Gambaran Proses Pencapaian Status Identitas Diri Remaja Yang Mengalami Kekerasan Fisik Pada Masa Kanak-Kanak

(1)

GAMBARAN PROSES PENCAPAIAN STATUS IDENTITAS DIRI REMAJA YANG MENGALAMI KEKERASAN FISIK PADA MASA

KANAK-KANAK

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persayaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh :

RANY MONIKA PURBA 071301062

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi saya yang berjudul :

Gambaran Proses Pencapaian Status Identitas Diri Remaja Yang Mengalami Kekerasan Fisik Pada Masa Kanak-Kanak

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, November 2011

RANY MONIKA PURBA NIM 071301062


(3)

Gambaran Proses Pencapaian Status Identitas Diri Remaja Yang Mengalami Kekerasan Fisik Pada Masa Kanak-Kanak

Rany Monika Purba dan Silviana Realyta, M.Psi ABSTRAK

Keluarga adalah lembaga pertama dalam kehidupan anak dan peran keluarga sangat besar dalam pembentukan tingkah laku, moral, dan pendidikan pada anak. Namun, perlakuan yang salah seperti kekerasan fisik sering diterima anak dari keluarganya, khususnya orang tua. Hal tersebut memberikan dampak fisik dan psikologis yang akan mempengaruhi proses anak tersebut berkembang menjadi seorang remaja yang akan membentuk identitas diri.

Identitas diri adalah perkembangan pemahaman diri yang membuat individu semakin sadar akan kemiripan dan keunikan dari orang lain dan akan memberikan arah, tujuan, dan makna pada hidup seseorang. Pembentukan identitas diri dapat digambarkan melalui status identitas berdasarkan ada tidaknya krisis (eksplorasi) dan komitmen. Status identitas diri terbagi atas empat yaitu

diffusion, foreclosure, moratorium dan achievement. Sedangkan domain identitas diri terdiri dari tiga domain yaitu domain pilihan pendidikan/pekerjaan, domain hubungan dengan teman, dan hubungan dengan pacar/kekasih.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran proses pencapaian status identitas diri pada remaja yang mengalami kekerasan fisik pada masa kanak-kanak dan faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara. Responden dalam penelitian ini berjumlah tiga orang, yang terdiri dari dua orang remaja perempuan dan satu orang remaja laki-laki. Adapun yang menjadi karakteristik responden dalam penelitian ini yaitu remaja yang mengalami kekerasan fisik di keluarga dan terjadi pada masa kanak-kanak.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tiap responden memiliki status identitas yang berbeda. Subjek I berada pada status identitas diffusion pada domain pilihan pendidikan/pekerjaan, achievement pada domain hubungan dengan teman dan pada hubungan dengan pacar/kekasih. Subjek II berada pada status identitas moratorium pada domain pilihan pendidikan/pekerjaan,

achievement pada domain hubungan dengan teman dan diffusion pada hubungan dengan pacar/kekasih. Subjek III berada pada status identitas diffusion pada domain pilihan pendidikan/pekerjaan, domain hubungan dengan teman dan pada hubungan dengan pacar/kekasih. Pencapaian status identitas diri pada ketiga responden dipengaruhi oleh pola asuh, homogenitas lingkungan, dan pengalaman masa kanak-kanak.


(4)

Attainment of Self Identity Status in Adolescent with Physical Abuse while Childhood

Rany Monika Purba and Silviana Realyta, M.Psi ABSTRACT

Family is a first place in children life and plays a significant role in child’s behavior, moral values, and education. But, children often get mistreatment like physical abuse from their family, especially their parents. That condition gives some physical and psychological effect that influenced process of a child becoming an adolescence who will formed self identity.

Self identity is a development of self understanding that makes people more aware with their similarity and uniqueness from other people and gives direction, goal, and meaning in someone’s life. Self identity can be described based on presence or absence of crisis (exploration) and comitment. Self identity status is divided into four, namely diffusion, foreclosure, moratorium, and achievement. Self identity domain is consisted of three domains. Those domains is vocational domain, relationship with friends domain, and relationship with dates domain.

The purpose of this research is to know the description in attainment process of self identity status in adolescence with physical abuse while childhood, and factors that influence the attainment of self identity status. This research used the qualitative approach. The process of data collection used the interview method. Participants in this research are three adolescent, who consisted of two female and one male. They were victims of physical abuse at childhood and were abused by their family.

Result showed that each respondent has a different self identity status. First subject was in diffusion identity status on vocational domain, achievement in relationship with friends domain, and in relationship with dates domain. Second subject was in moratorium identity status on vocational domain, achievement in relationship with friends domain, and diffusion in relationship with dates domain. Third subject was in diffusion identity status on vocational domain, in relationship with friends domain, and in relationship with dates domain. Identity formation of participants influenced both by factors such as parenting style, childhood experiences, environment, etc.


(5)

Gambaran Proses Pencapaian Status Identitas Diri Remaja Yang Mengalami Kekerasan Fisik Pada Masa Kanak-Kanak

Rany Monika Purba dan Silviana Realyta, M.Psi ABSTRAK

Keluarga adalah lembaga pertama dalam kehidupan anak dan peran keluarga sangat besar dalam pembentukan tingkah laku, moral, dan pendidikan pada anak. Namun, perlakuan yang salah seperti kekerasan fisik sering diterima anak dari keluarganya, khususnya orang tua. Hal tersebut memberikan dampak fisik dan psikologis yang akan mempengaruhi proses anak tersebut berkembang menjadi seorang remaja yang akan membentuk identitas diri.

Identitas diri adalah perkembangan pemahaman diri yang membuat individu semakin sadar akan kemiripan dan keunikan dari orang lain dan akan memberikan arah, tujuan, dan makna pada hidup seseorang. Pembentukan identitas diri dapat digambarkan melalui status identitas berdasarkan ada tidaknya krisis (eksplorasi) dan komitmen. Status identitas diri terbagi atas empat yaitu

diffusion, foreclosure, moratorium dan achievement. Sedangkan domain identitas diri terdiri dari tiga domain yaitu domain pilihan pendidikan/pekerjaan, domain hubungan dengan teman, dan hubungan dengan pacar/kekasih.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran proses pencapaian status identitas diri pada remaja yang mengalami kekerasan fisik pada masa kanak-kanak dan faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara. Responden dalam penelitian ini berjumlah tiga orang, yang terdiri dari dua orang remaja perempuan dan satu orang remaja laki-laki. Adapun yang menjadi karakteristik responden dalam penelitian ini yaitu remaja yang mengalami kekerasan fisik di keluarga dan terjadi pada masa kanak-kanak.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tiap responden memiliki status identitas yang berbeda. Subjek I berada pada status identitas diffusion pada domain pilihan pendidikan/pekerjaan, achievement pada domain hubungan dengan teman dan pada hubungan dengan pacar/kekasih. Subjek II berada pada status identitas moratorium pada domain pilihan pendidikan/pekerjaan,

achievement pada domain hubungan dengan teman dan diffusion pada hubungan dengan pacar/kekasih. Subjek III berada pada status identitas diffusion pada domain pilihan pendidikan/pekerjaan, domain hubungan dengan teman dan pada hubungan dengan pacar/kekasih. Pencapaian status identitas diri pada ketiga responden dipengaruhi oleh pola asuh, homogenitas lingkungan, dan pengalaman masa kanak-kanak.


(6)

Attainment of Self Identity Status in Adolescent with Physical Abuse while Childhood

Rany Monika Purba and Silviana Realyta, M.Psi ABSTRACT

Family is a first place in children life and plays a significant role in child’s behavior, moral values, and education. But, children often get mistreatment like physical abuse from their family, especially their parents. That condition gives some physical and psychological effect that influenced process of a child becoming an adolescence who will formed self identity.

Self identity is a development of self understanding that makes people more aware with their similarity and uniqueness from other people and gives direction, goal, and meaning in someone’s life. Self identity can be described based on presence or absence of crisis (exploration) and comitment. Self identity status is divided into four, namely diffusion, foreclosure, moratorium, and achievement. Self identity domain is consisted of three domains. Those domains is vocational domain, relationship with friends domain, and relationship with dates domain.

The purpose of this research is to know the description in attainment process of self identity status in adolescence with physical abuse while childhood, and factors that influence the attainment of self identity status. This research used the qualitative approach. The process of data collection used the interview method. Participants in this research are three adolescent, who consisted of two female and one male. They were victims of physical abuse at childhood and were abused by their family.

Result showed that each respondent has a different self identity status. First subject was in diffusion identity status on vocational domain, achievement in relationship with friends domain, and in relationship with dates domain. Second subject was in moratorium identity status on vocational domain, achievement in relationship with friends domain, and diffusion in relationship with dates domain. Third subject was in diffusion identity status on vocational domain, in relationship with friends domain, and in relationship with dates domain. Identity formation of participants influenced both by factors such as parenting style, childhood experiences, environment, etc.


(7)

BAB I PENDAHULUAN

I. A. Latar Belakang Masalah

Keluarga merupakan lembaga pertama dalam kehidupan anak, tempat ia belajar dan menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Segala sesuatu yang dilakukan anak akan mempengaruhi keluarganya, begitu pula sebaliknya. Keluarga memberikan dasar pembentukan tingkah laku, watak, moral dan pendidikan kepada anak. Pengalaman interaksi di dalam keluarga akan menentukan pula pola tingkah laku anak terhadap orang lain dalam masyarakat. Selain sebagai tempat awal bagi proses sosialisasi anak, keluarga juga tempat anak mengharapkan dan mendapatkan pemenuhan kebutuhan. Peranan dan tanggung jawab yang harus dimainkan orang tua dalam membina anak adalah besar (Solihin, 2004).

Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat memiliki tanggung jawab pertama untuk menjaga pertumbuhan dan perkembangan anak. Seorang anak akan mencapai pertumbuhan dan perkembangan optimal jika kebutuhan dasarnya terpenuhi, misalnya kebutuhan fisik (sandang, pangan, papan) dan kebutuhan psikologis berupa dukungan, perhatian dan kasih sayang. Perlakuan salah yang sering diterima anak dari keluarga, khususnya orang tua membuat keluarga justru menjadi sumber ancaman dan ketidaktentraman anak. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang didapatkan oleh Putra (dalam Ervika,2005) melalui penelitiannya


(8)

bahwa hasil-hasil perlakuan salah (maltreated) terhadap anak yang terjadi dalam ranah publik dan domestik ternyata sebagian besar dilakukan oleh orang tua mereka. Adapun yang dimaksud dengan perlakuan salah dalam hal ini adalah segala jenis bentuk perlakuan terhadap anak yang mengancam kesejahteraan anak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik, sosial, psikologis, mental dan spiritual (Ervika,2005).

Menurut Mash & Wolfe (2005), anak-anak, karena belum dewasa (immature) secara sosial dan psikologis menjadi sangat tergantung pada orang dewasa terutama untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar mereka. Hal ini membuat mereka rentan menjadi korban kekerasan dalam keluarga. Umumnya, orang tua mencintai dan memelihara anak-anak mereka dengan baik. Namun pada kenyataannya, beberapa orang tua tidak mampu atau tidak mau peduli dan ada pula yang dengan sengaja menyakiti atau membunuh anak-anak mereka (Papalia, 2004). Bahkan, ada juga orang tua yang mengaku menyayangi anaknya namun tetap tega menyakiti anak atas nama disiplin dan kasih sayang (Santrock, 1998).

