BAB I PENDAHULUAN
I. A. Latar Belakang Masalah
Keluarga merupakan lembaga pertama dalam kehidupan anak, tempat ia belajar dan menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Segala sesuatu yang
dilakukan anak akan mempengaruhi keluarganya, begitu pula sebaliknya. Keluarga memberikan dasar pembentukan tingkah laku, watak, moral dan
pendidikan kepada anak. Pengalaman interaksi di dalam keluarga akan menentukan pula pola tingkah laku anak terhadap orang lain dalam masyarakat.
Selain sebagai tempat awal bagi proses sosialisasi anak, keluarga juga tempat anak mengharapkan dan mendapatkan pemenuhan kebutuhan. Peranan dan
tanggung jawab yang harus dimainkan orang tua dalam membina anak adalah besar Solihin, 2004.
Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat memiliki tanggung jawab pertama untuk menjaga pertumbuhan dan perkembangan anak. Seorang anak akan
mencapai pertumbuhan dan perkembangan optimal jika kebutuhan dasarnya terpenuhi, misalnya kebutuhan fisik sandang, pangan, papan dan kebutuhan
psikologis berupa dukungan, perhatian dan kasih sayang. Perlakuan salah yang sering diterima anak dari keluarga, khususnya orang tua membuat keluarga justru
menjadi sumber ancaman dan ketidaktentraman anak. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang didapatkan oleh Putra dalam Ervika,2005 melalui penelitiannya
”A Focused on Child Abuse in Six Selected Provinces in Indonesia”, menemukan
Universitas Sumatera Utara
bahwa hasil-hasil perlakuan salah maltreated terhadap anak yang terjadi dalam ranah publik dan domestik ternyata sebagian besar dilakukan oleh orang tua
mereka. Adapun yang dimaksud dengan perlakuan salah dalam hal ini adalah segala jenis bentuk perlakuan terhadap anak yang mengancam kesejahteraan anak
untuk tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik, sosial, psikologis, mental dan spiritual Ervika,2005.
Menurut Mash Wolfe 2005, anak-anak, karena belum dewasa immature secara sosial dan psikologis menjadi sangat tergantung pada orang
dewasa terutama untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar mereka. Hal ini membuat mereka rentan menjadi korban kekerasan dalam keluarga. Umumnya,
orang tua mencintai dan memelihara anak-anak mereka dengan baik. Namun pada kenyataannya, beberapa orang tua tidak mampu atau tidak mau peduli dan ada
pula yang dengan sengaja menyakiti atau membunuh anak-anak mereka Papalia, 2004. Bahkan, ada juga orang tua yang mengaku menyayangi anaknya namun
tetap tega menyakiti anak atas nama disiplin dan kasih sayang Santrock, 1998. Kekerasan domestik terhadap anak bukanlah peristiwa yang langka karena
sering terjadi di sekitar kita. Kekerasan domestik atau kekerasan yang terjadi di dalam lingkungan keluarga menduduki porsi terbesar dalam kasus kekerasan yang
menimpa anak-anak pada rentang usia 3-6 tahun. Sebanyak 80 kekerasan yang menimpa anak-anak dilakukan oleh keluarga mereka, 10 terjadi di lingkungan
pendidikan, dan sisanya orang tak dikenal. Pada tahun 2002, setiap bulannya terdapat 30 kasus kekerasan yang diadukan oleh korbannya kepada lembaga
konseling Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia. Sebanyak 60 merupakan
Universitas Sumatera Utara
korban kekerasan ringan, berupa kekerasan verbal atau caci maki, sedangkan 40 sisanya mengalami kekerasan fisik hingga seksual Solihin, 2004. Data diatas
menunjukkan bahwa kasus-kasus tindak kekerasan sangat mudah ditemui di lingkungan keluarga yang secara normatif sering dikatakan sebagai tempat paling
aman bagi anak-anak. Kekerasan abuse terjadi ketika pengasuh caregiver anak atau remaja
