Pengaruh Salinitas Air Terhadap Tingkat Patogenitas Viral Nervous Necrosis Pada Benih Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus)

(1)

PENGARUH SALINITAS AIR TERHADAP TINGKAT

PATOGENITAS VIRAL NERVOUS NECROSIS

PADA BENIH KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus)

SKRIPSI

LAURA APRILINI

070805037

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(2)

PENGARUH SALINITAS AIR TERHADAP TINGKAT PATOGENITAS VIRAL NERVOUS NECROSIS

PADA BENIH KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

LAURA APRILINI 070805037

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2011


(3)

PERSETUJUAN

Judul : PENGARUH SALINITAS AIR TERHADAP

TINGKAT PATOGENITAS VIRAL NERVOUS NECROSIS PADA BENIH KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus)

Kategori : SKRIPSI

Nama : LAURA APRILINI

Nomor : 070805037

Program Studi : SARJANA (S1) BIOLOGI

Departemen : BIOLOGI

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Diluluskan di

Medan, September 2011

Komisi Pembimbing :

Pembimbing 2 Pembimbing 1

Dedy Arief Hendriyanto, S.St.Pi, M.Si. Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc. NIP. 19780524 200003 1 002 NIP. 19640409 199403 1 003

Diketahui/Disetujui oleh

Departemen Biologi FMIPA USU Ketua,

Dr. Nursahara Pasaribu. M.Sc. NIP. 19630123 199003 2 001


(4)

PERNYATAAN

PENGARUH SALINITAS AIR TERHADAP TINGKAT PATOGENITAS VIRAL NERVOUS NECROSIS

PADA BENIH KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus)

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, September 2011

LAURA APRILINI 070805037


(5)

PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan hasil penelitian yang berjudul “PENGARUH SALINITAS AIR TERHADAP TINGKAT PATOGENITAS VIRAL NERVOUS NECROSIS PADA BENIH KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus)” yang merupakan syarat untuk melengkapi dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains di Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc. dan Bapak Dedy Arief Hendriyanto, S. St.Pi, M.Si. selaku dosen pembimbing, Ibu Dra. Nunuk Priyani, M.Sc dan Bapak Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M. Biomed selaku dosen penguji yang telah memberikan bimbingan, arahan, waktu serta perhatian selama proses penyusunan hasil penelitian ini.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Dra. Emita Sabri. M.Si selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis dan Bapak Drs, Nursal S.Si., M.Si selaku Dosen Penasehat Akademik, dan kepada Ibu Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc selaku Ketua Departemen Biologi FMIPA USU, dan Bapak Drs. Kiki Nurjahja M.Sc selaku Sekretaris Departemen Biologi FMIPA USU, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Alm. Sukirmanto dan Ibu Nurhasni Muluk selaku laboran di Laboratorium dan Ibu Rosliana Ginting dan Bapak Ewin selaku Pegawai Administrasi Departemen Biologi FMIPA USU. Secara khusus ucapan terima kasih kepada Bapak Ir. Viktor Immanuel selaku Kepala Balai Karantina Ikan Kelas I Polonia Medan, Ibu Barita Aritonang, Pak Ramon Nasution, Pak Sahala Sianturi, Ibu Marlina Dolok Saribu, Kak Retna, Kak Fuji, Kak Tika, Bang Oscar, Mas Joko, Bang Hendrik, Bang Hendryanto, Pak Su, Pak Akum, Bapak Drh. Sangkot SN., Adik-adik dari SMKN 1 Kisaran: Nico, Dedi, Eva, Kesy dan Adik-adik dari SMKN 2 Tanjung Balai: Sinta, Dera, Fitri, terima kasih buat kerjasama dan bantuannya.

Ungkapan terima kasih yang tak ternilai penulis ucapkan kepada Kedua Orang tua, Ayahanda Johari dan Ibunda Leha atas doa dan dorongan semangat kepada penulis, dan rasa terima kasih penulis ucapkan kepada Tante Lina, Paman Yusman, Tante Lita, Tante Rini yang telah menjadi motivator penulis. Ucapan terima kasih kepada adik penulis Lauren atas dorongan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan hasil penelitian ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman penulis Lilisna W., Hunawaty dan Megawaty atas motivasi dan dukungannya.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada teman seperjuangan Helmi Kristina Simamora dan Resti Fauziah, dan juga kepada Yanti Yunita, Alexander A. L., Margaret, Ria, Dwi Putri Akarina, Ilhayatu Aini, Maria Lestari, Warysatul Ummah, Mirza Anggriawin, Dina R. M. Silitonga, Sari Dewi Agustini, teman-teman stambuk 2007 “Like The Ants”. Rasa terimakasih penulis sampaikan atas kerjasama, motivasi, semangat, dan kebersamaan. Sukses bagi kita semua.


(6)

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan hasil penelitian ini untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan hasil penelitian ini. Akhir kata semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi pembaca. Sebelum dan sesudahnya penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, September 2011


(7)

ABSTRAK

Penelitian mengenai Pengaruh Salinitas Air Terhadap Tingkat Patogenitas Viral Nervous Necrosis Pada Benih Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) telah dilakukan mulai bulan Januari 2011 sampai April 2011 di Laboratorium Biologi Molekuler Balai Karantina Ikan kelas I Polonia, Medan dan di Laboratorium Patologi Anatomi dan Laboratorium Biokimia Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional I Medan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh salinitas air terhadap patogenitas viral nervous necrosis (VNN) pada benih kerapu macan yang terinfeksi VNN. Penelitian dilakukan dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Penelitian ini terdiri dari lima perlakuan salinitas yaitu S20 (20 ppt), S25 (25 ppt), S30 (30 ppt), S35 (35 ppt) dan S40 (40 ppt) dan kontrol K30 (30 ppt) tanpa infeksi VNN, dimana masing-masing perlakuan dan kontrol memiliki 3 ulangan dengan 10 ekor ikan/20L air laut/akuarium. Masing-masing ikan dalam tiap akuarium disuntik virus secara intra muskular dengan FID50 10-4/0,1ml. Data kemudian dianalisis dengan program SPSS release 13.

Hasil penelitian menunjukkan salinitas mempengaruhi tingkat patogenitas VNN, (p<5%). Perlakuan S30 merupakan tingkat patogenitas VNN yang paling tinggi, sedangkan perlakuan S25 merupakan tingkat patogenitas VNN yang paling rendah. Beberapa uji konfirmasi yaitu uji hematologi menunjukkan adanya penurunan jumlah eritrosit dan peningkatan jumlah leukosit. Uji histopatologi memperlihatkan adanya vakuolisasi di sekitar sel glia dan adanya pembendungan yaitu pembuluh darah berisi eritrosit. Uji RT-PCR dari pita yang terbentuk menunjukkan pada perlakuan S30 merupakan tingkat patogenitas yang paling tinggi sedangkan pada S25 merupakan tingkat patogenitas yang paling rendah. Semua uji konfirmasi menunjukkan adanya pengaruh salinitas terhadap tingkat patogenitas VNN pada benih kerapu macan.

Kata kunci: Viral Nervous Necrosis, Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus), Salinitas, Patogenitas.


(8)

EFFECT OF WATER SALINITY TO PATHOGENICITY OF VIRAL NERVOUS NECROSIS

IN SEED TIGERS GROUPER (Epinephelus fuscoguttatus)

ABSTRACT

A study of the effect of water salinity to pathogenicity of viral nervous necrosis in seed tigers grouper (Epinephelus fuscoguttatus) was conducted from January 2011 to April 2011 at the Laboratory of Molecular Biology of Fish Quarantine Center Class I Polonia, Medan and the Laboratory of Anatomy Pathology and Laboratory of Biochemical Investigation Center and Veterinary Testing Regional I Medan. The study aim was to determine the effect of salinity to the pathogenicity of viral nervous necrosis (VNN) in tiger grouper infected with VNN. Completely Randomized Design (CRD) was used in this study. The study consisted of five salinity treatments namely S20 (20 ppt), S25 (25 ppt), S30 (30 ppt), S35 (35 ppt) and S40 (40 ppt) and control K30 (30 ppt) without infection of VNN. Each treatment with three replication of 10 fish/20L sea/aquarium. Fish was injected with the virus intra muscular of 10-4/0,1ml (FID50). The data were analyzed using SPSS release 13.

The results showed that salinity level affected pathogenicity of VNN, (p <5%). S30 showed high pathogenicity of VNN to the fish while S25 showed low pathogenicity. Some confirmation tests like hematology tests showed that erythrocytes number decreased while leukocytes number increased. Histopathology test showed that there were vacuolization around glial cells and the obstruction of blood vessels containing erythrocytes. RT-PCR test confirmed that S30 showed highest level of pathogenicity, while the S25 showed the lowest one. Of all the test confirmation showed the effect of salinity on the pathogenicity level of VNN in tiger grouper seed. Key words: Viral nervous necrosis, tiger grouper, salinity, pathogenicity.


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

Persetujuan ii

Pernyataan iii

Penghargaan v

Abstrak vi

Abstract vii

Daftar Isi viii

Daftar Tabel x

Daftar Gambar xi

Daftar Lampiran xii

Bab 1 Pendahuluan 1

1.1Latar Belakang 1

1.2Permasalahan 2

1.3Tujuan Penelitian 3

1.4Hipotesis 3

1.5Manfaat Penelitian 3

Bab 2 Tinjauan Pustaka 4

2.1 Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) 4

2.2 Viral Nervous Necrosis (VNN) 5

2.3 Kualitas Air 7

Bab 3 Bahan dan Metode 12

3.1 Waktu dan Tempat 12

3.2 Alat dan Bahan 12

3.3 Isolat Virus 13

3.4 Uji FID50 13

3.5 Pengaruh Salinitas Terhadap Patogenitas VNN 14

3.6 Gejala Klinis 14

3.7 Uji Konfirmasi 15

3.7.1 Uji Hematologi 15

3.7.2 Uji Histopatologi 17

3.7.3 Uji RT-PCR 19

3.8 Analisis Data 20

Bab 4 Hasil dan Pembahasan 21

4.1 Hasil Uji FID50 21

4.2 Pengaruh Salinitas terhadap Patogenitas VNN 22

4.3 Gejala Klinis 24

4.4 Hasil Uji Hematologi 25

4.5 Pengamatan Preparat Histopatologi 28


(10)

Bab 5 Kesimpulan dan Saran 32

5.1 Kesimpulan 32

5.2 Saran 32


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman

Tabel 1. Baku mutu air laut 10

Tabel 2. Hasil perhitungan Nilai FID50-72 jam pada perlakuan ikan kerapu macan SPF diinjeksi inokulum/ suspensi virus VNN.

21 Tabel 3. Hasil pemeriksaan darah kerapu macan diinfeksi virus VNN

konsentrasi 10-4/0,1ml (perlakuan salinitas).


(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Halaman

Gambar 1. Pola hubungan interaksi antara patogen penyakit, inang dan lingkungan.

1 Gambar 2. Persentase kematian ikan kerapu macan (Epinephelus

fuscoguttatus) dengan perlakuan salinitas

22 Gambar 3. Gejala klinis khas virus VNN pada ikan kerapu macan. 24 Gambar 4. Gambaran histopatologi otak ikan kerapu macan 28 Gambar 5. Pita RNA pada VNN terhadap ikan uji (ikan kerapu

macan-SPF).

30 Gambar 6. Pita RNA pada VNN terhadap ikan kerapu macan pada

perlakuan salinitas yang berbeda.