Kekerasan domestik terhadap anak bukanlah peristiwa yang langka karena sering terjadi di sekitar kita. Kekerasan domestik atau kekerasan yang terjadi di dalam lingkungan keluarga menduduki porsi terbesar dalam kasus kekerasan yang menimpa anak-anak pada rentang usia 3-6 tahun. Sebanyak 80% kekerasan yang menimpa anak-anak dilakukan oleh keluarga mereka, 10% terjadi di lingkungan pendidikan, dan sisanya orang tak dikenal. Pada tahun 2002, setiap bulannya terdapat 30 kasus kekerasan yang diadukan oleh korbannya kepada lembaga konseling Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia. Sebanyak 60% merupakan


(9)

korban kekerasan ringan, berupa kekerasan verbal atau caci maki, sedangkan 40% sisanya mengalami kekerasan fisik hingga seksual (Solihin, 2004). Data diatas menunjukkan bahwa kasus-kasus tindak kekerasan sangat mudah ditemui di lingkungan keluarga yang secara normatif sering dikatakan sebagai tempat paling aman bagi anak-anak.

Kekerasan (abuse) terjadi ketika pengasuh (caregiver) anak atau remaja gagal memberikan sarana untuk kesehatan dan kesejahteraan (well-being) anak atau juga menyebabkan luka-luka dan tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar mereka (Giardino, 2010). Kekerasan adalah kata yang biasa diterjemahkan menjadi penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah. Istilah child abuse atau kadang-kadang child maltreatment adalah istilah yang biasa digunakan untuk menyebut kekerasan terhadap anak. Gelles (dalam Huraerah, 2005) mendefinisikan kekerasan terhadap anak sebagai perbuatan yang disengaja yang menimbulkan kerusakan atau bahaya terhadap anak-anak secara fisik maupun emosional, dan meliputi berbagai bentuk tingkah laku, mulai dari tindakan ancaman fisik secara langsung oleh orang tua atau orang dewasa lainnya yang ikut menjadi pengasuh sampai kepada penelantaran kebutuhan-kebutuhan dasar anak

Ada banyak bentuk kekerasan yang bisa dilakukan pada anak. Salah satunya adalah kekerasan secara fisik. Kekerasan secara fisik (physical abuse)

meliputi penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. Bentuk luka dapat berupa lecet atau memar akibat persentuhan atau kekerasan benda tumpul, seperti bekas gigitan, cubitan, ikat


(10)

pinggang atau rotan. Dapat pula berupa luka bakar akibat bensin panas atau berpola akibat sundutan rokok atau setrika (Huraerah, 2005). Seperti yang dialami oleh Susi (bukan nama sebenarnya), yang telah bertahun-tahun menerima kekerasan secara fisik dari ayah kandungnya:

“...bapak biasanya mukul, tumbuk-tumbuk. Bagian paling sering biasanya muka. Itu yang paling sering. Biasanya sampai biru, bengkak, berdarah. Aku kemarin pernah benjol disini, benjol ini, benjol ini (sambil menunjukkan bagian-bagian pada wajah) terus luka. Dan biasanya itu akibat berkali-kali aku ditumbuk. Pokoknya paling sering di bagian kepala lah. Kalo nggak diantukkan begini (sambil memperagakan kepala orang yang dibenturkan kedinding). Kalo badan jarang kena, tapi mau juga. Kalo badan biasanya dipijaknya. Tapi biasanya dimulai dari kepala lah, baru dia tendang pantat kita atau apa gitu...”.

“...pertama dipukul sekali dulu, sejenis pemanasan gitu kan. Trus merepet-merepet, marah-marah, terus dihantam lagi...”.

(Susi, wawancara interpersonal, Februari-Maret 2010)

Kekerasan fisik dalam keluarga semakin sering terjadi. Ketika kompleksnya masalah ekonomi hingga sosial berakumulasi, maka anak, sebagai anggota keluarga terlemah seringkali menjadi korban. Graziano (dalam Fontes, 2002) mengemukakan bahwa semakin besar stres yang dialami sebuah keluarga, maka kemungkinan terjadinya kekerasan pada anak akan semakin besar. Selain itu, semakin seringnya orang tua menggunakan hukuman sebagai cara untuk mendisiplinkan anak akan memperbesar kecenderungan orang tua tersebut melakukan kekerasan fisik. Hal tersebut terjadi karena orang tua akan merasa hukuman fisik ringan yang dilakukan pada anak tidak lagi efektif untuk mengontrol perilaku anak sehingga mulai melakukan hukuman fisik yang lebih berat. Pendidikan tradisional yang dianut oleh masyarakat juga sering sekali


(11)

melegalkan penggunaan kekerasan dalam mendidik anak. Pendidikan tradisional tersebut kemudian menjadi kebudayaan yang pada akhirnya menjadi lingkaran. Anak yang mengalami kekerasan cenderung juga akan melakukan hal yang sama pada anaknya dan begitu seterusnya. Hal tersebut akan membuat kekerasan fisik semakin banyak dari hari ke hari (“Kekerasan pada Anak karena Kurang Edukasi”, 2008).

Kekerasan fisik yang diterima anak akan meninggalkan kerusakan ataupun cacat fisik yang diakibatkan oleh tindak kekerasan yang dilakukan oleh pelaku kekerasan (abuser). Tanda-tanda fisik yang dialami antara lain adanya riwayat mengalami luka-luka dalam waktu yang panjang, memar, patah tulang ataupun kerusakan pada gigi yang tidak dapat dijelaskan, kehilangan fungsi tubuh dalam waktu tertentu, kerusakan saraf sementara ataupun permanen, dan luka-luka lainnya yang tidak dapat dijelaskan. Hal ini sesuai dengan apa yang dialami oleh Susi (bukan nama sebenarnya):

“...sering pusing..”.

“..sekarang kan aku juga lagi ikut berobat ke apa itu. Tempat adikku ini berobat kusuk, aku ikut juga. Terus mereka bilang, eh kemaren pernah jatuh ya. Dulu aku waktu SMA hampir tiap hari pusing. Mulanya dari aku kelas tiga SMA sampe tahun lalu, bulan lalu aku hampir tiap hari pusing. Cuman setelah aku kesana itu udah lumayan apa. Karena kemaren juga katanya rahimku uda ntah kekmana mana lah posisinya gitu kan. Pernah jatuh ya dek, katanya. Jatuhnya keras kata tukang pijat itu kan. Pernah kubilang. Ini uda lama kan katanya. Iya waktu SD kubilang gitu. Cuman aku nggak bilang itu karena aku pernah dipukul. Cuma aku bilang aku jatuh karena panjat pagar sekolah, pagar orang sama pohon jambu kubilang. Karna bisa aja kan, nama nya juga waktu SD kan. Iya rahimmu begini begono perutmu begini. Terus payudaramu kena ini. Jadi itu urat-uratnya lari ke kepala makanya sering pusing. Ntah kenapa-kenapa kan sampek kemaren pernah aku berobat ke Pirngadi, disuruh scanning ini itu segala macam rupanya karena uratnya aja yang bermasalah”.


(12)

Selain meninggalkan kerusakan ataupun cacat fisik, kekerasan secara fisik juga memberikan dampak secara psikologis bagi anak. Dampak psikologis yang dialami anak akan menimbulkan perubahan tingkah laku. Anak yang mengalami kekerasan akan menunjukkan respon takut yang berlebihan dan dikombinasikan dengan perilaku agresif. Anak juga akan menyentak dan menjerit ketika disentuh tiba-tiba. Selain itu, anak juga cenderung menyembunyikan dan menutupi luka-luka fisik yang mereka miliki dan akan menolak dengan keras jika disuruh untuk membuka baju (Manitoba, 2009). Hal yang sama juga dialami oleh Susi (bukan nama sebenarnya) tentang trauma psikis yang dia alami:

“...trauma aku masih ada cuma aku udah lumayan bisa menenangkan dirilah. Kemaren pas baru tamat SMA, aku paling nggak bisa dengar misalnya piring dicampakkan pelan aja, walaupun dirumah orang, kayaknya aku merasa situasi itu kembali lagi, gitu. Trus kalo misalnya orang tiba-tiba gini (memukul tikar dengan keras) aku langsung gemetaran gitu. Trus kalo orang misalnya marah samaku, yang ini masih terasa sampai sekarang, kalo ada yang marah apalagi usianya ya jauh dari aku trus marahnya pake suara keras, konsentrasiku langsung ga tau lagi aku harus gimana. Aku merasa kejadian yang kemaren-kemaren itu terulang lagi...”.

(Susi, wawancara interpersonal, Februari-Maret 2010)

Dampak tindakan kekerasan yang dilakukan pada anak sangat beragam. Menurut Moore (dalam Huraerah, 2005) yang telah mengamati beberapa kasus anak yang menjadi korban penganiayaan fisik, mengungkapkan bahwa efek tindakan kekerasan fisik tersebut demikian luas dan secara umum dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori. Anak yang mengalami kekerasan fisik ada yang menjadi negatif dan agresif serta mudah frustasi, sangat pasif dan apatis, dan merasa tidak mempunyai kepribadian sendiri. Selain itu ada juga yang merasa apa yang dilakukan sepanjang hidupnya hanyalah memenuhi keinginan orang


(13)

tuanya (parental extension) sehingga mereka tidak mampu menghargai dirinya sendiri (chronically self-esteem). Korban kekerasan fisik lainnya juga mnengalami kesulitan menjalin relasi dengan individu lain.

Penelitian Flisher (dalam Meyerson,Long, Miranda & Marx, 2002) menunjukkan bahwa remaja yang mengalami kekerasan fisik semasa kanak-kanaknya akan menunjukkan kesulitan menyesuaikan diri, kompetensi sosial yang lebih buruk, menurunnya kemampuan bahasa, dan performansi yang buruk di sekolah dibandingkan dengan remaja yang tidak mengalami kekerasan. Hussey & Singer, Williamson, Borduin, & Howe (dalam Meyerson et.al, 2002) juga menyatakan bahwa perkembangan emosional, sosial dan fisik yang unik terjadi selama periode remaja sehingga kekerasan yang dialami anak akan secara berbeda mempengaruhi fungsi-fungsi psikologis, khususnya pembentukan identitas diri jika dibandingkan dengan periode perkembangan lainnya.

Remaja yang pernah mengalami kekerasan secara fisik juga akan mengalami masalah psikososial dan perilaku yang lebih banyak dibandingkan dengan remaja-remaja lainnya. Remaja yang pernah mengalami kekerasan memiliki gambaran diri (self-image) yang buruk, lebih merasa aneh dengan dirinya sehingga muncul pemikiran serius untuk bunuh diri, lebih banyak mengkonsumsi rokok, ganja, dan minuman keras dan cenderung terjebak dalam pergaulan bebas jika dibandingkan dengan remaja yang tidak mengalami kekerasan (Fontes, 2002). Dampak buruk yang timbul dari kekerasan yang dialami akan menimbulkan tekanan pada remaja dan kondisi yang tidak mendukung pembentukan gambaran diri dan identitas diri seorang remaja. Seperti


(14)

penuturan Susi, yang mengaku, kekerasan fisik yang dialaminya dalam keluarga membuatnya sulit untuk berpikir tentang masa depan dan memiliki citra diri yang buruk.

