A.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Identitas Diri

Sering kali komitmen pada identitas berawal dari identifikasi dengan orang tua, saudara yang lain, guru, atau orang-orang yang dipelajari dari sekolah ataupun media massa. e. Proyeksi terhadap masa depan Projection of one’s personal future Komitmen pada identitas memberikan sebuah mekanisme untuk mengintegrasikan masa lalu dengan masa kini dan antara masa kini dengan masa yang akan datang. Aspek identitas akan direfleksikan dalam kemampuan untuk memproyeksikan diri mereka kepada masa depan dan mendeskripsikan tipe-tipe aktivitas yang ingin mereka lakukan selama lima atau sepuluh tahun yang akan datang. f. Daya tahan terhadap godaan Resistance to being swayed Jika komitmen sudah terbentuk, seseorang akan konsisten dan bertahan ketika menghadapi godaan atau pengaruh untuk meninjau ulang komitmen yang telah dibuat bahkan menggantinya.

II. A.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Identitas Diri

Fuhrmann 1990, mengemukakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses pembentukan identitas diri: a. Pola asuh Pola asuh orang tua mempunyai pengaruh penting dalam pembentukan identitas diri remaja b. Homogenitas lingkungan Universitas Sumatera Utara Seseorang cenderung memperoleh identitas yang foreclosure pada lingkungan yang homogen karena tidak mengalami krisis dan memperoleh komitmen dari nilai-nilai orang tua dengan mudah. Sebaliknya, pada lingkungan yang heterogen, individu diharapkan pada banyak pilihan sehingga sering mengalami krisis dan dipaksa untuk menentukan suatu pilihan tertentu. c. Model untuk identifikasi Anak mengadakan identifikasi dengan orang-orang yang dikagumi dengan harapan kelak akan menjadi seperti orang tersebut. Remaja menjadikan idola dan model dalam hidupnya. Orang yang berperan dewasa sebagai model bagi remaja dapat mempengaruhi pembentukan identitas diri. d. Pengalaman masa kanak-kanak Individu yang mampu menyelesaikan konflik-konflik pada masa kanak- kanak akan menngalami kemudahan dalam menyelesaikan krisis identitas pada masa remaja. Menurut Erikson dalam Santrock, 1998, identitas berkembang dari rangkaian identifikasi pada masa kanak-kanak. e. Perkembangan kognisi Individu yang memiliki kemampuan berpikir operasional formal akan mempunyai komitmen yang kuat dan konsisten sehingga dapat menyelesaikan krisis identitas dengan baik. f. Sifat individu Universitas Sumatera Utara Rasa ingin tahu dan keinginan yang kuat untuk mengadakan eksplorasi membantu tercapainya identity achievement. g. Pengalaman kerja Individu yang telah memiliki pengalaman kerja atau telah memasuki dunia kerja akan menstimulasi identitas diri. h. Identitas etnik Etnis dan harapan dari lingkungan etnis tempat individu tinggal akan mempengaruhi pencapaian identitas. II.B. MASA REMAJA Remaja adolescence adalah masa transisi atau peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik, psikis, dan psikososial. Untuk menjadi orang dewasa, mengutip pendapat Erikson, remaja akan melalui masa krisis, dimana remaja berusaha untuk mencari identitas diri search for self-identity Dariyo, 2004. Santrock 1998 menyatakan bahwa remaja merupakan masa peralihan perkembangan dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Sedangkan WHO dalam Sarwono, 2000 memberikan definisi tentang remaja yang lebih bersifat konseptual. Dalam definisi tersebut dikemukakan 3 kriteria, yaitu biologis, psikologis, dan sosial ekonomi, sehingga disebutkan bahwa remaja adalah suatu masa dimana: a. Individu berkembang dan saat pertama kali menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat individu mencapai kematangan seksual Universitas Sumatera Utara b. Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa. c. