Pemerolehan Sintaksis Bahasa Indonesia Anak Usia Dua Tahun dan Tiga Tahun di Padang Bulan Medan

(1)

PEMEROLEHAN SINTAKSIS BAHASA INDONESIA

ANAK USIA DUA TAHUN DAN TIGA TAHUN

DI PADANG BULAN MEDAN

TESIS

OLEH

ISMARINIHUTABARAT 097009029

SEKOLAHPASCASARJANA PROGRAMSTUDILINGUISTIK UNIVERSITASSUMATERAUTARA

MEDAN 2011


(2)

PEMEROLEHANSINTAKSISBAHASAINDONESIA ANAKUSIADUATAHUNDANTIGATAHUN

DIPADANGBULANMEDAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora pada Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

OLEH

ISMARINIHUTABARAT 097009029/LNG

SEKOLAHPASCASARJANA UNIVERSITASSUMATERAUTARA

MEDAN 2011


(3)

Judul Tesis : PEMEROLEHAN SINTAKSIS BAHASA

INDONESIA ANAK USIA DUA TAHUN DAN TIGA DI PADANG BULAN MEDAN

Nama Mahasiswa : Ismarini Hutabarat Nomor Pokok : 097009029

Program Studi : Linguistik

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Mangantar Simanjuntak, Ph.D.) (Dr. Gustianingsih, M.Hum) Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D.) (Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang,MSIE)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal: 15 Agustus 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Mangantar Simanjuntak, Ph.D. Anggota : 1. Dr. Gustianingsih, M.Hum.

2. Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D. 3. Dr. Drs. Eddy Setia, M.Ed. TESP.


(5)

PRAKATA

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis yang berjudul “Pemerolehan Sintaksis Bahasa Indonesia Anak Usia Dua Tahun dan Tiga Tahun di Padang Bulan Medan”, ini dapat diselesaikan dengan baik.

Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Master Humaniora pada Program Studi Linguistik, Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Sumatera Utara.

Saya menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat dibutuhkan guna kesempurnaan tesis ini dan penelitian yang akan datang.

Medan , 19 Agustus 2011 Penulis


(6)

UCAPANTERIMAKASIH

Pertama sekali saya ucapkan syukur yang sedalam-dalamnya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan saya berkat kesehatan, waktu dan kesempatan sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik sesuai dengan waktu yang telah direncanakan. Hanya karena berkat dari-Nya lah maka semua dapat berjalan dengan baik.

Saya juga menyadari bahwa keberhasilan saya dalam menyelesaikan tesis ini tidak terlepas dari dukungan, baik moral maupun materi, dari berbagai pihak. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc(CTM). Sp.A(K), Direktur Sekolah Pascasarjana USU Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE, Ketua Program Studi Linguistik USU Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D., dan Sekretaris Program Studi Linguistik USU Dr. Nurlela, M.Hum , atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan studi saya dengan baik.

Saya juga menghaturkan rasa hormat dan terima kasih saya kepada Prof. Mangantar Simanjuntak, Ph.D., dan Dr. Gustianingsih, M.Hum selaku pembimbing saya dan juga kepada Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D., dan Dr. Drs. Eddy Setia, M.Ed. TESP., selaku penguji saya, yang telah membimbing serta memberi saran dan kritik yang membangun sehingga membantu saya untuk menyempurnakan tesis ini. Kepada seluruh dosen yang telah memberikan ilmu dan bimbingan yang sangat


(7)

berharga selama saya menempuh studi, saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya.

Kepada Chelsi, Matthew, Samuel dan Trinito beserta orang tua dan keluarga, saya mengucapkan terima kasih kepada kalian semua karena tanpa kesediaan kalian untuk menjadi subjek dalam penelitian ini, saya tidak akan mampu menyelesaikan tesis ini.

Terima kasihku yang terdalam kepada suamiku tercinta, Riduan Leonardo Sinaga, yang selalu mencintai dan mendukung saya selama masa studi saya dan membantu saya dalam menyelesaikan tesis ini. Terima kasih kepada anak-anakku tersayang, Ekklesia Nathaniel Sinaga, Anastasia Uli Sinaga, dan Felisia Elle Sinaga, yang selalu menjadi sumber inspirasi terbesar buat saya.

Terima kasih kepada orang tua saya, N. br. Harahap dan MS. Hutabarat, serta mertua saya R. br. Manullang atas dukungan moral dan materil yang diberikan kepada saya. Kepada adik-adikku, Ade Ismiaty Ramadhona Hutabarat, Roy Isnan Hutabarat, dan M. Isman Hutabarat, terima kasih karena kalian selalu ada untuk saya. Kepada abang dan kakak, Monang Sinaga dan Minar Sihite, terima kasih atas segala bantuan dan doa yang diberikan untuk kelancaran studi saya. Kepada keluarga Sitio, eda dan amangbawo, saya ucapkan terima kasih atas segala dukungan dan doa yang diberikan. Begitu juga untuk adikku, Evalencia Manullang, terima kasih karena tanpa bantuanmu saya tidak akan mempunyai waktu untuk menyelesaikan semua tugas kuliah dan tesis ini.


(8)

Terima kasih kepada teman-teman di Program Studi Linguistik USU; Hennilawati, Esto Tumanggor, Sinta Diana, Elfitriani, Dewina, Elva Yusanti, Prinsi dan teman-teman lain yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu. Semoga kebersamaan kita akan terus berlanjut ke masa yang akan datang.

Terima kasih kepada pihak-pihak lain yang tidak disebutkan. Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas semua amal baik yang telah dilakukan.


(9)

DAFTARRIWAYATHIDUP

Nama : Ismarini Hutabarat

NIM : 097009029

Program Studi : Linguistik

Tempat/Tanggal Lahir : P. Siantar/23 Januari 1979

Pekerjaan : Dosen Kopertis dpk Universitas Darma Agung Medan

Alamat : Jl. Mesjid Syuhada Gg. Selamat No. 1A


(10)

DAFTARISI

PRAKATA ... i

UCAPAN TERIMA KASIH ... ii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR SINGKATAN ... xiv

ABSTRAK ... xv

BAB I PENDAHULUAN……… 1

1.1 Latar Belakang Masalah ……… 1

1.2 Rumusan Masalah ……… 7

1.3 Lingkup Masalah... 8

1.4 Tujuan Penelitian ……… 8

1.5 Manfaat Penelitian ……… 9

1.5.1 Manfaat Teoretis... 9

1.5.2 Manfaat Praktis... 9

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA...11


(11)

2.1 Konsep ...11

2.1.1 Pemerolehan Bahasa...11

2.2 Landasan Teori ... 15

2.2.1 Pemerolehan Bahasa Menurut Chomsky ...15

2.2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemerolehan Bahasa ……… 17

2.2.3 Karakteristik Anak Usia Dua Tahun dan Tiga Tahun ... 23

2.2.4 Teori Perkembangan Bahasa Chomsky... 24

2.2.5 Sintaksis... 25

2.2.6 Pemerolehan Sintaksis... 26

2.2.7 Kalimat... 27

2.2.8 Kalimat Berdasarkan Modusnya... 29

2.2.8.1 Kalimat dalam Modus Deklaratif ... 29

2.2.8.2 Kalimat dalam Modus Interogatif .... 31

2.2.8.3 Kalimat dalam Modus Imperatif... 32

2.2.8.4 Kalimat dalam Modus Interjektif... 32

2.3 Tinjauan Pustaka... 33

BAB III METODE PENELITIAN... 38

3.1 Metode dan Teknik Penelitian... 38


(12)