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Judul Halaman

Lampiran A. Isolat Virus 37

Lampiran B. Uji FID50 38

Lampiran C. Uji Hematologi 39

Lampiran D. Uji Histopatologi 42

Lampiran E. Uji RT-PCR 44

Lampiran F. Amplikasi Protokol PCR 47

Lampiran G. Diagnosis RT-PCR 48

Lampiran H. Pengamatan Harian Ikan Kerapu Macan Diinfeksi VNN 49

Lampiran I. Dokumentasi Penelitian 58


(14)

ABSTRAK

Penelitian mengenai Pengaruh Salinitas Air Terhadap Tingkat Patogenitas Viral Nervous Necrosis Pada Benih Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) telah dilakukan mulai bulan Januari 2011 sampai April 2011 di Laboratorium Biologi Molekuler Balai Karantina Ikan kelas I Polonia, Medan dan di Laboratorium Patologi Anatomi dan Laboratorium Biokimia Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional I Medan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh salinitas air terhadap patogenitas viral nervous necrosis (VNN) pada benih kerapu macan yang terinfeksi VNN. Penelitian dilakukan dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Penelitian ini terdiri dari lima perlakuan salinitas yaitu S20 (20 ppt), S25 (25 ppt), S30 (30 ppt), S35 (35 ppt) dan S40 (40 ppt) dan kontrol K30 (30 ppt) tanpa infeksi VNN, dimana masing-masing perlakuan dan kontrol memiliki 3 ulangan dengan 10 ekor ikan/20L air laut/akuarium. Masing-masing ikan dalam tiap akuarium disuntik virus secara intra muskular dengan FID50 10-4/0,1ml. Data kemudian dianalisis dengan program SPSS release 13.

Hasil penelitian menunjukkan salinitas mempengaruhi tingkat patogenitas VNN, (p<5%). Perlakuan S30 merupakan tingkat patogenitas VNN yang paling tinggi, sedangkan perlakuan S25 merupakan tingkat patogenitas VNN yang paling rendah. Beberapa uji konfirmasi yaitu uji hematologi menunjukkan adanya penurunan jumlah eritrosit dan peningkatan jumlah leukosit. Uji histopatologi memperlihatkan adanya vakuolisasi di sekitar sel glia dan adanya pembendungan yaitu pembuluh darah berisi eritrosit. Uji RT-PCR dari pita yang terbentuk menunjukkan pada perlakuan S30 merupakan tingkat patogenitas yang paling tinggi sedangkan pada S25 merupakan tingkat patogenitas yang paling rendah. Semua uji konfirmasi menunjukkan adanya pengaruh salinitas terhadap tingkat patogenitas VNN pada benih kerapu macan.

Kata kunci: Viral Nervous Necrosis, Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus), Salinitas, Patogenitas.


(15)

EFFECT OF WATER SALINITY TO PATHOGENICITY OF VIRAL NERVOUS NECROSIS

IN SEED TIGERS GROUPER (Epinephelus fuscoguttatus)

ABSTRACT

A study of the effect of water salinity to pathogenicity of viral nervous necrosis in seed tigers grouper (Epinephelus fuscoguttatus) was conducted from January 2011 to April 2011 at the Laboratory of Molecular Biology of Fish Quarantine Center Class I Polonia, Medan and the Laboratory of Anatomy Pathology and Laboratory of Biochemical Investigation Center and Veterinary Testing Regional I Medan. The study aim was to determine the effect of salinity to the pathogenicity of viral nervous necrosis (VNN) in tiger grouper infected with VNN. Completely Randomized Design (CRD) was used in this study. The study consisted of five salinity treatments namely S20 (20 ppt), S25 (25 ppt), S30 (30 ppt), S35 (35 ppt) and S40 (40 ppt) and control K30 (30 ppt) without infection of VNN. Each treatment with three replication of 10 fish/20L sea/aquarium. Fish was injected with the virus intra muscular of 10-4/0,1ml (FID50). The data were analyzed using SPSS release 13.

The results showed that salinity level affected pathogenicity of VNN, (p <5%). S30 showed high pathogenicity of VNN to the fish while S25 showed low pathogenicity. Some confirmation tests like hematology tests showed that erythrocytes number decreased while leukocytes number increased. Histopathology test showed that there were vacuolization around glial cells and the obstruction of blood vessels containing erythrocytes. RT-PCR test confirmed that S30 showed highest level of pathogenicity, while the S25 showed the lowest one. Of all the test confirmation showed the effect of salinity on the pathogenicity level of VNN in tiger grouper seed. Key words: Viral nervous necrosis, tiger grouper, salinity, pathogenicity.


(16)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kegiatan budidaya ikan laut di Indonesia khususnya ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) merupakan budidaya ikan laut yang memiliki prospek yang sangat baik untuk dikembangkan, karena kegiatan ini berperan dalam hal memenuhi kebutuhan ikan konsumsi, peningkatan penghasilan dan penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat petani ikan maupun nelayan serta dapat bermanfaat dalam pelestarian sumber daya ikan laut yang mulai langka (Anonim, 1999).

Salah satu penyakit yang sering dihadapi dalam budidaya ikan kerapu adalah virus. Virus dapat menyebabkan kematian hingga 100%. Salah satunya adalah viral nervous necrosis (VNN) yaitu jenis virus yang menyerang ikan kerapu mulai dari stadia larva hingga ikan remaja. Serangan VNN antar populasi pada budidaya ikan laut dapat terjadi dengan transmisi secara vertikal atau secara horisontal. Di Korea, gejala serangan VNN pertama kali dilaporkan menyerang budidaya ikan grouper (kerapu) (Epinephelus septemfasciatus). Kematian massal pada ikan red drum (Sciaenops ocellatus) yang dipelihara di pantai pembenihan berhubungan dengan betanodavirus (Chi, 2006). Kemampuan virus untuk menyebabkan penyakit, terjadi melalui interaksi antar virus, inang dan lingkungan (Gambar 1).

Gambar 1. Pola hubungan interaksi antara patogen penyakit, inang dan lingkungan (Lio-Po et al., 2001).

Host Patogen

Environment


(17)

Gejala klinis umum VNN pada beberapa jenis ikan antara lain perilaku ikan terserang berenang tak menentu, dan ikan mengapung dengan perut di atas disebabkan oleh pembengkakan gelembung renang, warna tubuh terlihat lebih gelap dan selera makan berkurang. Kematian kumulatif mencapai 34% dan 56% selama 10 minggu. Ikan yang terkena infeksi VNN biasanya memperlihatkan keadaan gangguan saraf yang berhubungan dengan vakuolisasi (kerusakan) kuat sistem saraf pusat dan retina (Thie´ry et al., 2006).

Penyebaran ikan kerapu sangat dibatasi oleh faktor-faktor lingkungan perairan yang ada dan dipisah-pisahkan secara nyata oleh kedalaman, akan tetapi untuk ikan tambakan toleransi tertingginya lebih pada kadar garam (salinitas), dimana biasanya berada pada kisaran kadar garam rendah. Jika terjadi tekanan lingkungan (akibat perubahan mendadak dan pemakaian antibiotik pada budidaya di pertambakan) dan perairan tidak dalam keadaan seimbang dinamis (Stady state), maka ikan akan mengalami perubahan fisiologis. Kerentanan ikan sebagai hospes atau inang juga sangat ditentukan oleh kualitas air sebagai media hidupnya (Adji, 2008). Organisme yang hidup di laut atau perairan payau (Estuarine) hanya dapat bertahan pada perubahan-perubahan salinitas yang relatif kecil, hal tersebut sangat berhubungan dengan tekanan osmotik sel (Hutabarat, 1984).

1.2 Permasalahan

Kegiatan budidaya pembesaran ikan kerapu macan merupakan kegiatan perikanan laut yang layak dikembangkan. Namun dalam pembudidayaannya, terdapat kendala yaitu munculnya penyakit yang disebabkan oleh virus, salah satunya VNN yang dapat menyerang ikan dan menyebabkan kematian dalam jumlah besar sehingga menimbulkan kerugian yang sangat besar. Sampai sekarang penyakit akibat virus belum dapat ditanggulangi secara pasti sehingga lebih ditekankan kepada upaya pencegahan dan membatasi penularannya dengan cara memperhatikan kualitas air, salah satunya menjaga salinitas air yang mendukung untuk kehidupan ikan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana pengaruh salinitas air terhadap tingkat patogenitas VNN pada benih ikan kerapu macan


(18)

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh salinitas air terhadap patogenitas viral nervous necrosis (VNN) pada benih kerapu macan yang terinfeksi VNN.

1.4 Hipotesis

Salinitas air mempengaruhi tingkat patogenitas VNN pada benih kerapu macan yang diinfeksi VNN.

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diambil setelah pelaksanaan penelitian ini berakhir adalah:

a. Memberikan informasi bagi pelaku kegiatan budidaya perikanan untuk memahami penyakit VNN pada benih kerapu macan, terutama yang berkaitan dengan salinitas air.

b. Mencegah dan membatasi penularan VNN pada budidaya dan lalulintas/distribusi ikan kerapu macan.


(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus)

Menurut Dennis et al. (2006), ciri-ciri morfologis ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) adalah bentuknya agak bulat memanjang dan mempunyai ukuran badan lebih tinggi, sirip dada berwarna kemerahan dan sirip lainnya mempunyai tepi kecoklatan. Sedangkan menurut Tarwiyah (2001), Ikan kerapu bentuk tubuhnya agak rendah, moncong panjang memipih dan menajam, maxillarry lebar di luar mata, gigi pada bagian sisi dentary 3 atau 4 baris, terdapat bintik putih coklat pada kepala, badan dan sirip, bintik hitam pada bagian dorsal dan poterior. Habitat benih ikan kerapu macan adalah pantai yang banyak ditumbuhi alga jenis reticulata dan Gracillaria sp., setelah dewasa hidup di perairan yang lebih dalam dengan dasar terdiri dari pasir berlumpur. Ikan kerapu termasuk jenis karnivora dan cara makannya "mencaplok" satu persatu makanan yang diberikan sebelum makanan sampai ke dasar. Pakan yang paling disukai jenis crustaceae (rebon, dogol dan krosok), selain itu jenis ikan-ikan (tembang, teri dan belanak).

Budidaya ikan kerapu macan pada umumnya dilakukan pada keramba jaring apung (KJA) yang berada di perairan di lepas pantai. Ikan kerapu macan menyenangi air laut berkadar garam 33 - 35 ppt. Untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan kerapu macan temperatur yang diperlukan berkisar antara 25 - 32 oC, salinitas berkisar antara 20 - 32 ppt, oksigen terlarut (DO) berkisar antara 4 - 8 ppm dan pH berkisar antara 7,5 - 8,3 (Anonim, 2001), sedangkan menurut Akbar & Anwar (1997) pertumbuhan ikan kerapu yang baik memerlukan temperatur berkisar 27 - 29 oC, salinitas 30 - 33 ppt, pH antara 8,0 - 8,2 dan DO lebih besar dari 5 ppm. Ikan kerapu macan bisa juga hidup di perairan muara sungai dengan kisaran kadar garam 15 - 30 ppt, temperatur air 24 - 31 oC, dan kadar DO antara 4,9 - 9,3 mg/l.


(20)

Ikan kerapu macan mempunyai ukuran tubuh yang relatif lebih besar dan pertumbuhan lebih cepat dibandingkan dengan jenis ikan lain (Sunaryat & Minjoyo, 2004). Jenis ikan kerapu banyak dibudidaya karena selain mempunyai potensi sebagai ikan hias, juga banyak dikonsumsi karena rasanya nikmat. Ikan ini juga merupakan salah satu jenis ikan yang memiliki nilai ekonomi tinggi, karena sangat disukai di dalam maupun di luar negeri seperti Negara-negara Asean, Hongkong, Cina, dan Jepang. Oleh karena itu, ikan kerapu macan menjadi sumber devisa dan merupakan komoditi ekspor unggulan ke Singapura, Hongkong, Jepang dan Amerika (Subyakto & Cahyaningsih, 2003). Ikan kerapu macan sebagai komoditi ekspor menyumbang devisa negara sebesar US $580 juta pada tahun 2003 (Anonim, 2004a; Anonim, 2004b).

Dalam pemeliharaan ikan kerapu macan masih terdapat kendala, di antaranya adalah tingkat kematian yang masih relatif tinggi akibat penyakit infeksi VNN. Virus ini umumnya menginfeksi stadia larva sampai remaja dan menyerang sistem organ saraf mata dan otak yang ditandai dengan gejala yang cukup spesifik karena ikan menampakkan tingkah laku berenang yang tidak normal dan umumnya ikan berdiam di dasar (Yuasa et al., 2001).

2.2Viral Nervous Necrosis (VNN)

Viral Nervous Necrosis (VNN) istilah alternatif: virus encephalopathy dan retinopathy (VER) adalah penyakit yang terdaftar oleh The Office International des Epizooties (OIE), menjadi masalah utama dalam produksi perikanan laut di dunia. Virus penyebab VNN ini merupakan anggota family Nodaviridae berdasarkan susunan asam nukleat dan struktur protein. Family Nodaviridae terdiri dari dua jenis yaitu jenis Alphanodavirus dan Betanodavirus, kedua jenis ini sangat ganas dalam menginfeksi ikan (Yukio, 2007).