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri Piaget dalam Hurlock, 1999 menyatakan bahwa secara psikologis masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, berada dalam yang tingkatan yang sama dengan orang dewasa, sekurang- kurangnya dalam masalah hak. Umumnya, masa remaja berlangsung sekitar umur 13 tahun sampai umur 18 tahun, yaitu masa anak duduk di bangku sekolah menengah. Masa ini biasanya dirasakan sebagai masa sulit, baik bagi remaja itu sendiri maupun bagi keluarga, atau lingkungannya Ali, 2004. Awal masa remaja berlangsung kira-kira dari 1314 tahun sampai 1617 tahun, dan akhir masa remaja bermula dari usia 1617 tahun sampai 18, yaitu usia matang secara hukum Hurlock, 1999. Berdasarkan pengertian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa, dimana remaja belum memperoleh status orang dewasa tetapi tidak lagi memiliki status anak-anak. Masa remaja dimulai dari usia 13 tahun sampai dengan 18 tahun. Havighurst dalam Dacey Kenny, 1997 mengemukakan 9 sembilan tugas perkembangan pada tahapan remaja, yaitu: 1. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita 2. Mencapai peran sosial, pria, dan wanita Universitas Sumatera Utara 3. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif 4. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab 5. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya 6. Mempersiapkan karier ekonomi 7. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga 8. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku-mengembangkan ideologi Pencapaian tugas perkembangan tidak terlepas juga dari pencapaian identitas diri secara psikososial . Menurut Erikson dalam Dacey and Kenny, 1997 masa remaja merupakan masa kritis dalam pencapaian identitas diri. Bila seorang remaja mencapai identitas diri, seorang remaja akan memiliki gambaran- gambaran diri yang dapat dibandingkan dengan orang lain. Sedangkan remaja yang tidak berhasil menyelesaikan krisis identitasnya akan mengalami yang disebut oleh Erikson sebagai identity confusion kebimbangan akan identitasnya. Kebimbangan tersebut bisa menyebabkan dua hal: penarikan diri individu, mengisolasi dirinya dari teman sebaya dan keluarga, atau meleburkan diri dengan dunia teman sebayanya dan kehilangan identitas dirinya Santrock, 1998. II.C. KEKERASAN FISIK Universitas Sumatera Utara Kekerasan dan pengabaian pada anak bisa terjadi dalam banyak bentuk dan bervariasi. Salah satu bentuk kekerasan yang terjadi pada anak ialah kekerasan fisik. The Office on Child Abuse and Neglect mendefinisikan kekerasan fisik physical abuse berupa tindakan yang menimbulkan bahaya atau kerusakan secara fisik, termasuk kematian pada seorang anak. Kekerasan fisik mencakup luka pada tubuh lewat tonjokan, pukulan, tendangan, atau pembakaran National Center on Child Abuse and Neglect, dalam Clark, Clark, Adamec, 2007. Health Canada dalam Knoke, 2008 mendefinisikan kekerasan fisik sebagai penggunaan kekerasan dengan sengaja pada bagian tubuh anak apapun, yang mengakibatkan luka yang tidak terjadi secara kebetulan non-accidental. Hal tersebut bisa mencakup memukul anak dalam waktu tertentu atau juga sejumlah kejadian yang berpola. Kekerasan fisik mencakup perilaku-perilaku seperti mengguncang, mencekik, menggigit, menendang, membakar atau meracuni seorang anak, menenggelamkan anak, atau bentuk kekerasan lain yang berbahaya. Suyanto 2002 menambahkan, kekerasan fisik adalah bentuk kekerasan yang paling mudah dikenali. Tindakan yang terkategorisasi kekerasan jenis ini adalah menampar, menendang, mengancam dengan benda tajam, dan sebagainya. Korban kekerasan jenis ini biasanya tampak secara langsung pada fisik korban seperti luka memar, berdarah, patah tulang, pingsan, dan bentuk