3.3 Waktu dan Lokasi Penelitian... 41

3.4 Teknik Pengumpulan Data... 42

3.5 Metode dan Teknik Analisis Data... 43

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 48

4.1 Pemerolehan Sintaksis Bahasa Indonesia Anak Usia Dua Tahun dan Tiga... 48

4.1.1 Pemerolehan Sintaksis Bahasa Indonesia Anak Usia Dua Tahun ... 49

4.1.1.1 AN1... 51

4.1.1.2 AN2... 58

4.1.1.3 AN3 ... 63

4.1.2 Pemerolehan Sintaksis Bahasa Indonesia Anak Usia Tiga Tahun ... 69

4.1.2.1 AN4... 71

4.1.2.2 AN5 ... 77

4.1.2.3 AN6... 81

4.2 Perbedaan Pemerolehan Sintaksis Bahasa Indonesia Anak Usia Dua Tahun dan Tiga Tahun ……… 85

4.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pemerolehan Sintaksis Bahasa Indonesia Anak Usia Dua Tahun dan Tiga Tahun ……… 89


(13)

4.3.1 Faktor Alamiah ……… 91

4.3.1.1 AN1 ………. 91

4.3.1.2 AN2 ………. 92

4.3.1.3 AN3 ………. 92

4.3.1.4 AN4 ………. 93

4.3.1.5 AN5 ……….. 93

4.3.1.6 AN6 ……….. 94

4.3.2 Faktor Perkembangan Kognitif ………… 94

4.3.2.1 AN1 ………. 94

4.3.2.2 AN2 ………. 95

4.3.2.3 AN3 ………... 95

4.3.2.4 AN4 ………. 96

4.3.2.5 AN5 ………. 96

4.3.2.6 AN6 ………. 97

4.3.3 Faktor Latar Belakang Sosial ……….. 97

4.3.3.1 AN1 ………. 97

4.3.3.2 AN2 ………. 98

4.3.3.3 AN3 ………. 98

4.3.3.4 AN4 ………. 99

4.3.3.5 AN5 ………. 99

4.3.3.6 AN6 ………. 100


(14)

4.3.4.1 AN1 ………. 101

4.3.4.2 AN2 ………. 101

4.3.4.3 AN3 ………. 102

4.3.4.4 AN4 ………. 102

4.3.4.5 AN5 ………. 103

4.3.4.6 AN6 ………. 103

BAB V TEMUAN 5.1 Pemerolehan Sintaksis Bahasa Indonesia Anak Usia Dua Tahun dan Tiga Tahun ... 104

5.2 Perbedaan Pemerolehan Sintaksis Bahasa Indonesia Anak Usia Dua Tahun dan Tiga Tahun ... 106

5.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemerolehan Sintaksis Anak Usia Dua Tahun dan Tiga Tahun ... 109

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN... 111

6.1 Simpulan... 111

6.2 Saran... 112


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Biodata Anak ... 1 2. Data-Data ... 3


(16)

DAFTAR TABEL

1. Tabel 1 ... 46

2. Tabel 2 ... 64

3. Tabel 3 ... 79

4. Tabel 4 ...104

5. Tabel 5 ...106


(17)

DAFTAR SINGKATAN

LAD : Language Acquisition Device B1 : Bahasa Pertama

FLA : First Language Acquisition KFC : Kentucky Fried Chicken IQ : Intelligence Quotion PPB : Piranti Pemeroleh Bahasa TK : Taman Kanak-Kanak MLU : Mean Length of Utterance


(18)

ABSTRAK

Pada tahun pertama kehidupannya anak-anak mulai meniru kata-kata yang mereka dengar dari lingkungan sekitarnya dan dapat dikatakan pada saat itulah anak mulai menghasilkan “kata-kata pertama” mereka. Saat mereka berusia delapan belas bulan kata-kata yang mereka hasilkan semakin banyak dan berubah dari kalimat satu kata menjadi kalimat dua kata dan tiga kata.

Penelitian ini dilakukan berdasarkan teori biologis-kognitif Chomsky yang menyatakan bahwa setiap anak dilahirkan dengan potensi biologis untuk bahasa dan pemerolehan dan perkembangan bahasa terjadi bukan karena potensi biologis tersebut saja tetapi juga karena adanya lingkungan bahasa yang mendukung.

Untuk mengetahui pemerolehan sintaksis bahasa Indonesia anak usia dua tahun dan tiga tahun, tiga orang anak yang berusia dua tahun dan tiga orang anak yang berusia tiga tahun dijadikan subjek penelitian ini. Percakapan mereka dengan orang tua, saudara-saudara dan teman-teman mereka direkam dan kemudian percakapan yang direkam tersebut dianalisis untuk mengetahui kalimat-kalimat yang mereka hasilkan berdasarkan modus kalimat yaitu deklaratif, interogatif, imperatif dan interjektif. Kalimat-kalimat yang dihasilkan anak usia dua tahun dan tiga tahun tersebut kemudian dianalisis untuk mengetahui perbedaan kalimat yang dihasilkan. Akhirnya, faktor-faktor yang mempengaruhi pemerolehan sintaksis dianalisis.

Ditemukan bahwa umumnya anak usia dua tahun menggunakan kalimat dalam modus deklaratif dalam percakapan mereka, meskipun mereka sudah mampu menghasilkan berbagai kalimat dalam berbagai modus. Sebaliknya, anak usia tiga tahun telah memiliki kompetensi yang baik dalam menghasilkan berbagai kalimat dalam semua modus. Anak usia tiga tahun juga sudah mampu berimprovisasi dengan kalimat yang mereka hasilkan. Kadang-kadang anak usia dua tahun meniru apa yang diucapkan orang lain jika mereka menemukan kesulitan untuk mengungkapkan sesuatu. Namun, anak usia tiga tahun telah memiliki kompetensi yang baik dalam menghasilkan kalimat yang merupakan hasil kreasi mereka sendiri. Pemerolehan sintaksis anak usia dua tahun dan tiga tahun dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu faktor alamiah, faktor perkembangan kognitif, faktor latar belakang sosial, dan faktor keturunan; intelegensia dan gaya/cara pemerolehan bahasa.


(19)

ABSTRACT

During the first years of their life children has started to imitate the words they hear from their surroundings and it can be said that it is the first time they produce their “first words”. At the eighteenth month of their life the words they produced multiply and change from one-word sentences to two-word or three-word sentences.

This research is done based on the the cognitive-biological theory of Chomsky which says that every child is born with the biological potential for language and language acquisition and language development happen not only because of the biological potential and but also because of the supporting language environment.

To know the acquisition of Indonesian language syntax of children in two and three years of age, three children aged two and three children aged three were chosen as the subjects of this research. Their conversations with their parents, brothers and sisters, and friends were recorded and then the recorded conversations were analyzed to know their production of sentences based on the moods of the sentences. The sentences produced by the two-year-old and the three-year-old children were then compared to find out the differences of the sentences produced. Finally the factors affecting their syntax acquisition were analyzed.

It was found that generally children aged two used sentences in declarative mood in their conversations, although they had already been able to produce sentences in different moods. On the other hand, children aged three had already had good competence in producing sentences in all moods. Children aged three had also been able to improvise the sentences they produced. Sometimes, children aged two imitated what other people said when they had difficulties to express something, but children aged three had already had good competence in producing sentences created by themselves. The syntax acquisition of children in two and three years of age were affected by four factors which were natural factor, cognitive development factor, social background factor and heredity factor; intelligence and the style of language acquisition factor.


(20)

ABSTRAK

Pada tahun pertama kehidupannya anak-anak mulai meniru kata-kata yang mereka dengar dari lingkungan sekitarnya dan dapat dikatakan pada saat itulah anak mulai menghasilkan “kata-kata pertama” mereka. Saat mereka berusia delapan belas bulan kata-kata yang mereka hasilkan semakin banyak dan berubah dari kalimat satu kata menjadi kalimat dua kata dan tiga kata.