gagal memberikan sarana untuk kesehatan dan kesejahteraan well-being anak atau juga menyebabkan luka-luka dan tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar
mereka Giardino, 2010. Kekerasan adalah kata yang biasa diterjemahkan menjadi penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah. Istilah child abuse atau
kadang-kadang child maltreatment adalah istilah yang biasa digunakan untuk menyebut kekerasan terhadap anak. Gelles dalam Huraerah, 2005
mendefinisikan kekerasan terhadap anak sebagai perbuatan yang disengaja yang menimbulkan kerusakan atau bahaya terhadap anak-anak secara fisik maupun
emosional, dan meliputi berbagai bentuk tingkah laku, mulai dari tindakan ancaman fisik secara langsung oleh orang tua atau orang dewasa lainnya yang ikut
menjadi pengasuh sampai kepada penelantaran kebutuhan-kebutuhan dasar anak Ada banyak bentuk kekerasan yang bisa dilakukan pada anak. Salah
satunya adalah kekerasan secara fisik. Kekerasan secara fisik physical abuse meliputi penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan terhadap anak, dengan atau
tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. Bentuk luka dapat berupa lecet atau memar akibat
persentuhan atau kekerasan benda tumpul, seperti bekas gigitan, cubitan, ikat
Universitas Sumatera Utara
pinggang atau rotan. Dapat pula berupa luka bakar akibat bensin panas atau berpola akibat sundutan rokok atau setrika Huraerah, 2005. Seperti yang dialami
oleh Susi bukan nama sebenarnya, yang telah bertahun-tahun menerima kekerasan secara fisik dari ayah kandungnya:
“...bapak biasanya mukul, tumbuk-tumbuk. Bagian paling sering biasanya muka. Itu yang paling sering. Biasanya sampai biru, bengkak,
berdarah. Aku kemarin pernah benjol disini, benjol ini, benjol ini sambil menunjukkan bagian-bagian pada wajah terus luka. Dan biasanya itu
akibat berkali-kali aku ditumbuk. Pokoknya paling sering di bagian kepala lah. Kalo nggak diantukkan begini sambil memperagakan kepala
orang yang dibenturkan kedinding. Kalo badan jarang kena, tapi mau juga. Kalo badan biasanya dipijaknya. Tapi biasanya dimulai dari kepala
lah, baru dia tendang pantat kita atau apa gitu...”. “...pertama dipukul sekali dulu, sejenis pemanasan gitu kan. Trus
merepet-merepet, marah-marah, terus dihantam lagi...”.
Susi, wawancara interpersonal, Februari-Maret 2010
Kekerasan fisik dalam keluarga semakin sering terjadi. Ketika kompleksnya masalah ekonomi hingga sosial berakumulasi, maka anak, sebagai
anggota keluarga terlemah seringkali menjadi korban. Graziano dalam Fontes, 2002 mengemukakan bahwa semakin besar stres yang dialami sebuah keluarga,
maka kemungkinan terjadinya kekerasan pada anak akan semakin besar. Selain itu, semakin seringnya orang tua menggunakan hukuman sebagai cara untuk
mendisiplinkan anak akan memperbesar kecenderungan orang tua tersebut melakukan kekerasan fisik. Hal tersebut terjadi karena orang tua akan merasa
hukuman fisik ringan yang dilakukan pada anak tidak lagi efektif untuk mengontrol perilaku anak sehingga mulai melakukan hukuman fisik yang lebih
berat. Pendidikan tradisional yang dianut oleh masyarakat juga sering sekali
Universitas Sumatera Utara
melegalkan penggunaan kekerasan dalam mendidik anak. Pendidikan tradisional tersebut kemudian menjadi kebudayaan yang pada akhirnya menjadi lingkaran.
Anak yang mengalami kekerasan cenderung juga akan melakukan hal yang sama pada anaknya dan begitu seterusnya. Hal tersebut akan membuat kekerasan fisik
semakin banyak dari hari ke hari “Kekerasan pada Anak karena Kurang Edukasi”, 2008.