lain yang kondisinya lebih berat. Dong, Anda, et. al 2004 menyatakan bahwa seseorang yang mengalami kekerasan fisik adalah seseorang yang sering atau sangat sering didorong, ditarik, ditampar, dipukul, atau dilempar sesuatu oleh keluarga mereka Universitas Sumatera Utara dan kadang-kadang, sering, atau sangat sering dipukul atau dikenai sesuatu dengan kasar sehingga meninggalkan bekas atau luka pada tubuh mereka. II.D. Gambaran Proses Pencapaian Status Identitas Diri Remaja Yang Mengalami Kekerasan Fisik Pada Masa Kanak-Kanak Remaja adolescence adalah masa transisi atau peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik, psikis, dan psikososial. Untuk menjadi orang dewasa, mengutip pendapat Erikson, remaja akan melalui masa krisis, dimana remaja berusaha untuk mencari identitas diri search for self-identity Dariyo, 2004. Pembentukan identitas diri merupakan suatu proses pengkombinasian pengalaman, kepercayaan, dan identifikasi yang dimiliki pada masa kanak-kanak kepada kesatuan yang unik dan akan semakin lebih atau tidak koheren, yang akan memberikan para dewasa awal baik perasaan keterkaitan dengan masa lalu maupun arah bagi masa yang akan datang. Hal ini berarti bahwa dalam pembentukan identitas diri terdapat aspek-aspek masa kanak-kanak seperti pengalaman, kepercayaan dan identifikasi yang menjadi dasar terbentuknya identitas pada masa dewasa awal yang akan memberikan arah untuk masa depan dan menjadi sebuah benang pengait dengan masa lalu Marcia, 1993. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengalaman di masa kanak-kanak memiliki peranan penting dalam proses pembentukan identitas diri seorang remaja. Pengalaman kekerasan fisik di masa kanak-kanak akan menimbulkan dampak yang sangat berarti terhadap perilaku anak, baik berkenaan dengan kemampuan kognitif, kemampuan pemecahan masalah, maupun fungsi mengatasi Universitas Sumatera Utara masalah dan emosi Wahab, 2011. Efek yang timbul akibat perilaku orang tua yang secara fisik menyiksa dan melukai anak mereka akan menghasilkan kerusakan secara emosional ataupun fisik. Anak yang mengalami penyiksaan, secara fisik akan mengalami retak tulang, luka bakar, pendarahan, dan kerusakan pada otak ataupun organ-organ internal. Penganiayaan pada anak child abuse juga menimbulkan dampak yang negatif pada hubungan emosi dan sosial pada anak-anak tersebut. Anak-anak yang dianiaya abused children lebih sering menunjukkan perilaku negatif, mudah tersinggung, memiliki kompetensi sosial yang rendah, lebih agresif, kurang kooperatif, dan mereka pada umumnya kurang disukai oleh teman sebaya mereka. Dalam lingkungan sekolah, para guru melihat anak-anak ini sebagai anak yang bermasalah karena penyendiri, bermasalah dalam hal disiplin, dan memiliki performansi yang rendah secara akademis DeGenova, 2008. Penelitian Rummell and Hunsen 1993 menyatakan kekerasan fisik akan memberikan dampak jangka panjang bagi anak dalam hal hubungan interpersonal dan kesulitan dalam aspek akademis dan pekerjaan. Anak yang mengalami kekerasan fisik akan memiliki perasaan negatif pada interaksi interpersonal seperti merasa malu, sadar diri self-conscious dan merasa tidak dimengerti atau tidak disukai oleh orang lain. Dalam aspek akademis dan pekerjaan, anak yang mengalami kekerasan fisik memiliki tingkat intelektualitas yang lebih rendah. Hal tersebut dilihat dari tes performansi yang dilakukan pada anak yang mengalami kekerasan fisik dan yang tidak. Anak-anak yang mengalami kekerasan fisik juga Universitas Sumatera Utara memiliki orientasi yang rendah untuk membuat tujuan-tujuan dalam aspek pekerjaan dan pendidikan. Penelitian Meyerson, Long, Miranda, dan Marx 2002 tentang pengaruh abuse pada masa kanak-kanak terhadap penyesuaian