Penelitian ini dilakukan berdasarkan teori biologis-kognitif Chomsky yang menyatakan bahwa setiap anak dilahirkan dengan potensi biologis untuk bahasa dan pemerolehan dan perkembangan bahasa terjadi bukan karena potensi biologis tersebut saja tetapi juga karena adanya lingkungan bahasa yang mendukung.

Untuk mengetahui pemerolehan sintaksis bahasa Indonesia anak usia dua tahun dan tiga tahun, tiga orang anak yang berusia dua tahun dan tiga orang anak yang berusia tiga tahun dijadikan subjek penelitian ini. Percakapan mereka dengan orang tua, saudara-saudara dan teman-teman mereka direkam dan kemudian percakapan yang direkam tersebut dianalisis untuk mengetahui kalimat-kalimat yang mereka hasilkan berdasarkan modus kalimat yaitu deklaratif, interogatif, imperatif dan interjektif. Kalimat-kalimat yang dihasilkan anak usia dua tahun dan tiga tahun tersebut kemudian dianalisis untuk mengetahui perbedaan kalimat yang dihasilkan. Akhirnya, faktor-faktor yang mempengaruhi pemerolehan sintaksis dianalisis.

Ditemukan bahwa umumnya anak usia dua tahun menggunakan kalimat dalam modus deklaratif dalam percakapan mereka, meskipun mereka sudah mampu menghasilkan berbagai kalimat dalam berbagai modus. Sebaliknya, anak usia tiga tahun telah memiliki kompetensi yang baik dalam menghasilkan berbagai kalimat dalam semua modus. Anak usia tiga tahun juga sudah mampu berimprovisasi dengan kalimat yang mereka hasilkan. Kadang-kadang anak usia dua tahun meniru apa yang diucapkan orang lain jika mereka menemukan kesulitan untuk mengungkapkan sesuatu. Namun, anak usia tiga tahun telah memiliki kompetensi yang baik dalam menghasilkan kalimat yang merupakan hasil kreasi mereka sendiri. Pemerolehan sintaksis anak usia dua tahun dan tiga tahun dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu faktor alamiah, faktor perkembangan kognitif, faktor latar belakang sosial, dan faktor keturunan; intelegensia dan gaya/cara pemerolehan bahasa.


(21)

ABSTRACT

During the first years of their life children has started to imitate the words they hear from their surroundings and it can be said that it is the first time they produce their “first words”. At the eighteenth month of their life the words they produced multiply and change from one-word sentences to two-word or three-word sentences.

This research is done based on the the cognitive-biological theory of Chomsky which says that every child is born with the biological potential for language and language acquisition and language development happen not only because of the biological potential and but also because of the supporting language environment.

To know the acquisition of Indonesian language syntax of children in two and three years of age, three children aged two and three children aged three were chosen as the subjects of this research. Their conversations with their parents, brothers and sisters, and friends were recorded and then the recorded conversations were analyzed to know their production of sentences based on the moods of the sentences. The sentences produced by the two-year-old and the three-year-old children were then compared to find out the differences of the sentences produced. Finally the factors affecting their syntax acquisition were analyzed.

It was found that generally children aged two used sentences in declarative mood in their conversations, although they had already been able to produce sentences in different moods. On the other hand, children aged three had already had good competence in producing sentences in all moods. Children aged three had also been able to improvise the sentences they produced. Sometimes, children aged two imitated what other people said when they had difficulties to express something, but children aged three had already had good competence in producing sentences created by themselves. The syntax acquisition of children in two and three years of age were affected by four factors which were natural factor, cognitive development factor, social background factor and heredity factor; intelligence and the style of language acquisition factor.


(22)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Proses pemerolehan dan penguasaan bahasa anak-anak merupakan satu hal yang menakjubkan dan menarik dalam bidang linguistik. Dikatakan menakjubkan karena seorang anak dapat mengingat dan memahami suatu kata walaupun dia hanya mendengar kata tersebut satu kali saja. Maksudnya, ketika dia mendengar suatu kata untuk pertama kali, dia akan bertanya mengenai kata tersebut dan mengulang pengucapannya untuk mengingatnya. Namun, selanjutnya, dia sudah mampu mengucapkan dan menggunakan kata tersebut dengan benar sesuai dengan konteks kegunaan kata tersebut. Bahkan terkadang seorang anak menggunakan kata-kata baru yang seperti tiba-tiba diperolehnya tanpa diketahui dari mana dia memperolehnya. Hal ini membuat proses pemerolehan bahasa menarik untuk diteliti.

Bagaimana manusia memperoleh bahasa merupakan satu proses yang sangat mengagumkan. Pelbagai teori dari bidang disiplin yang berbeda telah dikemukakan oleh para ilmuwan untuk menjelaskan bagaimana proses ini berlaku pada anak-anak. Memang diakui, bahwa tanpa disadari atau tidak sistem-sistem linguistik telah dimiliki secara individu oleh anak-anak walaupun tidak secara formal. “…learning a first language is something every child does successfully, in a matter of a few years

and without the need for formal lessons.”


(23)

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: “…mempelajari bahasa pertama merupakan sesuatu yang dilakukan setiap anak dengan sangat baik, dalam hitungan beberapa tahun dan tanpa perlu pendidikan formal.”

Walaupun stimulant (rangsangan) bahasa yang diterima oleh anak-anak tidak teratur, namun mereka berupaya memahami sistem-sistem linguistik bahasa pertamanya sebelum menjelang usia lima tahun. Peristiwa yang menakjubkan ini telah berlaku dan terus berlaku dalam lingkungan masyarakat dan budaya.

Secara empiris, terdapat dua teori yang membicarakan pemerolehan bahasa, yaitu: Teori yang pertama, bahwa bahasa itu diperoleh manusia secara alamiah. Teori ini diperkenalkan dan dikembangkan oleh Noam Chomsky. Teori yang kedua, bahwa bahasa itu diperoleh manusia karena dipelajari. Teori ini dicetuskan untuk pertama kali oleh B. F Skinner (1957). Oleh karena itu, pemerolehan bahasa sering dikaitkan dengan cara-cara penguasaan bahasa anak-anak.

Brooks (1975) menganggap bahwa ‘kelahiran bahasa’ merupakan pemerolehan bahasa bagi tiap manusia. Bahasa diperoleh anak mulai dari bentuk yang paling sederhana hingga menuju kesempurnaan. Brooks mengutip Lenneberg bahwa anak akan mampu berbahasa menurut proses pematangan (maturation) dan tidak ada hubungan antara bahasa dan kebutuhan anak, jika seorang anak mencapai umur tertentu dia akan berbahasa. Proses tersebut berupa tahapan pemerolehan bahasa yang secara umum dialami oleh setiap anak di seluruh dunia. Ada dua pandangan yang bertentangan mengenai pemerolehan bahasa pada anak. Pandangan Behaviorisme menyatakan bahwa seorang anak mula-mula merupakan tabula rasa


(24)

atau sesuatu yang kosong. Kekosongan itulah yang selanjutnya akan diisi oleh lingkungan.