“Itu nggak tahu gitu-gitu, pokoknya gini lo pandangan ke diri itu, nggak berharga, gelap, terus merasa lebih rendah, lebih jelek, lebih bodoh, lebih apa dari orang lain. Kayak kemarin itu pikirku juga, istilahnya, yaudahlah memang kek gini nasibku, aku bukan manusia. Toh bapakku sama mamakku pun giniin aku. Sama kawan-kawan juga aku tertutup, nggak pala bergaul. Kasarnya, citra diri benar-benar rusak la. Betul la. Nggak tahu mau kekmana. Mau cerita sama orang juga malu, nanti kan diejekin. Apalagi masih smp itu masa-masanya gaya-gayaan.

(Susi, wawancara interpersonal, Februari-Maret 2010) Masa remaja adalah saat terpenting dalam proses menuju kedewasaan. Siapakah saya, apakah yang ada pada diri saya, apa yang akan saya lakukan dengan hidup saya, apakah yang berbeda dengan diri saya dan bagaimanakah caranya saya melakukan sesuatu sendiri adalah pertanyaan-pertanyaan yang tidak terlalu dipikirkan di masa anak-anak, namun mulai menjadi masalah umum, nyata, dan universal ketika seseorang memasuki masa remaja (Santrock, 1998). Pada masa remaja, mereka mulai menyadari tentang kepastian identitas dirinya sehingga pada remaja awal mereka mulai melakukan eksplorasi terhadap kepribadian dirinya. Pencarian identitas diri pada masa remaja menjadi lebih kuat sehingga ia berusaha untuk mencari identitas diri dan mendefinisikan kembali siapakah ia saat ini dan akan menjadi siapakah ia di masa depan. Perkembangan identitas diri selama masa remaja ini dianggap sangat penting karena identitas diri tersebut dapat memberikan suatu dasar unuk perkembangan psikososial dan relasi interpersonal pada masa dewasa (Jones dan Hartmann, 1988). Susi dengan latar belakang kondisi kekerasan dalam keluarga yang dia alami, akhirnya


(15)

memunculkan keinginannya untuk menjadi seperti sosok Kak Seto atau Ayah Edi yang peduli pada keselamatan dan kesejahteraan anak. Keinginan itu membuatnya mencari tahu dan belajar dari berbagai sumber tentang bagaimana menjadi seperti sosok Kak Seto dan Ayah Edi.

“Waktu SMP sih, itu aja. Aku pengen jadi kayak kak Seto. Gitu. Sampe sekarang juga itu. Memang sih latar belakangnya karna masa laluku juga..”

“..dari TV. Si komo si komo itu. Pokoknya aku mau jadi kayak kayak guru-guru agama tapi sama anak-anak..”

“..soalnya kemarin kak Seto kan dekat sama anak-anak, ramah, baik ya gitu pikirku..”

“..kayak kemarin kan pas seminar kutanya sama ayah Edi. Kalo mau seperti ayah, sekolah dimana. Tapi dia kurang spesifik jawabnya. Dibilangnya cari ajalah pendidikan yang berhubungan ke anak. Katanya kek gitu. Aku juga nggak ngerti kenapa kek gitu, mungkin karna kita tanya langsung tentang ilmunya kali ya?. Terus kan waktu itu, ada juga

talk shownya di StarFM, kutanya lagi, pertanyaan yang sama, gitu juga jawabannya. Kalo lebih spesifik kan bisa awak ngerti kan. Kalo dibilangnya cari ini begini, ada sekolah yang mengapai pendidikan anak, mana tau serba tau semua. Mana tau kekmana-kekmana, sekolah kemana, gitu kan..”

“Selain karna latarbelakangku, aku juga ingin itu karna kemarin aku sempat baca tentang kak Seto ternyata latarbelakangnya nggak jauh-jauh dari yang kualami juga. Ayah Edi juga kayak gitu. Bapaknya tukang tendang, tukang pukul, Jadi kalo kita wujudkan. Karna cita-cita kan nggak jauh-jauh dari latar belakang kan, lebih klop dia. Karna panggilan hati juga. Terus karna gini juga semakin keras tantangan hidup orang, kalau cepat ditangani, akan semakin cepat dewasanya. Itulah dia..”

“Dari kemaren, uda dari dulu-dulu. Karna latarbelakang juga gini, aku nggak mau, kalo ada anak yang mengalami kekerasan, seperti yang aku alami, aku nggak mau anak yang pernah dipukuli ini, aku nggak mau dia kebingungan sendiri. Aku pernah alami seperti itu dan aku tau sangat buruk rasanya. Gitu kan. Jadi aku mau bisa komunikasi, bisa bantu kali ya, karna untuk yang seperti itu, kalo kita belum pernah ngalamin kayaknya mungkin, mungkin ya, kuping ini juga kurang tanggap gitu. Jadi kalo misalnya kita uda dari situ kan, nanti apa yang dibilangnya juga hidup didalam kita gitu. Dan dia juga lebih tau untuk mengeluarkan perasaannya dan kita juga bisa konsultasi di dua tempat. Satu di posisi dia yang mengalami, satu lagi sebagai yang mengarahkan. Gitu..”


(16)

Paling kutanya lah ahlinya, langsung ke akarnya kutanya. Atau baca-baca buku di Gramed, mau juga ikut seminar-seminar.

(Susi, wawancara interpersonal, Februari-Maret 2011)

Usaha Susi untuk mencari informasi dan belajar dari lingkungan tentang masa depannya merupakan bagian dari proses pembentukan identitas diri. Proses pembentukan identitas diri adalah proses dimana seorang remaja mengembangkan suatu identitas personal atau sense of self yang unik yang berbeda dari orang lain (individuation). Dalam psikologi perkembangan, pembentukan identitas diri merupakan tugas utama dalam perkembangan kepribadian yang diharapkan tercapai pada akhir masa remaja. Sebuah identitas adalah sejumlah nilai personal yang saling berkaitan mengenai nilai-nilai dalam pekerjaan, hubungan interpersonal, politik dan agama (Erickson dalam Faber et.al, 2003). Pembentukan identitas diri sebenarnya sudah dimulai dari masa anak-anak, tetapi pada masa remaja ia menerima dimensi-dimensi baru karena berhadapan dengan perubahan-perubahan fisik, kognitif, dan relasional (Grotevant dan Cooper, 1998).

Melihat pentingnya bagi remaja untuk mengembangkan identitas diri yang stabil, sejumlah penelitian telah dilakukan untuk mengeksplorasi faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan identitas diri. Sejumlah temuan literatur (Minuchin, 1974) dan penelitian empiris (Perosa, Perosa, & Tam, 1996) menyatakan bahwa konteks keluarga memainkan peran yang besar pada kemampuan remaja untuk mengembangkan identitas diri yang stabil (Faber,2003). Patterson,dkk (dalam Mullis et.al, 2009) juga menemukan bahwa perasaan remaja tengah (middle adolescent) kepada baik ayah ataupun ibu mereka memiliki


(17)

dampak yang besar dan penting pada kemampuan koping dan eksplorasi mereka, yang juga adalah kemampuan yang penting dimiliki remaja dalam proses pengembangan identitas diri mereka. Namun, bagi Susi di dalam mempertimbangkan masa depan menjadi seperti sosok Kak Seto, dia tidak meminta pertimbangan orangtuanya atau orang lain di dalam mengambil keputusan.

“Belum. Nanti mamakku pikir, banyak kali ceritanya ini. Gitu pulak nanti..”

Soalnya mamak kami itu agak-agak kolot cara berpikirnya. Nanti kubilang, aku mak mau gini-gini gini-gini, dibilangnya, jangan terlalu tinggi kali mimpi nanti nggak nyampe mereng. Katanya gitu kan. Jadi agak apa..agak susah.

(Susi, wawancara interpersonal, April 2011)

Menurut Erickson, perkembangan identitas diri pada remaja menuntut mereka melewati tahap memilih dan menyaring begitu banyak pilihan hidup yang ada sebelum mereka membuat komitmen pada area-area penting dalam hal hubungan interpersonal dan ideologi hidup (Santrock, 1998). Hal ini juga diungkapkan oleh Susi (bukan nama sebenarnya):

“...aku nanti ingin seperti kak Seto atau ayah Edi ya. Pokoknya khusus ke anak. Mungkin latar belakangnya karena aku juga dari, karna aku juga waktu kecil ngga tau mau gimana, jadi aku menilai kalau ke anak, pembimbingannya itu, kalau kita masukkan satu kata, kalau dia masih kecil, akan diingat sampai dia besar..”

“Kemarin aku uda cari tau. Di UMA ada katanya kuliah malam. Tapi cuma sekedar info-info aja. Lumayan bagus katanya kalo di UMA..” “Ini lah menyelesaikan tanggungan ini dulu, mungkin tunggu tamatlah sekolah si Abet kan. Kalo toh untuk melanjutkan sekolah, kapan aja bisa..”


(18)

Marcia (1993) mengidentifikasi masa eksplorasiyang mana menunjukkan pencarian sejumlah tujuan, nilai, kepercayaandan komitmen

yang mana menunjukkan penerimaan satu atau lebih sekumpulan tujuan, nilai, dan kepercayaan menjadi miliki seseorangsebagai dua definisi dimensi pada perkembangan identitas diri. Kemudian berdasarkan dua dimensi inilah Marcia membagi identitas menjadi 4 status identitas diri (identity statuses) remaja yakni

identity achievement, foreclosure identity, moratorium identity dan identity diffusion.

Marcia (2002) menyatakan bahwa pola yang paling sering dimiliki remaja dalam membentuk identitas diri dimulai dari tahap foreclosure. Sebagian besar individu meninggalkan masa kanak-kanak dengan pemikiran bahwa nilai orang tua dan pendidik adalah absolut dan benar. Banyak remaja yang memasuki periode perkembangan identitas dengan tahap foreclosure kemudian menemukan nilai-nilai dan arah karir mereka tidak seimbang dan searah dengan bagaimana mereka memandang diri mereka dan dunia. Remaja-remaja inilah yang kemudian akan memasuki masa krisis identitas. Selanjutnya masuk ke tahap moratorium, dimana terjadi proses eksplorasi banyak pilihan dan bergumul untuk menentukan masa depan yang tepat untuk diri mereka. Hasil yang terbaik, tahap moratorium berakhir pada tahap achievement, dimana masa eksplorasi berakhir dan remaja mulai membuat komitmen pada pilihan mereka. Pada pola yang tidak optimal dan lebih sedikit dialami, seseorang akan memasuki masa remaja dengan tahap diffuse

dan berakhir dengan diffuse sebagai dampak dari ketidakseimbangan masa pubertas ataupun tekanan-tekanan yang dialami remaja.


(19)

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat dilihat remaja yang mengalami kekerasan fisik pada masa kanak-kanaknya cenderung memiliki gambaran diri yang buruk dan mengalami kesulitan untuk berpikir tentang masa depan karena kekerasan yang dialami. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai proses pembentukan status identitas diri remaja yang mengalami kekerasan fisik pada masa kanak-kanaknya.