Kekerasan fisik yang diterima anak akan meninggalkan kerusakan ataupun cacat fisik yang diakibatkan oleh tindak kekerasan yang dilakukan oleh pelaku
kekerasan abuser. Tanda-tanda fisik yang dialami antara lain adanya riwayat mengalami luka-luka dalam waktu yang panjang, memar, patah tulang ataupun
kerusakan pada gigi yang tidak dapat dijelaskan, kehilangan fungsi tubuh dalam waktu tertentu, kerusakan saraf sementara ataupun permanen, dan luka-luka
lainnya yang tidak dapat dijelaskan. Hal ini sesuai dengan apa yang dialami oleh Susi bukan nama sebenarnya:
“...sering pusing..”. “..sekarang kan aku juga lagi ikut berobat ke apa itu. Tempat adikku ini
berobat kusuk, aku ikut juga. Terus mereka bilang, eh kemaren pernah jatuh ya. Dulu aku waktu SMA hampir tiap hari pusing. Mulanya dari
aku kelas tiga SMA sampe tahun lalu, bulan lalu aku hampir tiap hari pusing. Cuman setelah aku kesana itu udah lumayan apa. Karena
kemaren juga katanya rahimku uda ntah kekmana mana lah posisinya gitu kan. Pernah jatuh ya dek, katanya. Jatuhnya keras kata tukang pijat
itu kan. Pernah kubilang. Ini uda lama kan katanya. Iya waktu SD kubilang gitu. Cuman aku nggak bilang itu karena aku pernah dipukul.
Cuma aku bilang aku jatuh karena panjat pagar sekolah, pagar orang sama pohon jambu kubilang. Karna bisa aja kan, nama nya juga waktu
SD kan. Iya rahimmu begini begono perutmu begini. Terus payudaramu kena ini. Jadi itu urat-uratnya lari ke kepala makanya sering pusing. Ntah
kenapa-kenapa kan sampek kemaren pernah aku berobat ke Pirngadi, disuruh scanning ini itu segala macam rupanya karena uratnya aja yang
bermasalah”.
Susi, wawancara interpersonal, Februari-Maret 2010
Universitas Sumatera Utara
Selain meninggalkan kerusakan ataupun cacat fisik, kekerasan secara fisik juga memberikan dampak secara psikologis bagi anak. Dampak psikologis yang
dialami anak akan menimbulkan perubahan tingkah laku. Anak yang mengalami kekerasan akan menunjukkan respon takut yang berlebihan dan dikombinasikan
dengan perilaku agresif. Anak juga akan menyentak dan menjerit ketika disentuh tiba-tiba. Selain itu, anak juga cenderung menyembunyikan dan menutupi luka-
luka fisik yang mereka miliki dan akan menolak dengan keras jika disuruh untuk membuka baju Manitoba, 2009. Hal yang sama juga dialami oleh Susi bukan
nama sebenarnya tentang trauma psikis yang dia alami: “...trauma aku masih ada cuma aku udah lumayan bisa menenangkan
dirilah. Kemaren pas baru tamat SMA, aku paling nggak bisa dengar misalnya piring dicampakkan pelan aja, walaupun dirumah orang,
kayaknya aku merasa situasi itu kembali lagi, gitu. Trus kalo misalnya orang tiba-tiba gini memukul tikar dengan keras aku langsung
gemetaran gitu. Trus kalo orang misalnya marah samaku, yang ini masih terasa sampai sekarang, kalo ada yang marah apalagi usianya ya jauh dari
aku trus marahnya pake suara keras, konsentrasiku langsung ga tau lagi aku harus gimana. Aku merasa kejadian yang kemaren-kemaren itu
terulang lagi...”.
Susi, wawancara interpersonal, Februari-Maret 2010
Dampak tindakan kekerasan yang dilakukan pada anak sangat beragam. Menurut Moore dalam Huraerah, 2005 yang telah mengamati beberapa kasus
anak yang menjadi korban penganiayaan fisik, mengungkapkan bahwa efek tindakan kekerasan fisik tersebut demikian luas dan secara umum dapat
diklasifikasikan dalam beberapa kategori. Anak yang mengalami kekerasan fisik ada yang menjadi negatif dan agresif serta mudah frustasi, sangat pasif dan apatis,
dan merasa tidak mempunyai kepribadian sendiri. Selain itu ada juga yang merasa apa yang dilakukan sepanjang hidupnya hanyalah memenuhi keinginan orang
Universitas Sumatera Utara
tuanya parental extension sehingga mereka tidak mampu menghargai dirinya sendiri chronically self-esteem. Korban kekerasan fisik lainnya juga mnengalami
