Efek Antifungal Kitosan Blangkas (Limulus polyphemus) Bermolekul Tinggi Dengan Pelarut Gliserin Terhadap Candida Albicans Sebagai Alternatif Bahan Dressing Saluran Akar (Penelitian In Vitro)

(1)

EFEK ANTIFUNGAL KITOSAN BLANGKAS

(LIMULUS POLYPHEMUS) BERMOLEKUL TINGGI

DENGAN PELARUT GLISERIN TERHADAP

CANDIDA ALBICANS SEBAGAI ALTERNATIF

BAHAN DRESSING SALURAN AKAR

(PENELITIAN IN-VITRO)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh :

TIKA IKKE IVANTI NIM : 060600091

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(2)

Fakultas Kedokteran Gigi

Departemen Ilmu Konservasi Gigi

Tahun 2010

Tika Ikke Ivanti

Efek antifungal kitosan blangkas (Limulus polyphemus) bermolekul tinggi dengan pelarut gliserin terhadap Candida albicans sebagai alternatif bahan

dressing saluran akar (penelitian in vitro)

Xii + 46 halaman

Candida albicans adalah jenis jamur yang paling sering diisolasi dari saluran

akar yang terinfeksi. Penggunaan dressing saluran akar direkomendasikan untuk mengeliminasi mikroorganisme dan saat ini telah dikembangkan kitosan blangkas (Limulus polyphemus) sebagai alternatif bahan dressing yang berasal dari alam, kompatibel terhadap jaringan, namun tetap memiliki sifat antibakteri dan antifungal yang sama dengan bahan non-biologi. Untuk mempermudah pengaplikasian bahan dressing ke dalam saluran akar digunakan bahan pelarut gliserin yang tidak memiliki efek antibakteri maupun antifungal.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek antifungal dari kitosan blangkas bermolekul tinggi yang diaplikasikan dengan bahan pelarut gliserin terhadap Candida

albicans. Metode yang digunakan adalah difusi agar yakni dengan meletakan paper


(3)

telah diinokulasi oleh Candida albicans, kemudian diukur zona bening yang menunjukkan daya hambat setelah diinkubasi selama 24 jam.

Hasil penelitian menunjukkan zona hambat paling besar terdapat pada konsentrasi 1% dengan rata-rata diameter zona hambat sebesar 13,25 mm kemudian 0,5% sebesar 13,15 mm dan 0,25% sebesar 12,85 mm yang berarti bahwa ketiga konsentrasi tersebut efektif dalam menghambat pertumbuhan Candida albicans. Sedangkan kontrol negatif yakni gliserin tidak menunjukkan zona bening sama sekali Kemudian konsentrasi larutan kitosan blangkas bermolekul tinggi dengan pelarut gliserin diturunkan dan didapat nilai MIC sebesar 0,006%.

Hasil analisis varians satu arah menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan (p < 0,05) antara konsentrasi larutan kitosan blangkas 0,25%; 0,5%, dan 1% dengan pelarut gliserin (bahan coba) dan gliserin (kontrol negatif) dalam menghambat pertumbuhan Candida albicans. Hasil uji LSD menunjukkan ada perbedaan yang signifikan (p < 0.05) antara konsentrasi larutan kitosan blangkas 0,25%; 0,5%, dan 1% dengan gliserin (kontrol negatif).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kitosan blangkas bermolekul tinggi dengan pelarut gliserin memiliki efek antifungal dimana semakin tinggi konsentrasinya maka semakin efektif dalam menghambat pertumbuhan Candida albicans.


(4)

LEMBAR PENGESAHAN

SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI UNTUK DISEMINARKAN PADA TANGGAL 24 AGUSTUS 2010

OLEH :

Pembimbing

NIP : 19500828 197902 2 001

Prof. Trimurni Abidin,drg., M.Kes., Sp.KG(K)

Mengetahui

Ketua Departemen Ilmu konservasi Gigi Fakultas Kedokteran Gigi

Universitas Sumatera Utara

NIP : 19500828 197902 2 001


(5)

PERNYATAAN PERSETUJUAN Skripsi berjudul

EFEK ANTIGUNGAL KITOSAN BLANGKAS (LIMULUS POLYPHEMUS) BERMOLEKUL TINGGI DENGAN PELARUT GLISERIN TERHADAP

CANDIDA ALBICANS SEBAGAI ALTERNATIF BAHAN DRESSING

SALURAN AKAR (PENELITIAN IN-VITRO)

Yang dipersiapkan dan disusun oleh :

NIM : 060600091 TIKA IKKE IVANTI

Telah dipertahankan didepan tim penguji pada tanggal 24 Agustus 2010

dan dinyatakan telah memenuhi syarat untuk diterima Susunan Tim Penguji Skripsi

Ketua Penguji

Prof.Trimurni Abidin,drg.,M.Kes,Sp.KG 19500828 197902 2 001

Anggota tim penguji lain

Prof.Dr.Rasinta Tarigan,drg.,Sp.KG

NIP : 19410830 196509 1 001 NIP : 19631117 199203 2 004 Nevi Yanti, drg., M.Kes

Medan, 24Agustus 2010 Fakultas Kedokteran Gigi Departemen Ilmu Konservasi Gigi

Ketua,

NIP : 19500828 197902 2 001


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan segala limpahan rahmat, karunia serta kekuatan bagi penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi.

Rasa terima kasih secara khusus penulis tujukan kepada Ayahanda Toiman dan Ibunda Sumiyati serta penyemangat penulis Tante Minik yang tidak henti-hentinya mendoakan, menyayangi, membimbing, memberi semangat serta motivasi dan mendukung baik secara moril maupun materil kepada penulis. Rasa sayang dan terima kasih penulis tujukan untuk adikku Roland Bijaksono, sepupu-sepupu dan keluarga besar atas dukungan, perhatian dan semangat yang diberikan kepada penulis.

Dalam penulisan skripsi ini penulis juga telah mendapat banyak bimbngan, pengarahan, saran-saran dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan penuh ketulusan dan kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. H.Nazruddin, drg., C.Ort., P.hd., Sp.Ort., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Trimurni Abidin, drg., M.Kes., Sp.KG(K), selaku Ketua Departemen Ilmu Konservasi Gigi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara dan juga dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing penulis dalam penelitian maupun penulisan skripsi ini.


(7)

3. Essie Octiara, drg., Sp.KGA selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama menjalani pendidikan di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

4. Seluruh staf pengajar dan pegawai khususnya di Departemen Ilmu Konservasi Gigi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bantuan selama penyelesaian skripsi ini.

5. Prof. Dr. Dwi Suryanto, drs., B.Sc., M.Sc selaku Kepala Laboratorium Biologi Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara beserta teman-teman asisten yang telah banyak memberikan saran dan masukan dalam penelitian dan penyelesaian skripsi ini.

6. Prof. Dr. Harry Agusnar, drs., M.Sc., M.Phil selaku Kepala Bagian Laboratorium Pusat Penelitian FMIPA USU atas bimbingannya dalam penelitian ini.

7. Drs. Abdul Jalil A.A, M.Kes selaku Pembantu Dekan II Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bimbingan dalam analisa statistik hasil penelitian.

8. Teman-teman terbaikku Mita, Nanda, Lita, Dita, Esty, Noni, Luki, Ica, Wina, Uul terima kasih untuk selalu ada, atas persahabatan, semangat dan motivasi yang menguatkan penulis.

9. Teman-teman seperjuangan Lusy, Willy, Swastika, Tari, Tiwi, Atih, Yanda, Yumi, Manda, Khairani, Halida, Rozi, Fauzan, Hanif, Aad, Eja dan teman-teman stambuk 2006 yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas segala motivasi dan semangat persaudaraan yang telah terjalin selama ini.


(8)

10.Terkhusus untuk Lisa Trisnawati, Rifa’Atul Mahmudah, Rahma Hutami, Mas Hendro Prayugo, Mas Denny Wijaya dan Kak Eka Ramadhani atas semangat, persahabatan dan rasa persaudaraan yang diberikan selama ini.

11.Kak Fania dan Kak Roza atas saran dan masukan dalam penelitian dan penulisan skripsi ini.

Akhirnya terima kasih penulis kepada semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak, mudah-mudahan segala bantuannya menjadi amal ibadah di sisi Allah SWT dan penulis memohon maaf jika selama proses penyelesaian skripsi ini terdapat kesalahan baik yang disengaja maupun tidak.

Medan, Agustus 2010 Penulis,

(Tika Ikke Ivanti) NIM : 060600091


(9)

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL ... HALAMAN PERSETUJUAN ... HALAMAN TIM PENGUJI SKRIPSI ...

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN... xi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang ... 1

1.2Perumusan Masalah ... 4

1.3Tujuan Penelitian... 4

1.4Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Candida albicans sebagai salah satu mikroflora yang terdapat pada infeksi saluran akar. ... 5

2.2 Bahan dressing saluran akar... 9

2.3 Kitosan blangkas (Limulus polyphemus) sebagai bahan dressing saluran akar ... 12

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Konsep ... 16

3.2 Hipotesis Penelitian... 17

BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian... 19

4.2 Jenis Penelitian... 19

4.3 Populasi, Sampel dan Besar Sampel... ... 19

4.4 Variabel Penelitian ... 20


(10)

4.4.2 Variabel Tergantung... 20

4.4.3 Variabel Terkendali... 20

4.4.4 Variabel Tak Terkendali... 21

4.5 Defenisi Operasional... 21

4.6 Alat dan Bahan Penelitian... 23

4.6.1 Alat Penelitian... 23

4.6.2 Bahan Penelitian... 24

4.7 Tempat dan Waktu Penelitian... 24

4.7.1 Tempat Penelitian... 24

4.7.2 Waktu Penelitian... 24

4.8 Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data………. 24

4.8.1 Pembuatan Media... 24

4.8.2 Pembiakan Spesimen... 25

4.8.3 Persiapan Bahan Coba... 26

4.8.4 Uji Efek Antifungal... 27

4.9 Analisa Data... 27

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS HASIL PENELITIAN 5.1 Hasil Penelitian... 29

5.2 Analisis Hasil Penelitian... 32

BAB 6 PEMBAHASAN ... 34

BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan ... 40

7.2 Saran ... 41

DAFTAR PUSTAKA ... 42 LAMPIRAN


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Faktor virulensi dari Candida albicans dan peranannya

pada periodontitis apikalis.. ... 7 2. Pengukuran diameter zona hambat pada 24 jam dalam mm……... 30 3. Hasil uji ANOVA efek antifungal kitosan blangkas

0,25%; 0,5%; 1% dan kontrol (gliserin) ... 33 4. Hasil uji LSD efek antifungal kitosan blangkas


(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. SEM dari Blastospora Candida albicans pada permukaan saluran

akar in vitro. Indikator bar 10 mm. ... 6

2. SEM dari penetrasi hifa Candida albicans ke tubulus dentin. Indikator bar 2 mm... 6

3. Struktur bangun kitin dan kitosan... 13

4. Blangkas (Limulus Polyphemus)... 14

5. Penimbangan Media PDA (Ohyo JP2 6000, Japan)... … 25

6. Pemanasan media Hot plate... 25

7. Stem-cell Candida albicans... 25

8. Pembuatan goresan pada media PDA... ... 25

9. Penimbangan bubuk kitosan blangkas(Ohyo JP2 6000, Japan)... 27

10. Larutan kitosan blangkas dan gliserin ... 27

11. Hasil percobaan setelah 24 jam : terdapat zona bening disekitar disk yang telah direndam bahan coba dengan konsentrasi 0,25%;0,5%;1%.. 30

12. Hasil percobaan setelah 24 jam : terdapat zona bening disekitar disk yang telah direndam bahan coba dengan konsentrasi 0,05%;0,1%;15%. 31 13. Hasil percobaan setelah 24 jam : terdapat zona bening disekitar disk yang telah direndam bahan coba dengan konsentrasi (a) 0,006%; 0,007%; 0,008% dan 0,009% (b) 0,05%; 0,025% dan 0,01% (c) 0,0009%; 0,0005%; 0,005% ... 32

14. Reaksi kitosan dengan asam asetat... 35


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1. Skema alur pikir 2. Skema alur penelitian 3. Hasil uji statistik


(14)

Fakultas Kedokteran Gigi

Departemen Ilmu Konservasi Gigi

Tahun 2010

Tika Ikke Ivanti

Efek antifungal kitosan blangkas (Limulus polyphemus) bermolekul tinggi dengan pelarut gliserin terhadap Candida albicans sebagai alternatif bahan

dressing saluran akar (penelitian in vitro)

Xii + 46 halaman

Candida albicans adalah jenis jamur yang paling sering diisolasi dari saluran

akar yang terinfeksi. Penggunaan dressing saluran akar direkomendasikan untuk mengeliminasi mikroorganisme dan saat ini telah dikembangkan kitosan blangkas (Limulus polyphemus) sebagai alternatif bahan dressing yang berasal dari alam, kompatibel terhadap jaringan, namun tetap memiliki sifat antibakteri dan antifungal yang sama dengan bahan non-biologi. Untuk mempermudah pengaplikasian bahan dressing ke dalam saluran akar digunakan bahan pelarut gliserin yang tidak memiliki efek antibakteri maupun antifungal.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek antifungal dari kitosan blangkas bermolekul tinggi yang diaplikasikan dengan bahan pelarut gliserin terhadap Candida

albicans. Metode yang digunakan adalah difusi agar yakni dengan meletakan paper


(15)

telah diinokulasi oleh Candida albicans, kemudian diukur zona bening yang menunjukkan daya hambat setelah diinkubasi selama 24 jam.