Dalam hal ini, Skinner berpendapat bahwa pemerolehan bahasa, juga pengetahuan lain, didasarkan pada mekanisme stimulus-respon. Dalam hal ini, bahasa berkaitan dengan fungsi penguatan. Penguatan (reinforcement) diberikan lingkungan (orang tua) kepada anak pada usahanya untuk mengenal bahasa. Oleh karena itu, kemampuan berbahasa seorang anak bersifat nurture atau nature ditentukan alam lingkungannya (Dardjowidjojo, 2005:234). Pendapat itu disanggah oleh Chomsky dengan mengenalkan hipotesis Rene Descartes, hipotesis bawaan, yang menyatakan bahwa setiap anak telah dilengkapi ‘piranti’ untuk memperoleh bahasa (Language Acquisition Device (LAD)). Piranti ini bersifat universal dengan dibuktikan adanya kesamaan tahapan setiap anak dalam memperoleh kemampuan berbahasanya. Dengan demikian, pemerolehan bahasa pada anak bersifat alamiah atau didasarkan pada nature (Dardjowidjojo, 2005:235) atau dengan kata lain manusia telah diciptakan menjadi makhluk berbahasa, karena mereka telah diprogram dan dilengkapi dengan segala sesuatu (otak, alat ucap, dst.).

Seperti hipotesis yang ditemukan oleh psikolog dan linguis beberapa abad yang lalu, pemerolehan bahasa pertama maupun pemerolehan bahasa kedua, terjadi melalui beberapa proses sistematik. Pemerolehan bahasa pertama (disebut B1) terjadi ketika: anak-anak yang normal dengan pertumbuhan yang wajar, yang belum pernah belajar bahasa apa pun sejak ia mulai belajar bahasa untuk pertama kalinya.


(25)

Pemerolehan suatu bahasa ini merupakan ‘bahasa pertama’, ‘bahasa asli’, ataupun ‘bahasa ibu’

Istilah ‘pemerolehan’ merupakan padanan kata acquisition. Istilah ini dipakai dalam proses penguasaan bahasa pertama sebagai salah satu perkembangan yang terjadi pada seorang manusia sejak lahir. Yang dimaksud dengan pemerolehan bahasa (language acquisition) di sini adalah proses-proses yang berlaku di pusat bahasa dalam otak seorang anak (bayi) pada waktu ia sedang memperoleh bahasa ibunya (Simanjuntak, 2009: 104). Secara alamiah anak akan mengenal bahasa sebagai cara berkomunikasi dengan orang di sekitarnya. Bahasa pertama yang dikenal dan selanjutnya dikuasai oleh seorang anak disebut bahasa ibu (native language). Penguasaan terhadap pemerolehan bahasa pertama bersifat ‘primer’ (pertama) dan ia (anak-anak) akan selalu menggunakannya selama hidup.

Bila anak-anak, yang pada mulanya tidak memiliki bahasa secara verbal, telah memperoleh satu bahasa dalam bahasa pertamanya, maka ia disebut ekabahasawan (monolingual first language acquisition). Namun, bila pada masa anak-anaknya ia memperoleh dua bahasa serentak dan menguasai dua bahasa itu sekaligus, maka ia disebut dwibahasawan (bilingual first language). Dalam pemerolehan bahasa yang ada di dunia, pemerolehan bahasa haruslah dipelajari. Tidak ada manusia yang langsung menguasai suatu bahasa saat dilahirkan. Dengan potensi yang dimiliki manusia sejak dalam kandungan hingga dilahirkan, anak-anak secara alami memperoleh prinsip-prinsip bahasa dari masyarakat bahasa yang ada di sekitarnya. Menurut Simanjuntak (1982), pemerolehan bahasa adalah penguasaan bahasa oleh


(26)

seseorang secara tidak langsung dan dikatakan aktif berlaku dalam kalangan anak-anak dalam lingkungan usia dua sampai enam tahun. Pemerolehan bahasa dikaitkan dengan penguasaan sesuatu bahasa tanpa disadari atau dipelajari secara langsung tanpa melalui pendidikan secara formal, namun memperoleh bahasa yang dituturkan oleh masyarakat di sekitarnya. Hal ini juga yang terjadi pada bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia sebagai B1 merupakan media yang dapat digunakan seorang anak untuk memperoleh nilai-nilai yang terkandung dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Pada usia anak-anak, pemerolehan bahasa meliputi ucapan yang dihasilkan oleh bunyi-bunyi pilihan kata, bentukan, dan kalimat-kalimat yang dibuat dengan meniru orang dewasa. Seorang bayi sebenarnya sudah mulai menciptakan bahasa untuk berkomunikasi hingga usia satu tahun. Kemudian pertumbuhan sintaksis bermula pada waktu seseorang anak-anak mulai menerbitkan ujaran/ucapan yang terdiri atas dua kata atau lebih. Pada umumnya anak-anak mulai menggabungkan dua kata pada umur menjelang dua tahun. Hal ini terjadi saat anak-anak berkomunikasi dengan orang tua, keluarga di rumah dan atau di luar rumah menggunakan bahasa.

Susunan sintaksis paling awal terlihat pada usia kira-kira 18 bulan, walaupun pada beberapa anak terlihat pada usia satu tahun bahkan lebih dari dua tahun. Awalnya berupa kalimat dua kata. Rangkaian dua kata, berbeda dengan “kalimat satu kata” sebelumnya yang disebut holofrastis. Kalimat satu kata biasa ditafsirkan dengan mempertimbangkan konteks penggunaannya. Peralihan dari satu kata menjadi kalimat yang merupakan rangkaian kata terjadi secara bertahap. Pada waktu kalimat pertama


(27)

terbentuk yaitu penggabungan dua kata menjadi kalimat, rangkaian kata tersebut berada pada jalinan intonasi. Jika kalimat dua kata tersebut memberi makna lebih dari satu, maka anak akan membedakannya dengan menggunakan pola intonasi yang berbeda. Perkembangan pemerolehan sintaksis meningkat dengan pesat pada waktu anak menjalani usia dua tahun dan mencapai puncaknya pada akhir usia dua tahun.

Walaupun secara umum pemerolehan bahasa anak usia dua tahun dan tiga tahun dianggap memiliki tahap-tahap tertentu yang sama bagi anak secara universal, namun kenyataan yang ditemukan di lapangan bisa saja menunjukkan hal yang berbeda. Misalnya, seorang anak yang berusia dua tahun belum memiliki kompetensi untuk menghasilkan kalimat dalam berbagai modus untuk mengungkapkan ide dan perasaannya, sehingga dia mengungkapkan ide dan perasaan melalui gumaman atau tangisan. Namun, seorang anak lain yang juga berusia dua tahun sudah memiliki kompetensi yang cukup untuk mengungkapkan ide dan perasaannya melalui kalimat dalam berbagai modus. Hal yang sama juga terjadi pada anak yang berusia tiga tahun. Seorang anak yang berusia tiga tahun hanya mampu menggunakan kalimat pernyataan dalam modus deklaratif dan interjektif, sementara anak lain dengan usia yang sama sudah mampu menggunakan kalimat pernyataan dalam modus deklaratif, imperatif dan interjektif. Pemerolehan anak dua tahun dan tiga tahun yang berbeda-beda dalam menghasilkan kalimat dalam berbagai modus merupakan hal yang sangat menarik untuk dikaji.

Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan di atas, penulis tertarik untuk meneliti pemerolehan sintaksis bahasa Indonesia anak usia dua tahun dan tiga tahun. Memang,


(28)

penelitian ini bukanlah penelitian pertama tentang pemerolehan bahasa Indonesia yang pernah dilakukan, namun penelitian ini mempunyai kelebihan karena membandingkan pemerolehan sintaksis yang dialami oleh anak-anak yang berusia dua tahun dan tiga tahun. Anak-anak yang menjadi subjek penelitian belum mendapatkan pendidikan formal di playgroup atau di taman kanak-kanak dan berasal dari keluarga yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda.

1.2 Rumusan Masalah

Pemerolehan bahasa pada seorang anak meliputi pemerolehan semantik, fonologi, sintaksis, dan pragmatik. Penelitian ini hanya difokuskan pada pemerolehan sintaksis. Secara hierarkial satuan sintaksis dibedakan atas lima macam, yaitu kata, frase, klausa, kalimat dan wacana. Penelitian ini secara khusus memfokuskan analisis pemerolehan bahasa Indonesia anak usia dua tahun dan tiga tahun pada tingkat kalimat berdasarkan modusnya yang berupa kalimat deklaratif, interogatif, imperatif dan interjektif.