psikologis remaja juga menyatakan bahwa remaja yang mengalami kekerasan fisik akan mengalami kesulitan penyesuaian diri yang lebih besar, memiliki kompetensi sosial yang lebih buruk, rendahnya kemampuan bahasa, dan performansi di sekolah yang lebih buruk, jika dibandingkan dengan remaja yang tidak mengalami kekerasan. Remaja yang pernah mengalami kekerasan secara fisik juga seringkali menunjukkan kondisi-kondisi psikiatris seperti depresi, conduct disorder, dan simptom-simptom kecemasan. Masalah-masalah psikologis yang ditimbulkan pengalaman abuse di dalam keluarga tersebut akan membuat remaja mengalami kesulitan mengeksplorasi berbagai alternatif dalam berbagai aspek kehidupannya, sehingga hal tersebut mengakibatkan terganggunya proses pembentukan identitas diri. Kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan dan rendahnya kompetensi sosial juga akan membuat remaja sulit membentuk relasi atau hubungan dengan teman sebaya ataupun pasangan, sehingga eksplorasi dan komitmen terhadap aspek identitas pada remaja tersebut dalam sebuah hubungan sosial akan mengalami hambatan. Anak-anak yang mengalami kekerasan fisik di masa kanak-kanak memiliki batasan persepsi perceptual boundaries yang lebih luas dalam mempersepsikan ekspresi marah seseorang, menggunakan lebih banyak sumber daya atensi attentional resources untuk memproses ekspresi marah, dan Universitas Sumatera Utara memiliki kesulitan yang besar untuk melepaskan perhatian dari ekspresi marah seseorang. Pengalaman emosional dari kekerasan yang dialami saat kanak-kanak membuat mereka secara tidak sengaja memberikan perhatian yang lebih besar terhadap ekspresi marah dan sangat beresiko munculnya simptom-simptom kecemasan Shackman, Shackman Pollack, 2007. Briere dan Elliot dalam Kendall-Tackett, 2002 juga menyatakan bahwa anak-anak yang pernah mengalami kekerasan akan mengembangkan sebuah pola pemikiran internal working model dimana mereka melihat dunia ini sebagai sebuah tempat yang berbahaya. Hal ini disebabkan ketidakberdayaan yang mereka alami di masa lalu, sehingga mereka melebih-lebihkan bahaya dan kesulitan yang ada di lingkungan mereka saat ini. Sehingga di masa dewasa, mereka akan mengalami kepercayaan diri dan harga diri yang rendah ketika menghadapi situasi yang tidak menyenangkan. Distorsi-distorsi pemikiran ini akan berkontribusi pada stress yang dialami dan meningkatkan resiko terjadinya depresi. Sebagai masa transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa, remaja akan membentuk identitas diri yang merupakan perasaan tentang siapa dirinya berdasarkan siapa dia sebelumnya dan akan menjadi orang seperti apa di masa yang akan datang. Proses pembentukan identitas ini dibentuk dari proses pembuatan keputusan dan komitmen, dimana proses ini didahului oleh proses mengeksplorasi banyak alternatif dalam berbagai aspek hidup Marcia, 2002. Namun, remaja yang mengalami kekerasan fisik dalam keluarga, yang juga mengalami berbagai masalah baik secara fisik dan psikologis sebagai dampak dari Universitas Sumatera Utara kekerasan tersebut, akan menunjukkan berbagai hambatan dalam proses pembentukan identitas dirinya. KERANGKA BERPIKIR Masa Anak-anak Masa Remaja Remaja Physical Abuse dalam Keluarga Dampak Fisik dan Psikologis Pembentukan Identitas Diri Teori Status Identitas Marcia: - Eksplorasi - Komitmen Domain Vocational Domain Relationship w Friends Domain Relationship w Dates Faktor-faktor yang mempengaruhi: 1. Pola Asuh 2. Homogenitas Lingkungan 3. Model untuk identifikasi 4. Pengalaman masa kanak- kanak 5. Perkembangan kognisi 6. Sifat individu 7. Pengalaman kerja 8. Etnis identitas Bagaimana gambaran proses pencapaian status identitas diri? Universitas Sumatera Utara

BAB III METODE PENELITIAN