Hasil penelitian menunjukkan zona hambat paling besar terdapat pada konsentrasi 1% dengan rata-rata diameter zona hambat sebesar 13,25 mm kemudian 0,5% sebesar 13,15 mm dan 0,25% sebesar 12,85 mm yang berarti bahwa ketiga konsentrasi tersebut efektif dalam menghambat pertumbuhan Candida albicans. Sedangkan kontrol negatif yakni gliserin tidak menunjukkan zona bening sama sekali Kemudian konsentrasi larutan kitosan blangkas bermolekul tinggi dengan pelarut gliserin diturunkan dan didapat nilai MIC sebesar 0,006%.

Hasil analisis varians satu arah menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan (p < 0,05) antara konsentrasi larutan kitosan blangkas 0,25%; 0,5%, dan 1% dengan pelarut gliserin (bahan coba) dan gliserin (kontrol negatif) dalam menghambat pertumbuhan Candida albicans. Hasil uji LSD menunjukkan ada perbedaan yang signifikan (p < 0.05) antara konsentrasi larutan kitosan blangkas 0,25%; 0,5%, dan 1% dengan gliserin (kontrol negatif).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kitosan blangkas bermolekul tinggi dengan pelarut gliserin memiliki efek antifungal dimana semakin tinggi konsentrasinya maka semakin efektif dalam menghambat pertumbuhan Candida albicans.


(16)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Mikroba merupakan penyebab penyakit pulpa dan jaringan periradikuler yang ditemukan pada saluran akar terinfeksi berupa bakteri, spirochete dan jamur. Jamur merupakan mikroflora normal yang terdapat di dalam rongga mulut, tetapi akan menimbulkan penyakit apabila terdapat faktor predisposisi lokal atau sistemik yang menyebabkan infeksi.1 Sel ragi dari jamur ditemukan 5-20% di saluran akar yang

terinfeksi dan sel ragi Candida albicans adalah jenis yang paling sering diisolasi dari saluran akar yang telah dirawat dengan atau tanpa adanya lesi periapikal.1,2 Candida

albicans merupakan jenis yang paling virulent dalam penelitian eksperimental yang

telah dilakukan dan faktor virulensi yang menyebabkan patogenitas Candida albicans antara lain perlekatannya, pembentukan hifa, tigmotropism, sekresi protease dan fenomena phenotypic switching.2

Keberhasilan perawatan endodontik secara langsung dipengaruhi oleh kemampuan untuk mengeliminasi mikroorganisme dan produknya dari sistem saluran akar serta menciptakan lingkungan yang tidak memungkinkan bagi organisme untuk bertahan hidup.2-4 Irigasi dan preparasi biomekanikal tidak dapat mengeliminasi

seluruh mikroorganisme dalam saluran akar. Maka dari itu, penggunaan dressing saluran akar direkomendasikan untuk perawatan infeksi saluran akar khususnya dengan lesi periapikal.5


(17)

Bahan dressing yang digunakan selama ini yakni bahan yang berbasis fenol, seperti formocresol, camphorated monoparachlorophenol (CMCP), metacresyl

acetate, eugenol dan thymol. Bahan-bahan ini memiliki daya hambat terhadap bakteri

namun efeknya hanya beberapa waktu saja dan tidak direkomendasikan karena dapat menimbulkan nekrosis dan peradangan.6,7 Bahan dressing yang paling umum

digunakan saat ini dan merupakan standar adalah kalsium hidroksida (Ca(OH)2).

Kalsium hidroksida memiliki efek menghancurkan membran sel bakteri dan struktur protein dengan pHnya yang tinggi yakni sekitar 11-12,5.5,8 Untuk mempermudah

aplikasi kalsium hidroksida ke dalam saluran akar, digunakan bahan pelarut gliserin (Ariyani dan Yanti., 2004).9

Tam et al., (1989) menemukan bahwa kalsium hidroksida memiliki beberapa kelemahan, diantaranya kekuatan kompresif yang rendah sehingga dapat berpengaruh pada kestabilan kalsium hidroksida terhadap cairan di dalam saluran akar sehingga dapat melarutkan bahan dressing.10 Penelitian Radeva et al., (2007) menunjukkan

walaupun irigasi dan medikamen intrakanal saluran akar terinfeksi telah dilakukan, selalu terdapat mikroorganisme yang tetap resisten terhadap prosedur khemis dan mekanikal. Menurut Waltimo et al,. 1999. Candida albicans merupakan salah satunya yang ditunjukkan dengan keresistenannya setelah kontak langsung dengan beberapa bahan medikamen intrakanal.8,11-13

Perkembangan material kedokteran gigi yang mengacu pada pemakaian bahan alami merupakan salah satu alternatif menghilangkan mikroorganisme dari saluran akar. Saat ini telah dikembangkan kitosan blangkas sebagai alternatif bahan dressing yang berasal dari alam, kompatibel terhadap jaringan, namun tetap memiliki sifat


(18)

antibakteri yang sama dengan bahan non-biologi. Kitosan ditemuka n oleh Rouget pada tahun 1859 dan merupakan biopolymer polisakarida hasil dari proses diasetilasi kitin yang berasal dari ekstrak kulit hewan laut seperti udang, rajungan, kepiting. Kitosan juga ditemukan pada dinding sel jamur jenis Zycomycetes serta kulit serangga. Kitosan banyak digunakan karena berbagai sifat seperti biokompatibilitas dan biodegradasi yang baik serta tidak bersifat toksik.14-17

Kitosan blangkas (Limulus Polyphemus) merupakan hasil diasetilasi kitin yang diperoleh dari cangkang blangkas dengan berat molekul 893.000 Mv.15 Penelitian

Banurea dan Trimurni., 2008 menunjukkan bubuk kitosan blangkas bermolekul tinggi tanpa tambahan pelarut bereaksi positif sebagai antibakteri terhadap Fusobacterium

Nucleatum pada konsentrasi 10%.18 Penelitian Fania dan Trimurni., 2009

membandingkan keefektifan kitosan blangkas bermolekul tinggi yang diaplikasikan dengan pelarut gliserin dan VCO (Virgin Coconut Oil) jika digunakan sebagai alternatif bahan dressing saluran akar. Hasilnya menunjukkan bahwa hanya kitosan blangkas pada konsentrasi 1% dan 0,5% dengan pelarut gliserin yang memiliki daya hambat terhadap bakteri Fusobacterium Nucleatum.19 Allan dan Hadwiger (1974)

menemukan bahwa larutan 1% kitosan dalam 1% asam asetat dapat menghambat pertumbuhan Candida Tropicalis. Penelitian Ramisz et al, 2005 menggunakan larutan yang sama menunjukkan bahwa larutan tersebut juga dapat menghambat pertumbuhan

Candida Albicans.20

Sampai saat ini, belum ada penelitian mengenai efek antifungal kitosan blangkas (limulus polyphemus) bermolekul tinggi yang diaplikasikan dengan pelarut gliserin terhadap Candida albicans yang diharapkan nantinya akan menjadi salah satu


(19)

alternatif bahan dressing saluran akar. Mengingat Candida albicans merupakan salah satu penyebab infeksi saluran akar dan merupakan mikroflora yang memiliki resistensi tinggi terhadap bahan medikamen saluran akar.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan hasil penelitian terdahulu, bahan gliserin merupakan bahan pelarut yang baik untuk pemanipulasian kitosan bermolekul tinggi sebagai bahan dressing ke dalam saluran akar. Kitosan bermolekul tinggi juga diketahui memiliki efek antibakteri sehingga timbul permasalahan, apakah ada efek antifungal dari kitosan blangkas bermolekul tinggi yang diaplikasikan dengan bahan pelarut gliserin terhadap Candida

albicans?

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui efek antifungal dari kitosan blangkas bermolekul tinggi yang diaplikasikan dengan bahan pelarut gliserin terhadap Candida albicans jika digunakan sebagai alternatif bahan dressing dalam perawatan saluran akar.

1.4 Manfaat Penelitian

• Sebagai dasar penelitian lebih lanjut untuk pemanfaatan kitosan blangkas di bidang endodonti khususnya sebagai bahan dressing.

• Untuk meningkatkan pemanfaatan bahan alami yang bersifat biokompatibel, biodegradable dan tidak toksik terhadap jaringan periapikal sebagai bahan material kedokteran gigi.

• Sebagai informasi dan bahan pertimbangan bagi dokter gigi dalam memilih bahan dressing perawatan saluran akar.


(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Salah satu mikroorganisme yang dapat ditemui pada saluran akar adalah jamur.

Candida albicans merupakan jenis jamur yang paling umum ditemui pada rongga

mulut terutama pada infeksi saluran akarmaupun pada perawatan saluran akar yang gagal. 10-12

2.1 Candida albicans sebagai salah satu mikroflora yang terdapat pada infeksi saluran akar

Candida spp. merupakan mikroflora normal yang terdapat di dalam rongga

mulut yang diisolasi dari plak, karies, mikroflora subgingival dan kavitas periodontal yang aktif. Candida spp. adalah sel ragi gram positif yang tumbuh dengan baik pada suhu 370 dan pada media yang sedikit asam dengan pH 6-6,5.11 Taksonomi Candida

albicans dapat diklasifikasikan ke dalam Kingdom Fungi, Divisi Ascomycota, Filum Saccharomycotina, Klas Endomycetes, dan digolongkan ke dalam Famili Saccharomycetaceae, Genus Candida, Spesies Candida albicans.2

Baumgartner et al., 2000 menemukan 21% Candida albicans pada sampel yang diambil dari saluran akar dengan menggunakan metode PCR (Polymerase Chain Reaction).1 Waltimo et al., 2003 juga menemukan Candida albicans sebanyak 5-20%

pada saluran akar yang terinfeksi.2 Molander et al., 1998 cit Siquera et al., 2003

menemukan Candida albicans pada 3 dari 68 gigi yang dilakukan pengisian saluran akar dengan lesi periradikular kronis dan menunjukkan adanya pertumbuhan mikrobial.13


(21)

Candida albicans digambarkan sebagai jamur dimorfik karena keberadaannya

dalam bentuk blastospora dan hifa. Namun pada kenyataannya, Candida albicans adalah jamur polimorfik karena sering dilaporkan pertumbuhannya memperlihatkan beberapa morfologi seperti blastospora, kecambah, hifa, pseudohifa, dan klamidospora, tergantung pada kondisi lingkungannya.12,21

Gambar 1. SEM dari Blastospora Candida albicans pada permukaan saluran akar in vitro. Indikator bar 10 mm.2

Gambar 2. SEM dari penetrasi hifa Candida albicans ke tubulus dentin. Indikator bar 2 mm.2

Peralihan Candida albicans dari komensal yang tidak merugikan menjadi organisme patogen tergantung pada jenis faktor virulensinya antara lain perlekatannya,