kesulitan menjalin relasi dengan individu lain. Penelitian Flisher dalam Meyerson,Long, Miranda Marx, 2002
menunjukkan bahwa remaja yang mengalami kekerasan fisik semasa kanak- kanaknya akan menunjukkan kesulitan menyesuaikan diri, kompetensi sosial yang
lebih buruk, menurunnya kemampuan bahasa, dan performansi yang buruk di sekolah dibandingkan dengan remaja yang tidak mengalami kekerasan. Hussey
Singer, Williamson, Borduin, Howe dalam Meyerson et.al, 2002 juga menyatakan bahwa perkembangan emosional, sosial dan fisik yang unik terjadi
selama periode remaja sehingga kekerasan yang dialami anak akan secara berbeda mempengaruhi fungsi-fungsi psikologis, khususnya pembentukan identitas diri
jika dibandingkan dengan periode perkembangan lainnya. Remaja yang pernah mengalami kekerasan secara fisik juga akan
mengalami masalah psikososial dan perilaku yang lebih banyak dibandingkan dengan remaja-remaja lainnya. Remaja yang pernah mengalami kekerasan
memiliki gambaran diri self-image yang buruk, lebih merasa aneh dengan dirinya sehingga muncul pemikiran serius untuk bunuh diri, lebih banyak
mengkonsumsi rokok, ganja, dan minuman keras dan cenderung terjebak dalam pergaulan bebas jika dibandingkan dengan remaja yang tidak mengalami
kekerasan Fontes, 2002. Dampak buruk yang timbul dari kekerasan yang dialami akan menimbulkan tekanan pada remaja dan kondisi yang tidak
mendukung pembentukan gambaran diri dan identitas diri seorang remaja. Seperti
Universitas Sumatera Utara
penuturan Susi, yang mengaku, kekerasan fisik yang dialaminya dalam keluarga membuatnya sulit untuk berpikir tentang masa depan dan memiliki citra diri yang
buruk. “Itu nggak tahu gitu-gitu, pokoknya gini lo pandangan ke diri itu, nggak
berharga, gelap, terus merasa lebih rendah, lebih jelek, lebih bodoh, lebih apa dari orang lain. Kayak kemarin itu pikirku juga, istilahnya, yaudahlah
memang kek gini nasibku, aku bukan manusia. Toh bapakku sama mamakku pun giniin aku. Sama kawan-kawan juga aku tertutup, nggak
pala bergaul. Kasarnya, citra diri benar-benar rusak la. Betul la. Nggak tahu mau kekmana. Mau cerita sama orang juga malu, nanti kan diejekin.
Apalagi masih smp itu masa-masanya gaya-gayaan.
Susi, wawancara interpersonal, Februari-Maret 2010 Masa remaja adalah saat terpenting dalam proses menuju kedewasaan.
Siapakah saya, apakah yang ada pada diri saya, apa yang akan saya lakukan dengan hidup saya, apakah yang berbeda dengan diri saya dan bagaimanakah
caranya saya melakukan sesuatu sendiri adalah pertanyaan-pertanyaan yang tidak terlalu dipikirkan di masa anak-anak, namun mulai menjadi masalah umum, nyata,
dan universal ketika seseorang memasuki masa remaja Santrock, 1998. Pada masa remaja, mereka mulai menyadari tentang kepastian identitas dirinya
sehingga pada remaja awal mereka mulai melakukan eksplorasi terhadap kepribadian dirinya. Pencarian identitas diri pada masa remaja menjadi lebih kuat
sehingga ia berusaha untuk mencari identitas diri dan mendefinisikan kembali siapakah ia saat ini dan akan menjadi siapakah ia di masa depan. Perkembangan
identitas diri selama masa remaja ini dianggap sangat penting karena identitas diri tersebut dapat memberikan suatu dasar unuk perkembangan psikososial dan relasi
interpersonal pada masa dewasa Jones dan Hartmann, 1988. Susi dengan latar belakang kondisi kekerasan dalam keluarga yang dia alami, akhirnya
Universitas Sumatera Utara
memunculkan keinginannya untuk menjadi seperti sosok Kak Seto atau Ayah Edi yang peduli pada keselamatan dan kesejahteraan anak. Keinginan itu membuatnya
mencari tahu dan belajar dari berbagai sumber tentang bagaimana menjadi seperti sosok Kak Seto dan Ayah Edi.
