terdapat smear layer, terdapat cabang dari pseudohifa pada dinding dentin tetapi tidak terjadi pembentukan biofilm, namun pada keadaan ditemukannya smear layer, terdapat
biofilm dengan bentuk pertumbuhan yang berbeda.
2
2.2 Bahan Dressing Saluran Akar
Salah satu langkah penting dalam perawatan endodontik selama bertahun- tahun adalah dressing saluran akar. Bahan yang digunakan selama ini yakni bahan
yang berbasis fenol, seperti formocresol, camphorated monoparachlorophenol CMCP, metacresyl acetate, eugenol dan thymol. Formocresol merupakan kombinasi
formalin dan tricresol dengan perbandingan 1:1. Formocresol serta bahan yang berbasis fenol lainnya memiliki daya hambat terhadap bakteri namun efeknya hanya
beberapa waktu saja. Bahan ini tidak direkomendasikan karena dapat menimbulkan nekrosis dan peradangan.
6,7
Bahan dressing paling umum dan standar yang digunakan saat ini adalah kalsium hidroksida CaOH
2
.
24
Penggunaan kalsium hidroksida dalam perawatan endodontik diperkenalkan pertama kali oleh Hermann pada tahun 1920.
25
Mekanisme antibakterial kalsium hidroksida disebabkan kemampuannya menciptakan lingkungan
pH yang akan mengganggu pertumbuhan bakteri. Kalsium hidroksida yang dilarutkan dalam air akan berdisosiasi menjadi ion hidroksil OH
-
dan ion kalsium Ca
2+
. Ion OH
-
berdifusi ke dalam tubulus dentin yang menyebabkan peningkatan pH di dalam
tubulus dentin menghasilkan efek antibakteri.
25,26
Estrela et al,. 1995 melaporkan
bahwa reaksi kalsium hidroksida mampu menghasilkan pH tinggi karena ion hidroksil OH
-
yang telah berdisosiasi sehingga menghambat aktivitas enzim yang penting bagi pertumbuhan
bakteri seperti metabolisme, pertumbuhan dan pembelahan sel. Efek dari
Universitas Sumatera Utara
pH terhadap trasnportasi dari nutrisi dan bahan-bahan organik melalui membran sitolasma bekerja sebagai racun pada bakteri, pH yang tinggi juga mengaktifkan enzim
hidrolitik alkaline phospatase yang penting untuk mineralisasi jaringan. Oleh karena itu, kalsium hidroksida memiliki dua hal dasar dari reaksi enzim, yaitu penghambatan
enzim bakteri sebagai efek antibakteri dan pengaktifan enzim jaringan sebagai efek mineralisasi. Safavi dan Nichols, 1993 cit Estrela et al., 1998 mempelajari efek
kalsium hidroksida terhadap Lippopolysaccharides LPS bakteri, dapat disimpulkan bahwa kalsium hidroksida menghidrolisis lapisan lipid dari LPS bakteri menghasilkan
asam lemak hidroksi dalam jumlah yang banyak dan menonaktifkan enzim dalam membran bakteri serta mengganggu mekanisme transportasi yang mengakibatkan sel
keracunan.
25
Sifat higroskopik dari kalsium hidroksida dapat mengurangi eksudat.
27
Substansi yang berbeda air distilasi, larutan salin, propyleneglycol, CMCP, khlorhexidin, gliserin, iodoform, barium sulfate, kortikosteroid-antibiotik, larutan
anastesi, methycellulose, detergen telah dicampurkan pada kalsium hidroksida sebagai vehicle untuk meninggikan efek kalsium hidroksida.
25
Selain itu, penambahan pelarut tersebut bertujuan untuk membantu manipulasi dalam pemakaian kalsium hidroksida
ke dalam saluran akar.
26
Gomes et al.,2002 membuktikan pemakaian kalsium
hidroksida dengan pelarut yaitu CMCP dan gliserin menunjukkan angka tertinggi dalam menghambat pertumbuhan bakteri saluran akar dibandingkan dengan pemakaian
kalsium hidroksida dengan pelarut CMCP, gliserin, larutan anastesia, larutan salin dan air distilasi.
26
Menurut Tam et al., 1989 kalsium hidroksida memiliki beberapa kelemahan, diantaranya kekuatan kompresif yang rendah sehingga dapat berpengaruh pada
Universitas Sumatera Utara
kestabilan kalsium hidroksida terhadap cairan di dalam saluran akar sehingga dapat melarutkan bahan dressing.