(22)

pembentukan hifa, tigmotropism, sekresi protease dan fenomena phenotypic switching. Faktor-faktor virulensi dari Candida albicans dan peranannya pada periodontitis apikalis diuraikan pada tabel berikut.2 (Tabel 1)

TABEL 1. FAKTOR VIRULENSI DARI CANDIDA ALBICANS DAN

PERANANNYA PADA PERIODONTITIS APIKALIS

Faktor virulensi Peranannya pada periodontitis apikalis Perlekatan Kolonialisasi pada jaringan keras gigi Pembentukan hifa Penetrasi ke dalam tubulus dentin

Tighmotropisme Penetrasi ke dalam tubulus

Sekresi Protease Kemampuan bertahan hidup pada

lingkungan dengan nutrisi yang terbatas fenomena phenotypic switching Adaptasi terhadap kondisi ekologi

Tahap pertama proses infeksi Candida albicans adalah perlekatan pada sel inang yang merupakan tahap penting dalam kolonialisasi dan invasi ke sel host. Bagian pertama dari Candida albicans yang berinteraksi dengan sel host adalah dinding sel.21

Dinding sel Candida albicans 80-90% merupakan karbohidrat yakni glukan, kitin dan manan, selebihnya terdiri dari 6-25% protein dan 1-7% lipid.22 Perlekatan Candida

dihasikan dari kombinasi antara mekanisme spesifik (interaksi reseptor-ligand) dan non spesifik (muatan elektrostatik, kekuatan Van derWaals) yang memungkinkan Candida melekat pada berbagai jenis jaringan, termasuk dentin (Cotter dan Kavanagh, 2000).21

Candida memiliki molekul pada permukaannya yang mampu melekatkannya

ke jaringan, termasuk reseptor homolog terhadap integrin CR3 manusia, yang mengikat kelompok RGD (arginin, glisin dan asam aspartat) pada fibrinogen, fibronektin, dan laminin, serta mannosa yang mengandung protein-protein yang


(23)

mengikat molekul seperti lektin pada sel dan jaringan host (Calderone dan Brawn., 1991). Perlekatan Candida albicans pada protein matriks ekstraseluler, kolagen tipe 1 dan fibronektin bergantung kepada keberadaan kaksium ekstraseluler, yang banyak dijumpai pada dentin (Klotz et al., 1993). Hal ini dapat membantu menjelaskan kolonisasi Candida albicans pada dentin yang dijumpai pada penelitian Siqueira et al,. 2002. 12 Candida albicans dilaporkan menghasilkan enzim kolagenolitik sehingga

dapat menurunkan jumlah kolagen dentin manusia12 yakni dengan menjadikan dentin

sebagai sumber nutrisi.23 Maka dari itu, Candida albicans disebut juga sebagai

mikroorganisme dentinophilic karena kemampuannya menginvasi dentin dengan bentuk pertumbuhan yang berbeda dan menjadikan dentin sebagai sumber nutrisi.2,4,13

Mekanisme lain yang juga meningkatkan virulensi Candida albicans adalah produksi enzim hidrolitiknya yang dapat meningkatkan kerusakan jaringan periradikular. Enzim-enzim tersebut termasuk sekresi aspartil protease, kolagenase, aminopeptida, glukosaminidase, phosphatase asam dan alkali, hialuronidase, dan konroitin sulfatase, yang seluruh enzim tersebut memiliki efek penurunan matriks protein ekstraselular.13 Candida albicans juga memiliki kemampuan membentuk

biofilm pada berbagai permukaan yang berbeda dan hal inilah yang menyebabkan

Candida albicans menjadi jenis yang paling virulent diantara jenis Candida lainnya

yang menghasilkan sedikit biofilm seperti C glabrata, C tropikalis, dan C parapsilosis (Haynes K., 2001).13 Biofilm ini berfungsi sebagai pelindung mikroba terhadap sistem

kekebalan tubuh host.21

Sen et al, 1997 cit Waltimo et al., 2003 menunjukkan kolonialisasi Candida


(24)

terdapat smear layer, terdapat cabang dari pseudohifa pada dinding dentin tetapi tidak terjadi pembentukan biofilm, namun pada keadaan ditemukannya smear layer, terdapat biofilm dengan bentuk pertumbuhan yang berbeda.2

2.2 Bahan Dressing Saluran Akar

Salah satu langkah penting dalam perawatan endodontik selama bertahun-tahun adalah dressing saluran akar. Bahan yang digunakan selama ini yakni bahan yang berbasis fenol, seperti formocresol, camphorated monoparachlorophenol

(CMCP), metacresyl acetate, eugenol dan thymol. Formocresol merupakan kombinasi

formalin dan tricresol dengan perbandingan 1:1. Formocresol serta bahan yang berbasis fenol lainnya memiliki daya hambat terhadap bakteri namun efeknya hanya beberapa waktu saja. Bahan ini tidak direkomendasikan karena dapat menimbulkan nekrosis dan peradangan. 6,7

Bahan dressing paling umum dan standar yang digunakan saat ini adalah kalsium hidroksida (Ca(OH)2).24 Penggunaan kalsium hidroksida dalam perawatan

endodontik diperkenalkan pertama kali oleh Hermann pada tahun 1920.25 Mekanisme

antibakterial kalsium hidroksida disebabkan kemampuannya menciptakan lingkungan pH yang akan mengganggu pertumbuhan bakteri. Kalsium hidroksida yang dilarutkan dalam air akan berdisosiasi menjadi ion hidroksil (OH-) dan ion kalsium (Ca2+). Ion

OH- berdifusi ke dalam tubulus dentin yang menyebabkan peningkatan pH di dalam

tubulus dentin menghasilkan efek antibakteri.25,26 Estrela et al,. 1995 melaporkan

bahwa reaksi kalsium hidroksida mampu menghasilkan pH tinggi karena ion hidroksil (OH-) yang telah berdisosiasi sehingga menghambat aktivitas enzim yang penting bagi


(25)

pH terhadap trasnportasi dari nutrisi dan bahan-bahan organik melalui membran sitolasma bekerja sebagai racun pada bakteri, pH yang tinggi juga mengaktifkan enzim hidrolitik alkaline phospatase yang penting untuk mineralisasi jaringan. Oleh karena itu, kalsium hidroksida memiliki dua hal dasar dari reaksi enzim, yaitu penghambatan enzim bakteri sebagai efek antibakteri dan pengaktifan enzim jaringan sebagai efek mineralisasi. Safavi dan Nichols, 1993 cit Estrela et al., 1998 mempelajari efek kalsium hidroksida terhadap Lippopolysaccharides (LPS) bakteri, dapat disimpulkan bahwa kalsium hidroksida menghidrolisis lapisan lipid dari LPS bakteri menghasilkan asam lemak hidroksi dalam jumlah yang banyak dan menonaktifkan enzim dalam membran bakteri serta mengganggu mekanisme transportasi yang mengakibatkan sel keracunan.25 Sifat higroskopik dari kalsium hidroksida dapat mengurangi eksudat.27

Substansi yang berbeda (air distilasi, larutan salin, propyleneglycol, CMCP, khlorhexidin, gliserin, iodoform, barium sulfate, kortikosteroid-antibiotik, larutan anastesi, methycellulose, detergen) telah dicampurkan pada kalsium hidroksida sebagai vehicle untuk meninggikan efek kalsium hidroksida.25 Selain itu, penambahan pelarut

tersebut bertujuan untuk membantu manipulasi dalam pemakaian kalsium hidroksida ke dalam saluran akar.26 Gomes et al.,2002 membuktikan pemakaian kalsium

hidroksida dengan pelarut yaitu CMCP dan gliserin menunjukkan angka tertinggi dalam menghambat pertumbuhan bakteri saluran akar dibandingkan dengan pemakaian kalsium hidroksida dengan pelarut CMCP, gliserin, larutan anastesia, larutan salin dan air distilasi.26

Menurut Tam et al., (1989) kalsium hidroksida memiliki beberapa kelemahan, diantaranya kekuatan kompresif yang rendah sehingga dapat berpengaruh pada


(26)

kestabilan kalsium hidroksida terhadap cairan di dalam saluran akar sehingga dapat melarutkan bahan dressing.10 Menurut Anderson et al., 2002, pemakaian pasta kalsium

hidroksida jangka panjang dalam merawat gigi muda akan menyebabkan kerusakan jaringan keras gigi dan memudahkan terjadinya fraktur. Gomes et al., 2002 beranggapan bahwa walaupun kalsium hidroksida direkomendasikan sebagai bahan medikasi intrakanal pada perawatan periodontitis apikalis, bukan berarti pemakaian kalsium hidroksida dapat digunakan secara universal karena kalsium hidroksida tidak menunjukkan kemampuan yang sama terhadap seluruh bakteri.26

Penelitian Radeva et al., (2007) menunjukkan walaupun irigant endodontik dan medikamen intrakanal saluran akar yang terinfeksi telah dilakukan, selalu terdapat mikroorganisme yang tetap resisten terhadap prosedur khemis dan mekanikal.11

E.faecalis merupakan bakteri yang paling resisten dibandingkan bakteri lain yang telah

diuji terhadap kalsium hidroksida (Bystrom et al, 1985). Waltimo et al,.1999 menemukan secara in vitro bahwa seluruh spesies Candida menunjukkan keresistenannya terhadap kalsium hidroksida.2 Haapasalo et al, 2003 menemukan di

dalam tubulus dentin, E.faecalis dan C. Albicans terlindungi dari efek antifungal dan antibakterial medikamen endodontik karena efek menonaktifkan dentin dan juga resisten terhadap beberapa medikamen intrakanal setelah kontak langsung.23

Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa bahan perawatan dressing saluran akar menggunakan bahan dressing umum dan standar yakni Ca(OH)2 memiliki efek

antibakterial yang tinggi, tetapi mempunyai efek samping kerusakan jaringan keras gigi dan efek antifungal yang kurang baik. Oleh karena itu perlu dikembangkan bahan


(27)

alami yang bersifat biokompatibel dan biodegradebel terhadap saluran akar serta memiliki efek antifungal yaitu kitosan blangkas.

2.3 Kitosan blangkas sebagai bahan dressing saluran akar

Kitosan (poly-β-1,4-glukosamin) merupakan biopolimer alami di alam setelah

selulosa dan merupakan hasil N-diasetilisasi dari kitin.Kitin banyak terkandung pada hewan laut berkulit keras seperti udang, rajungan, kepiting, blangkas, serangga, moluska, dan dinding jamur seperti klas zygomycetes. Bahan ini pertama kali ditemukan oleh Rouget pada tahun 1859. Kemudian pada tahun 1891, Rouget menemukan kitosan yang mempunyai derajat kereaktifan yang tinggi disebabkan adanya gugus amino bebas sebagai gugus fungsional.14,15,28-30 Kitosan hanya dapat

larut dalam pelarut asam seperti asam asetat, asam formiat, asam laktat, asam sitrat dan asam hidroklorat. Kitosan tidak larut dalam air, alkali dan asam mineral encer kecuali dibawah kondisi tertentu yaitu dengan adanya sejumlah pelarut asam sehingga dapat larut dalam air, methanol, aseton dan campuran lainnya.15

Kitosan memiliki muatan molekul positif (NH3+) yang dapat berikatan secara

kimia dengan muatan negatif yang dimiliki oleh lemak, lipid, kolesterol,ion-ion metal, protein dan makromolekul (Li et al., 1992).17 Berikut struktur bangun kitin dan kitosan

yang menunjukkan bahwa kandungan utama kitin dan kitosan adalah polimer polisakarida dan gugus amino.