I. B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana gambaran proses pencapaian status identitas diri seorang remaja yang mengalami kekerasan fisik pada masa kanak-kanaknya

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi proses pencapaian status identitas diri seorang remaja yang mengalami kekerasan fisik pada masa kanak-kanaknya

I. C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka peneliti menetapkan bahwa tujuan dari penelitian ini adalah meneliti mengenai proses pencapaian status identitas diri seorang remaja yang mengalami kekerasan fisik pada masa kanak-kanaknya dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi proses pencapaian status identitas diri tersebut.


(20)

I. D. Manfaat Penelitian

Dari tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini, maka dapat dilihat manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan di bidang Psikologi Perkembangan khususnya dalam memahami proses pembentukan identitas diri pada seorang remaja yang mengalami kekerasan fisik pada masa kanak-kanaknya

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat :

a. Memberikan informasi bagi lembaga swadaya masyarakat (LSM), terkhusus yang bergerak dalam bidang perlindungan anak, agar semakin memahami dampak kekerasan fisik terhadap pembentukan identitas diri remaja. Dengan demikian, LSM dapat memberikan bimbingan dan melakukan pendampingan yang tepat dalam memotivasi dan mengarahkan anak-anak tersebut agar bisa melanjutkan hidup dengan lebih baik

b. Memberikan informasi masyarakat umum, khususnya para orang tua, agar memperhatikan proses perkembangan yang sedang dialami anak-anak mereka khususnya dalam proses pembentukan identitas. Penelitian ini juga diharapkan dapat membantu orang tua untuk memahami dampak kekerasan pada pembentukan identitas diri remaja dan memberdayakan masyarakat untuk membantu apabila terjadi kekerasan dalam keluarga disekitar mereka.


(21)

c. Membantu individu, khususnya yang pernah mengalami kekerasan pada masa kanak-kanak, semakin memahami proses psikologis yang terjadi dan mendorong mereka untuk bangkit dan melanjutkan hidup

I. E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan berisikan inti sari dari : Bab I : Pendahuluan

Berisi uraian singkat tentang latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II : Landasan Teoritis

Berisi teori-teori yang digunakan sebagai landasan dalam menjelaskan permasalahan penelitian, terdiri dari teori-teori identitas, pembentukan identitas, dan kekerasan fisik.

Bab III : Metode Penelitian

Berisi mengenai pendekatan penelitian yang digunakan, responden penelitian, metode pengumpulan data, alat pengumpulan data, dan prosedur penelitian.

BAB II


(22)

II.A. IDENTITAS DIRI II.A.1. Definisi Identitas Diri

Erikson (1968) menjelaskan identitas sebagai perasaan subjektif tentang diri yang konsisten dan berkembang dari waktu ke waktu. Dalam berbagai tempat dan berbagai situasi sosial, seseorang masih memiliki perasaan menjadi orang yang sama. Sehingga, orang lain yang menyadari kontinuitas karakter individu tersebut dapat merespon dengan tepat. Sehingga, identitas bagi individu dan orang lain mampu memastikan perasaan subjektif tersebut (Kroger, 1997).

Menurut Waterman (1984), identitas berarti memiliki gambaran diri yang jelas meliputi sejumlah tujuan yang ingin dicapai, nilai, dan kepercayaan yang dipilih oleh individu tersebut. Komitmen-komitmen ini meningkat sepanjang waktu dan telah dibuat karena tujuan, nilai dan kepercayaan yang ingin dicapai dinilai penting untuk memberikan arah, tujuan dan makna pada hidup (LeFrancois, 1993).

Marcia (1993) mengatakan bahwa identitas diri merupakan komponen penting yang menunjukkan identitas personal individu. Semakin baik struktur pemahaman diri seseorang berkembang, semakin sadar individu akan keunikan dan kemiripan dengan orang lain, serta semakin sadar akan kekuatan dan kelemahan individu dalam menjalani kehidupan. Sebaliknya, jika kurang berkembang maka individu semakin tergantung pada sumber-sumber eksternal untuk evaluasi diri.


(23)

Berdasarkan pendapat para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa identitas diri adalah perkembangan pemahaman diri seseorang yang membuat individu semakin sadar akan kemiripan dan keunikan dari orang lain dan akan memberikan arah, tujuan, dan makna pada hidup seseorang.

II.A.2. Pembentukan Identitas Diri

Marcia (1993) menyatakan bahwa pembentukan identitas diri merupakan:

“ Identity formation involves a synthesis of childhood skills, beliefs, and identification into a more or less coherent, unique whole that provides the young adult with both a sense of continuity with the past and a direction for the future”

(Marcia, 1993:3)

Dari definisi diatas maka dapat dikatakan bahwa pembentukan identitas diri merupakan suatu proses pengkombinasian pengalaman, kepercayaan, dan identifikasi yang dimiliki pada masa kanak-kanak kepada kesatuan yang unik dan akan semakin lebih atau tidak koheren, yang akan memberikan para dewasa awal baik perasaan keterkaitan dengan masa lalu maupun arah bagi masa yang akan datang. Hal ini berarti bahwa dalam pembentukan identitas diri terdapat aspek-aspek masa kanak-kanak seperti pengalaman, kepercayaan dan identifikasi yang menjadi dasar terbentuknya identitas pada masa dewasa awal yang akan memberikan arah untuk masa depan dan menjadi sebuah benang pengait dengan masa lalu.

Marcia (1993) menyatakan bahwa pembentukan identitas diri dapat digambarkan melalui status identitas berdasarkan ada tidaknya eksplorasi (krisis) dan komitmen. Eksplorasi yang juga dikenal dengan istilah krisis adalah suatu


(24)

periode dimana adanya keinginan untuk berusaha mencari tahu, menyelidiki berbagai pilihan yang ada dan aktif bertanya secara serius, untuk mencapai sebuah keputusan tentang tujuan-tujuan yang akan dicapai, nilai-nilai, dan keyakinan-keyakinan. Dimensi eksplorasi (krisis) ialah (Marcia, 1993):

a. Sudah melalui eksplorasi (past crisis)

Seseorang dikatakan berada pada tahap eksplorasi di masa lalu (past crisis) ketika periode dimana pemikiran aktif terhadap sejumlah variasi dari aspek-aspek identitas yang potensial sudah berlalu sekarang. Individu mampu menyelesaikan krisis dan memiliki pandangan yang pasti tentang masa depan atau tugas tersebut ditunda tanpa mencapai adanya sebuah kesimpulan yang bermakna.

b. Sedang dalam eksplorasi (in crisis)

Seseorang dikatakan sedang berada pada tahap eksplorasi ketika seseorang sedang berusaha untuk mencari tahu dan menjajagi pertanyaan-pertanyaan mengenai identitas dan sedang berjuang untuk membuat keputusan hidup yang penting.

c. Tidak adanya eksplorasi (absence of crisis)

Seseorang dikatakan tidak mengalami eksplorasi ketika seseorang tidak pernah merasa penting untuk melakukan eksplorasi pada berbagai alternatif identitas tentang tujuan yang ingin dicapai, nilai ataupun kepercayaan seseorang.

Komitmen adalah suatu periode dimana adanya pembuatan pilihan yang relatif tetap mengenai aspek-aspek identitas seseorang dan terlibat dalam aktivitas


(25)

yang secara signifikan mengarahkan kepada perwujudan pilihan yang sudah diambil. Dimensi komitmen ialah (Marcia, 1993):

1. Seseorang dikatakan memiliki komitmen ketika aspek identitas yang dimiliki individu berguna untuk mengarahkan perilaku di masa depan dan tidak adanya perubahan yang besar pada aspek tersebut.

2. Tidak adanya komitmen ditunjukkan dengan keragu-raguan yang dialami seseorang, tindakan yang terus berubah-ubah, tidak terarah, dan membentuk komitmen personal pada saat ini bukanlah suatu hal yang penting.

II.A.2.a. Status Identitas

Marcia (1993) mengidentifikasi eksplorasi dan komitmen sebagai dua dimensi dasar untuk mendefinisikan status seseorang dalam mencapai sebuah identitas diri. Berdasarkan dua dimensi dasar ini, Marcia kemudian bisa mengklasifikasikan perkembangan pembentukan identitas diri seseorang kepada empat status, antara lain (Rice & Dolgin, 2008):

a. Identity Diffused

Seseorang yang berada dalam status identity diffused tidak mengalami sebuah periode eksplorasi (krisis), dan mereka juga tidak membuat komitmen pada aspek pekerjaan, agama, filosofi politik, peran gender, ataupun memiliki standar personal dalam berperilaku. Mereka tidak mengalami sebuah krisis identitas dalam salah satu atau semua aspek yang


(26)

telah disebutkan diatas, dan mereka juga tidak melewati proses mengevaluasi, mencari, ataupun mempertimbangkan alternatif-alternatif.

b. Identity Foreclosure

Seseorang yang berada dalam status identity foreclosure tidak mengalami periode eksplorasi (krisis) tapi mereka telah membuat sejumlah komitmen pada aspek-aspek identitas seperti pekerjaan dan ideologi yang bukan berasal dari pencarian mereka sendiri tapi sudah disiapkan oleh orang disekitar mereka, khususnya orang tua. Mereka menjadi seseorang yang diinginkan oleh orang lain, tanpa benar-benar memutuskan untuk diri mereka sendiri.

c. Identity Moratorium

Seseorang yang berada dalam status identity moratorium sudah ataupun sedang mengalami masa eksplorasi (krisis) terhadap alternatif-alternatif pilihan namun belum membuat komitmen pada aspek identitas. Beberapa orang yang berada dalam status moratorium mengalami krisis yang berkelanjutan, sehingga mereka mengalami kebingungan, tidak stabil, dan tidak puas. Individu dengan status moratorium juga menghindari berhadapan dengan masalah, dan mereka memiliki kecenderungan untuk menunda sampai situasi memaksa sebuah tindakan harus dilakukan.


(27)

Seseorang yang berada dalam status identity achievement telah mengalami sebuah moratorium psikologis, telah menyelesaikan krisis identitas mereka dengan secara berhati-hati mengevaluasi sejumlah alternatif dan pilihan, dan telah menyimpulkan dan memutuskan sendiri setiap pilihan yang akan dilakukan.

Tabel 1. Status Identitas Marcia

Achievement Moratorium Foreclosure Diffusion Eksplorasi

(krisis)

Ada Dalam

proses

Tidak ada Ada atau tidak ada Commitment Ada Ada tapi

tidak jelas

Ada Tidak ada

II.A.2.b. Domain Identitas Diri

Marcia (1993) mengungkapkan bahwa ada 11 domain dalam identitas diri yang terbagi dua bagian yaitu domain utama (core domain) dan domain tambahan (supplemental domain). Domain utama terdiri dari domain pendidikan/karir, domain religius/agama, domain politik, domain sikap peran jenis kelamin, dan domain derajat ekpresi seksualitas. Domain tambahan terdiri dari domain hobi/minat, hubungan dengan teman, hubungan dengan kekasih, peran pasangan, peran orangtua, dan prioritas antara keluarga dan karir.