10
Menurut Anderson et al., 2002, pemakaian pasta kalsium hidroksida jangka panjang dalam merawat gigi muda akan menyebabkan kerusakan
jaringan keras gigi dan memudahkan terjadinya fraktur. Gomes et al., 2002 beranggapan bahwa walaupun kalsium hidroksida direkomendasikan sebagai bahan
medikasi intrakanal pada perawatan periodontitis apikalis, bukan berarti pemakaian kalsium hidroksida dapat digunakan secara universal karena kalsium hidroksida tidak
menunjukkan kemampuan yang sama terhadap seluruh bakteri.
26
Penelitian Radeva et al., 2007 menunjukkan walaupun irigant endodontik dan medikamen intrakanal saluran akar yang terinfeksi telah dilakukan, selalu terdapat
mikroorganisme yang tetap resisten terhadap prosedur khemis dan mekanikal.
11
E.faecalis merupakan bakteri yang paling resisten dibandingkan bakteri lain yang telah diuji terhadap kalsium hidroksida Bystrom et al, 1985. Waltimo et al,.1999
menemukan secara in vitro bahwa seluruh spesies Candida menunjukkan keresistenannya terhadap kalsium hidroksida.
2
Haapasalo et al, 2003 menemukan di dalam tubulus dentin, E.faecalis dan C. Albicans terlindungi dari efek antifungal dan
antibakterial medikamen endodontik karena efek menonaktifkan dentin dan juga resisten terhadap beberapa medikamen intrakanal setelah kontak langsung.
23
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa bahan perawatan dressing saluran akar menggunakan bahan dressing umum dan standar yakni CaOH
2
memiliki efek antibakterial yang tinggi, tetapi mempunyai efek samping kerusakan jaringan keras
gigi dan efek antifungal yang kurang baik. Oleh karena itu perlu dikembangkan bahan
Universitas Sumatera Utara
alami yang bersifat biokompatibel dan biodegradebel terhadap saluran akar serta
memiliki efek antifungal yaitu kitosan blangkas. 2.3 Kitosan blangkas sebagai bahan dressing saluran akar
Kitosan poly- β-1,4-glukosamin merupakan biopolimer alami di alam setelah
selulosa dan merupakan hasil N-diasetilisasi dari kitin. Kitin banyak terkandung pada
hewan laut berkulit keras seperti udang, rajungan, kepiting, blangkas, serangga, moluska, dan dinding jamur seperti klas zygomycetes. Bahan ini pertama kali
ditemukan oleh Rouget pada tahun 1859. Kemudian pada tahun 1891, Rouget menemukan kitosan yang mempunyai derajat kereaktifan yang tinggi disebabkan
adanya gugus amino bebas sebagai gugus fungsional.
14,15,28-30
Kitosan hanya dapat larut dalam pelarut asam seperti asam asetat, asam formiat, asam laktat, asam sitrat dan
asam hidroklorat. Kitosan tidak larut dalam air, alkali dan asam mineral encer kecuali dibawah kondisi tertentu yaitu dengan adanya sejumlah pelarut asam sehingga dapat
larut dalam air, methanol, aseton dan campuran lainnya.
15
Kitosan memiliki muatan molekul positif NH
3 +
yang dapat berikatan secara kimia dengan muatan negatif yang dimiliki oleh lemak, lipid, kolesterol,ion-ion metal,
protein dan makromolekul Li et al., 1992.
17
Berikut struktur bangun kitin dan kitosan yang menunjukkan bahwa kandungan utama kitin dan kitosan adalah polimer
polisakarida dan gugus amino.
Universitas Sumatera Utara
CHITIN CHITOSAN
Gambar 3. Struktur bangun kitin dan kitosan.
17
Berdasarkan viskositasnya, berat molekul kitosan terdiri atas tiga yaitu kitosan bermolekul rendah, kitosan bermokekul sedang dan kitosan bermolekul tinggi. Kitosan
bermolekul rendah dengan berat molekul dibawah 400.000 Mv berasal dari hewan laut dengan cangkang atau kulit yang lunak misalnya udang, cumi-cumi dan rajungan.