Betanodaviruses adalah agen penyebab serangan VNN pada budidaya ikan laut. Betanodaviruses adalah virus kecil, berbentuk bola, tidak punya kapsid dengan genom yang terdiri atas dua ikatan tunggal. Nodaviruses adalah virus icosahedral yang


(21)

tidak dibungkus dengan suatu genom terdiri dari 2 RNAs 13 ikatan tunggal. Piscine nodaviruses (betanodaviruses) telah menunjukkan infeksi pada lebih dari 30 jenis ikan laut terutama pada masa larva dan juvennil, infeksi betanodaviruses pada dasarnya menyerang atau menginfeksi ikan pada awal masa perkembangan larva dan benih yang mengakibatkan mortalitas yang tinggi (Yukio, 2007).

Piscine nodaviruses dapat digolongkan ke dalam 4 genotipe berdasar pada urutan nukleotida protein mantel gen: Striped Jack Nervous Necrosis Virus (SJNNV), Redspotted Grouper Nervous Necrosis Virus (RGNNV), Tiger Puffer Nervous Necrosis Virus (TPNNV), and Barfin Flounder Nervous Necrosis Virus (BFNNV). Infeksi piscine nodavirus telah dihubungkan dengan angka kematian tinggi pada jenis ikan grouper yang dibudidaya di Taiwan, Singapore, Thailand, China, dan Indonesia. Infeksi piscine nodavirus merupakan ancaman potensial yang menyebabkan kerusakan pada banyak jenis ikan akuakultur di daerah tersebut. Suatu kebutuhan mendesak untuk menentukan cakupan ikan yang menjadi inang dari virus ini (Chi, 2006).

Pada fase pertumbuhan ikan kerapu bisa terkena infeksi oleh VNN dengan perubahan prenasal. VNN menembus epitelium nasal lewat saraf penciuman dan olfactory bubble, dan menyerang ears of smell. Lewat intramuscular (I.M.), VNN melewati sistem saraf peripheral dalam jaringan muscular tepi, diangkut melalui akson ke jaringan spina (sirip punggung) pada tulang belakang. VNN dapat menyerang Central Nervous System (CNS) lewat sirkulasi darah sebagai titik awal injeksinya (Dennis et al., 2006). Pada fase perkembangan larva, infeksi awal VNN biasanya pada tulang belakang, spina, kerusakan pada gelembung renang, kemudian kerusakkan pada otak, dan retina (Nguyen et al., 1996).

Secara alami, larva ikan muda yang terserang virus dapat dideteksi dalam epitelia sel kulit dan epitelium yang berhubungan dengan usus (intestinal), yang secara bersamaan dengan sel saraf CNS sebagai tahap awal infeksi atau peradangan oleh VNN. Neurotropisme dari indikasi serangan virus VNN itu mungkin memperoleh akses ke CNS lewat saraf peripheral, misalnya lewat hubungan saraf otomatis pada


(22)

organ pencernaan, juga lewat sensor dan berhubungan dengan saraf motorik pada epitelium dari kulit (Dennis et al., 2006).

Gejala klinis khas VNN pada beberapa jenis ikan antara lain: perilaku ikan terserang berenang tak menentu dan ikan mengapung dengan perut di atas disebabkan oleh pembengkakan gelembung renang (swim bladder), warna tubuh terlihat lebih gelap dan selera makan berkurang. Ikan yang terkena infeksi VNN biasanya memperlihatkan keadaan gangguan saraf yang berhubungan dengan vakuolisasi (kerusakan) kuat sistem saraf pusat dan retina (Thie´ry et al., 2006).

Serangan VNN lebih ganas pada ikan yang masih muda terutama pada masa awal perkembangannya. Larva dan benih ikan kerapu sangat sensitif dimana kekebalan tubuh pada fase ini relatif masih lemah, sehingga kedaan ini mengakibatkan serangan VNN menjadi lebih akut (Nguyen et al., 1996).

2.3 Kualitas Air

Kualitas air merupakan faktor yang terpenting dalam kegiatan budidaya. Dalam kajian ilmiah maupun biologi setiap organisme akuatik memiliki kisaran minimum dan maksimum untuk mempertahankan kehidupan. Pengelolaan kualitas air adalah salah satu usaha untuk menstabilkan parameter lingkungan yang sesuai dan dibutuhkan oleh organisme tersebut. Adapun pengelolaan kualitas air tersebut dibagi ke dalam tiga aspek yaitu biologi, kimia dan fisika. Dari beberapa parameter fisika, kimia maupun biologi, parameter yang menjadi prioritas pada media air laut diantaranya adalah: salinitas, pH, temperatur, BOD, nitrit, amoniak, dan DO (Anonim, 2004c).

Secara visual air yang memiliki kualitas baik dapat ditandai dengan kejernihan, karena pada umumnya mempunyai kandungan partikel-partikel terlarutnya rendah. Pada air yang kecerahannya tinggi, beberapa parameter kualitas air lain yang terkait erat hubungannya dengan bahan organik seperti pH, nitrit, dan amoniak cenderung rendah atau layak untuk kegiatan budidaya (Anonim, 2004a).


(23)

Salah satu faktor kualitas air laut yang dapat mempengaruhi kehidupan ikan kerapu macan yang dibudidaya selain temperatur, kekeruhan (siltasi), kadar oksigen terlarut (DO) dan senyawa organik adalah kadar garam (salinitas) dan derajat keasaman (pH). Kisaran salinitas pada budidaya ikan dalam tambak optimal pada 12 - 20 ppt sehingga dibutuhkan untuk mengatur keseimbangan cairan tubuh dan air tambak (proses osmoregulasi). Pengukuran salinitas dalam kehidupan sehari-hari biasanya menggunakan refraktometer yang telah dikalibrasikan untuk digunakan pada temperatur kamar (Anonim, 2004c).

Menurut Nontji (1993), di samudera salinitas berkisar antara 34 – 35 ppt. Variasi salinitas di permukaan air sangat mirip dengan keseimbangan evaporasi dan presipitasi (Meadows & Campbell, 1988). Salinitas merupakan faktor pembatas bagi organisme perairan terutama yang berada pada range yang sempit. Densitas air laut naik sejalan dengan kenaikan salinitas dan tekanan serta penurunan temperatur. Satu bagian per 1000 garam kenaikan densitasnya sekitar 0,8 bagian per 1000 (Meadows & Campbell, 1988).

Air organik dan partikel-partikel tak terlarut. Kandungan garam 3,5% sebanding dengan 35o/oo atau 35 gram garam di dalam satu kilogram air yang terdapat dalam air magnesium (4%), kalsium (1%), potasium (1%) dan sisanya (kurang dari 1%) terdiri dari bikarbonat, bromida, asam borak, strontium dan florida. Ikan kerapu macan dapat hidup di perairan berkarang dengan kisaran salinitas 30 - 35 ppt. Kisaran salinitas akan naik turun tergantung pada musim. Dari hasil di lapangan kisaran salinitas 35 - 36 ppt menunjukan bahwa salinitas masih cukup terkendali (Anonim, 1999).

Stickney, 1979 dalam Suratmi & Aryani, 2007, menyatakan salah satu penyesuaian ikan terhadap lingkungan ialah pengaturan keseimbangan air dan garam dalam jaringan tubuhnya, karena sebagian hewan vertebrata air mengandung garam dengan konsentrasi yang berbeda dari media lingkungannya. Ikan harus mengatur tekanan osmotiknya untuk memelihara keseimbangan cairan tubuhnya setiap waktu.


(24)

Dalam kondisi salinitas yang berbeda maka ikan akan melakukan proses adaptasi yaitu melalui pengaturan osmotik cairan tubuhnya yang disebut dengan istilah osmoregulasi. Pengaturan osmotik cairan bertujuan untuk menyamakan konsentrasi garam internal dengan konsentrasi garam di lingkungan sekelilingnya. Mekanisme pengaturan osmotik pada tubuh ikan yaitu dengan cara mengeluarkan kelebihan air tanpa kehilangan garam atau mengeluarkan air dan garam dan mengganti garam yang hilang dengan mengambil ion dari lingkungan secara aktif (Nybakken, 1992). Melalui proses ini maka ikan dapat beradaptasi dan mampu berkembang dalam lingkungan salinitas yang baru. Kemampuan adaptasi terhadap salinitas yang baru akan berbeda-beda tergantung jenis ikan dan tingkat perbedaan salinitas. Ada kelompok ikan yang mampu beradaptasi dalam kisaran salinitas yang luas yang disebut eurihalin dan juga ikan yang hanya mampu beradaptasi dalam kisaran salinitas yang sempit disebut stenohalin. Ikan yang hidup pada salinitas yang sedikit perbedaannya dengan salinitas asal, maka proses adaptasi yang dilakukan tidak terlalu berat dan semakin jauh perbedaan salinitas maka semakin berat proses osmoregulasinya. Maka semakin berat proses osmoregulasi yang dilakukan maka semakin besar pula energi yang dikeluarkan, maka semakin berat pula untuk melakukan proses metabolisme yang lain. Sebagai akibatnya proses pertumbuhan, proses reproduksi dan lainnya dari kehidupan ikan tersebut terganggu (Sutomo, 2005).

Osmoregulasi merupakan upaya hewan air untuk mengontrol keseimbangan air dan ion antara di dalam tubuh dan lingkungannya melalui mekanisme pengaturan tekanan osmotik. Untuk organisme akuatik, proses tersebut digunakan sebagai langkah untuk menyeimbangkan tekanan osmotik antara substansi dalam tubuhnya dengan lingkungan melalui sel yang permeabel. Dengan demikian, semakin jauh perbedaan tekanan osmotik antara tubuh dan lingkungan, semakin banyak energi metabolisme yang dibutuhkan untuk melakukan osmoregulasi sebagai upaya adaptasi, hingga batas toleransi yang dimilikinya. Oleh karena itu, pengetahuan tentang osmoregulasi sangat penting dalam mengelola kualitas air media pemeliharaan, terutama salinitas (Fujaya, 2004).

Sifat osmotik dari air berasal dari seluruh ion yang terlarut tersebut. Semakin besar jumlah ion yang terkonsentrasi di dalam air, maka tingkat salinitas dan


(25)

kepekatan osmolar larutan semakin tinggi, sehingga tekanan osmotik media semakin membesar. Tingkat salinitas yang terlalu tinggi, atau rendah dan fluktuasinya lebar, dapat menyebabkan kematian pada ikan (Anggoro, 1992). Menurut (Kinne, 1990 dalam Anggoro, 1992) kematian tersebut disebabkan gejala osmolaritas internal, yaitu terganggunya keseimbangan osmolaritas antara media hidup, dengan cairan tubuh (Internal dan eksternal), serta berkaitan dengan perubahan daya absorpsi terhadap oksigen. Semakin tinggi salinitas media makin rendah kapasitas maksimum kelarutan oksigen dalam air (Smith, 1982).