(28)

CHITIN CHITOSAN

Gambar 3. Struktur bangun kitin dan kitosan.17

Berdasarkan viskositasnya, berat molekul kitosan terdiri atas tiga yaitu kitosan bermolekul rendah, kitosan bermokekul sedang dan kitosan bermolekul tinggi. Kitosan bermolekul rendah dengan berat molekul dibawah 400.000 Mv berasal dari hewan laut dengan cangkang atau kulit yang lunak misalnya udang, cumi-cumi dan rajungan. Kitosan bermolekul sedang dengan berat molekul 400.000-800.000 Mv dan kitosan dengan berat molekul 800.000-1.100.000 Mv biasanya berasal dari hewan laut bercangkang keras misalnya kepiting, kerang dan blangkas.15

Kitosan blangkas merupakan kitosan yang diperoleh dari kulit blangkas (Limulus Polyphemus). Kitin yang diproses dari kulit blangkas didapatkan dengan hasil 30,60% melalui proses deasetilasi kitin dengan menggunakan larutan alkali (NaOH). Proses pembuatan kitosan blangkas dilakukan dengan 2 (dua) tahap yaitu proses deproteinasi dengan pemberian NaOH 2 M untuk mengurangi protein pada cangkang blangkas dan proses demineralisasi dengan pemberian HCL 2 M sehingga kandungan mineral CaCO3 hilang dari cangkang blangkas.15


(29)

Gambar 4. Blangkas (Limulus polyphemus)

Dari berbagai penelitian dilaporkan bahwa di alam, kitosan bentuk polimer banyak digunakan di bidang medis karena berbagai sifat yang sangat istimewa yaitu biokompabilitas dan biodegradabilitas yang baik, tidak bersifat toksik dan bioaktif. Produk biodegradasi bersifat tidak toksik, tidak menyebabkan reaksi imunologi, tidak menyebabkan terjadi kanker (Zhu et al, 2003 cit Silva et al,.2004).16

Koide (1998) menemukan bahwa kitin dan kitosan menunjukkan aktivitas antibakteri dan antijamur.17 Menurut Chung et al., 2004 daya antibakteri kitosan dapat

diperoleh dengan menciptakan suasana asam dengan derajat deasetilasi tinggi yang dapat menyebabkan jumlah ion NH3+ yang bebas menjadi lebih banyak sehingga

memudahkan penyerapan bakteri terhadap kitosan. Hal ini berdampak pada perubahan struktur sel dan gangguan permeabilitas membran sehingga berlanjut menjadi kematian sel bakteri.28 Tsai dan Su (1999) menggunakan kitosan yang diambil dari kulit udang

untuk menguji aktivitas antimikroba terhadap bakteri E. Coli menemukan bahwa temperatur yang tinggi serta pH asam pada makanan dapat meningkatkan aktivitas antibakteri kitosan.17

Aplikasi kitosan di bidang kedokteran gigi telah diteliti oleh Sapeii et al., 1986 dan Muzarela et al., 1998 pada perawatan jaringan peridontal baik dengan pemakaian


(30)

kitosan powder dan kitosan membran. Penelitian Trimurni et al., (2007) kitosan berperan dalam dentinogenesis, dimana kitosan yang digunakan ialah kitosan blangkas bermolekul tinggi dan kitosan komersial sebagai bahan kaping pulpa direk pada gigi tikus wistar secara in-vivo. Dengan keadaan pulpa terbuka dan mengalami inflamasi reversibel, kitosan mampu membentuk jaringan keras osteotipic irregular yang terlihat pada peletakan kitosan selama 14 hari dan 1 bulan dan dapat dilihat sel-sel pulpa dentinoblast tersusun berlekatan dengan bahan coba.15 Ballal et al,. 2008 menunjukkan

hasil penelitiannya secara in vitro bahwa kombinasi khlorheksidin glukonat dengan gel kitosan meningkatkan aktivitas antimikrobial gel klorheksidin terhadap C. albicans dan

E.faecalis dibanding menggunakan klorheksidin 2% dan gel kitosan 2% yang tidak

dicampurkan.23 Penelitian Banurea dan Trimurni (2008) menunjukkan bubuk kitosan

blangkas bermolekul tinggi tanpa pelarut bereaksi positif sebagai antibakteri terhadap

Fusobacterium Nucleatum pada konsentrasi 10%.18 Penelitian Fania dan Trimurni

(2009) membandingkan keefektifan kitosan blangkas bermolekul tinggi yang diaplikasikan dengan pelarut gliserin dan VCO jika digunakan sebagai alternatif bahan dressing saluran akar. Hasilnya menunjukkan bahwa hanya kitosan blangkas pada konsentrasi 1% dan 0,5% dengan pelarut gliserin yang memiliki daya hambat terhadap bakteri Fusobacterium nucleatum. 19


(31)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Konsep

Candida albicans

Sel lysis Sel mati

Dressing Saluran Akar

Kitosan blangkas bermolekul tinggi 1%; 0,5%; 0,25% dst + gliserin  Konsentrasi >> + as.asetat 

kandungan kitosan >> dan gugus amino (NH3+) >>  efek antibakteri dan antifungal >>

 Kitosan + gliserin  (-) daya antibakteri/antifungal, namun

mempermudah proses manipulasi bahan ke dalam saluran akar

 Derajat diasetilasi  Berat molekul  PH

 Temperatur

Penurunan permeabilitas membran sel

Kebocoran substansi intraseluler  kehilangan ion kalsium

Gangguan DNA dan mRNA

Gangguan metabolisme sel

menghalangi pertukaran medium, peralihan ion pengkhelat, menghambat enzim

??

Muatan kation gugus amino (NH3+) berikatan

dengan komponen anion; lemak, lipid, kolesterol, ion-ion metal, protein dan makromolekul termasuk asam N-asetilmuramik, asam sialik dan


(32)

Diagram diatas menunjukkan mekanisme kitosan blangkas bermolekul tinggi yang diaplikasikan dengan pelarut gliserin terhadap Candida albicans. Kitosan bermolekul tinggi yang digunakan adalah kitosan blangkas (Trimurni et al., 2007) yang mengandung gugus amino (NH2) dengan derajat diasetilasi dan berat molekul yang

tinggi yakni 84,20% dan 893.000 Mv.15 Kitosan yang dilarutkan dalam asam asetat

memiliki banyak muatan positif (NH3+) yang dapat berikatan secara kimia dengan

muatan negatif yang dimiliki oleh lemak, lipid, kolesterol, ion-ion metal, protein dan makromolekul (Li et al., 1992). 17 Hal inilah yang menyebabkan kitosan memiliki efek

antibakteri yang tinggi. Penggunaan gliserin sebagai bahan pelarut tidak memiliki efek antibakteri namun mempermudah proses manipulasi bahan ke dalam saluran akar.19

Beberapa faktor yang mempengaruhi efek antifungal dari kitosan antara lain derajat diasetilasi, berat molekul, pH dan temperatur (Rout, 2002).17

Menurut Chung et al., 2004 daya antibakteri kitosan dapat diperoleh dengan menciptakan suasana asam dengan derajat deasetilasi tinggi yang dapat menyebabkan jumlah ion NH3+ yang bebas menjadi lebih banyak sehingga memudahkan penyerapan

bakteri terhadap kitosan. Hal ini berdampak pada perubahan struktur sel dan gangguan permeabilitas membran sehingga berlanjut menjadi kematian sel bakteri.28 Tsai dan Su

(1999) menggunakan kitosan yang diambil dari kulit udang untuk menguji aktivitas antimikroba terhadap bakteri E. Coli menemukan bahwa temperatur yang tinggi serta pH asam pada makanan dapat meningkatkan aktivitas antibakteri kitosan.17

Kitosan yang berinteraksi dengan dinding sel jamur berikatan dengan komponen anion yakni lemak, lipid, kolesterol, ion-ion metal, protein dan makromolekul termasuk asam N-asetilmuramik, asam sialik dan asam neuraminik pd


(33)

permukaan sel yang kemudian menghalangi pertukaran medium, peralihan ion pengkhelat dan menghambat enzim (Li et al., 1992 dan Ramisz et al., 2005). Selanjutnya kitosan mempengaruhi permeabilitas membran sel, menginduks i kebocoran materi selular yang mempengaruhi keseimbangan biosintesis dan degradasi komponen dinding sel (Leuba et al., 1986 cit El Ghaouth et al,. 1992).31 Perubahan

permeabilitas membran dinding sel Candida albicans menyebabkan kebocoran substansi intraseluler yang penting bagi metabolisme normal sel seperti ion kalsium yang dibutuhkan untuk berubah menjadi bentuk hifa yang lebih patogen ( Jackson and Heath., 1993).32 Hal ini diikuti oleh gangguan fungsi DNA dan mRNA serta gangguan

metabolisme sel yang diikuti dengan kematian sel Candida albicans.

3.2 Hipotesis Penelitian

Dari kerangka konsep diatas dapat dikemukakan hipotesis sebagai berikut:

• Ada efek antifungal kitosan blangkas bermolekul tinggi dengan pelarut gliserin terhadap Candida albicans.


(34)

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan penelitian : Posttest only control group design 4.2 Jenis penelitian : Eksperimental laboratorium 4.3 Populasi, sampel dan besar sampel

Populasi adalah koloni Candida albicans yang diisolasi dari rongga mulut Sampel adalah koloni Candida albicans yang telah diisolasi, dan dibiakkan secara murni pada media Potato Dekstrose Agar (PDA)

Besar sampel

Pada penentuan efek antifungal, digunakan 1 (satu) kelompok bahan coba dan 1 (satu) kelompok kontrol negatif.

Kelompok I : Kitosan blangkas 0,25gr: 0,5gr dan 1gr ditambahkan 100 ml asam asetat 1% dan 1 ml pelarut gliserin 1%

Kelompok II (kontrol negatif) : Pelarut gliserin

Perhitungan besar sampel memakai rumus (Stell dan Torrie, 1995) : n = ( Zα + Zβ)22δ2 = (1,96 + 1,64)2 2 (3,55)2

d2 (6,08)

= 8,83

Keterangan : n = besar sampel

Zα = harga standar normal dari

Zβ = harga standar normal dari

δ = penyimpangan yang ditolerir


(35)

Untuk menggenapkan sampel, maka besar sampel yang dipakai dari setiap kelompok perlakuan pada penelitian ini adalah 10, maka jumlah keseluruhan sampel sebanyak 40 sampel.

4.4 Variabel Penelitian

4.4.1 Variabel bebas

a. Kitosan blangkas bermolekul tinggi dengan berat 0,25gr: 0,5gr dan 1gr (Trimurni et al., 2007) yang dilarutkan dalam asam asetat 1% kemudian dicampurkan dengan pelarut gliserin 100%

b. Gliserin 100%

4.4.2 Variabel tergantung

Pertumbuhan Candida albicans setelah inkubasi 24 jam 4.4.3 Variabel kendali

a. Media untuk pertumbuhan Candida albicans.

b. Konsentrasi larutan kitosan blangkas sebesar 0,25%;0,5%;1%

c. Perbandingan larutan kitosan blangkas 0,25%;0,5%;1% dengan pelarut gliserin 100%

d. Suhu inkubasi yang digunakan untuk menumbuhkan Candida albicans sekitar 370C

e. Waktu yang digunakan untuk pembiakan Candida albicans selama 24 jam f. Teknik pengisolasian dan pengkulturan.

g. Sterilisasi alat dan bahan coba.


(36)

4.4.4 Variabel tak terkendali

a. Individu asal Candida albicans diisolasi

b. Lamanya penyimpanan kitosan blangkas dan bahan pelarut gliserin sebelum perlakuan penelitian

4.5 Defenisi operasional

4.5.1 Koloni Candida albicans adalah Candida albicans yang telah diisolasi dari rongga mulut dan dikultur pada media Potato Dekstrose Agar (PDA). 4.5.2 Kitosan blangkas (Trimurni et al., 2007) merupakan kitosan yang diperoleh

dari cangkang blangkas melalui proses deasetilasi kitin dilanjutkan dengan VARIABEL BEBAS

• Kitosan blangkas bermolekul tinggi (Trimurni et al., 2007) 0,25gr;0,5gr;1gr + asam asetat 1% + gliserin 100%

• Gliserin 100%

VARIABEL TERGANTUNG Pertumbuhan Candida albicans setelah inkubasi 24 jam

VARIABEL TERKENDALI

• Media pertumbuhan

• Konsentrasi larutan kitosan blangkas 1%;0,5%:0,25%

• Perbandingan larutan kitosan blangkas dengan pelarut

• Suhu inkubasi 370

Waktu pembiakan Candida albicans selama 24 jam

• Teknik pengisolasian dan pengkulturan

• Sterilisasi alat dan bahan coba

• Keterampilan operator

VARIABEL TAK TERKENDALI

Individu asal Candida albicans diisolasi

• Lamanya penyimpanan kitosan blangkas dan bahan pelarut gliserin sebelum perlakuan penelitian


(37)

proses deproteinasi dan demineralisasi. Sebanyak 0,25gr; 0,5gr; 1gr bubuk kitosan blangkas dilarutkan masing-masing dalam 100 ml asam asetat dan selanjutnya diambil sebanyak 9 ml pada setiap konsentrasi untuk kemudian ditambahkan 1 ml pelarut gliserin 100%.