Pencapaian kesebelas domain ini dapat meliputi semua tugas perkembangan pada masa remaja yang pada umumnya dibahas secara terpisah-pisah. Memasuki masa dewasa, remaja mulai mencari pekerjaan, ketrampilan, dan profesi yang memberikan kepuasan dalam pekerjaan itu sendiri dan penghasilan untuk mandiri. Remaja juga mulai mengeksplorasi dan memahami tentang agama


(28)

yang dianutnya, peran gender dan ideologi politik yang akan dianutnya. Selain itu, remaja juga akhirnya akan menemukan teman-teman tempat berbagi dan mengidentifikasi dirinya.

Domain hubungan dengan teman (relationships with friends) dan domain hubungan dengan pacar/kekasih (relationships with dates) merupakan domain yang mencakup hubungan dengan orang lain sehingga isu identitas dan intimacy

tumpang-tindih pada kedua domain ini. Marcia (1993) menyatakan bahwa

intimacy adalah kualitas interaksi antar individu, mencakup keterbukaan, saling berbagi, saling percaya satu sama lain, sedangkan identitas dalam kedua domain ini mencakup bagaimana seseorang mampu mendefinisikan dirinya lewat hubungannya dengan orang lain, sehingga lewat hubungan tersebut kita mampu semakin memahami diri kita.

Marcia (1993) menguraikan domain identitas diri tersebut, antara lain: a. Pilihan pendidikan/karir (vocational choice)

Untuk remaja, hal-hal yang mencakup dalam pilihan pendidikan/karir adalah apakah akan mencari pekerjaan, menikah dan membentuk keluarga, atau adanya pendidikan lanjutan ke jenjang yang lebih tinggi. Mengembangkan kesadaran tentang kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya, hal yang disukai ataupun tidak disukai, akan membantu kemampuan remaja untuk membuat pilihan karir yang semakin spesifik.


(29)

Dalam sebuah hubungan pertemanan, seorang remaja mencoba untuk mendefinisikan dirinya lewat hubungan dengan temannya tersebut. Hubungan dengan teman sebaya juga mencakup hal-hal seperti dasar-dasar seseorang untuk memilih teman-temannya, apa yang bisa diberikan, dibagikan, atau diceritakan kepada teman-temannya, apa yang diharapkan remaja tersebut dari teman-temannya dan sebaliknya, seperti apa harapan yang bisa dituntut oleh temannya kepada remaja tersebut.

c. Hubungan dengan pacar/kekasih (relationship with dates)

Hubungan dengan pacar/kekasih memiliki fokus yang hampir sama dengan hubungan pertemanan, dimana remaja mencoba untuk mendefinisikan dirinya lewat hubungan dengan kekasihnya. Namun dalam hubungan ini, terdapat komponen romantis, yang juga menceritakan bagaimana pandangan remaja tersebut dalam mengekspresikan seksualitas. Dalam sebuah hubungan romantis, hubungan dengan pacar mencakup hal-hal seperti apa yang bisa diberikan, dibagikan, atau diceritakan kepada pacar, apa yang diharapkan remaja tersebut dari orang yang menjadi kekasihnya dan sebaliknya, seperti apa harapan yang bisa dituntut oleh kekasihnya kepada remaja tersebut.

Goede, Martijn De; Ed Spruijt; Jurjen Iedema; dan Wim Meeus (1999) menyatakan bahwa transisi pada sebuah kehidupan pendidikan/karir dan memasuki sebuah hubungan akrab (intimate relationship) yang memuaskan adalah dua tugas perkembangan yang penting dalam hidup para remaja. Ketika


(30)

para remaja mengalami masalah pada aspek pendidikan/karir dan hubungan mereka dengan orang lain, mereka mungkin akan merasa gagal juga dalam hal lain. Hal tersebut terlihat ketika saat ini banyaknya remaja yang pengangguran memberikan dampak yang besar dalam masyarakat, dan hal itu juga menjadi tekanan bagi remaja secara individu. Sebuah lingkungan pendidikan/pekerjaan yang baik akan memberikan kesempatan untuk belajar, berinisiatif, melakukan kontak sosial dan melatih ketahanan diri. Era modernisasi dan masyarakat yang individualis juga memberikan tekanan yang semakin besar bagi seseorang untuk bertanggungjawab dalam setiap keputusan yang diambil, khususnya ketika menjalin relasi dengan orang lain. Menurut Goede, et.al (1999), masalah yang dialami dalam aspek pendidikan/karir dan hubungan dengan orang lain akan memunculkan ketegangan psikologis yang akan memberikan dampak yang negatif pada kesehatan mental remaja.

II.A.3. Kriteria Eksplorasi (Krisis) dan Komitmen

Seperti telah diuraikan di atas bahwa pembentukan identitas diri ditandai dengan adanya eksplorasi dan komitmen.

Kriteria yang menunjukkan ada tidaknya eksplorasi ialah (Marcia, 1993): a. Pengetahuan (knowledgeability)

Seseorang harus menunjukkan pemahaman terhadap isi dan dampak setiap alternatif yang akan dipilih. Hal itu membuktikan bahwa pengetahuan seseorang lebih dari sekedar pengetahuan biasa atau sesuatu yang sudah sering didengar, seperti yang mungkin didapatkan dari media massa.


(31)

Informasi yang dimiliki haruslah akurat dan bukan merupakan pemahaman umum saja. Keinginan individu tersebut untuk membuat interpretasi sendiri menunjukkan bahwa individu tersebut memang benar-benar ingin memahami alternatif yang ada.

b. Aktivitas untuk mengumpulkan informasi (activity directed toward the gathering of information)

Ketika seseorang sedang berada dalam krisis identitas, aktif mengeksplorasi pertimbangan alternatif-alternatif agar mendapatkan informasi yang berguna untuk menyelesaikan krisis tersebut. Aktivitas diarahkan untuk belajar lebih lagi tentang alternatif-alternatif yang ada mencakup membaca, mengikuti kursus, dan melakukan diskusi dengan teman, orang tua, guru, atau sumber-sumber lain yang memiliki pemahaman tentang materi tersebut.

c. Mempertimbangkan alternatif identitas lain yg potensial (Evidence of considering alternative potential identity elements)

Terdapat dua pola yang berbeda ketika mempertimbangkan alternatif identitas yang akan dicapai. Pola pertama adalah kehadiran secara simultan dua atau lebih alternatif yang berbeda dan menunjukkan bahwa individu tersebut sadar dengan setiap alternatif-alternatif yang ada sehingga mampu menjelaskan keuntungan dan kerugian yang dimiliki setiap alternatif. Namun situasi tersebut menimbulkan beberapa konflik

approach-avoidance sehingga individu akan menunda dan merasa tidak siap menentukan pilihan. Pola kedua mencakup adanya kemunculan


(32)

perubahan dalam hal tujuan yang akan dicapai, nilai, ataupun kepercayaan sepanjang waktu. Individu dengan pola ini telah mengeksplorasi berbagai alternatif dan memiliki sejarah mengambil sejumlah komitmen pada sejumlah pilihan, juga telah menolak beberapa alternatif dengan alasan tertentu.

d. Tingkatan emosi (Emotional tone)

Terdapat berbagai perasaan yang muncul pada tahapan eksplorasi identitas seperti rasa senang dan tertarik, was-was, dan rasa ingin tahu. Perasaan ini muncul karena pada tahap eksplorasi, ada begitu banyak hal dalam dunia yang bisa dieksplorasi dan seseorang ingin memperluas cakrawala pemikiran mereka dengan merasakan pengalaman dan kesempatan baru. Intensitas emosi-emosi ini juga akan bervariasi antar individu yang juga akan merefleksikan temperamen mereka.

e. Keinginan untuk membuat keputusan secara dini (A desire to make an early decision)

Karena adanya ketidaknyamanan subjektif yang dikaitkan dengan proses krisis identitas, individu biasanya ingin untuk segera memutuskan sebuah pilihan dari setiap alternatif yang ada. Keinginan tersebut ditunjukkan dengan memutuskan sebuah alternatif dengan ragu-ragu dan tidak mempertimbangkan pilihan tersebut itu dengan serius.


(33)

a. Pengetahuan (Knowledgeability)

Seperti kriteria masa eksplorasi, jika seseorang memiliki komitmen yang sungguh-sungguh pada sebuah tujuan, nilai, ataupun kepercayaan, seharusnya ada bukti mengenai pemahaman yang detail, jelas dan akurat mengenai hal tersebut.

b. Aktivitas untuk mengimplementasikan aspek identitas yang dipilih (Activity directed toward implementing the chosen identity element)

Adanya komitmen pada aspek identitas akan mengarahkan pada ekspresi atau realisasi dari pilihan yang telah dibuat. Sejumlah aktivitas seperti persiapan untuk hidup masa depan yang konsisten dengan aspek identitas yang dimiliki oleh orang tersebut akan menunjukkan implementasi dari pilihan yang telah dibuat.

c. Tingkatan emosi (Emotional tone)

Adanya komitmen pada identitas biasanya akan diekspresikan dengan perasaan percaya diri, stabilitas, dan rasa optimisme terhadap masa depan. Walaupun seringkali kesadaran akan kesulitan-kesulitan yang mungkin muncul ketika mengimplementasikan aspek identitas tersebut, namun hal tersebut tidak mengurangi keputusan untuk melakukan pilihan yang telah diambil.

d. Identifikasi dengan orang-orang penting (Identification with significant others)


(34)

Sering kali komitmen pada identitas berawal dari identifikasi dengan orang tua, saudara yang lain, guru, atau orang-orang yang dipelajari dari sekolah ataupun media massa.

e. Proyeksi terhadap masa depan (Projection of one’s personal future)

Komitmen pada identitas memberikan sebuah mekanisme untuk mengintegrasikan masa lalu dengan masa kini dan antara masa kini dengan masa yang akan datang. Aspek identitas akan direfleksikan dalam kemampuan untuk memproyeksikan diri mereka kepada masa depan dan mendeskripsikan tipe-tipe aktivitas yang ingin mereka lakukan selama lima atau sepuluh tahun yang akan datang.

f. Daya tahan terhadap godaan (Resistance to being swayed)

Jika komitmen sudah terbentuk, seseorang akan konsisten dan bertahan ketika menghadapi godaan atau pengaruh untuk meninjau ulang komitmen yang telah dibuat bahkan menggantinya.

II. A.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Identitas Diri

Fuhrmann (1990), mengemukakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses pembentukan identitas diri:

a. Pola asuh

Pola asuh orang tua mempunyai pengaruh penting dalam pembentukan identitas diri remaja


(35)

Seseorang cenderung memperoleh identitas yang foreclosure pada lingkungan yang homogen karena tidak mengalami krisis dan memperoleh komitmen dari nilai-nilai orang tua dengan mudah. Sebaliknya, pada lingkungan yang heterogen, individu diharapkan pada banyak pilihan sehingga sering mengalami krisis dan dipaksa untuk menentukan suatu pilihan tertentu.

c. Model untuk identifikasi

Anak mengadakan identifikasi dengan orang-orang yang dikagumi dengan harapan kelak akan menjadi seperti orang tersebut. Remaja menjadikan idola dan model dalam hidupnya. Orang yang berperan dewasa sebagai model bagi remaja dapat mempengaruhi pembentukan identitas diri.

d. Pengalaman masa kanak-kanak

Individu yang mampu menyelesaikan konflik-konflik pada masa kanak-kanak akan menngalami kemudahan dalam menyelesaikan krisis identitas pada masa remaja. Menurut Erikson (dalam Santrock, 1998), identitas berkembang dari rangkaian identifikasi pada masa kanak-kanak.

e. Perkembangan kognisi

Individu yang memiliki kemampuan berpikir operasional formal akan mempunyai komitmen yang kuat dan konsisten sehingga dapat menyelesaikan krisis identitas dengan baik.