Yang menjadi masalah pada penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah pemerolehan bahasa Indonesia anak usia dua tahun dan tiga tahun pada tingkat kalimat berdasarkan modusnya?

2. Perbedaan apakah yang ada pada pemerolehan bahasa Indonesia anak usia dua tahun dan tiga tahun pada tingkat kalimat berdasarkan modusnya?

3. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi pemerolehan sintaksis bahasa Indonesia anak usia dua tahun dan tiga tahun?


(29)

1.3 Lingkup Masalah

Dalam penelitian ini penulis hanya membatasi masalah yang diteliti pada pemerolehan sintaksis bahasa Indonesia anak usia dua tahun dan tiga tahun yaitu pada tingkat kalimat berdasarkan modusnya yaitu kalimat deklaratif, imperatif, dan interjektif, dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Peneliti tidak akan membahas hal-hal lain di luar masalah-masalah yang telah disebutkan di atas.

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui pemerolehan bahasa Indonesia anak usia dua tahun dan tiga tahun pada tingkat kalimat berdasarkan modusnya.

2. Mengetahui perbedaan pemerolehan bahasa Indonesia anak usia dua tahun dan tiga tahun pada tingkat kalimat berdasarkan modusnya.

3. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pemerolehan sintaksis bahasa Indonesia anak usia dua tahun dan tiga tahun.

1.5 Manfaat Penelitian


(30)

1.5.1 Manfaat Teoretis

1. Penelitian ini diharapkan sebagai salah satu bahan informasi dalam hal penelitian tentang pemerolehan sintaksis bahasa Indonesia anak usia dua tahun dan tiga tahun.

2. Penelitian diharapkan pula sebagai bahan masukan bagi penelitian yang relevan, khususnya dalam hal pemerolehan bahasa anak usia di bawah lima tahun.

1.5.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukan bagi para orang tua yang memiliki anak usia dini, khususnya yang berusia dua tahun dan tiga tahun agar mengetahui perkembangan sintaksis yang dialami anaknya, sehingga pada gilirannya dapat mengetahui apakah perkembangan bahasa anaknya berada pada tahap yang semestinya.


(31)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

2.1.1 Pemerolehan Bahasa

Pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak anak-anak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dengan pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa berkaitan dengan proses-proses yang terjadi pada waktu seorang anak-anak mempelajari bahasa kedua setelah dia memperoleh bahasa pertamanya. Jadi, pemerolehan bahasa berkenaan dengan bahasa pertama, sedangkan pembelajaran bahasa berkenaan dengan bahasa kedua (Simanjuntak, 1986).

Schutz (2006:12) mengutip Krashen yang mendefenisikan pemerolehan bahasa sebagai "the product of a subconscious process very similar to the process children undergo when they acquire their first language. Dengan kata lain pemerolehan bahasa adalah proses bagaimana seseorang dapat berbahasa atau proses anak-anak pada umumnya memperoleh bahasa pertama.

Pemerolehan bahasa pada anak usia dua sampai tiga tahun terjadi secara alamiah. Pemeroleh bahasa biasanya secara natural artinya pemerolehan bahasa yang terjadi secara alamiah tanpa disadari bahwa seorang anak tengah memperoleh bahasa, tetapi hanya sadar akan kenyataan bahwa ia tengah menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Schutz menambahkan hasil dari pemerolehan bahasa yakni


(32)

kompetensi yang diperoleh juga bersifat alamiah. Anak pada umumnya memperoleh bahasa secara alamiah dari lingkungannya tanpa proses belajar secara formal di bangku sekolah. Pemerolehan bahasa secara alamiah ini tidak dikaitkan secara ketat, tetapi pemerolehan bahasa itu diperoleh sesuai dengan perkembangan otak dan fisik anak itu sendiri.

Menurut Sigel dan Cocking (2000:5) pemerolehan bahasa merupakan proses yang digunakan oleh anak-anak untuk menyesuaikan serangkaian hipotesis dengan ucapan orang tua sampai dapat memilih kaidah tata bahasa yang paling baik dan sederhana dari bahasa yang bersangkutan.

Pemerolehan bahasa umumnya berlangsung di lingkungan masyarakat bahasa target dengan sifat alami dan informal serta lebih merujuk pada tuntutan komunikasi. Berbeda dengan belajar bahasa yang berlangsung secara formal dan artifisial serta merujuk pada tuntutan pembelajaran (Schutz, 2006:12), dan pemerolehan bahasa dibedakan menjadi pemerolehan bahasa pertama dan pemerolehan bahasa kedua. Pemerolehan bahasa pertama terjadi jika anak belum pernah belajar bahasa apapun, lalu memperoleh bahasa. Pemerolehan ini dapat satu bahasa atau monolingual FLA (First Language Acquisition), dapat juga dua bahasa secara bersamaan atau berurutan (bilingual FLA). Bahkan dapat lebih dari dua bahasa (multilingual FLA). Sedangkan pemerolehan bahasa kedua terjadi jika seseorang memperoleh bahasa setelah menguasai bahasa pertama atau merupakan proses seseorang mengembangkan keterampilan dalam bahasa kedua atau bahasa asing.


(33)

Menurut Vygotsky pemerolehan bahasa pertama diperoleh dari interaksi anak dengan lingkungannya, walaupun anak sudah memiliki potensi dasar atau piranti pemerolehan bahasa yang oleh Chomsky disebut language acquisition device (LAD), potensi itu akan berkembang secara maksimal setelah mendapat stimulus dari lingkungan.

Chomsky dalam Schutz (2006:1) tampaknya setuju dengan hakikat dasar masalah bahasa. Dalam analisis tentang pemerolehan bahasa, ia berpendapat bahwa misteri perbuatan belajar berasal dari dua fakta utama tentang penggunaan bahasa, yakni bahasa itu taat asas dan kreatif. Lanjut Chomsky, penutur yang mengetahui konstituen dan pola gramatikal dapat menuturkannya kendati belum mendengarnya, begitu juga pengamat tidak dapat berharap mampu membuat daftar konstituen, dan pola gramatikal itu karena kemungkinan kombinasinya itu tak terbatas.

Menurut Bloomfield, tata bahasa merupakan pemerian analog yang sesuai dengan suatu bahasa, dan belajar adalah seperangkat prosedur penemuan yang dengan cara itu seorang anak membentuk analogi-analogi. Pemerolehan bahasa berproses tanpa kompetensi tentang aturan-aturan bahasa, tetapi lebih memperhatikan pesan atau makna yang dipahami. Berbeda dengan belajar bahasa membutuhkan kompetensi bahasa sebagai modal bagi penggunaan bahasa yang dipelajari.

Selama pemerolehan bahasa pertama, Chomsky menyebutkan bahwa ada dua proses yang terjadi ketika seorang kanak-kanak memperoleh bahasa pertamanya. Proses yang dimaksud adalah proses kompetensi dan proses performansi. Kedua proses ini merupakan dua proses yang berlainan. Kompetensi adalah proses


(34)

penguasaan tata bahasa (fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik) secara alamiah. Kompetensi ini dibawa oleh setiap anak sejak lahir. Meskipun dibawa sejak lahir, kompetensi memerlukan pembinaan sehingga anak-anak memiliki performansi dalam berbahasa. Performansi adalah kemampuan anak menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Performansi terdiri dari dua proses, yaitu proses pemahaman dan proses penerbitan kalimat-kalimat. Proses pemahaman melibatkan kemampuan mengamati atau mempersepsi kalimat-kalimat yang didengar, sedangkan proses penerbitan melibatkan kemampuan menghasilkan kalimat-kalimat sendiri (Simanjuntak, 1986).