4.5.3 Gliserin merupakan pelarut jenis viscous yang digunakan sebagai kontrol negatif dan dicampurkan dengan larutan kitosan blangkas 0,25%; 0,5% dan 1% , masing-masing sebanyak 1 ml.

4.5.4 Kitosan blangkas + gliserin merupakan campuran 9 ml larutan kitosan blangkas pada konsentrasi 0,25%; 0,5% dan 1% dengan 1 ml pelarut gliserin 100% yang akan dilihat efeknya terhadap pertumbuhan Candida

albicans.

4.5.5 Penentuan efek antifungal dari kitosan blangkas dengan pelarut gliserin pada konsentrasi 0,25%; 0,5% dan 1% didapat dengan metode difusi agar dimana paper disk (Ǿ 6 mm) yang telah direndam bahan coba berkontak langsung dengan media yang telah diinokulasi oleh Candida albicans, kemudian dapat diamati zona bening yang terbentuk setelah diinkubasi selama 24 jam. Zona bening menunjukkan daya hambat yang dihasilkan dari bahan coba terhadap Candida albicans. Dengan metode ini, dapat juga ditentukan Minimum Inhibitory Concentration (MIC) yakni konsentrasi minimal dari larutan kitosan blangkas yang mampu menghambat pertumbuhan Candida albicans yang ditunjukkan oleh zona bening paling kecil yang terbentuk disekitar disk setelah diinkubasi selama 24 jam. Zona bening yang terbentuk diukur dengan menggunakan jangka sorong


(38)

(ketelitian mm). Berikut adalah cara mengukur diameter zona hambat terhadap pertumbuhan Candida albicans.

Diameter zona hambat =

2

Ǿ vertikal + Ǿ horizontal (mm)

= Diameter vertikal = Diameter horizontal = Zona hambat

4.6 Alat dan Bahan Penelitian 4.6.1 Alat penelitian

1. Electronic balance (Ohyo JP2 6000, Japan) 2. Becker glass (Pyrex)

3. Batang pengaduk (Pyrex) 4. Erlenmeyer (Pyrex) 5. Hot plate

6. Inkubator (Haraeus, Germany) 7. Vorteks (Fisons, UK)

8. Autoclave (Welbeco, Germany) 9. Tabung reaksi dan rak (Pyrex) 10.Petri dish (Pyrex)

11.Paper disk (Ǿ 6mm) (Oxoid, England))

12.Lampu spiritus 13.Ose


(39)

14.Kapas lidi 15.Jangka sorong

4.6.2 Bahan penelitian

1. Kitosan blangkas bermolekul tinggi (Trimurni et al., 2007) 2. Gliserin 100% (Merck, Germany)

3. Asam asetat 1% (Lab. Kimia FMIPA USU) 4. Candida albicans (Lab. Mikrobiologi FK USU)

5. Media Potato Dekstrose Agar (Oxoid, England) 6. Aquadest (Lab. Kimia FMIPA USU)

4.7 Tempat dan Waktu Penelitian

4.7.1 Tempat penelitian : Laboratorium Mikrobiologi FMIPA USU

4.7.2 Waktu penelitian : 6 bulan

4.8 Prosedur pengambilan dan pengumpulan data

4.8.1 Pembuatan Media

Sebelum spesimen dibiakkan, dilakukan pembuatan media Potato Dekstrose

Agar (PDA). PDA sebanyak 7,8 gram dilarutkan kedalam akuades sebanyak 200 ml

dan dipanaskan sampai mendidih. Kemudian disterilkan di dalam autoclave selama 2 jam. Setelah disterilkan, media yang akan digunakan kembali dipanaskan dan dituang ke dalam petri (20ml/petri) dan dibiarkan hingga dingin. Media diinkubasi selama 24 jam untuk melihat kontaminasi.


(40)

Gambar 5. Penimbangan Media PDA Gambar 6. Pemanasan media

(Ohyo JP2 6000, Japan) Hot plate

4.8.2 Pembiakan spesimen

Candida albicans yang digunakan adalah stem-cell yang diisolasi dari rongga

mulut. Dengan menggunakan ose, biakan murni tersebut digoreskan zig-zag dan rapat pada media padat Potato Dekstrose Agar (PDA). Biakan jamur diinkubasi dalam suasana anaerob pada suhu 37oC selama 24 jam, kemudian diamati koloni yang

tumbuh. Setelah hasil didapat, dilakukan pembuatan suspensi Candida albicans dengan mengambil 2-3 ose koloni, dimasukkan kedalam NaCl 0,9% dan disetarakan dengan standar MC Farland 1 x 108 CFU/ ml. Suspensi diambil dengan menggunakan


(41)

Gambar 7. Stem-cell Candida Gambar 8. Pembuatan goresan albicans pada media PDA

4.8.3 Persiapan bahan coba

Pada penelitian ini, digunakan bubuk kitosan blangkas (Trimurni et al, 2007) yang berasal dari cangkang blangkas melalui proses deasetilasi kitin dengan menggunakan larutan alkali (NaOH). Proses dilanjutkan pada dua tahap yaitu proses deproteinasi dengan pemberian NaOH 2 M untuk mengurangi protein dan proses demineralisasi dengan pemberian HCL 2 M untuk menghilangkan kandungan mineral CaCO3. Setelah proses-proses tersebut, didapatkan bubuk kitosan blangkas dengan

derajat diasetilasi dan berat molekul yang tinggi yakni 84,20% dan 893.000 Mv. Pembuatan suspensi bahan coba dilakukan dengan mencampurkan bubuk kitosan blangkas dengan asam asetat 1% lalu ditambahkan bahan pelarut (vehicle) yakni gliserin 100%. Konsentrasi yang digunakan adalah 0,25%; 0,5%; 1%. Sejumlah bahan coba yaitu 0,25 gr bubuk kitosan untuk konsentrasi 0,25%; 0,5 gr bubuk kitosan untuk konsentrasi 0,5% dan 1 gr bubuk kitosan untuk konsentrasi 1% dicampur dengan 100 ml asam asetat 1% secara merata (divortex). Hasil pencampuran dari setiap konsentrasi tersebut diambil sebanyak 9 ml dan dimasukkan ke dalam tabung sesuai label, lalu ditambahkan dengan bahan pelarut gliserin 100% sebanyak 1 ml kedalam masing-masing konsentrasi.


(42)

Gambar 9. Penimbangan bubuk kitosan blangkas Gambar 10. Larutan kitosan

(Ohyo JP2 6000, Japan) blangkas dan gliserin

4.8.4 Uji efek antifungal

Hasil pencampuran larutan kitosan blangkas dengan pelarut gliserin pada konsentrasi 0,25%; 0,5%; 1% serta kontrol negatif gliserin 100% dituang kedalam petri dish yang berbeda, kemudian masukkan disk pada masing-masing petri dish, lalu dibiarkan selama 1 jam. Keempat disk yang telah direndam bahan coba ditempatkan kedalam media padat Potato Dekstrose Agar (PDA) yang telah disebarkan suspensi

Candida albicans. Kemudian petri dibungkus dan dimasukkan ke inkubator suhu 370C

dan diamati setelah 24 jam. Zona hambat yang terbentuk disekitar masing-masing disk diamati lalu diameter yang bebas koloni diukur dengan menggunakan jangka sorong (ketelitian dalam milimeter) dan kemudian dicatat.

4.9 Analisis data

Dari setiap pemeriksaan dianalisis dengan memakai uji statistik yakni

1. Uji Analisis Varians satu arah (ANOVA), untuk melihat perbedaan efek antifungal antara semua kelompok perlakuan.


(43)

2. Uji Least Significant Difference (LSD), untuk melihat perbedaan efek antifungal masing-masing perlakuan


(44)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS HASIL PENELITIAN

5.1 Hasil penelitian

Setelah peletakan disk yang telah direndam bahan coba yaitu larutan kitosan blangkas 0,25%; 0,5%; 1% dengan pelarut gliserin 100% dan kontrol negatif yakni gliserin 100%, dilakukan pengamatan setelah 24 jam. Dari pengamatan dapat dilihat zona bening disekitar disk yang telah direndam bahan coba. Zona bening tersebut merupakan zona yang dapat menghambat pertumbuhan Candida albicans. Hal ini berarti larutan kitosan blangkas 0,25%; 0,5%; 1% dengan pelarut gliserin 100% memiliki efek antifungal terhadap Candida albicans. Sedangkan kontrol negatif yakni gliserin 100% tidak menunjukkan zona bening sama sekali yang berarti gliserin tidak memiliki efek antifungal terhadap Candida albicans.

Gambar 11. Hasil percobaan setelah 24 jam : terdapat zona bening

disekitar disk yang telah direndam bahan coba dengan konsentrasi 0,25%; 0,5%; 1%.

Konsentrasi 0,25% Konsentrasi 0,5%

Konsentrasi 1% Gliserin


(45)

TABEL 2. PENGUKURAN DIAMETER ZONA HAMBAT PADA 24 JAM DALAM MM

Diameter Zona Hambat

Konsentrasi Kitosan blangkas Gliserin (Kontrol -)

0,25% 0,5% 1%

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 12.5 13.75 11 13.5 16.25 12 12.5 14.5 11.5 11 13.25 12.5 10.75 12.5 14 12.75 13 17 14 11.75 14 13.5 10.75 12.5 13.25 11.75 14.25 17.25 14.25 11 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6

128.5 131.5 132.5 6

Rata-rata 12.85 13.15 13.25 6

Untuk memperoleh MIC (Minimum Inhibitory Concentration) yakni konsentrasi minimal dari larutan kitosan blangkas yang mampu menghambat pertumbuhan Candida albicans yang ditunjukkan oleh zona bening yang terbentuk disekitar disk setelah diinkubasi selama 24 jam, konsentrasi larutan kitosan blangkas dengan pelarut gliserin 100% diturunkan menjadi 0,05%; 0,1%; 0,15%.

Gambar 12. Hasil percobaan setelah 24 jam : terdapat zona bening disekitar disk yang telah

direndam bahan coba dengan konsentrasi 0,05%; 0,1%; 15%.

Konsentrasi 0,1% Konsentrasi 0,05%


(46)

Setelah pengamatan 24 jam, terlihat zona bening disekitar disk yang direndam dengan larutan kitosan blangkas 0,05%; 0,1%; 0,15% dengan pelarut gliserin 100%. Kontrol negatif gliserin 100% tidak menunjukkan zona bening sama sekali. Zona bening pada konsentrasi yang telah diturunkan menunjukkan bahwa pada konsentrasi rendah pun, larutan kitosan blangkas dapat menghambat pertumbuhan Candida

albicans, maka konsentrasi larutan kitosan blangkas dengan pelarut gliserin 100%

diturunkan lagi antara rentang 0,0009% sampai dengan 0,01%. Konsentrasi yang diuji antara lain 0,0009%; 0,0005%; 0,005%; 0,006%; 0,007%; 0,008%; 0,009%; 0,01%; 0,025% dan 0,05%.

(a) (b)

Konsentrasi 0,005%

Gliserin

Konsentrasi 0,007%

Konsentrasi 0,008% Konsentrasi 0,006%

Konsentrasi 0,009%

Gliserin Konsentrasi 0,0005%


(47)

(c)

Gambar 13. Hasil percobaan setelah 24 jam : terdapat zona bening disekitar disk yang telah direndam bahan coba dengan konsentrasi (a)0,006%; 0,007%; 0,008% dan 0,009% (b) 0,05%; 0,025% dan 0,01% (c) 0,0009%; 0,0005%; 0,005%

Setelah pengamatan 24 jam, terlihat zona bening disekitar disk yang direndam dengan larutan kitosan blangkas 0,006%; 0,007%; 0,008%; 0,009%; 0,05%; 0,025% dan 0,01% sedangkan disk yang direndam dengan larutan kitosan blangkas 0,0009%; 0,0005%; 0,005% dan kontrol negatif gliserin 100% tidak menunjukkan zona bening sama sekali. Maka nilai Minimum Inhibitory Concentration (MIC) larutan kitosan blangkas dengan pelarut gliserin 100% adalah larutan dengan konsentrasi 0,006% karena merupakan konsentrasi minimal dari larutan kitosan blangkas yang mampu menghambat pertumbuhan Candida albicans.