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup (2004) menerbitkan baku mutu air laut untuk biota laut (Tabel 1.). Tercantum didalamnya persyaratan kualitas air yaitu:

Tabel 1. Baku Mutu Air Laut

No. Parameter Satuan Baku mutu

FISIKA

1. Kecerahana m coral: >5

mangrove: - lamun: >3

2. Kebauan - alami3

3. Kekeruhana NTU <5

4. Padatan tersuspensi totalb mg/l coral: 20 mangrove: 80

lamun: 20

5. Sampah - nihil 1(4)

6. Suhuc oC alami3(c)

coral: 28-30(c) mangrove: 28-32(c)

lamun: 28-30(c)

7. Lapisan minyak 5 - nihil 1(5)

KIMIA

1. pHd - 7 - 8,5(d)

2. Salinitase ‰ alami3(e)

coral: 33-34(e) mangrove: s/d 34(e)

lamun: 33-34(e) 3. Oksigen terlarut (DO) mg/l >5

4. BOD5 mg/l 20

5. Ammonia total (NH3-N) mg/l 0,3

6. Fosfat (PO4-P) mg/l 0,015

7. Nitrat (NO3-N) mg/l 0,008


(26)

9. Sulfida (H2S) mg/l 0,01 10. PAH (Poliaromatik hidrokarbon) mg/l 0,003

11. Senyawa Fenol total mg/l 0,002

12. PCB total (poliklor bifenil) µg/l 0,01 13. Surfaktan (deterjen) mg/l MBAS 1

14. Minyak & lemak mg/l 1

15. Pestisidaf µg/l 0,01

16. TBT (tributil tin)7 µg/l 0,01

Logam terlarut:

17. Raksa (Hg) mg/l 0,001

18. Kromium heksavalen (Cr(VI)) mg/l 0,005

19. Arsen (As) mg/l 0,012

20. Kadmium (Cd) mg/l 0,008

21. Tembaga (Cu) mg/l 0,008

22. Timbal (Pb) mg/l 0,05

23. Seng (Zn) mg/l 0,05

24. Nikel (Ni) mg/l

BIOLOGI

1. Coliform (total)g MPN/100 ml 1000(g)

2. Patogen sel/100 ml nihil1

3. Plankton sel/100 ml tidak bloom6

RADIO NUKLIDA

1. Komposisi yang tidak diketahui Bq/l 4

Catatan:

1. Nihil adalah tidak terdeteksi dengan batas deteksi alat yang digunakan (sesuai dengan metode yang digunakan)

2. Metode analisa mengacu pada metode analisa untuk air laut yang telah ada, baik internasional maupun nasional

3. Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat (siang, malam dan musim) 4. Pengamatan oleh manusia (visual)

5. Pengamatan oleh manusia (visual). Lapisan minyak yang diacu adalah lapisan tipis (thin layer) dengan ketebalan 0,01mm

6. Tidak bloom adalah tidak terjadi pertumbuhan yang berlebihan yang dapat menyebabkan eutrofikasi. Pertumbuhan plankton yang berlebihan dipengaruhi oleh nutrien, cahaya, suhu, kecepatan arus, dan kestabilan plankton itu sendiri

7. TBT adalah zat antifouling yang biasanya terdapat pada cat kapal

a. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% kedalaman euphotic b. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata2 musiman c. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2oC dari suhu alami

d. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <0,2 satuan pH

e. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata-rata musiman f. Berbagai jenis pestisida seperti: DDT, Endrin, Endosulfan dan Heptachlor


(27)

BAB 3

BAHAN DAN METODE

3.1Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Januari 2011 sampai bulan April 2011 di Laboratorium Biologi Molekuler Balai Karantina Ikan kelas I Polonia, Medan dan di Laboratorium Patologi Anatomi dan Laboratorium Biokimia Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional I Medan.

3.2Alat dan Bahan

Adapun alat yang dipakai adalah akuarium (60x 40x 40) cm3, aerator/filter air, alat diagnosis Polymerase Chain Reaction (PCR), alat diagnosis hematologi, alat diagnosis histopatologi, termometer glass panjang, refraktometer, pH meter/kertas lakmus, dissecting set, jarum suntik 1 ml, parafilm, sarung tangan dan masker, serokan ikan/tanggok, ember, dan kamera digital Canon Power Shot A560.

Adapun bahan yang dipakai adalah kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) dengan ukuran panjang ±10 cm, sebanyak 290 ekor, inokulum baku virus positif VNN, air laut, larutan Hank's Balanced Salt Solution (HBSS), formalin 10%, garam non yodium, bahan-bahan pemeriksaan PCR, kit VNN (IQ 2000) lengkap 1 set, bahan-bahan pemeriksaan histopatologi, bahan-bahan pemeriksaan hematologi, anti koagulan EDTA.


(28)

3.3Isolat Virus

Isolat virus berasal dari Dr. Uun Yanuhar Universitas Brawijaya-Malang. Ikan kerapu positif VNN hasil diagnosis PCR, organnya diambil untuk digunakan sebagai bahan suspensi organ 10%. Ekstraksi virus dilakukan dengan metode Malole et al. (2006) yaitu dengan cara menggerus mata atau otak ikan dengan mortar dan ditambahkan larutan NaCl fisiologis, sehingga menghasilkan konsentrat virus 10%. Pada pelaksanaan penggerusan ini, mortar dan larutan NaCl fisiologis dalam kondisi dingin. Hasil gerusan yang telah halus, disentrifugasi pada 3000 rpm selama 15 menit dengan temperatur 5 °C. Supernatan diambil dengan syringe kemudian disaring dengan kertas saring miliphore 0,45 µ m. Hasil saringan ini merupakan inokulan baku virus VNN. Untuk keperluan selama penelitian bahan inokulan virus ini kemudian diawetkan dalam deep freezer (suhu -40 °C). Inokulan baku tersebut ditambahkan antibiotik Penicillin 10.000 IU dan Streptomicyn 10.000 µg tiap mililiter suspensi. Untuk menghindari adanya kuman, inkubasi selama 30 menit pada temperatur ruang.

3.4Uji Fish Infectious Dosage 50 (FID50)

Penelitian diawali dengan uji pendahuluan yaitu mencari nilai FID50 dengan metode Reed & Muench (1938) dalam Amrullah (2004) yaitu dengan cara ikan kerapu macan diinfeksi virus VNN 0,1ml/ekor yang dipelihara kadar salinitas 30 ppt dan pH media 7. Masing-masing ikan dalam tiap akuarium disuntik virus secara intra muskular dengan dosis 0,1 ml suspensi pada konsentrasi bertingkat mulai 10-1 hingga 10-10. Masing-masing akuarium berisi 10 ekor ikan dengan air laut 20 liter per akuarium. Rumus Reed & Muench (1938) dalam Amrullah (2004):

>50% - 50% PD = ---

>50% - < 50% Keterangan :

PD = Proportionate Distance

>50% = Presentase pengamatan mendekati di atas 50% <50% = Presentase pengamatan mendekati di bawah 50%


(29)

3.5 Pengaruh Salinitas Terhadap Patogenitas VNN

Penelitian ini untuk mengkaji pengaruh kadar salinitas terhadap tingkat patogenitas virus VNN pada benih kerapu macan. Penelitian ini menggunakan model eksperimental laboratorium, dalam aplikasinya berupa penginfeksian virus positif VNN secara intramuscular (Dosis FID50 – 72 jam). Rancangan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Terdiri dari 5 perlakuan + 1 kontrol, masing-masing perlakuan diaplikasikan dengan 3 ulangan.

Adapun rancangan perlakuan adalah sebagai berikut: K30 S20 S25 S30 S35 S40 = = = = = =

Kerapu macan tanpa diinfeksi virus VNN pada salinitas = 30 ppt (Kontrol) Kerapu macan diinfeksi virus VNN FID50 pada salinitas = 20 ppt

Kerapu macan diinfeksi virus VNN FID50 pada salinitas = 25 ppt Kerapu macan diinfeksi virus VNN FID50 pada salinitas = 30 ppt Kerapu macan diinfeksi virus VNN FID50 pada salinitas = 35 ppt Kerapu macan diinfeksi virus VNN FID50 pada salinitas = 40 ppt

Ikan yang digunakan adalah ikan kerapu macan ukuran panjang ±10 cm. diaklimatisasi selama 1 minggu untuk menentukan status kesehatan ikan uji specific pathogen free (SPF). Wadah penelitian adalah akuarium berukuran (60x40x40) cm3 sebanyak 18 buah. Sebelum digunakan, akuarium dibersihkan dengan larutan KMnO4 5 ppm, kemudian dibilas dengan air bersih dan dikeringkan. Setelah wadah disiapkan benih kerapu macan diaklimatisasi untuk penyesuaian salinitas sesuai perlakuan. Selama proses aklimatisasi kondisi kesehatan ikan dievaluasi.

3.6 Pengamatan Gejala Klinis

Pengamatan gejala abnormal ikan kerapu macan setelah diinfeksi virus VNN dievaluasi setiap 3 jam sekali, selama seminggu. Berdasarkan gejala klinis khas VNN pada setiap perlakuan secara visual dan dicatat di tabel pengamatan. Ikan abnormal yang menunjukkan gejala klinis khas VNN adalah kelesuan, perilaku renang abnormal (gerakan memutar dan menabrak kasar), pembesaran gelembung renang (swim


(30)

bladder), perubahan warna tubuh ikan menjadi gelap dan hilangnya selera makan (anorexia). Pengamatan ini dilakukan pada uji FID50 dan pengaruh salinitas terhadap patogenitas VNN.

Hasil pengamatan yang dilakukan pada setiap perlakuan digambarkan secara sistematis dan jumlah ikan mati/sakit karena infeksi virus VNN pada masing-masing perlakuan dihitung dari awal infeksi sampai hari ke 7. Persentase ikan mati/sakit dihitung berdasarkan rumus Reed & Muench (1938) dalam Amrullah (2004):

Nt

I = --- X 100% No

Keterangan : I = Persentase ikan mati karena terinfeksi VNN (%) Nt = Jumlah ikan mati terinfeksi VNN (ekor)

No = Jumlah ikan tiap unit percobaan (ekor)

3.7 Uji Konfirmasi 3.7.1 Uji Hematologi

Pemeriksaan darah ikan uji (kontrol dan perlakuan) dilakukan setelah penginfeksian virus dan timbul gejala klinis VNN dengan metode Benjamin (1978). Sampel darah yang telah diberi antikoagulan EDTA diambil untuk pemeriksaan hemoglobin (Hb), hematokrit (PCV), eritrosit dan leukosit serta pembuatan apusan darah. Pengambilan darah dilakukan di caudal pudancle karena dekat dengan tulang yang mengarah ke jantung.

Penentuan hemoglobin dilakukan dengan cara memasukkan Working Reagent ke dalam 2 cuvet sebanyak 2,5 ml. Sampel dimasukkan ke dalam cuvet pertama, dan akuades ke dalam pada cuvet ke dua sebagai blank masing-masing 10 µ l, lalu masing- masing campuran dihomogenkan dan dibiarkan selama tiga menit pada temperatur kamar. Untuk menentukan jumlah hemoglobin digunakan alat spektrofotometer, dimana spektrofotometer terlebih dahulu dinolkan dengan blank, kemudian dimasukkan nilai faktor hemoglobin. Sampel dimasukkan dan dibaca hasilnya pada panjang gelombang 540 nm.


(31)

Pemeriksaan hematokrit (PCV) dilakukan dengan memasukkan darah ke dalam hematocrit tube sebanyak 2/3 atau 3/4 tabung dan ujungnya ditutup dengan lilin, disentrifugasi pada 11.000 rpm selama 4 - 5 menit. Setelah selesai, tabung ditempatkan pada microhematocrit reader untuk melihat nilai hematokrit.

Pemeriksaan eritrosit dilakukan dengan mengisap sampel darah dengan menggunakan pipet eritrosit sampai mencapai angka 0,5. Ujung pipet dibersihkan dengan tissue. Setelah dibersihkan larutan Hayem dihisap sampai tanda 101 dengan cepat dan tanpa menimbulkan gelembung udara. Pipa penghisap (aspirator) dilepaskan. Lalu diaduk sampai bagian yang tercampur hanya bagian yang membesar dari pipet. Cairan pada ujung pipet yang tidak ikut terkocok dibuang. Suspensi darah diteteskan pada bagian pinggir gelas penutup kamar hitung, dimana tetes 1 - 2 dibuang terlebih dahulu. Sel darah merah dihitung pada kotak menengah di bagian tengah kamar hitung sebanyak lima kotak, dimana empat kotak di bagian sudut dan satu kotak di bagian tengah. Hasil perhitungan akhir (HPA) yaitu jumlah seluruh sel darah merah dari lima kotak tersebut (n butir) dikalikan 10.000 per ml. (HPA= n x 10.000)

Pemeriksaan leukosit dilakukan dengan mengisap sampel darah dengan menggunakan pipet penghisap (aspirator) sampai mencapai angka 0,5. Ujung pipet dibersihkan dengan kapas. Larutan Turk dihisap sampai tanda 11 dengan cepat dan tanpa menimbulkan gelembung udara. Aspirator dilepaskan, diaduk sampai bagian yang tercampur hanya bagian yang membesar dari pipet. Cairan pada ujung pipet yang tidak ikut terkocok dibuang. Suspensi darah diteteskan pada bagian pinggir gelas penutup kamar hitung, dimana tetes 1 - 2 dibuang terlebih dahulu. Sel darah putih dihitung pada empat kotak besar pada bagian pinggir kamar hitung. Hasil perhitungan akhir (HPA) yaitu jumlah seluruh sel darah putih dari lima kotak tersebut (n butir) dikalikan 40 per ml. (HPA= n x 40)


(32)

Gambar 2. Kamar Hitung Improved Neubauer (Zaneveld et al., 1977)

3.7.2 Uji Histopatologi

Perubahan histopatologi (akibat yang ditimbulkan virus VNN terhadap organ otak ikan uji dilihat dengan cara pembuatan preparat/slide jaringan kontrol dan perlakuan). Menurut Suntoro (1983), dengan metode parafin adalah fiksasi, pencucian (washing), dehidrasi, penjernihan (clearing), infiltrasi parafin, penanaman (embedding), pemotongan (sectioning), penempelan (affiksing), deparafinasi, pewarnaan (staining), penutupan dan pemberian label (mounting and labelling).