Selanjutnya, Chomsky juga beranggapan bahwa pengguna bahasa mengerti struktur dari bahasanya yang membuat seseorang dapat mengkreasikan kalimat-kalimat baru yang tidak terhitung jumlahnya dan membuat seseorang mengerti kalimat-kalimat tersebut. Jadi, kompetensi adalah pengetahuan intuitif yang dimiliki seorang individu mengenai bahasa ibunya (native languange). Intuisi linguistik ini tidak begitu saja ada, tetapi dikembangkan pada anak sejalan dengan pertumbuhannya, sedangkan performansi adalah sesuatu yang dihasilkan oleh kompetensi.

Hal yang patut dipertanyakan adalah bagaimana strategi anak dalam memperoleh bahasa pertamanya dan apakah setiap anak memiliki strategi yang sama dalam memperoleh bahasa pertamanya? Berkaitan dengan hal ini, Dardjowidjojo, (2005:243-244) menyebutkan bahwa pada umumnya kebanyakan ahli kini berpandangan bahwa anak di mana pun juga memperoleh bahasa pertamanya dengan


(35)

memakai strategi yang sama. Kesamaan ini tidak hanya dilandasi oleh biologi dan neurologi manusia yang sama, tetapi juga oleh pandangan mentalistik yang menyatakan bahwa anak telah dibekali dengan bekal kodrati pada saat dilahirkan. Di samping itu, dalam bahasa juga terdapat konsep universal sehingga anak secara mental telah mengetahui kodrat-kodrat yang universal ini. Chomsky mengibaratkan anak sebagai entitas yang seluruh tubuhnya telah dipasang tombol serta kabel listrik: mana yang dipencet, itulah yang akan menyebabkan bola lampu tertentu menyala. Jadi, bahasa mana dan wujudnya seperti apa ditentukan oleh input sekitarnya.

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Pemerolehan Bahasa Menurut Chomsky

Sebagai wujud dari reaksi keras atas Behaviorisme pada akhir era 1950-an, Chomsky yang merupakan seorang nativis menyerang teori Skinner yang menyatakan bahwa pemerolehan bahasa itu bersifat nurture atau dipengaruhi oleh lingkungan. Chomsky berpendapat bahwa pemerolehan bahasa itu berdasarkan pada nature karena menurutnya ketika anak dilahirkan ia telah dengan dibekali dengan sebuah alat tertentu yang membuatnya mampu mempelajari suatu bahasa. Alat tersebut disebut dengan Piranti Pemerolehan Bahasa (Language Acquisition Device) yang bersifat universal yang dibuktikan oleh adanya kesamaan pada anak-anak dalam proses pemerolehan bahasa mereka (Dardjowidjojo, 2005:235-236).

Noam Chomsky berpendapat bahwa seorang anak telah dilahirkan dengan kecakapan alami untuk menguasai bahasa apabila anak sudah sampai pada peringkat


(36)

kematangan tertentu. Pada tiap-tiap peringkat kematangan, anak tersebut akan membentuk hipotesis-hipotesis terhadap aturan-aturan yang ada dalam bahasa yang digunakannya di dalam komunikasi sehari-hari dengan orang-orang di sekitarnya. Semua perbaikan atas kesalahan yang dibuatnya akan mempertegas lagi aturan-aturan bahasa yang tersimpan di dalam otaknya.

Jadi, pemerolehan bahasa bukan didasarkan pada nurture (pemerolehan itu ditentukan oleh alam lingkungan) tetapi pada nature. Artinya anak memperoleh bahasa seperti dia memperoleh kemampuan untuk berdiri dan berjalan. Anak tidak dilahirkan sebagai tabularasa, tetapi telah dibekali dengan Innate Properties (bekal kodrati) yaitu Faculties of the Mind (kapling minda) yang salah satu bagiannya khusus untk memperoleh bahasa, yaitu Language Acquisition Device. LAD ini dianggap sebagai bagian fisiologis dari otak yang khusus untuk mengolah masukan (input) dan menentukan apa yang dikuasai lebih dahulu seperti bunyi, kata, frasa, kalimat, dan seterusnya. Meskipun kita tidak tahu persis tepatnya dimana LAD itu berada karena sifatnya yang abstrak.

2.2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemerolehan Bahasa

Anak dalam memperoleh bahasa pertama bervariasi, ada yang lambat, sedang, bahkan ada yang cepat. Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti yang dikemukakan oleh Chomsky, Piaget, Lenneberg dan Slobin berikut ini:


(37)

a. Faktor Alamiah.

Yang dimaksudkan di sini adalah setiap anak lahir dengan seperangkat prosedur dan aturan bahasa yang dinamakan oleh Chomsky Language Acquisition Divice (LAD). Potensi dasar itu akan berkembang secara maksimal setelah mendapat stimulus dari lingkungan. Proses pemerolehan melalui piranti ini sifatnya alamiah. Karena sifatnya alamiah, maka kendatipun anak tidak dirangsang untuk mendapatkan bahasa, anak tersebut akan mampu menerima apa yang terjadi di sekitarnya. Slobin mengatakan bahwa yang dibawa lahir ini bukanlah pengetahuan seperangkat kategori linguistik yang semesta, seperti dikatakan oleh Chomsky. Prosedur-prosedur dan aturan-aturan yang dibawa sejak lahir itulah yang memungkinkan seorang anak untuk mengolah data linguistik.

b. Faktor Perkembangan Kognitif.

Perkembangan bahasa seseorang seiring dengan perkembangan kognitifnya. Keduanya memiliki hubungan yang komplementer. Pemerolehan bahasa dalam prosesnya dibantu oleh perkembangan kognitif, sebaliknya kemampuan kognitif akan berkembang dengan bantuan bahasa. Keduanya berkembang dalam lingkup interaksi sosial.

Piaget dalam Brainerd seperti dikutip Ginn (2006) mengartikan kognitif sebagai sesuatu yang berkaitan dengan pengenalan berdasarkan intelektual dan merupakan sarana pengungkapan pikiran, ide, dan gagasan. Termasuk, kegiatan kognitif; aktivitas mental, mengingat, memberi simbol, mengkategorikan atau


(38)

mengelompokkan, memecahkan masalah, menciptakan, dan berimajinasi. Hubungannnya dengan mempelajari bahasa, kognitif memiliki keterkaitan dengan pemerolehan bahasa seseorang.

Menurut Lenneberg (1967), dalam usia dua tahun (kematangan kognitif) hingga usia pubertas, otak manusia itu masih sangat lentur yang memungkinkan seorang anak untuk memperoleh bahasa pertama dengan mudah dan cepat. Lanjut Lenneberg, pemerolehan bahasa secara alamiah sesudah pubertas akan terhambat oleh selesainya fungsi-fungsi otak tertentu, khususnya fungsi verbal di bagian otak sebelah kiri.

Piaget (1955) memandang anak dan akalnya sebagai agen yang aktif dan konstruktif yang secara perlahan-lahan maju dalam kegiatan usaha sendiri yang terus menerus. Anak-anak sewaktu bergerak menjadi dewasa memperoleh tingkat pemikiran yang secara kualitatif berbeda, yaitu menjadi meningkat lebih kuat. Piaget berpendapat bahwa kemampuan merepresentasikan pengetahuan itu adalah proses konstruktif yang mensyaratkan serangkaian langkah perbuatan yang lama terhadap lingkungan.