Kitosan bermolekul sedang dengan berat molekul 400.000-800.000 Mv dan kitosan dengan berat molekul 800.000-1.100.000 Mv biasanya berasal dari hewan laut
bercangkang keras misalnya kepiting, kerang dan blangkas.
15
Kitosan blangkas merupakan kitosan yang diperoleh dari kulit blangkas Limulus Polyphemus. Kitin yang diproses dari kulit blangkas didapatkan dengan
hasil 30,60 melalui proses deasetilasi kitin dengan menggunakan larutan alkali NaOH. Proses pembuatan kitosan blangkas dilakukan dengan 2 dua tahap yaitu
proses deproteinasi dengan pemberian NaOH 2 M untuk mengurangi protein pada cangkang blangkas dan proses demineralisasi dengan pemberian HCL 2 M sehingga
kandungan mineral CaCO3 hilang dari cangkang blangkas.
15
Universitas Sumatera Utara
Gambar 4. Blangkas Limulus polyphemus Dari berbagai penelitian dilaporkan bahwa di alam, kitosan bentuk polimer
banyak digunakan di bidang medis karena berbagai sifat yang sangat istimewa yaitu biokompabilitas dan biodegradabilitas yang baik, tidak bersifat toksik dan bioaktif.
Produk biodegradasi bersifat tidak toksik, tidak menyebabkan reaksi imunologi, tidak menyebabkan terjadi kanker Zhu et al, 2003 cit Silva et al,.2004.
16
Koide 1998 menemukan bahwa kitin dan kitosan menunjukkan aktivitas antibakteri dan antijamur.
17
Menurut Chung et al., 2004 daya antibakteri kitosan dapat diperoleh dengan menciptakan suasana asam dengan derajat deasetilasi tinggi yang
dapat menyebabkan jumlah ion NH
3+
yang bebas menjadi lebih banyak sehingga memudahkan penyerapan bakteri terhadap kitosan. Hal ini berdampak pada perubahan
struktur sel dan gangguan permeabilitas membran sehingga berlanjut menjadi kematian sel bakteri.
28
Tsai dan Su 1999 menggunakan kitosan yang diambil dari kulit udang untuk menguji aktivitas antimikroba terhadap bakteri E. Coli menemukan bahwa
temperatur yang tinggi serta pH asam pada makanan dapat meningkatkan aktivitas antibakteri kitosan.
17
Aplikasi kitosan di bidang kedokteran gigi telah diteliti oleh Sapeii et al., 1986 dan Muzarela et al., 1998 pada perawatan jaringan peridontal baik dengan pemakaian
Universitas Sumatera Utara
kitosan powder dan kitosan membran. Penelitian Trimurni et al., 2007 kitosan berperan dalam dentinogenesis, dimana kitosan yang digunakan ialah kitosan blangkas
bermolekul tinggi dan kitosan komersial sebagai bahan kaping pulpa direk pada gigi tikus wistar secara in-vivo. Dengan keadaan pulpa terbuka dan mengalami inflamasi
reversibel, kitosan mampu membentuk jaringan keras osteotipic irregular yang terlihat pada peletakan kitosan selama 14 hari dan 1 bulan dan dapat dilihat sel-sel pulpa
dentinoblast tersusun berlekatan dengan bahan coba.
15
Ballal et al,. 2008 menunjukkan hasil penelitiannya secara in vitro bahwa kombinasi khlorheksidin glukonat dengan gel
kitosan meningkatkan aktivitas antimikrobial gel klorheksidin terhadap C. albicans dan E.faecalis dibanding menggunakan klorheksidin 2 dan gel kitosan 2 yang tidak
dicampurkan.
23
Penelitian Banurea dan Trimurni 2008 menunjukkan bubuk kitosan blangkas bermolekul tinggi tanpa pelarut bereaksi positif sebagai antibakteri terhadap
Fusobacterium Nucleatum pada konsentrasi 10.
18
Penelitian Fania dan Trimurni 2009 membandingkan keefektifan kitosan blangkas bermolekul tinggi yang
diaplikasikan dengan pelarut gliserin dan VCO jika digunakan sebagai alternatif bahan dressing saluran akar. Hasilnya menunjukkan bahwa hanya kitosan blangkas pada
konsentrasi 1 dan 0,5 dengan pelarut gliserin yang memiliki daya hambat terhadap bakteri Fusobacterium nucleatum.