5.2 Analisis hasil penelitian

Data dari pengukuran diameter zona hambat pertumbuhan Candida albicans pada konsentrasi 0,25%; 0,5%, dan 1% dilakukan analisa secara statistik dengan

derajat kemaknaan (α=0,05). Perbedaan efek antifungal antara kelompok perlakuan

Konsentrasi 0,025%

Konsentrasi 0,01% Konsentrasi 0,05%


(48)

diuji dengan menggunakan uji ANOVA satu arah dan untuk melihat perbedaan efek antifungal antara masing-masing perlakuan digunakan uji Least Significant Difference (LSD).

TABEL 3. HASIL UJI ANOVA EFEK ANTIFUNGAL KITOSAN BLANGKAS 0,25%; 0,5%; 1% DAN KONTROL (GLISERIN)

Kelompok perlakuan

n X + SD Pb)

0,25% 10 12.85 + 1,67 0,000*

0,5% 10 13.15 + 1,67

1% 10 13.25 + 1,91

Kontrol (gliserin) 10 6.00 + 0,00 Keterangan : b) Uji Anova

* signifikan

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa ada perbedaan yang signifikan (p < 0,05) pada konsentrasi larutan kitosan blangkas 0,25%; 0,5%; 1% dalam menghambat pertumbuhan Candida albicans.

TABEL 4. HASIL UJI LSD EFEK ANTIFUNGAL KITOSAN BLANGKAS 0,25%; 0,5%; 1% DAN KONTROL (GLISERIN)

Kelompok perlakuan

0,25% 0,5% 1% Kontrol

0,25% *

0,5% *

1% *

Kontrol * * * *

*. Adanya perbedaan yang signifikan pada derajat kemaknaan 0,05

Hasil uji LSD menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan (P>0,05) antar masing-masing konsentrasi larutan kitosan blangkas yang diuji (0,25%; 0,5%, dan 1%) dalam menghambat pertumbuhan Candida albicans. .Namun, terdapat perbedaan yang


(49)

signifikan (p < 0.05) antara konsentrasi larutan kitosan blangkas 0,25%; 0,5%;1% dengan gliserin (kontrol negatif).


(50)

BAB 6 PEMBAHASAN

Penelitian mengenai efek antifungal kitosan blangkas bermolekul tinggi dengan pelarut gliserin terhadap Candida albicans adalah untuk membuktikan bahwa kitosan blangkas bermolekul tinggi yang diaplikasikan dengan pelarut gliserin memiliki daya hambat terhadap Candida albicans jika digunakan sebagai pengembangan bahan

dressing saluran akar. Selain itu, penelitian ini juga untuk mengetahui nilai MIC (Minimum Inhibitory Concentration) yakni konsentrasi minimal dari larutan kitosan

blangkas bermolekul tinggi dengan pelarut gliserin yang mampu menghambat pertumbuhan Candida albicans yang ditunjukkan oleh zona bening yang terbentuk disekitar disk setelah diinkubasi selama 24 jam.

Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode difusi agar dimana paper disk (Ǿ 6 mm) yang telah direndam bahan coba berkontak langsung dengan media yang telah diinokulasi oleh Candida albicans, kemudian diukur zona bening yang terbentuk setelah diinkubasi selama 24 jam. Zona bening menunjukkan daya hambat yang dihasilkan dari bahan coba terhadap Candida albicans, Konsentrasi awal bahan coba sebesar 1%; 0,5% dan 0,25% ditentukan berdasarkan penelitian terdahulu diantaranya Ramisz et al., (2005) menunjukkan bahwa larutan 1% kitosan dalam 1% asam asetat dapat menghambat pertumbuhan Candida albicans. Penelitian lainnya yakni Fania dan Trimurni., (2009) membuktikan bahwa hanya kitosan blangkas pada konsentrasi 1% dan 0,5% dengan pelarut gliserin yang memiliki daya hambat terhadap bakteri Fusobacterium nucleatum.


(51)

O OH

NH2 - CH3COOH

+

Larutan kitosan blangkas bermolekul tinggi dibuat dengan melarutkan bubuk kitosan blangkas dengan asam asetat 1% kemudian dicampurkan dengan pelarut gliserin 100%. Mekanisme reaksi kitosan dicampurkan dengan asam asetat sebagai berikut:

+ CH3COOH

Gambar 14. Reaksi kitosan dengan asam asetat

Asam asetat digunakan karena sifat kitosan yang hanya dapat larut dalam asam encer seperti asam asetat, asam formiat dan asam sitrat.12,13 Tujuan penggunaan pelarut

gliserin adalah untuk mempermudah aplikasi kitosan blangkas yang nantinya akan digunakan sebagai pengembangan bahan dressing saluran akar. Pelarut gliserin ini tidak memiliki efek antibakteri dan antifungal, hal ini dibuktikan pada penelitian Fania dan Trimurni., (2009) yang menggunakan gliserin sebagai pelarut kitosan blangkas bermolekul tinggi tidak menunjukkan aktivitas antibakteri terhadap Fusobacterium

nucleatum. Penelitian Gomes et al., (2002) menyatakan bahwa pelarut aqueous dan viscous yang digunakan pada penelitiannya tidak memberikan efek antibakteri, salah

satunya adalah gliserin. CH2OH


(52)

Hasil uji konsentrasi awal setelah 24 jam menunjukkan zona hambat paling besar terdapat pada konsentrasi 1% dengan rata-rata diameter zona hambat sebesar 13,25 mm kemudian 0,5% sebesar 13,15 mm dan 0,25% sebesar 12,85 mm yang berarti bahwa ketiga konsentrasi tersebut efektif dalam menghambat pertumbuhan

Candida albicans. Pada konsentrasi awal ini, tidak ditemukan pertumbuhan Candida albicans pada zona hambat yang berarti bahwa kitosan pada konsentrasi 1%; 0,5% dan

0,25% bersifat fungisidal.

Pada konsentrasi awal ini dilakukan analisa data statistik yakni uji ANOVA dan LSD. Hasil uji ANOVA (tabel 3) menunjukkan konsentrasi larutan kitosan blangkas 0,25%; 0,5%; 1% memberikan pengaruh yang bermakna terhadap pertumbuhan

Candida albicans dimana pada konsentrasi yang semakin tinggi, zona hambat yang

terbentuk semakin besar yang berarti kitosan blangkas semakin efektif dalam menghambat pertumbuhan Candida albicans. Hasil uji LSD (tabel 4) menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna antar kelompok dengan masing-masing konsentrasi larutan kitosan blangkas yang diuji (0,25%; 0,5%; 1%) dalam menghambat pertumbuhan Candida albicans tetapi terdapat perbedaan bermakna antara konsentrasi larutan kitosan blangkas 0,25%; 0,5%;1% dengan gliserin (kontrol negatif).

Kemudian untuk menentukan nilai MIC (Minimum Inhibitory Concentration), konsentrasi larutan kitosan blangkas dengan pelarut gliserin 100% diturunkan menjadi 0,05%; 0,1%; dan 0,15%. Hasilnya menunjukkan zona hambat yang masih efektif dalam menghambat Candida albicans dengan rata-rata diameter sebesar 10,075 mm pada konsentrasi 0,15%; 9,575 mm pada konsentrasi 0,1% dan 9,2 mm pada konsentrasi 0,05%. Namun, pada konsentrasi ini terdapat Candida albicans yang


(53)

tumbuh pada zona hambat yang berarti konsentrasi 0,05%; 0,1%; dan 0,15% bersifat fungistatik. Hasil ini belum menunjukkan konsentrasi minimal dari larutan kitosan blangkas yang mampu menghambat pertumbuhan Candida albicans, maka konsentrasi diturunkan antara rentang 0,0009% sampai dengan 0,05%. Konsentrasi yang diuji antara lain 0,0009%; 0,0005%; 0,005%; 0,006%; 0,007%; 0,008%; 0,009%; 0,05%; 0,01%; 0,025% dan 0,05%.

Pemilihan rentang konsentrasi rendah tersebut dikarenakan pada konsentrasi awal dan konsentrasi berikutnya yang telah diturunkan, kitosan blangkas tetap memiliki daya hambat pertumbuhan yang cukup besar terhadap Candida albicans. Pada pengujian dengan rentang konsentrasi 0,0009% sampai dengan 0,05%, diperoleh nilai MIC larutan kitosan blangkas dengan pelarut gliserin pada konsentrasi 0,006%. Nilai MIC yang sangat rendah menunjukkan bahwa kitosan blangkas bermolekul tinggi dengan pelarut gliserin sangat efektif dalam menghambat pertumbuhan Candida

albicans. Hasil penelitian Ramisz et al.,(2005) menunjukkan 0,6 mg/cm3 sebagai nilai

MIC kitosan terhadap Candida albicans dan merupakan nilai MIC paling rendah

dibandingkan dengan bakteri dan jamur lain yang diuji. El Ghaouth et al (1992) menemukan bahwa kitosan dapat mengurangi pertumbuhan B. Cinerea hingga 90% dan R. Stolonifer hingga 75% pada konsentrasi 6 mg/ml yang berarti pada konsentrasi ini kitosan bersifat fungisidal daripada fungistatik.

Efek antibakteri dan antifungal kitosan dipengaruhi oleh derajat deasetilasi, berat molekul, pH dan temperatur (Rout., 2002). Yoshua (2008) membuktikan bahwa peningkatan derajat deasetilasi kitosan diikuti dengan penurunan jumlah koloni


(54)

terhadap jamur Colletotrichum gloeosporioides pada tanaman menunjukkan bahwa efek fungisidal kitosan akan semakin besar pada konsentrasi yang semakin tinggi. Hirano dan Nagao (1989) meneliti beberapa tipe kitosan (kitosan bermolekul tinggi dan rendah, kitosan oligosakaride dan asam pektin) pada 18 jenis jamur yang berbeda dan menemukan bahwa aktifitas fungisidal paling baik terdapat pada media yang ditambahkan kitosan bermolekul tinggi. Menurut Liu et al., (2004), aktifitas antimikroba kitosan meningkat sejalan dengan semakin tingginya derajat deasetilasi karena akan semakin banyak jumlah gugus amino (NH3+) yang dimilikinya. Kitosan

yang dipakai pada penelitian ini adalah kitosan yang diperoleh dari cangkang blangkas (limulus polyphemus) yang mempunyai derajat deasetilisasi 84,20% dengan berat molekul 893000 Mv (Trimurni et al., 2007).

Mekanisme antibakteri kitosan adalah adanya muatan kation gugus amino (NH3+) yang berikatan dengan komponen anion seperti asam N-asetilmuramik, asam

sialik dan asam neuraminik pada permukaan sel dan menekan pertumbuhan bakteri dengan menghalangi pertukaran medium, peralihan ion pengkhelat dan menghambat enzim. Mekanisme ini juga yang mendasari efek antifungal dari kitosan (Ramisz et al., 2005). Leuba et al (1986) dan El Ghaouth et al (1992) melaporkan bahwa kitosan mempengaruhi membran sel jamur, menginduksi kebocoran materi selular yang mempengaruhi keseimbangan biosintesis dan degradasi komponen dinding sel. Perubahan permeabilitas membran dinding sel Candida albicans menyebabkan kebocoran substansi intraseluler yang penting bagi metabolisme normal sel seperti ion kalsium yang dibutuhkan untuk berubah menjadi bentuk hifa yang lebih patogen


(55)

(Jackson and Heath., 1993). Hadwiger dan Loschke (1981) menyatakan interaksi kitosan dengan DNA dan mRNA jamur adalah dasar dari efek antifungal dari kitosan.