Sampel organ (otak) yang telah dicuci dengan larutan NaCl 0,95%. Kemudian sampel dimasukkan ke dalam larutan fiksatif Buffer Neutral Formalin (BNF) 10% selama 2 - 10 jam tergantung dari macam jaringan dan tebal/tipisnya jaringan. Setelah otak difiksasi, otak dicuci (washing) dengan menggunakan alkohol 70% yang berguna untuk menghilangkan larutan fiksasi dari jaringan. Proses dehidrasi, otak dimasukkan ke dalam alkohol secara bertahap, dengan alkohol 30, 50, 60, 70, 80, 90, 96% dan alkohol absolut masing-masing selama 1 jam. Botol yang berisi otak tersebut digoyang-goyangkan terus menerus (shaker) agar proses dehidrasinya lebih cepat. Setelah dehidrasi, segera dilakukan proses penjernihan (clearing), dengan menggunakan perbandingan alkohol:xylol yaitu dengan perbandingan 1:3, 1:1, 3:1 masing-masing 1 jam, berakhir di xylol murni. Proses infiltrasi parafin seluruhnya dikerjakan di dalam oven dengan suhu 56-60 0C, menggunakan perbandingan xylol:parafin 3:1, 1:1, 1:3 dan berakhir di parafin murni masing-masing selama 1 jam. Proses ini dimaksudkan untuk menghindari perubahan lingkungan yang sangat


(33)

mendadak terhadap jaringan tersebut. Sebelum melakukan penanaman (embedding), otak dimasukkan ke dalam parafin cair yang mempunyai titik cair yang sama dengan parafin yang digunakan untuk infiltrasi selanjutnya kotak-kotak karton yang disediakan untuk tempat penanaman, ukurannya sesuai dengan besar/kecil jaringan. Parafin cair dituang ke dalam kotak tersebut, lalu otak diambil dengan pinset dan diletakkan ke dalam kotak yang telah berisi parafin tadi, selanjutnya parafin dibiarkan hingga menjadi keras (blok parafin). Setelah terbentuk blok parafin, blok tersebut ditempel/dilekatkan pada holder yang terbuat dari kayu yang berbentuk persegi.

Penyatan blok parafin dilakukan dengan menggunakan mikrotom putar. Biasanya untuk jaringan hewan pada umumnya tebal irisan adalah 6 µ m. Penyayatan dari blok parafin akan diperoleh berupa pita-pita parafin. Pita parafin yang diperoleh kemudian ditempatkan pada gelas benda yang telah ditetesi albumin-meyer. Selanjutnya pita parafin ditetesi beberapa tetes akuades agar pita parafin merentang. Gelas benda diletakkan pada hot-plate, dan dibiarkan hingga kering. Proses penempelan (affiksing) ini telah selesai dan dapat dimulai dengan pewarnaan (staining). Deparinasi dilakukan dengan gelas benda yang telah berisi irisan jaringan tadi direndam ke dalam xylol sekurang-kurangnya 15 menit. Selanjutnya jaringan dicelupkan ke dalam alkohol absolut, 96, 80, 70, 50, 30% dan akuades masing-masing selama 1 menit. Jaringan dimasukkan ke dalam larutan Hematoxylin-Eosin Ehrlich selama 3 - 7 detik selanjutnya jaringan dicuci dengan air mengalir selama 10 menit, lalu jaringan dicuci dengan akuades. Jaringan dimasukkan ke dalam larutan pewarna eosin 0,5% dalam alkohol 70% selama 1 - 3 menit, preparat jaringan dimasukkkan berturut-turut ke dalam alkohol 60, 70, 80, 90, 96%, dan alkohol absolut, selama 1 menit. Selanjutnya preparat dimasukkan ke dalam xylol selama 10 menit. Preparat diangkat dari xylol dan diolesi dengan Canada balsam, yang selanjutnya jaringan ditutup dengan gelas penutup. Sediaan histologis diberi label dan ditulis nama jaringan, potongan, pewarnaan yang digunakan ataupun tanggal pembuatan, kemudian diamati di bawah mikroskop.


(34)

3.7.3 Uji Reverse Transcriptase Polimerase Chain Reaction (RT-PCR)

Sampel ikan (20 mg sampel otak, atau 20 mg sampel mata) dimasukkan ke dalam tabung mikro 1,5 ml kemudian sampel dilarutkan dengan 500 µl RNA Extraction Solution. Sampel digerus sampai hancur, diamkan pada suhu kamar selama 5 menit. Sampel ditambahkan 100 µl CHCl3, kemudian vortex 20 detik. Sampel dibiarkan pada suhu kamar selama 2 - 3 menit, lalu sentrifugasi pada 12000 rpm selama 15 menit. Sampel dipipet 200 µl dari fase atas (bagian jernih) ke dalam tabung mikro 0,5 ml dengan 200 µl 2-propanol (isopropanol, IPA). Vortex sebentar, lalu sampel disentrifugasi pada 12000 rpm selama 10 menit, isopropanol tersebut dibuang. Sampel dicuci dengan 0,5 ml etanol 75%, kemudian spin down 9000 rpm selama 5 menit untuk mendapatkan pelet RNA, kemudian tuang etanol dan pelet dikeringkan. Pelet dilarutkan dengan 200 µl air DEPC (dd H2O).

Amplikasi dilakukan dengan menyiapkan campuran RT-PCR dan Nested PCR dibutuhkan sesuai jumlah sampel. Untuk setiap campuran reaksi, perlu mempertimbangkan 3 standar positif (103, 102 dan 101) dan 1 kontrol negatif (ddH2O atau ragi tRNA). Pipet 8 µl campuran reaksi reagen RT-PCR ke masing-masing tabung reaksi (0,2 ml). Masing-masing campuran reaksi ditambahkan 2 µl ekstrak sampel RNA atau standar, lalu dimasukkan ke dalam thermal cycle untuk proses amplikasi tahap 1 (RT-PCR). Setelah tahap 1 selesai, reagen Nested PCR ditambahkan sebanyak 15 µl untuk setiap tabung, lalu dilakukan proses amplikasi tahap 2 (Nested PCR). Setelah selesai, Nested PCR tambahkan 5 µl 6X loading dye untuk masing-masing tabung reaksi dan aduk rata. Setelah pencampuran, sampel siap untuk elektroforesis.

Gel agarose 2% (2 gram agarose dilarutkan dengan 100 ml TAE 1x) dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Larutan dipanaskan menggunakan microwave, sampai mendidih dan berubah menjadi bening. Gel agarose didinginkan pada temperatur kamar sampai temperatur sekitar 50 oC dan perlahan-lahan gel dituangkan ke dalam kotak gel dengan ketinggian gel agarose sekitar 0,5 - 0,3 cm, dan total ketebalan disarankan untuk tidak lebih besar dari 0,8 cm. Sisir plastik (blocker)


(35)

dimasukkan ke dalam gel agarose. Blocker diangkat pada kedua sisi kotak gel saat gel agarose di dalam benar-benar memadat, kemudian dapat dilakukan proses elektroforesis. Buffer elektroforesis 1X dimasukkan ke dalam kotak gel sampai tuas penyangga hanya menutupi gel. Sampel ditambahkan 8 µl ke dalam sumur satu per satu. Marker dimasukkan ke sumur pertama sebanyak 5 µl, dan kontrol negatif ke sumur kedua, diikuti dengan sampel dan terakhir kontrol positif (IQ 2000, 2003). Running pada tegangan 100 - 150 Volt. Elektroforesis dihentikan bila warna biru gelap mendekati 1/2 untuk 2/3 dari gel. Kemudian, gel dikeluarkan dari kotak gel untuk mempersiapkan prosedur EtBr pewarnaan.

Pewarnaan dilakukan dengan memasukkan 10 µl Ethidium Bromida (EtBr) ke dalam 100 ml akuades. Agarose hasil elektroforesis direndam dengan larutan EtBr ke dalam wadah plastik selama 10 menit dan sesekali digoyang. Agarose dikeluarkan dan dicuci dengan akuades steril di dalam wadah plastik selama 10 menit. Gel diletakkan pada pertengahan transilluminator gelombang UV untuk membaca akhir hasil.

3.8 Analisis Data

Data yang didapat dari setiap pengamatan dicatat dan disusun ke dalam bentuk tabel. Data kuantitatif (variabel dependen) yang didapatkan, diuji kemaknaannya terhadap pengaruh kelompok perlakuan (variabel independen) dengan bantuan program statistik komputer yakni program SPSS release 13. Urutan uji diawali dengan uji normalitas, uji homogenitas, uji sidik ragam (ANOVA) satu arah untuk data dengan pengamatan berulang (lebih dari 2 kali) atau lebih dari 2 perlakuan dan jika berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji analisis Post Hoc – Bonferroni taraf 5%. Untuk melihat perbedaan 2 perlakuan dilakukan dengan uji t (parametrik) atau Mann-Whitney (non-parametrik).


(36)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Uji FID50

Inokulum/ suspensi virus VNN diencerkan dengan larutan HBSS untuk mendapatkan konsentrasi bertingkat mulai konsentrasi 10-2 hingga 10-7. Volume suspensi virus yang diinjeksikan pada ikan uji adalah 0,1 ml/ekor. Tingkat patogenitas suspensi virus positif VNN dinyatakan dalam Fish Infectious Dosage-50 (FID50). Hasil perhitungan nilai FID50 yang akan digunakan untuk menginfeksi ikan kerapu macan dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini:

Tabel 2. Hasil perhitungan Nilai FID50-72 jam pada perlakuan ikan kerapu macan SPF diinjeksi inokulum/ suspensi virus VNN

Konsentrasi Suspensi Virus-Pengenceran

Jumlah ikan

Jumlah Ikan Persentase Kumulatif (%) Sakit Tidak Sakit

10 -2 6 6 0 100,0

10 -3 6 4 2 66,67

10 -4 6 2 4 33,34

10 -5 6 0 6 0

10 -6 6 1 5 16,70

10 -7 6 0 6 0

PD = 0,50

Berdasarkan hasil perhitungan dari data di atas didapatkan bahwa nilai FID50 adalah 10-3,5/ 0,1ml atau 10-4,5/ 0,1ml dan nilai FID50 suspensi virus VNN dibulatkan menjadi 10-4/ 0,1ml. Hal ini menunjukkan bahwa virus pada konsentrasi 10-4/ 0,1ml mengakibatkan nilai persentase infeksi sakit 50%. Nilai persentase kematian yang sakit 50% membuktikan bahwa pada konsentrasi tersebut ikan yang Positif VNN mempunyai tingkat patogenitas yang tinggi.


(37)

Nilai FID50 inilah yang akan digunakan pada perlakuan salinitas. Konsentrasi suspensi virus ini untuk membuktikan bahwa virus VNN yang akan diinjeksikan pada uji selanjutnya mempunyai tingkat patogenitas yang tinggi. Menurut Malole et al. (2006), patogenitas merupakan studi tentang proses atau mekanisme terjadinya infeksi virus sampai menimbulkan penyakit, yang meliputi interaksi antara virus, inang dan lingkungan.