“Waktu SMP sih, itu aja. Aku pengen jadi kayak kak Seto. Gitu. Sampe sekarang juga itu. Memang sih latar belakangnya karna masa laluku
juga..” “..dari TV. Si komo si komo itu. Pokoknya aku mau jadi kayak kayak
guru-guru agama tapi sama anak-anak..” “..soalnya kemarin kak Seto kan dekat sama anak-anak, ramah, baik ya
gitu pikirku..” “..kayak kemarin kan pas seminar kutanya sama ayah Edi. Kalo mau
seperti ayah, sekolah dimana. Tapi dia kurang spesifik jawabnya. Dibilangnya cari ajalah pendidikan yang berhubungan ke anak. Katanya
kek gitu. Aku juga nggak ngerti kenapa kek gitu, mungkin karna kita tanya langsung tentang ilmunya kali ya?. Terus kan waktu itu, ada juga
talk shownya di StarFM, kutanya lagi, pertanyaan yang sama, gitu juga jawabannya. Kalo lebih spesifik kan bisa awak ngerti kan. Kalo
dibilangnya cari ini begini, ada sekolah yang mengapai pendidikan anak, mana tau serba tau semua. Mana tau kekmana-kekmana, sekolah kemana,
gitu kan..” “Selain karna latarbelakangku, aku juga ingin itu karna kemarin aku
sempat baca tentang kak Seto ternyata latarbelakangnya nggak jauh-jauh dari yang kualami juga. Ayah Edi juga kayak gitu. Bapaknya tukang
tendang, tukang pukul, Jadi kalo kita wujudkan. Karna cita-cita kan nggak jauh-jauh dari latar belakang kan, lebih klop dia. Karna panggilan
hati juga. Terus karna gini juga semakin keras tantangan hidup orang, kalau cepat ditangani, akan semakin cepat dewasanya. Itulah dia..”
“Dari kemaren, uda dari dulu-dulu. Karna latarbelakang juga gini, aku nggak mau, kalo ada anak yang mengalami kekerasan, seperti yang aku
alami, aku nggak mau anak yang pernah dipukuli ini, aku nggak mau dia kebingungan sendiri. Aku pernah alami seperti itu dan aku tau sangat
buruk rasanya. Gitu kan. Jadi aku mau bisa komunikasi, bisa bantu kali ya, karna untuk yang seperti itu, kalo kita belum pernah ngalamin
kayaknya mungkin, mungkin ya, kuping ini juga kurang tanggap gitu. Jadi kalo misalnya kita uda dari situ kan, nanti apa yang dibilangnya juga
hidup didalam kita gitu. Dan dia juga lebih tau untuk mengeluarkan perasaannya dan kita juga bisa konsultasi di dua tempat. Satu di posisi
dia yang mengalami, satu lagi sebagai yang mengarahkan. Gitu..”
Universitas Sumatera Utara
Paling kutanya lah ahlinya, langsung ke akarnya kutanya. Atau baca-baca buku di Gramed, mau juga ikut seminar-seminar.
Susi, wawancara interpersonal, Februari-Maret 2011
Usaha Susi untuk mencari informasi dan belajar dari lingkungan tentang masa depannya merupakan bagian dari proses pembentukan identitas diri. Proses
pembentukan identitas diri adalah proses dimana seorang remaja mengembangkan suatu identitas personal atau sense of self yang unik yang berbeda dari orang lain
individuation. Dalam psikologi perkembangan, pembentukan identitas diri merupakan tugas utama dalam perkembangan kepribadian yang diharapkan
tercapai pada akhir masa remaja. Sebuah identitas adalah sejumlah nilai personal yang saling berkaitan mengenai nilai-nilai dalam pekerjaan, hubungan
interpersonal, politik dan agama Erickson dalam Faber et.al, 2003. Pembentukan identitas diri sebenarnya sudah dimulai dari masa anak-anak, tetapi pada masa
remaja ia menerima dimensi-dimensi baru karena berhadapan dengan perubahan- perubahan fisik, kognitif, dan relasional Grotevant dan Cooper, 1998.
Melihat pentingnya bagi remaja untuk mengembangkan identitas diri yang stabil, sejumlah penelitian telah dilakukan untuk mengeksplorasi faktor-
faktor yang mempengaruhi pembentukan identitas diri. Sejumlah temuan literatur Minuchin, 1974 dan penelitian empiris Perosa, Perosa, Tam, 1996
menyatakan bahwa konteks keluarga memainkan peran yang besar pada kemampuan remaja untuk mengembangkan identitas diri yang stabil Faber,2003.