Gambar 15. Migrasi dan lokalisasi kitosan pada bagian fungsional sel jamur.32

Dari hasil penelitian dapat dikemukakan bahwa kitosan blangkas bermolekul tinggi dengan pelarut gliserin memiliki efek antifungal dimana semakin tinggi konsentrasinya maka semakin efektif dalam menghambat pertumbuhan Candida

albicans. Hal ini berarti hipotesis dari penelitian ini diterima. Dengan melihat efek

antifungal yang dihasilkan dari kitosan blangkas bermolekul tinggi dengan pelarut gliserin ini, maka kemungkinan kitosan blangkas dapat dikembangkan sebagai bahan


(56)

BAB 7

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian efek antifungal kitosan blangkas (Lymulus

polyphemus) bermolekul tinggi dengan pelarut gliserin terhadap Candida albicans

sebagai alternatif bahan dressing saluran akar (penelitian in vitro) dapat disimpulkan bahwa:

• Semakin tinggi konsentrasi larutan kitosan blangkas bermolekul tinggi dengan pelarut gliserin maka semakin efektif dalam menghambat pertumbuhan Candida

albicans.

• Ada perbedaan yang signifikan (p < 0,05) pada konsentrasi larutan kitosan blangkas 0,25%; 0,5%; 1% dalam menghambat pertumbuhan Candida albicans.

• Tidak ada perbedaan yang signifikan (P>0,05) antar masing-masing konsentrasi larutan kitosan blangkas 0,25%; 0,5%; 1% dalam menghambat pertumbuhan

Candida albicans.

• Ada perbedaan yang signifikan (p < 0.05) antara konsentrasi larutan kitosan blangkas 0,25%; 0,5%; 1% dengan gliserin (kontrol negatif) dalam menghambat pertumbuhan Candida albicans.

• Nilai MIC dari larutan kitosan blangkas bermolekul tinggi dengan pelarut gliserin adalah 0,006%.


(57)

• Pada konsentrasi awal yakni 0,25%; 0,5% dan 1% tidak ditemukan pertumbuhan

Candida albicans pada zona hambat yang berarti bahwa kitosan pada konsentrasi

tersebut bersifat fungisidal.

• Pada rentang konsentrasi 0,15% sampai dengan 0,006% ditemukan pertumbuhan

Candida albicans pada zona hambat yang berarti bahwa kitosan pada konsentrasi

tersebut bersifat fungistatik. 7.2 Saran

• Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai efek antifungal dari larutan kitosan blangkas bermolekul tinggi dengan pelarut gliserin terhadap Candida


(58)

DAFTAR PUSTAKA

1. Baumgartner JC, Watts CM, Xia T. Occurrence of Candida albicans in Infections

of Endodontic Origin. J Endodon 2000; 26(12): 695-98.

2. Waltimo TMT, Sen BH, Meurman JH, Ǿrstavik D, Haapasalo MPP. Yeast in Apical Periodontitis. Crit Rev Oral Biol Med 2003; 14(2): 128-37.

3. Haapasalo HK, Sirén EK, Waltimo TMT, Ǿrstavik D, Haapasalo MPP.

Inactivation of local root canal medicaments by dentine: an in vitro study. Int

Endodont J 2000; 33: 126-31.

4. Ashraf H, Samiee M, Eslami G, Hosseini MRG. Presence of Candida albicans in

root canal system of teeth requiring endodontic retreatment with and without periapical lesions. Iranian Endo J 2007; 2: 24-8.

5. Nirmala V. Effects of irrigation solutions and Calcium hydroxide dressing on

root canal treatments of periapical lesions Maj. Ked. Gigi. 2005; 39: 28-31.

6. Walton RE, Torabinejad M. Prinsip dan Praktik Ilmu Endodonsia. Alih bahasa:

Narlan Sumawiranata, Lilian Juwono. Jakarta: EGC, 2008: 325.

7. Kudiyirickal MG, Ivancakova. Antimicrobial Agents Used In Endodontic

Treatment. Acta Medica 2008; 51(1):3-12.

8. Ballal V, Kundabala M, Acharya S, Ballal M. Antimicrobial action of calcium

hydroxide, chlorhexidine and their combination on endodontic pathogens. Aust

Dent J 2007; 52(2): 118-21.

9. Ariyani M. Perbedaan Daya Hambat Sodium Hipoklorit (NaOCI) Dan Kalsium

Hidroksida (Ca(OH)2) Dengan Berbagai Pelarut Terhadap Pertumbuhan Candida Albicans (Penelitian In Vitro).

10.Leswari MI. Peranan Kalsium Hidroksida Sebagai Bahan Pelindung Pulpa


(59)

11.Radeva E, Indjov B, Vacheva R. In Vitro Study of The Effectiveness of

intracanal irrigants on Candida albicans. Journal of IMAB 2007; 2: 3-6.

12.Siquera JF, Rocas IN, Lopes HP, Elias CN, Uzeda M. Fungal Infection of the

Radicular Dentin. J Endodont 2002; 28: 770-3.

13.Siquera JF, Rôças IN, Lopes HP, Magalhães FAC, Uzeda M. Elimination of

Candida albicans Infections of the Radicular Dentin by Intracanal Medications.

The American Association of Endodontists 2003; 29(8) : 501-4.

14.Raafat D, Bargen K, Haas A, Sahl HG. Chitosan as an antibacterial compound:

insights into its mode of action. Appl Environ Microbiol 2008; 74(12): 3764-73.

15.Trimurni A, Harry A, Wandania F. Laporan Akhir Penelitian Riset Pembinaan

Iptek Kedokteran 2006/2007. Medan. Fakultas Kedokteran Gigi USU, 2006:

16-8, 27-30, 37-9.

16.Irawan B. Chitosan dan Aplikasi Klinisnya sebagai Biomaterial. Indonesian J Dent 2005; 12(3): 146-51.

17.Sun-Ok FK. Physicochemical and Functional Properties of Crawfish Chitosan

as Affected by Different Processing Protocols. Thesis. Seoul: Seoul National

University, 1991: 1-31.

18.Banurea FE, Trimurni A. Antibacterial Effect of high Molecule Chitosan Blangkas (Limulus Polyphemus) against Fusobacterium nucleatum. Arch Orofasial Sc Kelantan, Malaysia. 2008; 3(2): 73.

19.Rahmy FM. Perbedaan Daya Hambat Kitosan Blangkas (Lymulus polyphemus)

Bermolekul Tinggi Dengan Pelarut Gliserin Dan VCO (Virgin Coconut Oil) Terhadap Fusobacterium nucleatum ATCC 25586 (Penelitian IN-VITRO).

20.Ramisz AB, Pajak AW, Pilarczyk B, Ramisz A, Laurans L. Antibacterial and


(60)

21.Kusumaningtyas E. Mekanisme infeksi Candida albicans pada permukaan sel. Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis 2005: 304-13.

22.Chaffin WJ, Lopez-ribot J, Casanova M, Gozalbo D, Martinez JP. Cell Wall and

Secreted Proteins of Candida albicans Identifications, Functions, and Expression. Microbiol Mol Biol Rev 1998; 62(1): 130-180.

23.Ballal NV, Kundabala M, Bhat KS, Acharya S, Ballal M, Kumar R, Prakash PY.

Susceptibility of Candida albicans and Enterococcus faecalis to Chitosan, Chlorhexidine gluconate and their combination in vitro. Aust Endod J 2009; 35:

29-33.

24.Estrela C, Decurcio DA, Alencar AHG, Sydney GB, Silva JA. Efficacy of

calcium hydroxide dressing in endodontic infection treatment: a systematic review. Rev. odonto ciênc 2008; 23(1): 82-6.

25.Estrela C, Holland R. Calcium Hydroxide: Study Based on Scientific Evidences. J Appl Oral Sci 2003; 11(4): 269-82.

26.Gomes BPF, Ferraz CCR, Vianna ME, Rosalen PL, Zaia AA, Teixeira FB, Souza-Filho FJ. Invitro antimicrobial activity of calcium hydroxide pastes and

their vehicle against selected microorganisms. Braz Dent J 2002; 13(3): 155-61.

27.Permatasari R. Kalsium Hidroksida sebagai Medikamen Intrakanal antar

Kunjungan dalam Perawatan Saluran Akar. JITEKGI 2005; 2(1): 9-12.

28.Chung YC, Su YP Chen CC, Jia G, Wang HL, Wu JCG, Lin JG. Relationship

between antibacterial activity of chitosan and surface characteriscs of cell wall.

Acta Pharmacol Sin 2004; 25(7): 932-6.

29.Hardjito L. Chitosan sebagai bahan pengawet pengganti formalin. Majalah Pangan: Media Komunikasi dan Informasi 2006; 15(46): 80-4.

30.Anonymus. Chitin and Chitosan.


(61)

31.El Ghaouth A, Arul J, Grenier J, Asselin A. Antifungal Activity of Chitosan on

Two Postharvest Pathogens of Strawberry Fruits. Phytopathology 1992; 82:

398-402.

32.Jackson SL, Heath IB. Roles of Calcium Ions in Hyphal Tip Growth. Microbiol Mol Biol Rev 1993; 57(2): 367-82.

33.Hadwiger LA, Loschke DC. Molecular Communication in Host-Parasite

Interactions: Hexosamine Polymers (Chitosan) as Regulator Compounds in Race-Specific and Other Interactions. Phytopathology 1981; 71: 756-62.

34.Yoshua A. Efek Anti Jamur Dari Kitosan Dengan Perbedaan Derajat

Deasetilasi Terhadap Candida albicans (Penelitian Eksperimental Laboratorik).

35.Bautista-Banos S, Hernandez-Lopez M, Hernandez-Lauzardo AN, Treso-Espino JL. Effect of Chitosan on in vitro Development and Morphology of Two Isolates

of Colletotrichum Gloeosporioides (Penz.) Penz. And Sacc. Revista Mexicana de


(62)

Lampiran I

ALUR PIKIR

• Mikroba merupakan penyebab penyakit pulpa dan jaringan periradikuler yang dapat ditemukan pada saluran akar yang terinfeksi berupa bakteri, termasuk spirochete dan jamur. Beberapa penelitian menunjukkan adanya jamur pada infeksi endodontik dan infeksi saluran akar yang telah dirawat. (Baumgartner et al. 2000)

• Jamur merupakan flora normal di dalam rongga mulut, tetapi akan menyebabkan penyakit apabila terdapat faktor predisposisi lokal atau sistemik yang menyebabkan infeksi (Baumgartner et al. 2000).

Candida Albicans merupakan jamur yang paling umum dijumpai di rongga mulut (Shepherd 1992 cit. Waltimo et al. 1999)

Candida Albicans ditemukan 5-20% dari saluran akar yang terinfeksi (Waltimo et al. 2003)

• Candida Albicans spesies yang paling sering diisolasi dari saluran akar yang telah dirawat namun tetap terjadi lesi periapikal dan merupakan spesies Candida yang paling virulent dalam penelitian eksperimental yang telah dilakukan (Odds 1988 cit. Waltimo et al. 1999)

• Candida Albicans resisten terhadap Ca(OH)2 (Ballal et al 2007, Waltimo et al 1999)

• Ca(OH)2 sebagai bahan dressing karena memiliki pH yang tinggi disebabkan kandungan ion

hidroksil yang tinggi. Ca(OH)2 yang diletakkan di dalam saluran akar akan terurai menjadi

ion Ca2+ dan ion OH- . Ion OH- berdifusi ke dalam tubulus dentin yang menyebabkan peningkatan pH di dalam tubulus dentin menghasilkan efek antibakteri. (Nerwich et al 1993, Leonardo et al 2002, Estrela et al 1999)

• Kekurangan Ca(OH)2 yakni tidak mengatasi nyeri (Walton 1997), kurang efektif

menghambat spesies Candida (Athanassiadis 2007, Waltimo 1999)

Kitosan, ditemuka n Rouget (1859) merupakan biopolymer karbohdrat (polisakarida) dari glukosamin yang dihasilkan dari proses N-diasetilasi kitin.

• Kitosan terdiri dari molekul rendah, sedang dan molekul tinggi yang berasal dari hewan laut bercangkang keras misalnya kepiting, kerang dan blankas, serta dari hewan laut bercangkang lunak seperti udang, cumi-cumi dll.

Kitosan blangkas dikembangkan sebagai bahan dressing yang bersifat alami, biodegradabel, biokompatibel dan bersifat antibakteri.

Penelitian Banurea dan Trimurni (2008) menunjukkan bubuk kitosan blangkas bermolekul tinggi bereaksi positif sebagai antibakteri terhadap Fusobacterium Nucleatum.