Menurut Slobin (1977), perkembangan umum kognitif dan mental anak adalah faktor penentu pemerolehan bahasa. Seorang anak belajar atau memperoleh bahasa pertama dengan mengenal dan mengetahui cukup banyak struktur dan fungsi bahasa, dan secara aktif ia berusaha untuk mengembangkan batas-batas pengetahuannya mengenai dunia sekelilingnya, serta mengembangkan keterampilan-keterampilan berbahasanya menurut strategi-strategi persepsi yang dimilikinya.


(39)

Lanjut Slobin, pemerolehan linguistik anak sudah diselesaikannya pada usia kira-kira 3-4 tahun, dan perkembangan bahasa selanjutnya dapat mencerminkan pertumbuhan kognitif umum anak itu.

c. Faktor Latar Belakang Sosial.

Latar belakang sosial mencakup struktur keluarga, afiliasi kelompok sosial, dan lingkungan budaya memungkinkan terjadinya perbedaan serius dalam pemerolehan bahasa anak (Vygotsky, 1978). Semakin tinggi tingkat interaksi sosial sebuah keluarga, semakin besar peluang anggota keluarga (anak) memperoleh bahasa. Sebaliknya semakin rendah tingkat interaksi sosial sebuah keluarga, semakin kecil pula peluang anggota keluarga (anak) memperoleh bahasa. Hal lain yang turut berpengaruh adalah status sosial. Anak yang berasal dari golongan status sosial ekonomi rendah rnenunjukkan perkembangan kosakatanya lebih sedikit sesuai dengan keadaan keluarganya. Misalnya, seorang anak yang berasal dari keluarga yang sederhana hanya mengenal lepat, ubi, radio, sawah, cangkul, kapak, atau pisau karena benda-benda tersebut merupakan benda-benda yang biasa ditemukannya dalam kehidupannya sehari-hari. Sedangkan anak yang berasal dari keluarga yang memiliki status ekonomi yang lebih tinggi akan memahami kosakata seperti mobil, televisi, komputer, internet, dvd player, laptop, game, facebook, ataupun KFC, karena benda-benda tersebut merupakan benda-benda yang biasa ditemukannya dalam kehidupannya sehari-hari.


(40)

Perbedaan dalam pemerolehan bahasa menunjukkan bahwa kelompok menengah lebih dapat mengeksplorasi dan menggunakan bahasa yang eksplisit dibandingkan dengan anak-anak golongan bawah, terutama pada dialek mereka. Kemampuan anak berinteraksi dengan orang lain dengan cara yang dapat dipahami penting intinya untuk menjadi anggota kelompok. Anak yang mampu berkomunikasi dengan baik akan diterima lebih baik oleh kelompok sosial dan mempunyai kesempatan yang lebih baik untuk memerankan kepemimpinannya ketimbang anak yang kurang mampu berkomunikasi atau takut menggunakannya.

d. Faktor Keturunan. Faktor keturunan meliputi: 1. Intelegensia.

Pemerolehan bahasa anak turut juga dipengaruhi oleh intelegensia yang dimiliki anak. Ini berkaitan dengan kapasitas yang dimiliki anak dalam mencerna sesuatu melalui pikirannya. Setiap anak memiliki struktur otak yang mencakup IQ yang berbeda antara satu dengan yang lain. Semakin tinggi IQ seseorang, semakin cepat memperoleh bahasa, sebaliknya semakin rendah IQ-nya, semakin lambat memperoh bahasa. (http://psikonseling.blogspot.com/2011/01/faktor-perkembangan-bahasa-anak.html)


(41)

2. Kepribadian dan Gaya/Cara Pemerolehan Bahasa.

Kreativitas seseorang dalam merespon sesuatu sangat menentukan perolehan bahasa, daya bertutur dan bertingkah laku yang menjadi kepribadian seseorang turut mempengaruhi sedikit banyaknya variasi-variasi tutur bahasa.

Seorang anak tidak dengan tiba-tiba memiliki tata bahasa pertama dalam otaknya, lengkap dengan semua aturan-aturannya. Bahasa pertama itu diperolehnya dengan beberapa tahap, dan setiap tahap berikutnya lebih mendekati tata bahasa dari bahasa orang dewasa.

Piaget, seperti dikutip Ginn (2006), mengklasifikasi perkembangan bahasa ke dalam tujuh tahapan, yaitu. (a) Tahap Meraban (Pralinguistik 0,0-0,5) Pertama, (b) Tahap Meraba (Pralinguistik 0,5-1,0) Kedua: Kata Nomsens, (c) tahap Liguistik I Holoprastik; Kalimat satu Kata (1,0-2,0), (d) Tahap Linguistik II Kalimat Dua Kata (2,0-3,0), (e) Tahap Linguistik III. Pengembangan Tata Bahasa (3,0-4,0), (f) Tahap Linguistik IV Tata Bahasa Pra-Dewasa (4,0-5,0) dan (g) Tahap Linguistik V Kompetensi Penuh (5,0-....).

Pada tahap pralinguistik pertama anak belum dapat menghasilkan bunyi secara normal, pada tahap pralinguistik yang kedua anak sudah dapat mengoceh atau membabel dengan pola suku kata yang diulang-ulang. Bahkan menjelang usia 1 tahun anak sudah mulai mengeluarkan pola intonasi dan bunyi-bunyi tiruan. Pada tahap linguistik I anak sudah mulai menggunakan serangkaian bunyi ujaran yang menghasilkan bunyi ujaran tunggal yang bermakna. Pada tahap linguistik II kosa-kata anak mulai berkembang dengan pesat, ujaran yang diucapkan terdiri atas dua kata dan


(42)

mengandung satu konsep kalimat yang lengkap. Pada tahap linguistik III anak mampu menggunakan lebih dari dua kata, kalimat yang diungkapkan biasanya menyatakan makna khusus yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Pada tahap linguistik IV anak sudah mampu menyusun kalimat yang cukup lengkap meskipun masih ada kekurangan pada penggunaan infleksi dan kata fungsi. Dan pada tahap linguistik yang terakhir anak sudah memiliki kompetensi penuh dalam berbahasa.

2.2.3 Karakteristik Anak Usia Dua Tahun dan Tiga Tahun

Bawah Lima Tahun atau yang biasa disebut balita adalah bayi yang berada pada rentang usia dua sampai lima tahun. Pada usia ini otak anak mengalami pertumbuhan yang sangat pesat, yang dikenal dengan istilah golden age atau masa emas. Golden age yang terjadi selama usia balita adalah masa-masa yang sangat penting dalam fase pertumbuhan dan perkembangan anak, karena pada masa ini otak anak berkembang pesat dan kritis. Periode emas penting bagi anak dan tidak dapat diulang kembali. Pada usia ini anak memiliki kemampuan untuk menyerap informasi 100%, otak anak berfungsi dengan sangat baik. (http://www.ibudanbalita.com/diskusi/pertanyaan/14904/BALITA - THE -GOLDEN - AGE)

Anak usia dua tahun dan tiga tahun pada umumnya memiliki karakteristik sebagai berikut:

a. Anak sangat aktif mengeksplorasi benda-benda yang ada di sekitarnya. b. Anak mulai mengembangkan kemampuan berbahasa.


(43)

c. Anak mulai belajar mengembangkan emosi.

(http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pengabdian/atien-nur-chamidah dr/pentingnya-stimulasi-dini-bagi-tumbuh-kembang-otak-anak.pdf)

2.2.4 Teori Perkembangan Bahasa Chomsky

Noam Chomsky (1972) bapak dari teori Psikolinguistik perkembangan mengemukakan hipotesis bahwa anak-anak memiliki pembawaaan kemampuan untuk mempelajari sebuah bahasa baru. Menurutnya LAD (Language Acquistion Device) atau PPB (Piranti Pemeroleh Bahasa) adalah sebuah skill yang pada dasarnya sudah ada pada anak-anak yang memungkinkan untuk memahami aturan-aturan berbicara dan memanfaatkannya.