Patterson,dkk dalam Mullis et.al, 2009 juga menemukan bahwa perasaan remaja tengah middle adolescent kepada baik ayah ataupun ibu mereka memiliki
Universitas Sumatera Utara
dampak yang besar dan penting pada kemampuan koping dan eksplorasi mereka, yang juga adalah kemampuan yang penting dimiliki remaja dalam proses
pengembangan identitas diri mereka. Namun, bagi Susi di dalam mempertimbangkan masa depan menjadi seperti sosok Kak Seto, dia tidak
meminta pertimbangan orangtuanya atau orang lain di dalam mengambil keputusan.
“Belum. Nanti mamakku pikir, banyak kali ceritanya ini. Gitu pulak nanti..”
Soalnya mamak kami itu agak-agak kolot cara berpikirnya. Nanti kubilang, aku mak mau gini-gini gini-gini, dibilangnya, jangan terlalu
tinggi kali mimpi nanti nggak nyampe mereng. Katanya gitu kan. Jadi agak apa..agak susah.
Susi, wawancara interpersonal, April 2011
Menurut Erickson, perkembangan identitas diri pada remaja menuntut mereka melewati tahap memilih dan menyaring begitu banyak pilihan hidup yang
ada sebelum mereka membuat komitmen pada area-area penting dalam hal hubungan interpersonal dan ideologi hidup Santrock, 1998. Hal ini juga
diungkapkan oleh Susi bukan nama sebenarnya: “...aku nanti ingin seperti kak Seto atau ayah Edi ya. Pokoknya khusus ke
anak. Mungkin latar belakangnya karena aku juga dari, karna aku juga waktu kecil ngga tau mau gimana, jadi aku menilai kalau ke anak,
pembimbingannya itu, kalau kita masukkan satu kata, kalau dia masih kecil, akan diingat sampai dia besar..”
“Kemarin aku uda cari tau. Di UMA ada katanya kuliah malam. Tapi cuma sekedar info-info aja. Lumayan bagus katanya kalo di UMA..”
“Ini lah menyelesaikan tanggungan ini dulu, mungkin tunggu tamatlah sekolah si Abet kan. Kalo toh untuk melanjutkan sekolah, kapan aja
bisa..”
Susi, wawancara interpersonal, Februari-Maret 2010
Universitas Sumatera Utara
Marcia 1993 mengidentifikasi masa eksplorasi—yang mana menunjukkan pencarian sejumlah tujuan, nilai, kepercayaan—dan komitmen—
yang mana menunjukkan penerimaan satu atau lebih sekumpulan tujuan, nilai, dan kepercayaan menjadi miliki seseorang—sebagai dua definisi dimensi pada
perkembangan identitas diri. Kemudian berdasarkan dua dimensi inilah Marcia membagi identitas menjadi 4 status identitas diri identity statuses remaja yakni
identity achievement, foreclosure identity, moratorium identity dan identity diffusion.
Marcia 2002 menyatakan bahwa pola yang paling sering dimiliki remaja dalam membentuk identitas diri dimulai dari tahap foreclosure. Sebagian besar
individu meninggalkan masa kanak-kanak dengan pemikiran bahwa nilai orang tua dan pendidik adalah absolut dan benar. Banyak remaja yang memasuki
periode perkembangan identitas dengan tahap foreclosure kemudian menemukan nilai-nilai dan arah karir mereka tidak seimbang dan searah dengan bagaimana
mereka memandang diri mereka dan dunia. Remaja-remaja inilah yang kemudian akan memasuki masa krisis identitas. Selanjutnya masuk ke tahap moratorium,
dimana terjadi proses eksplorasi banyak pilihan dan bergumul untuk menentukan masa depan yang tepat untuk diri mereka. Hasil yang terbaik, tahap moratorium
berakhir pada tahap achievement, dimana masa eksplorasi berakhir dan remaja mulai membuat komitmen pada pilihan mereka. Pada pola yang tidak optimal dan
lebih sedikit dialami, seseorang akan memasuki masa remaja dengan tahap diffuse dan berakhir dengan diffuse sebagai dampak dari ketidakseimbangan masa
pubertas ataupun tekanan-tekanan yang dialami remaja.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat dilihat remaja yang mengalami kekerasan fisik pada masa kanak-kanaknya cenderung memiliki gambaran diri
yang buruk dan mengalami kesulitan untuk berpikir tentang masa depan karena kekerasan yang dialami. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai proses pembentukan status identitas diri remaja yang mengalami kekerasan fisik pada masa kanak-kanaknya.
I. B. Perumusan Masalah