(36)

Rasa ingin tahu dan keinginan yang kuat untuk mengadakan eksplorasi membantu tercapainya identity achievement.

g. Pengalaman kerja

Individu yang telah memiliki pengalaman kerja atau telah memasuki dunia kerja akan menstimulasi identitas diri.

h. Identitas etnik

Etnis dan harapan dari lingkungan etnis tempat individu tinggal akan mempengaruhi pencapaian identitas.

II.B. MASA REMAJA

Remaja (adolescence) adalah masa transisi atau peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik, psikis, dan psikososial. Untuk menjadi orang dewasa, mengutip pendapat Erikson, remaja akan melalui masa krisis, dimana remaja berusaha untuk mencari identitas diri (search for self-identity) (Dariyo, 2004).

Santrock (1998) menyatakan bahwa remaja merupakan masa peralihan perkembangan dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Sedangkan WHO (dalam Sarwono, 2000) memberikan definisi tentang remaja yang lebih bersifat konseptual. Dalam definisi tersebut dikemukakan 3 kriteria, yaitu biologis, psikologis, dan sosial ekonomi, sehingga disebutkan bahwa remaja adalah suatu masa dimana:

a. Individu berkembang dan saat pertama kali menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat individu mencapai kematangan seksual


(37)

b. Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa.

c. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri

Piaget (dalam Hurlock, 1999) menyatakan bahwa secara psikologis masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, berada dalam yang tingkatan yang sama dengan orang dewasa, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Umumnya, masa remaja berlangsung sekitar umur 13 tahun sampai umur 18 tahun, yaitu masa anak duduk di bangku sekolah menengah. Masa ini biasanya dirasakan sebagai masa sulit, baik bagi remaja itu sendiri maupun bagi keluarga, atau lingkungannya (Ali, 2004). Awal masa remaja berlangsung kira-kira dari 13/14 tahun sampai 16/17 tahun, dan akhir masa remaja bermula dari usia 16/17 tahun sampai 18, yaitu usia matang secara hukum (Hurlock, 1999).

Berdasarkan pengertian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa, dimana remaja belum memperoleh status orang dewasa tetapi tidak lagi memiliki status anak-anak. Masa remaja dimulai dari usia 13 tahun sampai dengan 18 tahun.

Havighurst (dalam Dacey & Kenny, 1997) mengemukakan 9 (sembilan) tugas perkembangan pada tahapan remaja, yaitu:

1. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita


(38)

3. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif

4. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab

5. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya

6. Mempersiapkan karier ekonomi

7. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga

8. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku-mengembangkan ideologi

Pencapaian tugas perkembangan tidak terlepas juga dari pencapaian identitas diri secara psikososial . Menurut Erikson (dalam Dacey and Kenny, 1997) masa remaja merupakan masa kritis dalam pencapaian identitas diri. Bila seorang remaja mencapai identitas diri, seorang remaja akan memiliki gambaran-gambaran diri yang dapat dibandingkan dengan orang lain. Sedangkan remaja yang tidak berhasil menyelesaikan krisis identitasnya akan mengalami yang disebut oleh Erikson sebagai identity confusion (kebimbangan akan identitasnya). Kebimbangan tersebut bisa menyebabkan dua hal: penarikan diri individu, mengisolasi dirinya dari teman sebaya dan keluarga, atau meleburkan diri dengan dunia teman sebayanya dan kehilangan identitas dirinya (Santrock, 1998).


(39)

Kekerasan dan pengabaian pada anak bisa terjadi dalam banyak bentuk dan bervariasi. Salah satu bentuk kekerasan yang terjadi pada anak ialah kekerasan fisik. The Office on Child Abuse and Neglect mendefinisikan kekerasan fisik (physical abuse) berupa tindakan yang menimbulkan bahaya atau kerusakan secara fisik, termasuk kematian pada seorang anak. Kekerasan fisik mencakup luka pada tubuh lewat tonjokan, pukulan, tendangan, atau pembakaran (National Center on Child Abuse and Neglect, dalam Clark, Clark, & Adamec, 2007).

Health Canada (dalam Knoke, 2008) mendefinisikan kekerasan fisik sebagai penggunaan kekerasan dengan sengaja pada bagian tubuh anak apapun, yang mengakibatkan luka yang tidak terjadi secara kebetulan (non-accidental). Hal tersebut bisa mencakup memukul anak dalam waktu tertentu atau juga sejumlah kejadian yang berpola. Kekerasan fisik mencakup perilaku-perilaku seperti mengguncang, mencekik, menggigit, menendang, membakar atau meracuni seorang anak, menenggelamkan anak, atau bentuk kekerasan lain yang berbahaya.

Suyanto (2002) menambahkan, kekerasan fisik adalah bentuk kekerasan yang paling mudah dikenali. Tindakan yang terkategorisasi kekerasan jenis ini adalah menampar, menendang, mengancam dengan benda tajam, dan sebagainya. Korban kekerasan jenis ini biasanya tampak secara langsung pada fisik korban seperti luka memar, berdarah, patah tulang, pingsan, dan bentuk lain yang kondisinya lebih berat. Dong, Anda, et. al (2004) menyatakan bahwa seseorang yang mengalami kekerasan fisik adalah seseorang yang sering atau sangat sering didorong, ditarik, ditampar, dipukul, atau dilempar sesuatu oleh keluarga mereka


(40)

dan kadang-kadang, sering, atau sangat sering dipukul atau dikenai sesuatu dengan kasar sehingga meninggalkan bekas atau luka pada tubuh mereka.

II.D. Gambaran Proses Pencapaian Status Identitas Diri Remaja Yang Mengalami Kekerasan Fisik Pada Masa Kanak-Kanak

Remaja (adolescence) adalah masa transisi atau peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik, psikis, dan psikososial. Untuk menjadi orang dewasa, mengutip pendapat Erikson, remaja akan melalui masa krisis, dimana remaja berusaha untuk mencari identitas diri (search for self-identity) (Dariyo, 2004).

Pembentukan identitas diri merupakan suatu proses pengkombinasian pengalaman, kepercayaan, dan identifikasi yang dimiliki pada masa kanak-kanak kepada kesatuan yang unik dan akan semakin lebih atau tidak koheren, yang akan memberikan para dewasa awal baik perasaan keterkaitan dengan masa lalu maupun arah bagi masa yang akan datang. Hal ini berarti bahwa dalam pembentukan identitas diri terdapat aspek-aspek masa kanak-kanak seperti pengalaman, kepercayaan dan identifikasi yang menjadi dasar terbentuknya identitas pada masa dewasa awal yang akan memberikan arah untuk masa depan dan menjadi sebuah benang pengait dengan masa lalu (Marcia, 1993). Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengalaman di masa kanak-kanak memiliki peranan penting dalam proses pembentukan identitas diri seorang remaja.

Pengalaman kekerasan fisik di masa kanak-kanak akan menimbulkan dampak yang sangat berarti terhadap perilaku anak, baik berkenaan dengan


(41)

masalah dan emosi (Wahab, 2011). Efek yang timbul akibat perilaku orang tua yang secara fisik menyiksa dan melukai anak mereka akan menghasilkan kerusakan secara emosional ataupun fisik. Anak yang mengalami penyiksaan, secara fisik akan mengalami retak tulang, luka bakar, pendarahan, dan kerusakan pada otak ataupun organ-organ internal. Penganiayaan pada anak (child abuse) juga menimbulkan dampak yang negatif pada hubungan emosi dan sosial pada anak-anak tersebut. Anak-anak yang dianiaya (abused children) lebih sering menunjukkan perilaku negatif, mudah tersinggung, memiliki kompetensi sosial yang rendah, lebih agresif, kurang kooperatif, dan mereka pada umumnya kurang disukai oleh teman sebaya mereka. Dalam lingkungan sekolah, para guru melihat anak-anak ini sebagai anak yang bermasalah karena penyendiri, bermasalah dalam hal disiplin, dan memiliki performansi yang rendah secara akademis (DeGenova, 2008).

Penelitian Rummell and Hunsen (1993) menyatakan kekerasan fisik akan memberikan dampak jangka panjang bagi anak dalam hal hubungan interpersonal dan kesulitan dalam aspek akademis dan pekerjaan. Anak yang mengalami kekerasan fisik akan memiliki perasaan negatif pada interaksi interpersonal seperti merasa malu, sadar diri (self-conscious) dan merasa tidak dimengerti atau tidak disukai oleh orang lain. Dalam aspek akademis dan pekerjaan, anak yang mengalami kekerasan fisik memiliki tingkat intelektualitas yang lebih rendah. Hal tersebut dilihat dari tes performansi yang dilakukan pada anak yang mengalami kekerasan fisik dan yang tidak. Anak-anak yang mengalami kekerasan fisik juga


(42)

memiliki orientasi yang rendah untuk membuat tujuan-tujuan dalam aspek pekerjaan dan pendidikan.

Penelitian Meyerson, Long, Miranda, dan Marx (2002) tentang pengaruh

abuse pada masa kanak-kanak terhadap penyesuaian psikologis remaja juga menyatakan bahwa remaja yang mengalami kekerasan fisik akan mengalami kesulitan penyesuaian diri yang lebih besar, memiliki kompetensi sosial yang lebih buruk, rendahnya kemampuan bahasa, dan performansi di sekolah yang lebih buruk, jika dibandingkan dengan remaja yang tidak mengalami kekerasan. Remaja yang pernah mengalami kekerasan secara fisik juga seringkali menunjukkan kondisi-kondisi psikiatris seperti depresi, conduct disorder, dan simptom-simptom kecemasan. Masalah-masalah psikologis yang ditimbulkan pengalaman abuse di dalam keluarga tersebut akan membuat remaja mengalami kesulitan mengeksplorasi berbagai alternatif dalam berbagai aspek kehidupannya, sehingga hal tersebut mengakibatkan terganggunya proses pembentukan identitas diri. Kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan dan rendahnya kompetensi sosial juga akan membuat remaja sulit membentuk relasi atau hubungan dengan teman sebaya ataupun pasangan, sehingga eksplorasi dan komitmen terhadap aspek identitas pada remaja tersebut dalam sebuah hubungan sosial akan mengalami hambatan.

Anak-anak yang mengalami kekerasan fisik di masa kanak-kanak memiliki batasan persepsi (perceptual boundaries) yang lebih luas dalam mempersepsikan ekspresi marah seseorang, menggunakan lebih banyak sumber daya atensi (attentional resources) untuk memproses ekspresi marah, dan


(43)

memiliki kesulitan yang besar untuk melepaskan perhatian dari ekspresi marah seseorang. Pengalaman emosional dari kekerasan yang dialami saat kanak-kanak membuat mereka secara tidak sengaja memberikan perhatian yang lebih besar terhadap ekspresi marah dan sangat beresiko munculnya simptom-simptom kecemasan (Shackman, Shackman & Pollack, 2007).

