran. Dalam acara ini juga diadakan pembentukan panitia resepsi yang tugasnya nanti adalah bertanggung jawab atas segala kelengkapan yang berhubungan dengan resepsi, seperti mengundang, mendirikan dapur, pelaminan, undangan, dan lain – lain.


(1)

No. Tahapan Upacara

Perbedaan

1. Sebelum Upacara - Barang – barang yang diberikan pada saat pertunangan berbeda. Di Jepang barang yang diberikan adalah uang sebanyak tiga bulan gaji, sake, ikan tai dan lain – lain, sedangkan di Aceh adalah bahan – bahan makanan, pakaian, mas kawin.

2. Upacara perkawinan

- Di Jepang tempat melakukan resepsi biasanya dirumah pengantin pria sedangkan pada masyarakat Aceh resepsi dilakukan dirumah pengantin perempuan.

- Di Jepang upacara dimulai dari karishugen dan dilanjutkan dengan acara san – san – ku – do dan hiroen yaitu pemberitahuan kepada masyarakat

luas

- Di Aceh upacara ditandai dengan arak – arakan pengantin pria kerumah pengantin perempuan, dilanjutkan dengan acara bersanding.

3. Setelah Upacara - Acara perkenalan keluarga di Jepang dilakukan dengan cara mengundang keluarga kedua mempelai dan disertai dengan minum sake


(2)

bersama, sedangkan di Aceh perkenalan dilakukan dengan cara mengunjungi rumah keluarga.


(3)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

Melihat dari uraian diatas diatas, maka dapat diambil kesimpulan sebgai berikut :

1. Setelah ditelaah lebih jauh ternyata banyak terdapat kesamaan maupun perbedaan dalam upacara perkawinan masyarakat Jepang dan masyarakat Aceh. Suatu hal yang menarik dalam konsep perbandingan, dua wilayah yang berjauhan secara geografis dan sangat berbeda dalam cultural mempunyai kemiripan budaya disertai dengan perbedaannya.

2. Dengan mengenali persamaan dan perbedaan kedua budaya itu, kita akan semakin dapat memahami keanekaragaman pola hidup yang ada, yang akan bermanfaat saat berkomunikasi dan berinteraksi dengan pihak yang berasal dari budaya yang berbeda.

3. Perkawinan merupakan sebuah proses dalam pembentukan suatu kesatuan yang disebut rumah tangga, yang mempunyai tujuan untuk meneruskan keturunan secara sah.

4. Perpaduan unsur tradisional dan modern terlihat dalam pelaksanaan resepsi perkawinan di Jepang dan Aceh.

5. Dalam masyarakat Jepang dan masyarakat Aceh sama – sama mempunyai seseorang yang mempunyai peranan sebagai perantara, di Jepang disebut dengan Nakoodo dan di Aceh disebut dengan Seulangke.


(4)

4.2. Saran

Skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan. Baik dari segi pemahaman konsep budaya, penulisan, analisa, maupun lainnya. Jadi disarankan bagi para pembaca yang juga ingin meneliti tentang budaya, tradisi, adat – istiadat Jepang lainnya, maka sebaiknya harus benar – benar memahami konsep budaya tersebut dengan baik dan benar sesuai dengan keadaan yang sebenarnya serta didukung oleh data yang akurat.

Skripsi ini hendaknya berguna bagi pembaca dan mahasiswa yang juga ingin meneliti tentang budaya perkawinan, hingga menyempurnakan kekurangan – kekurangan yang terdapat didalamnya.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Alamsyah, dkk. 1991. Pedoman Umum Adat Aceh. Aceh: Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh

Benedict, Ruth. 1982. Pedang Samurai dan Bunga Seruni: Pola-pola Kebudayaan Jepang. Jakarta: Yayasan Sinar Harapan (terj)

Dananjaja, James. 1997. Folkor Jepang Dilihat dari Kaca Mata Indonesia. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafitri (Anggota Ikapi)

Dhani, Irham.2007. Perbandingan Upacara Perkawinan dalam Masyarakat Jepang dan Masyarakat Melayu Riau. Skripsi. Medan : USU

Ghozally, R Fitri. 2004. Semua Tentang Jepang. Jakarta: Progres Jepang

Haviland, D William, Soekadijo. 1993. Antropologi Jilid 2. Surakarta: Erlangga. Horton, Paul B, Hunt, Chester L. 1987. Sosiologi Suatu Pengantar.Jakarta : Erlangga.

Ibrahim, Alfian, dkk.1978.Adat Istiadat Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Aceh : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Koentjaraningrat. 1980. Pengantar Antropologi. Jakarta: Aksara Baru Mulyadi. 2004. Dasar-dasar Penulisan Ilmiah. Medan: USU Press

Nasution, S. 1996. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito Reischaver, O Edwin. 1982. Manusia Jepang. Jakarta: Sinar Harapan


(6)

Medan : Universitas Sumatera Utara.

. 2005. Ritus-ritus Daur Hidup Orang Jepang ( Diktat ). .2005. Telaah Pranata Masyarakat Jepang I ( Diktat ). .2006. lmu Kejepangan. Medan: USU Press

Staruss Claude Levi.2000.Ras dan Sejarah. Yogyakarta: Lkis

Suwondo, Bambang. 1979. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Istimewa Aceh. Aceh : Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Suryohadiprojo, Sayidiman.1982. Manusia dan Masyarakat Jepang dalam Perjuangan Jakarta: Pustaka Brajaguna dan UI press