4.2 Pengaruh Salinitas terhadap Patogenitas VNN

Data persentase kematian ikan kerapu macan setelah injeksi virus VNN pada perlakuan salinitas mulai hari pertama pengamatan sampai selesai dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini:

Gambar 2. Persentase kesakitan ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) dengan perlakuan salinitas

Data di atas, pada perlakuan K30 (kontrol tanpa infeksi) 100% ikan uji tidak menunjukkan gejala klinis sehingga persentase kesakitan ikan adalah nol. Salinitas merupakan parameter yang cukup penting karena selain berpengaruh terhadap kualitas air juga berpengaruh langsung terhadap proses fisiologis ikan. Salinitas menimbulkan tekanan-tekanan osmotik. Dari data diperoleh pada perlakuan S30 merupakan tingkat kesakitan tertinggi yaitu 96,67%. Sedangkan pada S25 tingkat kesakitan terendah


(38)

dengan presentase kematian rata-rata 76,67% (Gambar 2). Pada umumnya kandungan garam dalam sel-sel biota laut cenderung mendekati kandungan garam kebanyakan air laut. Jika sel-sel itu berada di lingkungan dengan salinitas berbeda maka suatu mekanisme osmoregulasi diperlukan untuk menjaga keseimbangan kepekatan antara sel dengan lingkungannya. Nilai persentase kematian yang tinggi merupakan salah satu gambaran ganasnya/kuatnya infeksi virus, sedangkan keganasan infeksi virus menurut Fenner et al. (1993) tergantung kepada perimbangan antara virulensi virus dan ketahanan dari inang. Pada kebanyakan hewan estuarin, penurunan salinitas biasanya diikuti juga dengan penurunan salinitas di dalam sel. Suatu mekanisme osmoregulasi baru terjadi bila ada perubahan salinitas yang nyata.

Hasil uji statistik K30 berbeda nyata dengan semua perlakuan pada taraf uji 5%. Perlakuan S25 dan S30 berbeda nyata (significant), sedangkan antar perlakuan yang lain tidak terjadi beda nyata (non significant). Hal ini menunjukkan bahwa dengan penurunan kadar salinitas dapat menghambat infeksi virus VNN pada ikan kerapu macan. Tingkat salinitas yang terlalu tinggi, atau rendah dan fluktuasinya lebar, dapat menyebabkan kematian pada ikan (Anggoro, 1992 ). Semakin jauh perbedaan tekanan osmotik antara tubuh dan lingkungan, semakin banyak energi metabolisme yang dibutuhkan untuk melakukan osmoregulasi sebagai upaya adaptasi, namun tetap ada batas toleransi. Karena itu, sangat penting dalam mengelola kualitas air, terutama salinitas (Fujaya, 2004).

Menurut Nybakken (1992), dalam kondisi salinitas yang berbeda maka ikan akan melakukan proses adaptasi yaitu melalui pengaturan osmotik cairan tubuhnya yang disebut dengan istilah osmoregulasi. Pengaturan osmotik cairan bertujuan untuk menyamakan konsentrasi garam internal dengan konsentrasi garam di lingkungan sekelilingnya. Mekanisme pengaturan osmotik pada tubuh ikan yaitu dengan cara mengeluarkan kelebihan air tanpa kehilangan garam atau mengeluarkan air dan garam dan mengganti garam yang hilang dengan mengambil ion dari lingkungan secara aktif.


(39)

4.3Gejala Klinis

Gejala klinis abnormal/ kematian mulai tampak pada hari ke-3 setelah injeksi virus VNN, yang ditandai dengan beberapa ekor ikan uji mulai berenang tak menentu, beberapa ikan tenggelam ke dasar kemudian mengapung ke permukaan lagi, kelesuan dan perubahan warna (discolouration) tubuh menjadi lebih gelap. Nilai persentase kematian yang tinggi merupakan salah satu gambaran infeksi Viral Nervus Necrosis (VNN) adalah akut/ ganas, hal ini terjadi karena virus merusak dan menyebabkan perubahan pada organ-organ vital dari inang. Kematian ikan kerapu dipengaruhi juga oleh terjadinya gangguan pada proses osmosis dalam tubuh ikan (osmoregulasi), yaitu gangguan dalam pada pengontrolan konsentrasi larutan garam dalam tubuh ikan (Gusrina, 2008). Gejala klinis khas virus VNN yang ditemukan selama uji coba berlangsung dapat dilihat pada Gambar 3 berikut ini:

Gambar 3. Gejala klinis khas virus VNN pada ikan kerapu macan. (a) Ikan normal. (b) Pembengkakan gelembung renang pada ikan. (c)Perubahan retina pada ikan

Dari hasil pengamatan ditemukan adanya perubahan klinis karena serangan virus. Gejala klinis dan perubahan-perubahan jaringan tubuh yang teramati pada penyakit viral merupakan hasil interaksi langsung ataupun tak langsung antara virus dan sel inang (Malole et al., 2006).

Hasil infeksi virus pada sel inang/ikan dapat bervariasi, namun pada dasarnya dikelompokkan dalam infeksi ringan (1), bersifat toleran (2) hingga bersifat mematikan (Murphy et al., 1999). Beberapa faktor dari virus dan faktor selular dari inang akan mempengaruhi hasil infeksi, dalam suatu kesetimbangan yang peka (mudah berubah). Kesetimbangan tersebut dipengaruhi oleh fisiologis, respon imun atau imflamasi dari inang dan ekspresi virulensi dari virus.


(40)

4.4Hasil Uji Hematologi

Rata-rata kadar Hb ikan kerapu sangat rendah di bawah kadar Hb ikan kerapu sehat, yaitu berkisar antara 13-5 g/dl, sedangkan kadar Hb ikan kerapu macan sehat berkisar antara 12-14 g/dl (Tabel 3). Hb berfungsi mengikat oksigen yang kemudian akan digunakan untuk proses katabolisme sehingga dihasilkan energi (Lagler et al., 1997 dalam Bastiawan et al., 2001). Kemampuan mengikat oksigen dalam darah tergantung pada jumlah hemoglobin yang terdapat dalam sel darah merah. Bastiawan et al. (2001) menyatakan bahwa, rendahnya kadar Hb menyebabkan laju metabolisme menurun dan energi yang dihasilkan menjadi rendah. Hal ini membuat ikan menjadi lemah dan tidak memiliki nafsu makan serta terlihat diam di dasar atau menggantung di bawah permukaan air. Menurunnya kadar hemoglobin dapat dijadikan petunjuk mengenai rendahnya kandungan protein pakan, defisiensi vitamin atau ikan mendapatkan infeksi. Sedangkan meningkatnya haemoglobin menyebabkan ikan stres. Semakin rendah kadar hemoglobin yang dimiliki maka semakin kecil kemampuan untuk mengangkut oksigen ke dalam tubuh dan dapat menyebabkan mudahnya terinfeksi penyakit (Kuswardani, 2006).

Tabel 3. Hasil pemeriksaan darah kerapu macan diinfeksi virus VNN konsentrasi 10-4/0,1ml (perlakuan salinitas)

Perlakuan Hasil Pemeriksaan Hb g/dl PCV/ Hematokrit (%) Eritrosit sel/mm3 Leukosit sel/mm3

K30 13 32 2.900.000 216.480

S20 9 28 590.000 148.000

S25 8 27 410.000 144.000

S30 11 35 870.000 704.000

S35 7 20 470.000 380.000

S40 5 18 200.000 844.000

Keterangan:

Dalam jumlah nomal.

Hb : 12-14 g/dl

Hematokrit : 30,8-45,5%

Eritrosit : 1.300.000-3.000.000 sel/mm3 Leukosit : 150.000-300.000 sel/mm3


(41)

Hematokrit menunjukkan persen sel darah merah dari sejumlah darah. Dari tabel di bawah dapat dilihat untuk K30 nilai hematokrit 32 menunjukkan darah terdiri dari 32% sel darah merah dan 68% plasma dan sel darah putih. Berdasarkan Tabel 3 jumlah hematokrit kerapu berkisar antara 18 % - 35 %. Menurut Bastiawan et al. (2001) apabila ikan terkena penyakit atau nafsu makannya menurun, nilai hematokrit darahnya menjadi tidak normal. Jika nilai hematokrit rendah maka jumlah eritrositpun rendah. Menurut Anderson & Siwicki (1993), menurunnya kadar hematokrit dapat dijadikan petunjuk mengenai rendahnya kandungan protein pakan, defisiensi vitamin atau ikan mendapat infeksi, sedangkan meningkatnya kadar hematokrit, menunjukkan ikan ada dalam keadaan stres.

Jumlah eritrosit pada Tabel 3. Didapat berkisar antara 200.000-2.900.000 sel/mm3. Berdasarkan data tersebut dapat dikatakan bahwa secara keseluruhan eritrosit ikan kerapu berada dalam tingkat yang tidak normal, kecuali K30. Jumlah eritrosit darah ikan normal berkisar antara 1.300.000 – 3.000.000 sel/mm3 (Rachman, 2003). Eritrosit yang terlalu rendah akan menimbulkan terjadinya anemia, sedangkan jika terlalu tinggi menandakan ikan tersebut dalam keadaan yang stres (Wademeyer & Yasutake, 1977 dalam Purwanto, 2006).

Jumlah leukosit berkisar antara 144.000 – 844.000 sel/mm3. Berdasarkan data tersebut dapat dikatakan bahwa kondisi secara keseluruhan leukosit ikan kerapu berada dalam tingkat yang tidak normal. Menurunnya produksi jumlah sel darah putih ikan kerapu macan menunjukkan adanya respon perlawanan tubuh terhadap zat asing penyebab penyakit. Pada S25 didapatkan data terendah sebesar 144.000 sel/ mm3 dan diikuti oleh S20 sebesar 148.000 sel/ mm3. Penurunan ini sebagai akibat dari kuatnya infeksi virus, leukosit yang ada pada pembuluh darah sangat berkurang, karena sebagian besar leukosit bergerak menuju jaringan-jaringan yang terinfeksi. Leukositosis terjadi apabila ada benda asing dalam darah. Jika virus terus menyerang, kekebalan tubuh menurun sehingga terjadi leukopenia. Fenomena ketidakmampuan sistem imunitas ikan dalam menghadapi infeksi virus (Pikarsky et al., 2004).

Peningkatan daya tahan tubuh kerapu macan yang ditandai meningkatnya jumlah total leukosit yang berfungsi sebagai pertahanan non spesifik dan adanya


(42)

peningkatan indeks pagositosis. Anderson (1992), menyatakan leukosit merupakan salah satu komponen darah yang berfungsi sebagai pertahanan non spesifik yang akan melokalisasi dan mengeliminir patogen melalui pagositosis. Meningkatnya indeks pagositosis menunjukkan adanya peningkatan kekebalan tubuh, sebagaimana diungkapkan Brown (2000), yang menyatakan peningkatan kekebalan tubuh dapat diketahui dari peningkatan aktivitas sel fagosit dari hemosit. Sel fagosit ini berfungsi untuk melakukan fagositosis terhadap benda asing yang masuk ke dalam tubuh inang. Fagositosis adalah ingesti bahan partikel terutama bakteri ke dalam sitoplasma sel darah. Pola peningkatan prosentase indeks pagositik ini merupakan fungsi dari peningkatan total leukosit (Amrullah, 2004). Menurut Fletcher (1982) & Walczak (1985), ikan seperti juga pada mamalia, sel yang berfungsi untuk memfagositosis adalah neutrofil granulosit dan mononukear fagosit. Penghancuran kuman oleh fagositosis, terjadi dalam beberapa tingkat yaitu kemotaksis dimana sel sel fagositosis mendekati mikroorgaisme, kemudian menangkap, memakan (fagositosis), membunuh dan mencerna (Baratawijaya, 1991). Parameter hematologi menunjukkan terjadi penurunan jumlah eritrosit dan meningkatnya jumlah leukosit.

Menurut Chinabut et al., (1991), total leukosit ikan normal berkisar antara 150.000-300.000 sel/mm3. Nilai total leukosit dan differensiasinya sering mengalami perubahan. Hal ini menunjukkan adanya penyakit infeksi tertentu seperti yang dikemukakan oleh Blaxhall (1972) bahwa perubahan nilai leukosit total dan hitungan jenis leukosit dapat dijadikan indikator adanya penyakit infeksi tertentu yang terjadi pada ikan.