Briere dan Elliot (dalam Kendall-Tackett, 2002) juga menyatakan bahwa anak-anak yang pernah mengalami kekerasan akan mengembangkan sebuah pola pemikiran (internal working model) dimana mereka melihat dunia ini sebagai sebuah tempat yang berbahaya. Hal ini disebabkan ketidakberdayaan yang mereka alami di masa lalu, sehingga mereka melebih-lebihkan bahaya dan kesulitan yang ada di lingkungan mereka saat ini. Sehingga di masa dewasa, mereka akan mengalami kepercayaan diri dan harga diri yang rendah ketika menghadapi situasi yang tidak menyenangkan. Distorsi-distorsi pemikiran ini akan berkontribusi pada stress yang dialami dan meningkatkan resiko terjadinya depresi.

Sebagai masa transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa, remaja akan membentuk identitas diri yang merupakan perasaan tentang siapa dirinya berdasarkan siapa dia sebelumnya dan akan menjadi orang seperti apa di masa yang akan datang. Proses pembentukan identitas ini dibentuk dari proses pembuatan keputusan dan komitmen, dimana proses ini didahului oleh proses mengeksplorasi banyak alternatif dalam berbagai aspek hidup (Marcia, 2002). Namun, remaja yang mengalami kekerasan fisik dalam keluarga, yang juga mengalami berbagai masalah baik secara fisik dan psikologis sebagai dampak dari


(44)

kekerasan tersebut, akan menunjukkan berbagai hambatan dalam proses pembentukan identitas dirinya.

KERANGKA BERPIKIR

Masa Anak-anak

Masa Remaja Remaja

Physical Abuse dalam Keluarga

Dampak Fisik dan Psikologis

Pembentukan Identitas Diri

Teori Status Identitas Marcia: - Eksplorasi

- Komitmen

Domain Vocational Domain

Relationship w/ Friends

Domain

Relationship w/ Dates

Faktor-faktor yang mempengaruhi: 1. Pola Asuh

2. Homogenitas Lingkungan 3. Model untuk identifikasi 4. Pengalaman masa

kanak-kanak

5. Perkembangan kognisi 6. Sifat individu

7. Pengalaman kerja 8. Etnis identitas


(45)

BAB III

METODE PENELITIAN

III.A. Pendekatan Kualitatif

Mengingat tujuan dari penelitian ini adalah melihat pengalaman-pengalaman subjektif individu dalam proses pembentukan identitas diri, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif memungkinkan individu memfokuskan atensi dan mengungkapkan variasi pengalaman yang dijalaninya (Patton, dalam Poerwandari, 2001).

Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2001) metode kualitatif memungkinkan peneliti untuk meneliti isu terpilih, kasus-kasus atau kejadian secara mendalam dan detail, fakta berupa kumpulan data tidak dibatasi oleh kategori yang ditetapkan sebelumnya. Kelebihan metode kualitatif adalah prosedur yang khusus menghasilkan data yang detail dan kaya tentang individu dan kasus-kasusnya. Kelebihan lainnya adalah menghasilkan data yang mendalam dan detail serta penggambaran yang hati-hati tentang situasi, kejadian-kejadian, orang-orang, interaksi dan perilaku yang teramati.

Suparlan (dalam Patilima, 2005) mengatakan bahwa dalam pendekatan kualitatif yang menjadi sasaran kajian/penelitian adalah kehidupan sosial atau


(46)

masyarakat sebagai sebuah satuan atau sebuah kesatuan yang menyeluruh. Karena itu penelitian harus dilakukan secara teliti, mendalam dan menyeluruh untuk memperoleh gambaran mengenai prinsip-prinsip umum atau pola-pola yang berlaku umum sehubungan dengan gejala-gejala yang ada dalam kehidupan sosial masyarakat yang diteliti sebagai kasus itu sendiri.

Penelitian dengan pendekatan kualitatif memberi kesempatan kepada peneliti untuk mengungkap hal-hal yang tersimpan dalam pikiran partisipan, perasaan dan keyakinan-keyakinan partisipan yang sulit diungkapkan dengan pendekatan kuantitatif. Pemilihan metode kualitatif menjadi metode dalam penelitian ini karena pembentukan identitas merupakan suatu proses yang disebabkan tidak hanya sebuah faktor, melainkan berbagai faktor. Selain itu, faktor yang dialami oleh masing-masing individu dapat berbeda-beda. Peneliti juga dapat menemukan hal-hal baru dalam pembentukan identitas seseorang yang mengalami child abuse. Untuk mendapatkan faktor yang mendalam, luas dan kemungkinan munculnya hal-hal baru inilah yang membuat peneliti memilih metode kualitatif untuk penelitian ini.

III. B. Metode Pengumpulan Data

Tipe-tipe pengumpulan data dalam penelitian kualitatif sangat beragam, disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian dan sifat objek yang diteliti. Wawancara, observasi, diskusi kelompok terfokus, analisis terhadap karya, analisis dokumen, analisis catatan pribadi, studi kasus, studi riwayat hidup adalah jenis pengumpulan data dalam penelitian kualitatif (Poerwandari, 2001).


(47)

Menurut Lofland dan Lofland (dalam Moleong, 2000) sumber utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan. Kata-kata dan tindakan ini dapat dicatat melalui perekaman suara atau melalui catatan tertulis, pengambilan foto dan statistik. Pencatatan sumber data utama dalam dapat dilakukan dengan wawancara dan observasi yang merupakan hasil gabungan dari kegiatan melihat, mendengar dan bertanya. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara, yaitu wawancara mendalam (in-depth interviewing).

Wawancara Mendalam (In-depth Interviewing)

Wawancara mendalam merupakan satu bentuk wawancara, yang dilakukan untuk memperoleh pemahaman yang lebih luas dan mendalam terhadap peristiwa yang dialami dan dirasakan oleh partisipan penelitian. Wawancara mendalam memberikan kesempatan yang maksimal untuk menggali “background life” seseorang sehingga peneliti mendapatkan gambaran dan dinamika yang hendak diteliti. Wawancara mendalam juga dilakukan untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu sesuai dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut. Hal ini merupakan keunggulan pendekatan kualitatif (Banister dkk, dalam Poerwandari, 2001). Dengan demikian, wawancara mendalam akan memungkinkan peneliti untuk mengungkap semua aspek-aspek yang ingin diungkap dalam penelitian ini dengan detail.

Selama wawancara dilakukan, peneliti menggunakan pedoman wawancara sebagai panduan agar hal-hal yang ingin diketahui tidak ada yang


(48)

terlewat dan penelitian tetap pada jalur yang direncanakan sesuai kerangka teori. Meskipun demikian tidak tertutup kemungkinan untuk menanyakan sesuatu di luar pedoman untuk menambah keakuratan data penelitian. Pedoman wawancara yang akan digunakan dalam penelitian ini dibuat berdasarkan teori proses pembentukan status identitas James Marcia.

Teknik wawancara yang dilakukan adalah dengan menggunakan teknik

funnelling oleh Smith (dalam Poerwandari, 2001) yaitu memulai dari pertanyaan-pertanyaan yang umum yang makin lama khusus dan makin khusus.

Penelitian ini menggunakan observasi sebagai alat tambahan yang dilakukan pada saat wawancara berlangsung untuk melihat reaksi partisipan, antara lain: ekspresi wajah, gerakan tubuh, intonasi suara, melihat bagaimana reaksi calon partisipan ketika peneliti meminta kesediaannya untuk diwawancarai, bagaimana sikap partisipan terhadap peneliti, bagaimana sikap dan reaksi partisipan terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, bagaimana keadaan partisipan pada saat wawancara, hal-hal yang sering dilakukan partisipan dalam proses wawancara. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan data tambahan selama wawancara berlangsung.

Istilah observasi diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul dan mempertimbangkan hubungan antara aspek dalam fenomena tersebut (Poerwandari, 2001). Tujuan observasi adalah mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam aktivitas, dan makna kejadian dilihat dari perspektif mereka yang terlibat dalam kejadian yang diamati tersebut. Deskripsi


(49)

harus akurat, faktual sekaligus teliti tanpa harus dipenuhi berbagai informasi lain yang tidak relevan (Poerwandari, 2001).

III. C. Alat Bantu Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan alat bantu pengumpul data, seperti:

III. C. 1 Tape Recorder (Alat Perekam)

Suatu wawancara tidak bijaksana jika hanya mengandalkan ingatan saja, karena indera manusia terbatas, yang memungkinkan peneliti untuk melewatkan hal-hal yang tidak terseleksi oleh indera yang mendukung penelitian. Menurut Poerwandari (2001), sedapat mungkin suatu wawancara perlu direkam dan dibuat transkripnya secara verbatim (kata demi kata).

Peneliti tidak perlu sibuk untuk mencatat jalannya pembicaraan dengan menggunakan tape recorder. Peneliti dapat berfokus kepada topik pembicaraan, sehingga memungkinkan peneliti juga untuk melakukan observasi yang dapat menambah data atau hal-hal yang mendukung sesuai dengan tujuan penelitian. III. C. 2. Pedoman Wawancara

Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini bersifat semi struktur untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang dibicarakan, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) tentang aspek yang telah dan yang belum dibicarakan.

Pedoman wawancara berupa open ended question, disusun berdasarkan teori proses pembentukan status identitas James Marcia. Pada pelaksanaannya,


(50)

pedoman wawancara ini tidak digunakan secara kaku. Tidak tertutup kemungkinan bagi peneliti untuk menanyakan hal-hal di luar pedoman wawancara, supaya data yang dihasilkan lebih lengkap dan bervariasi.

III. D. Responden

III. D. 1. Prosedur Pengambilan Responden Penelitian

Untuk mendapatkan responden yang sesuai dengan tujuan penelitian, maka peneliti menggunakan prosedur pengambilan sampel yang berfokus pada intensitas, yaitu pengambilan responden yang diperkirakan mewakili (penghayatan terhadap) fenomena secara intens (Patton dalam Poerwandari, 2001).

Dalam penelitian ini, peneliti akan mewawancarai remaja yang pernah mengalami kekerasan pada masa kanak-kanak, karena remaja tersebut telah mengalami abuse yang diterimanya dan mengalami pembentukan identitas diri yang menjadi tugas perkembangan dari masa remaja.

III. D. 2. Jumlah Responden Penelitian

Responden dalam penelitian kualitatif tidak diarahkan pada jumlah yang besar, melainkan pada kasus-kasus tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian. Pada dasarnya, jumlah responden dalam penelitian kualitatif tidak ditentukan secara tegas di awal penelitian (Sarantakos dalam Poerwandari, 2001). Pada penelitian ini, jumlah responden yang direncanakan adalah sebanyak 3 orang dengan pertimbangan tujuan utama dalam penelitian ini adalah untuk


(51)

mendapatkan gambaran yang menyeluruh tentang pembentukan identitas diri dalam waktu dan sumber daya yang ada terbatas.

III. D. 3. Karakteristik Responden Penelitian Karakteristik partisipan adalah :

a. Remaja laki-laki atau perempuan yang pernah mengalami kekerasan fisik. Partisipan dalam penelitian ini adalah seorang remaja yang pernah mengalami kekerasan fisik pada masa kanak-kanak. Indikasinya antara lain:

1. Sering atau sangat sering didorong, ditarik, ditampar, dipukul, ditendang atau dilempar sesuatu.

2. Kadang-kadang, sering, atau sangat sering dipukul atau dikenai sesuatu dengan kasar sehingga meninggalkan bekas atau luka pada tubuh.

b. Berusia 13-18 tahun.

c. Pelaku kekerasan berasal dari keluarga seperti orang tua, saudara, atau pun caregiver lain yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan partisipan.