19
Universitas Sumatera Utara
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Konsep
Candida albicans Sel lysis
Sel mati Dressing Saluran Akar
Kitosan blangkas bermolekul tinggi 1; 0,5; 0,25 dst + gliserin
Konsentrasi + as.asetat
kandungan kitosan dan gugus amino
NH3+ efek antibakteri dan
antifungal
Kitosan + gliserin
- daya
antibakteriantifungal, namun mempermudah proses manipulasi bahan
ke dalam saluran akar
Derajat diasetilasi
Berat molekul
PH
Temperatur Penurunan permeabilitas membran sel
Kebocoran substansi intraseluler kehilangan ion kalsium
Gangguan DNA dan mRNA Gangguan metabolisme sel
menghalangi pertukaran medium, peralihan ion pengkhelat, menghambat enzim
??
Muatan kation gugus amino NH
3 +
berikatan dengan komponen anion; lemak, lipid, kolesterol,
ion-ion metal, protein dan makromolekul termasuk asam N-asetilmuramik, asam sialik dan
asam neuraminik pd permukaan sel
Universitas Sumatera Utara
Diagram diatas menunjukkan mekanisme kitosan blangkas bermolekul tinggi yang diaplikasikan dengan pelarut gliserin terhadap Candida albicans. Kitosan bermolekul
tinggi yang digunakan adalah kitosan blangkas Trimurni et al., 2007 yang mengandung gugus amino NH
2
dengan derajat diasetilasi dan berat molekul yang tinggi yakni 84,20 dan 893.000 Mv.
15
Kitosan yang dilarutkan dalam asam asetat memiliki banyak muatan positif NH
3 +
yang dapat berikatan secara kimia dengan muatan negatif yang dimiliki oleh lemak, lipid, kolesterol, ion-ion metal, protein dan
makromolekul Li et al., 1992.
17
Hal inilah yang menyebabkan kitosan memiliki efek antibakteri yang tinggi. Penggunaan gliserin sebagai bahan pelarut tidak memiliki efek
antibakteri namun mempermudah proses manipulasi bahan ke dalam saluran akar.
19
Beberapa faktor yang mempengaruhi efek antifungal dari kitosan antara lain derajat diasetilasi, berat molekul, pH dan temperatur Rout, 2002.
17
Menurut Chung et al., 2004 daya antibakteri kitosan dapat diperoleh dengan menciptakan suasana asam dengan derajat deasetilasi tinggi yang dapat menyebabkan
jumlah ion NH
3+
yang bebas menjadi lebih banyak sehingga memudahkan penyerapan bakteri terhadap kitosan. Hal ini berdampak pada perubahan struktur sel dan gangguan
permeabilitas membran sehingga berlanjut menjadi kematian sel bakteri.
28
Tsai dan Su 1999 menggunakan kitosan yang diambil dari kulit udang untuk menguji aktivitas
antimikroba terhadap bakteri E. Coli menemukan bahwa temperatur yang tinggi serta pH asam pada makanan dapat meningkatkan aktivitas antibakteri kitosan.
17
Kitosan yang berinteraksi dengan dinding sel jamur berikatan dengan komponen anion yakni lemak, lipid, kolesterol, ion-ion metal, protein dan
makromolekul termasuk asam N-asetilmuramik, asam sialik dan asam neuraminik pd
Universitas Sumatera Utara
permukaan sel yang kemudian menghalangi pertukaran medium, peralihan ion pengkhelat dan menghambat enzim Li et al., 1992 dan Ramisz et al., 2005.
Selanjutnya kitosan mempengaruhi permeabilitas membran sel, menginduks i kebocoran materi selular yang mempengaruhi keseimbangan biosintesis dan degradasi
komponen dinding sel Leuba et al., 1986 cit El Ghaouth et al,. 1992.
31
Perubahan permeabilitas membran dinding sel Candida albicans menyebabkan kebocoran
substansi intraseluler yang penting bagi metabolisme normal sel seperti ion kalsium yang dibutuhkan untuk berubah menjadi bentuk hifa yang lebih patogen Jackson and
Heath., 1993.
32
Hal ini diikuti oleh gangguan fungsi DNA dan mRNA serta gangguan metabolisme sel yang diikuti dengan kematian sel Candida albicans.
3.2 Hipotesis Penelitian