Tang & Affandi (2002) menjelaskan bahwa, bahan-bahan pengganggu seperti racun, suhu ekstrim, osmotik, infeksi atau stimulan sosial dapat menghasilkan stress. Respon stress ini salah satunya dapat berupa gangguan fisiologis darah. Beberapa parameter yang dapat memperlihatkan perubahan fisiologis darah ikan adalah jumlah sel darah merah, kadar haemoglobin dan kadar hematokrit (Santoso, 1998).


(43)

4.5Pengamatan Preparat Histopatologi

Pemeriksaan mikroskopik dilakukan setelah membuat preparat histopatologi dari organ otak ikan kerapu macan. Pengambilan contoh jaringan untuk pemeriksaan histopatologi dapat dilakukan dengan memotong jaringan yang dicurigai mengalami perubahan dengan ukuran 2 x 1 x 0,5 cm kemudian dimasukkan ke dalam wadah yang berisi larutan 10% buffer netral formalin (NBF), dengan perbandingan volume jaringan dan larutan formalin sebesar 1 : 10. Wadah tersebut diberi label.

Gambar 4. Gambaran histopatologi otak ikan kerapu macan dengan pewarnaan hematoxilin eosin, pembesaran 400x dan = 10 µm. (a) Sel glia. (b) Rongga kosong. (c) Eritrosit


(44)

Dari pengamatan organ otak pada K30 (kontrol), gambaran otak ikan kerapu macan normal tidak ada perubahan jaringan pada otak. Sedangkan pada perlakuan S20 dan S25 preparat histologi tampak adanya perubahan berupa vakuolisasi di sekitar sel-sel glia (adanya rongga kosong di sekeliling sel glia yang berbentuk hallo), hal ini menunjukkan adanya edema. Selain itu juga ditemukan adanya pembendungan yaitu pembuluh darah berisi eritrosit. Edema otak menurut Guyton (1987), disebabkan oleh peningkatan tekanan kapiler yang hebat dan kerusakan dinding kapiler. Salah satu penyebab meningkatnya tekanan kapiler adalah peningkatan tekanan darah arteri serebral secara tiba-tiba hingga mencapai nilai yang terlalu tinggi.

Pada perlakuan S30 tampak adanya pembendungan yang disertai dengan adanya penggumpalan atau akumulasi sel-sel radang. Pada perlakuan S35 preparat histologinya tampak adanya akumulasi sel-sel glia yang berkelompok secara umum. Pada perlakuan S40, tampak terjadi pembendungan umum di organ otak dengan gambaran histopatologi berupa pembuluh darah penuh berisi sel-sel eritrosit (Gambar 4). Ikan yang terkena infeksi VNN biasanya memperlihatkan keadaan gangguan saraf yang berhubungan dengan vakuolisasi (kerusakan) sistem saraf pusat dan retina. (Thie´ry et al., 2006).

4.6 Hasil Pemeriksaan Uji Reverse Transcriptase PCR (RT-PCR)

Ikan kerapu macan diaklimatisasi untuk penyesuaian salinitas sesuai perlakuan, selama proses aklimatisasi kondisi kesehatan ikan dievaluasi. Hasil RT-PCR uji konfirmatif ikan kerapu macan SPF bebas virus VNN seperti Gambar 5. di bawah ini:


(45)

Gambar 5. Pita RNA pada VNN terhadap ikan uji (ikan kerapu macan-SPF) Lane M : penanda berat molekul, 848 bp, 630 bp, 333 bp

Lane +1 : kontrol positif, pita terbentuk hanya pada 289 bp Lane +2 : kontrol positif, pita terbentuk pada 289 dan 479 bp Lane +3 : kontrol positif, pita terbentuk pada 289, 479, dan 1160 bp Lane (-) : kontrol negatif

Lane S1 : sampel negatif VNN Lane S2 : sampel negatif VNN

Dari hasil diagnosis di atas dapat dilihat bahwa pita yang terbentuk pada S1 dan S2 adalah negatif VNN. Ikan inilah yang akan digunakan dalam perlakuan salinitas.

Hasil diagnosis RT-PCR pada ikan kerapu macan yang diinfeksi virus VNN dapat dilihat pada Gambar 6. berikut ini:

Gambar 6. Pita RNA pada VNN terhadap ikan kerapu macan pada perlakuan salinitas yang berbeda


(46)

Lane M : penanda berat molekul, 848 bp, 630 bp, 333 bp Lane +1 : kontrol positif, pita terbentuk hanya pada 289 bp Lane +2 : kontrol positif, pita terbentuk pada 289 dan 479 bp Lane +3 : kontrol positif, pita terbentuk pada 289, 479, dan 1160 bp Lane (-) : kontrol negatif

Lane K30 : sampel negatif VNN

Lane S20 : sampel dengan infeksi VNN ringan Lane S25 : sampel negatif VNN

Lane S30 : sampel dengan infeksi VNN berat Lane S35 : sampel dengan infeksi VNN ringan Lane S40 : sampel dengan infeksi VNN sedang

Dari hasil diagnosis di atas dapat dilihat bahwa ikan kerapu macan pada perlakuan salinitas yang berbeda, tingkat patogenitas virus VNN berbeda pada setiap perlakuan. Berdasarkan pita yang terbentuk, pada S30 merupakan tingkat patogenitas yang paling tinggi sedangkan pada S25 merupakan tingkat patogenitas VNN yang paling rendah. Hasil diagnosis RT-PCR ini menunjukkan adanya serangan virus VNN.

Virus ini sangat berbahaya dan menginfeksi ikan mulai dari larva, yuwana sampai dewasa. Tingkat kematian ikan yang telah terinfeksi VNN sangat tinggi, yakni mencapai lebih dari 80%. Jenis ikan kerapu merupakan jenis ikan yang paling mudah terserang VNN. Serangan virus ini mempunyai prevalensi sampai 100% (Nishzawa et al., 1999). Terserangnya ikan oleh virus VNN diduga disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya adalah kualitas air tidak mendukung kehidupan ikan. Selain itu kondisi perairan dengan pola arus yang tidak tenang dapat mengakibatkan ikan stress sehingga tidak nafsu makan. Hal ini berdampak terhadap viabilitas tubuh ikan yang menjadi lemah (Suratmi & Aryani, 2007).


(47)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian tentang pengaruh salinitas air terhadap tingkat patogenitas viral nervous necrosis pada benih kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) dapat disimpulkan bahwa, salinitas berpengaruh pada tingkat patogenitas VNN, pada perlakuan S30 merupakan tingkat patogenitas VNN yang paling tinggi yaitu 96,67. Sedangkan pada perlakuan S25 merupakan tingkat patogenitas VNN yang paling rendah yaitu 76,67.

Uji konfirmatif untuk uji hematologi menunjukkan adanya penurunan jumlah Hb sampai 5 g/dl, hematokrit sampai 18%, eritrosit sampai 200.000 sel/mm3. Penurunan jumlah leukosit sampai 144.000 sel/mm3 sedangkan peningkatan jumlah leukosit sampai 844.000 sel/mm3. Untuk uji histopatologi, pada perlakuan salinitas memperlihatkan adanya vakuolisasi disekitar sel glia dan adanya pembendungan yaitu pembuluh darah berisi eritrosit. Untuk uji RT-PCR, pita yang terbentuk menunjukkan pada perlakuan S30 merupakan tingkat patogenitas yang paling tinggi sedangkan pada S25 merupakan tingkat patogenitas yang paling rendah. Dari semua uji konfirmatif membuktikan adanya pengaruh salinitas terhadap tingkat patogenitas VNN pada benih kerapu macan.

5.2 Saran

Diharapkan adanya penelitian lanjutan tentang pencegahan dan pengobatan benih ikan kerpu macan terhadap tingkat patogenitas VNN.


(48)

Baratawidjaya, K.G. 1991. Imunologi Dasar. Jakarta: Universitas Indonesia. hlm. 217. Bastiawan, D., A. Wahid., M. Alifudin, & I. Agustiawan. 2001. Gambaran darah lele dumbo (Clarias spp.) yang diinfeksi Aphanomyces sp. pada pH yang berbeda. Jurnal penelitian Indonesia 7(3): 44-47.

Blaxhall, P.C. 1972. The haematological assessment of the health of fresh water fish: a review of selected literature. Journal Fish Biology 4:593-604.

Benjamin, M.M. 1978. Outline of Veterinary Clinical Pathology. Third Edition. USA: The IOWA State University Press Atmes, IOWA. hlm. 48-75.

Brown, K.M.T. 2000. Applied Fish Pharmacology. Netherland: Kluwer Academic Publisher. hlm. 309.

Chi, S.C. 2006. Piscine nodavirus infection in asia. Journal of Fish Disease 24: 3-13. Chinabut, S., C. Limsuwan & P. Kitsawat. 1991. Histology of the Walking Catfish

Clarias batrachus. Canada:

(IDRC). hlm. 96.

Dennis, K.G., J.L. Dong, W.B. Gun, J.Y. Hee, S.S. Nam, Y.Y. Hwa, Y.H. Cheol, H.P. Jun, & C.P. Se, 2006. Detection of betanodaviruses in apparently healthy aquarium fishes and invertebrates. Zoonotic Disease Priority Research Institute, and College of Veterinary Medicine. Korea: Seoul National University. hlm.151-742.

Fenner, F.J., E.P.J. Gibbs, F.A. Murphy, R. Roil, M.J. Studdert & D.O. White. 1993. Virologi Veteriner. California: Academic Press.

Fletcher, T.C. 1982. Non Spesific Defence Mechanism of Fish. Developmental Comparative Immunology 2: 123-127.

Fujaya, Y. 2004. Fisiologi Ikan Dasar Pengembangan Teknik Perikanan. Jakarta: Rineka Cipta. hlm. 84.

Gusrina, 2008. Budidaya Ikan. Jilid 3. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. hlm: l401-431.

Guyton, A.C. 1987. Fisiologi Kedokteran. Edisi ke 5. Jakarta: EGC. hlm: 148-168. Hutabarat, S. 1986. Pengantar Oseanografi. Cetakan Ketiga. Jakarta: Penerbit

Universitas Indonesia (Ul-Press).

IQ 2000, 2003. Detection and Prevention System for Nodaviruses of Marine Fishes. Taiwan: Sea Farming Interregence.


(49)

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup. 2004. Baku Mutu Air Laut Untuk Biota Laut. Lampiran III. Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan Kelembagaan Lingkungan Hidup.

Kuswardani, Y. 2006. Pengaruh pemberian Resin Lebah Terhadap Gambarab Darah Maskoki Carassius auratus Yang Terinfeksi Bakteri Aeromonas

hydrophila. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Lio-Po, G.D., C.R. Lavilla, & E.R. Cruz-Lacierda. 2001. Health Management in Aquaculture. Aquaculture Department Southeast Asian Fisheries Development Centre. Philipines: Tigbauan, Hoilo. hlm.187.

Malole, M.B.M., S. Murtini, & F.C. Zenal. 2006. Modul praktikum penyakit viral ikan. hlm: 1-14.

Meadows, P.S. & J.I. Campbell, 1988. An Introduction to Marine Science. New York: John Wiley and Sons.

Nguyen, H.D., K. Mushiake, T. Nakai, & K. Muroga. 1997. Tissue distribution of striped jack nervous necrosis virus (SJNNV) in adult striped jack. Diseases of Aquatic Organism 28:87-91.

Nishizawa, T., K.I. Mori, T. Nakai, I. Furusawa, & K. Muroga. 1994. Polymerase chain reaction (PCR) amplication of rna of stripped jack viral nervous necrosis (SJVNN). Diseases of Aquatic Organism 18: 103-107.

Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Jakarta: Djambatan.

Nybakken, W.J. 1992. Biologi Laut suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. hlm. 459.

Pikarsky, E., A. Ronen, J. Abramowitz, B. Lovali-Sivan, M. Hutoran, Y. Saphira, M. Steinitz, A. Parelberg, D. Soffer & M. Kotler. 2005. Pathogenesis of acute viral disease induce in fish by carp interstitial nephritis and gill necrosis virus. Journal of Virology 78(17): 9544-9551.