III. E. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di kota Medan. Pengambilan daerah penelitian tersebut adalah dengan alasan kemudahan untuk mendapatkan responden penelitian karena lokasi peneliti berada di daerah tersebut. Lokasi penelitian bisa


(52)

berada dimana saja tergantung pada kenyamanan dan keinginan responden untuk ditemui sehingga peneliti bisa mengambil data.

III. F. Kredibilitas Penelitian

Kredibilitas adalah istilah yang digunakan dalam penelitian kualitatif untuk menggantikan konsep validitas (Poerwandari, 2007). Deskripsi mendalam yang menjelaskan kemajemukan (kompleksitas) aspek-aspek yang terkait (dalam bahasa kuantitatif adalah variabel) dan interaksi dari berbagai aspek menjadi salah satu ukuran kredibilitas penelitian kualitatif. Menurut Poerwandari (2007), kredibilitas penelitian kualitatif juga terletak pada keberhasilan mencapai tujuan untuk mengeksplorasi masalah dan mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial, atau pola interaksi yang kompleks.

Adapun upaya peneliti dalam menjaga kredibilitas dan objektifitas penelitian ini, antara lain dengan:

1. Memilih responden yang sesuai dengan karakteristik penelitian, dalam hal ini adalah seorang remaja yang pernah mengalami kekerasan fisik (physical abuse) pada masa kanak-kanaknya.

2. Membuat pedoman wawancara berdasarkan teori pembentukan identitas diri James E. Marcia dan faktor-faktor yang mempengaruhi proses pembentukan identitas diri.

3. Melibatkan teman sejawat, dosen pembimbing, dan dosen yang ahli dalam bidang kualitatif untuk berdiskusi, memberikan masukan dan kritik mulai


(1)

status, and it has been empirically associated with, among other things, balanced thinking

(Boyes and Chandler, 1992), mature interpersonal relationships (Orlofsky et al., 1973; Dyk

and Adams, 1990), and give-and-take relationships with parents (Jackson et al., 1990).

Some representative findings are that Identity Achievement subjects are the most cognitively and

integratively complex and flexible of the statuses and least resistant to self-esteem manipulation and conformity pressure.

They are at high levels of general ego development, as conceptualised by Loevinger (1976), and advanced over the other statuses

in their capacity for intimate relationships. Moratoriums are the most overtly anxious of the statuses and are morally and

interpersonally the most sensitive. They tend to have ambivalent relationships with their families and are sometimes

preoccupied with resolving oedipal issues. They show contrasting patterns of rebellion and acquiescence. Foreclosures

subscribe to authoritarian values and tend to be cognitively rigid. They are very close to their families, whom they perceive as

warm and child-centred, and from whom, of course, it is very difficult for them to differentiate. Interpersonally, they tend to

form stereotyped and superficial relationships. Identity Diffusions are easily manipulable by others in terms of their selfesteem

and, among the statuses, are at the lowest levels of ego development and of cognitive and moral development. They

feel generally rejected by their families, particularly by the parent of the same sex whom they perceive as non-emulatable.

More than the other statuses, they tend to be interpersonally isolated.

Individuals who are at identity diffusion status pose the greatest therapeutic challenge. They often lack not just an identity but also a secure sense of self. One of our consistent findings is that these individuals feel that they cannot live up to the expectations of, or successfully emulate, their same-sex parent .


(2)

To the extent that a society and one’s family permits and encourages decision-making about occupational

choice and ideology, an individual’s identity will be based more upon ego

synthetic processes. To the extent that a society and

one’s family prescribes occupational choice and ideology, an individual’s identity will be more the sum of influences from his

or her childhood. The presence of an identity does not mean that an identity has necessarily been constructed. Given an

average expectable environment, an identity can ‘happen’ as one becomes progressively more aware of one’s most basic

characteristics and position in the world. One comes gradually to realise that one is separate from one’s mother, the child of

certain parents, the possessor of certain skills and needs, a pupil in a particular school, a member of a certain religious and social

group, the citizen of a particular country. All of this describes a conferred identity of whose elements the individual becomes

progressively aware. In contrast, identity begins to be constructed when the individual starts to make decisions about who to

be, with what group to affiliate, what beliefs to adopt, what interpersonal values to espouse and what occupational direction to

pursue. Most, though not all, individuals ‘have’ an identity; however, only some have a self-constructed identity based upon

the superimposition of a decision-making process on the given or conferred identity.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Ali, M & Mohammad Asrori. (2004) Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Clark, Robin E.; Clark,Judith Freeman, & Adamec, Christine. (2007). The Encyclopedia of Chid Abuse. New York:Facts on File, Inc.

Dacey, J & Kenny M. (1997). Human Development- Second Edition. United State of America:Times Mirror Higher Education Group Inc.

Dariyo, Agoes. (2004). Psikologi Perkembangan Remaja. Bogor:Penerbit Ghalia Indonesia.

DeGenova, Maty K. (2008). Intimate Relationships, Marriages, and Families. Seventh Edition. Mc Graw Hill.

Dong, Maxia; Anda, Robert F.; Felitti, Vincent J., Dube, Shanta R.; Williamson, David F.; Thompson, Theodore J.; Loo, Clifton M.; Giles, Wayne H. (2004). The Interrelatedness of Multiple Forms of Childhood Abuse, Neglect, and Household Dysfunction. Child Abuse & Neglect, 28: 771–784.

[On-line]. Available FTP:

Ervika, Eka. (2005). Kelekatan (attachment) pada Anak. e-USU Repository. Medan: Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara.


(4)

Identity Formation. The American Journal of Family Therapy, 31:243-255. [On-line]. Available FTP:

Fontes, Lisa Aronson. (2002). Child Discipline and Physical Abuse in Immigrant Latino Families: Reducing Violence and Misunderstandings. Journal of Conseling and Development, 80:31-40. [On-Line]. Available FTP:

Fuhrmann, Barbara Scheneider. (1990). Adolescence-Adolescents. London: A Division of Scott, Foresmen and Company.

Giardiano, Angelo P.; Lyn, Michelle A.; Giardino, Eileen R. (2010). A Practical Guide to the Evaluation of Child Physical Abuse & Neglect. New York:Springer.

Goede, Martijn De; Ed Spruijt; Jurjen Iedema; dan Wim Meeus (1999). How Do Vocational and Relationship Stressors and Identity Formation Affect Adolescent Mental Health?. JOURNAL OF ADOLESCENT HEALTH 25:14–20. [On-line]. Available FTP:

Grotevant, H.D. & Cooper, Catherine R. (1998). Individuality and Connectedness in Adolescent Development; Revies and Research on Identity, Relationship and Context. Personality Development in Adolescence, A Cross National and Life Span Perspective, 3 – 37. [On-Line]. Available FTP :

Huraerah, Abu. (2005). Kekerasan terhadap Anak. Bandung: Penerbit Nuansa Hurlock, E.B. Alih Bahasa: Istiwidayanti dan Soedjarwo (1999). Psikologi

Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi Kelima. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Jones, R.M. & Hartmann, B. R. (1988). Developmental Differences and Experimental Substance Use among Adolescents. Journal of Adolescence, vol. 11, no. 4, pp. 347–360. [On-Line]. Available FTP: “Kekerasan pada Anak Karena Kurang Edukasi”. (2008, 3 Juni). [On-Line].

Available FTP:

Kendall-Tackett, Kathleen. (2002). The Health Effects of Childhood Abuse: Four Pathways by which Abuse can Influence Health. Child Abuse and Neglect,

Vol.6/7, 715-730. [On-Line]. Available FTP:


(5)

Knoke, Della. (2008). Exploring the Use of Subtypes to Understand Differences in The Severity and Nature of Child Physical Abuse. Thesis. Faculty of Social Work, University of Toronto.

Kroger, Jane. (2000). Identity Development (Adolescence Through Adult). United States of America:Sage Publication.inc

“Latarbelakang Kekerasan terhadap Anak”. (2008, 27 November). [On-line].

Available FTP:

2010

Manitoba. (2009). Definition of Abuse and the Different Types of Abuse.

[On-Line]. Available FTP:

Marcia, J.E.; Waterman,A.S.; Matteson,D.R.; Archer,S.L.; & Orlofsky,J.L.. (1993). Ego Identity: A Handbook for Psychosocial Research. New York:Springer.

_____, J.E. (2002). Adolescence, Identity, and the Bernardone Family. Identity: An International Journal of Theory and Research, 2(3):199-209.

[On-Line]. Available FTP:

Mash, Eric J. & Wolfe, David Allen. (2005). Abnormal Child Psychology. University of Virginia: Thomson Wadsworth.

Meyerson, Lori A.; Long, Patricia J.; Miranda, Robert; & Marx Brian P.. (2002). The Influence of Childhood Sexual Abuse, Physical Abuse, Family Environment, and Gender on The Psychological Adjustment of Adolescents. Child Abuse and Neglect, 26 (2002) 387–405. [On-line].

Available FTP:

Moleong, L.J., (2000). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Mullis, Ronald L.; Graf,Shruti Chatterjee; Mullis, Ann K. (2009). Parental Relationships, Autonomy, and Identity Processes of High School Students. The Journal of Genetic Psychology, 170(4), 326-338. [On-line].

Available FTP:

Papalia, D.E.; Olds, S. W.; Feldman, R.D. (2004). Human Development (10th Edition). New York: Mc Graw Hill.


(6)

Poerwandari, E. Kristi. (2007). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Rice, F. Philip & Dolgin, Kim Gale. (2008). The Adolescent: Development,

Relationships and Culture, Twelfth Edition. United State of America: Pearson Education,Inc.

Rummell, Ruben Malinosky & Hansen, David J. (1993). Long Term Consequences of Childhood Physical Abuse. Psychological Bulletin, 114:1,

68-79. [On-Line]. Available FTP

Santrock J.W.. (1998). Life-Span Development, Seventh Edition. New York: Mc Graw, Hill Companies, Inc.

Sarwono, Sarlito. (2000). Psikologi Remaja. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Shackman, Jessica E.; Shackman, Alexander J.; & Pollack, Seth D. (2007).

Physical Abuse Amplifies Attention to Threat and Increases Anxiety in Children. Emotion, Vol.7, No.4, 838-852. [On-Line]. Available FTP :

Suyanto, Bagong & Sri Sanituti Hariadi. (2002). Krisis & Child Abuse (Kajian Sosiologis tentang Kasus Pelanggaran Anak dan Anak-anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus). Surabaya: Airlangga University Press Solihin, Lianny. (2004). Tindakan Kekerasan pada Anak dalam Keluarga. Jurnal

Pendidikan Penabur, Vol 03 Tahun III, 129-139. Jakarta:BPK Penabur. Wahab, Rochmat. (2006). Kekerasan dalam Rumah Tangga: Perspektif

Psikologis dan Edukatif. Yogyakarta:UII. [On-Line]. Available FTP:

“4 Kasus Tragis Kekerasan Anak di Awal 2006”. (2006, 16 Januari). [On-line].