(63)

Dari uraian diatas, terlihat kitosan blangkas bermolekul tinggi yang diaplikasikan dengan bahan pelarut gliserin memiliki efek antibakteri, tetapi sejauh ini belum ada penelitian mengenai efek antifungalnya terhadap Candida Albicans sebagai mikroflora yang sering ditemukan dalam saluran akar gigi yang terinfeksi.

Timbul permasalahan :

Apakah ada efek antifungal dari kitosan blangkas bermolekul tinggi yang diaplikasikan dengan bahan pelarut gliserin terhadap Candida Albicans?

Tujuan penelitian:

Untuk mengetahui efek antifungal dari kitosan blangkas bermolekul tinggi yang diaplikasikan dengan bahan pelarut gliserin terhadap Candida Albicans jika dipakai

Judul penelitian:

Efek Antifungal Kitosan Blangkas Bermolekul Tinggi Dengan Pelarut Gliserin terhadap Candida Albicans sebagai Alternatif Bahan Dressing Saluran Akar Secara In Vitro.


(64)

Lampiran II

Skema alur penelitian 1. Pembuatan media

2. Pembiakan spesimen

Potato Dekstose Agar 7,8 + Aquadest 200 ml

Dipanaskan hingga mendidih

Dimasukkan ke dalam 10 tabung reaksi

Disterilkan di dalam autoklaf selama 2 jam

Dipanaskan kembali

Dituangkan ke dalam 10 petri

Stem cell Candida albicans

Dibiakkan pada media pertumbuhan (PDA)

1-2 ose koloni disuspensikan dengan larutan NaCl 0,9 %


(65)

3. Persiapan bahan coba dan pra penelitian

Dicampur merata (divortex)

Diambil sebanyak 9 ml + 1 ml pelarut gliserin

Lar. Kitosan

blangkas 0,25% (0,25gr + 100ml

Lar. Kitosan blangkas 0,5% (0,5gr + 100ml

Lar. Kitosan blangkas 1% (1gr + 100ml

9 ml KB 0,25 %+ 1ml gliser 9 ml KB 0,5% + 1ml gliser in 9 ml KB 1% + 1ml gliser i Kontrol (-) 10 ml gliserin


(66)

4. Penentuan efek antifungal kitosan blangkas dengan pelarut gliserin pada konsentrasi yang berbeda

Dituang ke dalam petri dish

Rendam disk di dalam petri, lalu biarkan selama 1 jam

Disk diletakkan pada media Potato Dekstose Agar (PDA) yang telah disebar suspensi Candida

albicans

Inkubasi 370C, 24 jam pada inkubator

Ukur zona hambat pada masing-masing perlakuan dengan menggunakan jangka sorong I. Lar. Kitosan

blangkas 0,25% (0,25gr + 100ml asam asetat 1%)

9 ml + 1ml gliserin

II. Lar. Kitosan blangkas 0,5% (0,5gr+100ml asam asetat1%) 9 ml + 1ml gliserin

III. Lar. Kitosan blangkas 1% (1gr + 100ml asam asetat 1%)

9 ml + 1ml gliserin 0,2 5% 0,5 % gli IV.Kontrol Negatif Gliserin 100% 1 %


(67)

Lampiran III

Oneway

Descriptives diameter zona hambat

N Mean Std. Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound

0,25% 10 12.8500 1.67166 .52863 11.6542 14.0458 11.00 16.25 0,5% 10 13.1500 1.66750 .52731 11.9571 14.3429 10.75 17.00 1% 10 13.2500 1.90759 .60323 11.8854 14.6146 10.75 17.25 gliserin (kontrol negatif) 10 6.0000 .00000 .00000 6.0000 6.0000 6.00 6.00 Total 40 11.3125 3.43472 .54308 10.2140 12.4110 6.00 17.25

Test of Homogeneity of Variances diameter zona hambat

Levene

Statistic df1 df2 Sig.

4.613 3 36 .008

ANOVA diameter zona hambat

Sum of

Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 377.169 3 125.723 54.580 .000 Within Groups 82.925 36 2.303


(68)

Multiple Comparisons

Dependent Variable: diameter zona hambat LSD

(I) konsentrasi kitosan blangkas (%)

(J) konsentrasi kitosan blangkas (%)

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

0,25% 0,5% -.30000 .67874 .661 -1.6766 1.0766

1% -.40000 .67874 .559 -1.7766 .9766

gliserin (kontrol negatif) 6.85000(*) .67874 .000 5.4734 8.2266

0,5% 0,25% .30000 .67874 .661 -1.0766 1.6766

1% -.10000 .67874 .884 -1.4766 1.2766

gliserin (kontrol negatif) 7.15000(*) .67874 .000 5.7734 8.5266

1% 0,25% .40000 .67874 .559 -.9766 1.7766

0,5% .10000 .67874 .884 -1.2766 1.4766

gliserin (kontrol negatif) 7.25000(*) .67874 .000 5.8734 8.6266 gliserin (kontrol negatif) 0,25% -6.85000(*) .67874 .000 -8.2266 -5.4734

0,5% -7.15000(*) .67874 .000 -8.5266 -5.7734

1% -7.25000(*) .67874 .000 -8.6266 -5.8734 * The mean difference is significant at the .05 level.


(69)

Means Plots

0,25%konsentrasi kitosan blangkas (%)0,5%1%gliserin (kontrol negatif)

6.00 8.00 10.00 12.00 14.00

Mean of


(1)

Lampiran II

Skema alur penelitian

1. Pembuatan media

2. Pembiakan spesimen

Potato Dekstose Agar 7,8 + Aquadest 200 ml

Dipanaskan hingga mendidih

Dimasukkan ke dalam 10 tabung reaksi

Disterilkan di dalam autoklaf selama 2 jam

Dipanaskan kembali

Dituangkan ke dalam 10 petri

Stem cell Candida albicans

Dibiakkan pada media pertumbuhan (PDA)

1-2 ose koloni disuspensikan dengan larutan NaCl 0,9 %


(2)

3. Persiapan bahan coba dan pra penelitian

Dicampur merata (divortex)

Diambil sebanyak 9 ml + 1 ml pelarut gliserin

Lar. Kitosan

blangkas 0,25%

(0,25gr + 100ml

Lar. Kitosan blangkas 0,5%

(0,5gr + 100ml

Lar. Kitosan blangkas 1%

(1gr + 100ml

9 ml KB 0,25

%+ 1ml gliser

9 ml KB 0,5% + 1ml gliser

in

9 ml KB 1% +

1ml gliser i

Kontrol (-)

10 ml gliserin


(3)

4. Penentuan efek antifungal kitosan blangkas dengan pelarut gliserin pada konsentrasi yang berbeda

Dituang ke dalam petri dish

Rendam disk di dalam petri, lalu biarkan selama 1 jam

Disk diletakkan pada media Potato Dekstose Agar (PDA) yang telah disebar suspensi Candida albicans

Inkubasi 370C, 24 jam pada inkubator

Ukur zona hambat pada masing-masing perlakuan dengan menggunakan jangka sorong I. Lar. Kitosan

blangkas 0,25% (0,25gr + 100ml asam asetat 1%)

9 ml + 1ml gliserin

II. Lar. Kitosan blangkas 0,5% (0,5gr+100ml asam asetat1%) 9 ml + 1ml gliserin

III. Lar. Kitosan blangkas 1% (1gr + 100ml asam asetat 1%)

9 ml + 1ml gliserin 0,2 5% 0,5 % gli IV.Kontrol Negatif Gliserin 100% 1 %


(4)

Lampiran III

Oneway

Descriptives diameter zona hambat

N Mean Std. Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum Maximum

Lower Bound Upper Bound

0,25% 10 12.8500 1.67166 .52863 11.6542 14.0458 11.00 16.25

0,5% 10 13.1500 1.66750 .52731 11.9571 14.3429 10.75 17.00

1% 10 13.2500 1.90759 .60323 11.8854 14.6146 10.75 17.25

gliserin (kontrol negatif) 10 6.0000 .00000 .00000 6.0000 6.0000 6.00 6.00

Total 40 11.3125 3.43472 .54308 10.2140 12.4110 6.00 17.25

Test of Homogeneity of Variances diameter zona hambat

Levene

Statistic df1 df2 Sig.

4.613 3 36 .008

ANOVA diameter zona hambat

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 377.169 3 125.723 54.580 .000

Within Groups 82.925 36 2.303

Total 460.094 39


(5)

Multiple Comparisons

Dependent Variable: diameter zona hambat LSD

(I) konsentrasi kitosan blangkas (%)

(J) konsentrasi kitosan blangkas (%)

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound

0,25% 0,5% -.30000 .67874 .661 -1.6766 1.0766

1% -.40000 .67874 .559 -1.7766 .9766

gliserin (kontrol negatif) 6.85000(*) .67874 .000 5.4734 8.2266

0,5% 0,25% .30000 .67874 .661 -1.0766 1.6766

1% -.10000 .67874 .884 -1.4766 1.2766

gliserin (kontrol negatif) 7.15000(*) .67874 .000 5.7734 8.5266

1% 0,25% .40000 .67874 .559 -.9766 1.7766

0,5% .10000 .67874 .884 -1.2766 1.4766

gliserin (kontrol negatif) 7.25000(*) .67874 .000 5.8734 8.6266

gliserin (kontrol negatif) 0,25% -6.85000(*) .67874 .000 -8.2266 -5.4734

0,5% -7.15000(*) .67874 .000 -8.5266 -5.7734

1% -7.25000(*) .67874 .000 -8.6266 -5.8734


(6)

Means Plots

0,25%konsentrasi kitosan blangkas (%)0,5%1%gliserin (kontrol negatif) 6.00 8.00 10.00 12.00 14.00

Mean of

dzh


Dokumen yang terkait

Efek Antibakteri Kitosan Blangkas Molekul Tinggi Sebagai Perancah Dengan Ekstrak Batang Kemuning Terhadap Fusobacterium Nucleatum Sebagai Alternatif Bahan Medikamen Saluran Akar(In Vitro)

3 56 72

Efek Antibakteri Konsentrasi Ekstrak Batang Kemuning (murraya paniculata) Terhadap fusobacterium nucleatum Sebagai Bahan alternatif medikamen Saluran akar gigi (in vitro)

3 81 82

Efek Antibakteri Kitosan Blangkas (Lymulus polyphemus) Bermolekul Tinggi Terhadap Fusobacterium nucleatum (Penelitian In Vitro)

1 38 82

Perbedaan Daya Hambat Kitosan Blangkas (Lymulus polyphemus) Bermolekul Tinggi Dengan Pelarut Gliserin Dan VCO (Virgin Coconut Oil) Terhadap Fusobacterium nucleatum ATCC 25586 (Penelitian IN-VITRO)

1 52 88

Perbedaan Jumlah Ekstrusi Debris Antara Kitosan Blangkas Molekul Tinggi Dengan Sodium Hipoklorit Pada TindakanIrigasi Saluran Akar (Penelitian In Vitro)

0 8 13

Perbedaan Jumlah Ekstrusi Debris Antara Kitosan Blangkas Molekul Tinggi Dengan Sodium Hipoklorit Pada TindakanIrigasi Saluran Akar (Penelitian In Vitro)

0 0 2

Perbedaan Jumlah Ekstrusi Debris Antara Kitosan Blangkas Molekul Tinggi Dengan Sodium Hipoklorit Pada TindakanIrigasi Saluran Akar (Penelitian In Vitro)

0 0 6

Perbedaan Jumlah Ekstrusi Debris Antara Kitosan Blangkas Molekul Tinggi Dengan Sodium Hipoklorit Pada TindakanIrigasi Saluran Akar (Penelitian In Vitro)

0 0 26

Perbedaan Jumlah Ekstrusi Debris Antara Kitosan Blangkas Molekul Tinggi Dengan Sodium Hipoklorit Pada TindakanIrigasi Saluran Akar (Penelitian In Vitro)

0 0 4

Efek Antibakteri Kitosan Blangkas Molekul Tinggi Sebagai Perancah Dengan Ekstrak Batang Kemuning Terhadap Fusobacterium Nucleatum Sebagai Alternatif Bahan Medikamen Saluran Akar(In Vitro)

0 0 14