Purwanto, A. 2006. Gambaran Darah Ikan Mas Cyprinus carpio Yang Terinfeksi Koi Herpes Virus. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Rachman, S. 2003. Kajian Potensi Anti Fungi dari Ekstrak Seduh Daun Ketapang Terminalia catappa L, Daun Sirih Piper betle L, Daun Jambu Biji Psidium guajava L dan Daun Sambiloto Andrographis peniculatala Burm F Nees terhadap Pertumbuhan Cendawan Akuatik Aphanomyces sp. Secara in vitro. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Santoso, S. 1998. Toksisitas air limbah industri pulp proses soda terhadap benih Ikan mas (Cyprinus carpio L). Jurnal Universitas Sudirman 2(14): 5.


(50)

Smith, L.S. 1982. Introduction to Fish Physiology. USA: TFH Publication. Inc. Seattle Washington. hlm.19-58.

Subiyanto, I. Adisuko, S. Anwar, N. Yustiningsih, S. Prayitno & P. Sumardika. 2001. Pengkajian dan Pengembangan Usaha Budidaya Ikan Kerapu Nasional. Jakarta: Prosiding Lokakarya Nasional Pengembangan Agribisnis Kerapu. hlm. 61-67.

Subyakto, S. & S. Cahyaningsih. 2003. Pembenihan kerapu skala rumah tangga. Agromedia Pustaka. hlm. 57.

Sunaryat. H. & Minjoyo, 2004. Perbedaan frekuensi pemberian pakan pada kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) di karamba jaring apung. Bull. Budidaya Laut 17: 27-33.

Suntoro, S. H. 1983. Metode Pewarnaan: Histologi dan Histokimia. Jakarta: Bhratara Karya Aksara. hlm. 48-77.

Suratmi, S. & N.L.T. Aryani. 2007. Kasus infeksi penyakit viral nervous necrosis (VNN) pada ikan kerapu di pulau bali. Bul. Tek. Lit. Akuakultur 7(1): 59-63. Sutomo. 2005. Pengaruh salinitas dan jenis mikroalga (Chaetoceros gracillis dan

Nannochloropsis oculata) terhadap perkembangan nauplii dan pertumbuhan kopepoda, Tigriopus brevicornis. Oseanologi & Limnologi 38:47-67.

Tang, U.M. & R. Affandi. 2002. Fisiologi Hewan Air. Pekanbaru: UNRI-Press. Tarwiyah. 2001. Pembenihan Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus).

Pembenihan. Direktorat Jendral Perikanan. Jakarta: Departemen Pertanian. hlm. 2.

Thie´ry, R. J. Cozien, J. Cabon, F. Lamour, M. Baud, & A. Schneemann. 2006. Induction of a protective immune response against viral nervous necrosis in the european sea bass dicentrarchus labrax by using betanodavirus virus-like particles. Journal of Virology 80(20): 10201-10207.

Walczak, B. Z. 1985. Immune Capability of Fish. A Literatur Review. Canadian Technical Report of Fisheries and Aquatic Science 1334: 1-33

Yuasa, K., I. Koesharyani, D. Roza, F. Jhonny, & I. Zafran. 2001. Manual for PCR Procedure. Rapid Diagnosis on Viral Nervous Necrosis (VNN) in Grouper. Lolitkanta-JICA Booklet. hlm.13-35.

Yukio, M., L.D.D.L. Pena & E.R. Cruz-lacierda. 2007.Susceptibility of fish species cultured in mangrove. Japan Agricultural Research Quarterly 41(1): 95-99. Zaneveld, L.J.D & Polakoski, K.L. (1977), Techniques of Human Andrology: 160.

Dalam: Zaneveld L.J.D, Fulgham D.L. Short course: Male reproduction/Andrology and Non-Hormonal Contraception. Chicago, IL: 19.


(51)

Lampiran A. Isolat Virus Metode Malole et al. (2006):

Diambil organ mata dan otaknya. Digerus dengan mortal.

Ditambahkan NaCl fisiologis.

Disentrifugasi pada 3000 rpm selama 15 menit dengan temperatur 5 °C.

Diambil supernatant.

Disaring dengan kertas saring miliphore 0,45 µm.

Ditambahkan antibiotik Penicilin 10.000 IU dan Streptomicin 10.000 µg tiap mililiter suspensi.

Disimpan dalam deep freezer suhu -40 ºC.

Hasil

Inokulan baku virus Virus konsentrasi 10%


(52)

Lampiran B. Uji FID50

Metode Reed & Muench (1938) dalam Amrullah (2004):

Diinfeksi virus VNN dengan konsentrasi masing-masing 10-1, 10-2, 10-3, 10-4, 10-5, 10-6, 10-7, 10-8, 10-9, 10-10 sebanyak 0,1 ml/ekor.

Diamati gejala klinis dan dicatat Kesakitan.

Hasil


(53)

Lampiran C. Uji Hematologi Metode Benjamin (1978): 1. Penentuan Hemoglobin

Dimasukkan ke dalam 2 cuvet sebanyak 2,5 ml. Dimasukkan sampel 10 µ l ke dalam cuvet pertama

Dimasukkan akuades 10 µ l ke dalam cuvet ke dua sebagai blank

Dihomogenkan masing-masing campuran dan biarkan selama tiga menit di temperatur kamar

Dinolkan spektrofotometer dengan blank Dimasukkan nilai faktor hemoglobin

Dimasukkan sampel dan baca hasilnya pada panjang gelombang 540 nm.

2. Pemeriksaan Hematokrit (PCV)

Dimasukkan ke dalam tabung Hematoktrit sebanyak 2/3 atau 3/4 tabung dan tutup ujungnya dengan lilin.

Disentrifugasi pada 11.000 rpm selama 4-5 menit.

Dilakukan penghitungan nilai pada microhematocrit reader.

Working Reagent

Hasil

Darah


(54)

3. Pemeriksaan Eritrosit

Dihisap dengan aspirator hingga angka 0,5 Dibersihkan ujung pipet dengan tissue

Dihisap larutan Hayem sampai tanda 101 tanpa menimbulkan gelembung udara

Dilepaskan aspirator Dilakukan pengadukan

Dibuang cairan di ujung pipet yang tidak ikut terkocok Disiapkan kamar hitung dan mikroskop

Diteteskan suspensi darah pada bagian pinggir kamar hitung, dimana tetes 1-2 dibuang terlebih dahulu

Diamati di bawah mikroskop

Dihitung jumlah sel darah merah pada kotak menengah di bagian tengah kamar hitung

Dihitung jumlah eritrosit dengan menggunakan rumus: HPA= n x 10.000

Darah


(55)

4. Pemeriksaan Leukosit

Dihisap dengan aspirator hingga angka 0,5 Dibersihkan ujung pipet dengan tissue

Dihisap larutan Turk sampai tanda 11 tanpa menimbulkan gelembung udara

Dilepaskan aspirator Dilakukan pengadukan

Dibuang cairan di ujung pipet yang tidak ikut terkocok Disiapkan kamar hitung dan mikroskop

Diteteskan suspensi darah pada bagian pinggir kamar hitung

Dimana tetes 1-2 dibuang terlebih dahulu Diamati di bawah mikroskop

Dihitung jumlah sel darah putih pada kotak menengah di bagian pinggir kamar hitung

Dihitung jumlah leukosit dengan menggunakan rumus: HPA= n x 40

Darah


(56)

Lampiran D. Uji Histopatologi Menurut Suntoro (1983):

Dicuci dengan NaCl 0,95%.

Difiksasi (dimasukkan ke dalam fiksatif BNF selama 1 malam). Washing, (dengan menggunakan alkohol 70% dilakukan secara berkali-kali) direndam 1 malam.

Dehidrasi dilakukan dengan merendam otak dan mata ke dalam alkohol bertingkat yaitu 70%, 80%, 96% dan 100% masing-masing 2 kali pengulangan selama 1 jam.

Clearing dilakukan dengan merendam otak dan mata ke dalam xylol selama 1 malam.

Infiltrasi dilakukan dengan merendam otak dan mata ke dalam xylol yang telah dipanaskan terlebih dahulu di dalam oven pada temperatur 56 0C, selama 1 jam. Dilanjutkan dengan merendam otak dan mata ke dalam parafin murni I, II, III masing-masing selama 1 jam pada suhu 56 0C.

Embedding dilakukan dengan meletakkan otak dan mata pada kotak berbentuk segi empat yang telah dipersiapkan sebelumnya sebagai cetakan. Setelah itu, menuang parafin yang telah cair kedalam kotak tersebut, dan diberi label. Dibiarkan sampai dingin sehingga membentuk blok parafin dan dimasukkan ke dalam kulkas. Kemudian dilakukan penempelan blok-blok parafin pada holder yang terbuat dari kayu yang berbentuk persegi.

Otak dan mata


(1)

Kesakitan S20 3 4,33 13,00

S25 3 2,67 8,00

Total 6

Test Statisticsb

Kesakitan

Mann-Whitney U 2,000

Wilcoxon W 8,000

Z -1,291

Asymp. Sig. (2-tailed) 0,197 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] 0,400a a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Perlakuan Npar Tests

Mann-Whitney Test Ranks

Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks

Kesakitan S20 3 2,17 6,50

S30 3 4,83 14,50

Total 6

Test Statisticsb

Kesakitan

Mann-Whitney U 0,500

Wilcoxon W 6,500

Z -1,826

Asymp. Sig. (2-tailed) 0,068 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] 0,100a a. Not corrected for ties.


(2)

Kesakitan S20 3 3,50 10,50

S35 3 3,50 10,50

Total 6

Test Statisticsb

Kesakitan

Mann-Whitney U 4,500

Wilcoxon W 10,500

Z 0,000

Asymp. Sig. (2-tailed) 1,000 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] 1,000a a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Perlakuan Npar Tests

Mann-Whitney Test Ranks

Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks

Kesakitan S20 3 3,00 9,00

S40 3 4,00 12,00

Total 6

Test Statisticsb

Kesakitan

Mann-Whitney U 3,000

Wilcoxon W 9,000

Z -0,745

Asymp. Sig. (2-tailed) 0,456 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] 0,700a a. Not corrected for ties.


(3)

Kesakitan S25 3 2,00 6,00

S30 3 5,00 15,00

Total 6

Test Statisticsb

Kesakitan

Mann-Whitney U 0,000

Wilcoxon W 6,000

Z -2,023

Asymp. Sig. (2-tailed) 0,043 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] 0,100a a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Perlakuan Npar Tests

Mann-Whitney Test Ranks

Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks

Kesakitan S25 3 2,67 8,00

S35 3 4,33 13,00

Total 6

Test Statisticsb

Kesakitan

Mann-Whitney U 2,000

Wilcoxon W 8,000

Z -1,291

Asymp. Sig. (2-tailed) 0,197 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] 0,400a a. Not corrected for ties.


(4)

Kesakitan S25 3 2,33 7,00

S40 3 4,67 14,00

Total 6

Test Statisticsb

Kesakitan

Mann-Whitney U 1,000

Wilcoxon W 7,000

Z -1,650

Asymp. Sig. (2-tailed) 0,099 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] 0,200a a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Perlakuan Npar Tests

Mann-Whitney Test Ranks

Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks

Kesakitan S30 3 4,83 14,50

S35 3 2,17 6,50

Total 6

Test Statisticsb

Kesakitan

Mann-Whitney U 0,500

Wilcoxon W 6,500

Z -1,826

Asymp. Sig. (2-tailed) 0,068 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] 0,100a a. Not corrected for ties.


(5)

Kesakitan S30 3 4,67 14,00

S40 3 2,33 7,00

Total 6

Test Statisticsb

Kesakitan

Mann-Whitney U 1,000

Wilcoxon W 7,000

Z -1,650

Asymp. Sig. (2-tailed) 0,099 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] 0,200a a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Perlakuan Npar Tests

Mann-Whitney Test Ranks

Perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks

Kesakitan S35 3 3,00 9,00

S40 3 4,00 12,00

Total 6

Test Statisticsb

Kesakitan

Mann-Whitney U 3,000

Wilcoxon W 9,000

Z -0,745

Asymp. Sig. (2-tailed) 0,456 Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] 0,700a a. Not corrected for ties.


(6)

Tempat Penelitian Lab. BKI Kelas I Polonia

Pembuatan Ekstraksi RNA Elektroforesis

Pembuatan Isolat VNN Penyuntikan isolat VNN pada ikan