Pandangan biologis-kognitif Chomsky adalah sebagai berikut :

1. Setiap anak dilahirkan dengan potensi biologis untuk bahasa dan hanya diperuntukkan untuk manusia.

2. Pemerolehan dan perkembangan bahasa terjadi, karena adanya potensi biologis tersebut dan juga adanya lingkungan bahasa yang mendorong, serta lingkungan sekitar anak. Pemerolehan dan perkembangan bahasa banyak ditentukan oleh tingkat-tingkat kematangan biologis.

Menurut Chomsky (1965) pikiran anak memiliki kemampuan yang diduga seperti PPB. PPB menerima masukan berupa ujaran-ujaran dari orang-orang dalam lingkungan terutama ibu-bapak serta anggota keluarga lainnya di rumah. Bahan-bahan masukan itu diolah oleh PPB untuk menemukan kaidah-kaidah bahasa yang


(44)

terkandung (fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik) dan bersifat umum. Kaidah-kaidah yang ditemukan dipergunakan untuk memahamai ujaran-ujaran yang kemudian didengar dalam lingkungan. Kemudian setelah tingkat kematangan biologis sudah memungkinkan anak berbicara (memproduksi bahasa), kaidah-kaidah itu dipergunakan pula untuk memproduksikan ujaran-ujaran sesuai dengan tingkat kematangan biologis. Pada jenjang permulaan, misalnya, anak baru dapat mengatakan "ma-ma", ketika melihat ibunya. Ujaran sederhana ini sesungguhnya sudah didasari oleh kaidah-kaidah yang ada dalam pikiran anak itu, dan karana itu dapat mempunyai makna seperti ujaran orang dewasa. Ujaran itu misalnya, mungkin berarti "ibu datang" atau "itu ibu". Walaupun pemahaman pada dasarnya juga termasuk pemerolehan bahasa yang terutama selalu diteliti adalah bagaimana memproduksi bahasa, karena melalui kegiatan ini data-data objektif bahasa diperoleh, dan data-data ini berguna untuk berbagai tujuan pengembangan dan penelitian.

2.2.5 Sintaksis

Secara etimologi, sintaksis berasal dari bahasa Yunani, yaitu sun yang berarti bersama dan tattein yang berarti menempatkan. Jadi, sintaksis berarti menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau kalimat.

Dalam setiap bahasa ada seperangkat kaidah yang sangat menentukan apakah kata-kata yang ditempatkan bersama-sama tersebut akan berterima atau tidak. Perangkat kaidah ini sering disebut sebagai alat-alat sintaksis, yaitu urutan kata, bentuk kata, intonasi, dan konektor yang biasanya berupa konjungsi.


(45)

Keunikan setiap bahasa berhubungan dengan alat-alat sintaksis ini. Ada bahasa yang lebih mementingkan urutan kata daripada bentuk kata. Ada pula bahasa yang lebih mementingkan intonasi daripada bentuk kata. Bahasa Latin sangat mementingkan bentuk kata daripada urutan kata. Sebaliknya, bahasa Indonesia lebih mementingkan urutan kata.

Sintaksis memiliki unsur-unsur pembentuk yang disebut dengan istilah satuan sintaksis. Satuan tersebut adalah kata, frase, klausa, dan kalimat.

2.2.6 Pemerolehan Sintaksis

Pada umumnya para peneliti tentang pemerolehan bahasa beranggapan bahwa pemerolehan sintaksis adalah pemerolehan yang bermula pada saat seorang anak mulai menggabungkan dua kata atau lebih yang memiliki arti. Hal ini terjadi pada anak yang berusia dua tahun ke atas. Oleh karena itu, peringkat satu kata (holofrase) pada umumnya dikesampingkan dan dianggap tidak berkaitan dengan perkembangan sintaksis. Bagaimanapun Clark (1977) beranggapan bahwa peringkat holofrase ini mungkin dapat memberikan gambaran secara internal mengenai perkembangan sintaksis pada anak. Maksudnya, peringkat holofrase kemungkinan besar merupakan apa yang sebenarnya yang ingin diungkapkan seorang anak. Oleh karena itu, ada baiknya peringkat holofrase diikutsertakan dalam sebuah teori pemerolehan sintaksis. Pandangan yang sama juga disuarakan oleh Garman (1990).

Pandangan dan sikap-sikap para peneliti pemerolehan sintaksis tersebut berasal dari data hasil penelitian mereka. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa


(46)

ucapan-ucapan holofrase ini sukar ditafsirkan, karena si penyelidik harus merujuk pada situasi dan lingkungan di mana holofrase ini diucapkan untuk menafsirkan artinya. Lagipula, ucapan-ucapan holofrase ini sangat terbatas dan susah untuk dikumpulkan sehingga sering menimbulkan ketidaksabaran peneliti. Apabila anak sudah mencapai peringkat dua kata atau lebih, ucapan-ucapan pun semakin banyak dan semakin mudah ditafsirkan, sehingga peneliti lebih cenderung memulai penelitian pemerolehan bahasa pada peringkat ini.

Namun, dalam penelitian ini, ujaran pada peringkat holofrase dianggap sebagai satu kalimat. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa anak dalam usia dua tahun masih menggunakan ujaran pada peringkat holofrase untuk mengungkapkan pikiran, ide atau gagasan yang dimilikinya. Dengan demikian, ujaran pada peringkat holofrase termasuk sebagai data yang dianalisis dalam penelitian ini.

2.2.7 Kalimat

Banyak definisi tentang kalimat telah dibuat orang. Kalimat yang dimaksud di sini adalah satuan sintaksis yang disusun dari konstituen dasar, yang biasanya berupa klausa dilengkapi dengan konjungsi bila diperlukan, serta disertai dengan intonasi final (Chaer, 2009:44).

Berdasarkan definisi di atas, maka pada intinya kalimat terdiri atas konstituen dasar dan intonasi final, sebab konjungsi ada hanya apabila diperlukan. Konstituen dasar biasanya berupa klausa. Kata dan frase juga bisa dianggap sebagai konstituen dasar, yaitu pada kalimat ”jawaban singkat” atau kalimat minor yang tentu saja bukan


(47)

”kalimat bebas” (Chaer, 2009:44). Hal ini berbeda kalau konstituen dasarnya berupa klausa, maka dapat terbentuk sebuah kalimat bebas.

Intonasi dasar yang merupakan syarat penting dalam pembentukan sebuah kalimat dapat berupa intonasi deklaratif (dalam bahasa ragam tulis diberi tanda titik), intonasi interogatif (dalam bahasa ragam tulis diberi tanda tanya), intonasi imperatif (dalam bahasa ragam tulis diberi tanda seru), dan intonasi interjektif (dalam bahasa ragam tulis diberi tanda seru). Tanpa intonasi final ini sebuah klausa tidak akan menjadi sebuah kalimat. Namun, kalimat yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah satuan sintaksis yang terdiri dari satu kata atau lebih yang memiliki satu atau lebih unsur kalimat yang berupa subjek, predikat atau objek yang telah memiliki makna sehingga dapat dimengerti oleh orang-orang yang terlibat dalam percakapan.

Secara formal kalimat dibedakan menjadi kalimat berita, kalimat tanya dan kalimat perintah (http://www.situsbahasa.info/2011/01/tindak-tutur-berdasarkan-derajat.html). Secara konvensional kalimat berita digunakan untuk memberitahukan sesuatu (informasi); kalimat tanya untuk menanyakan sesuatu, dan kalimat perintah untuk menyatakan perintah, ajakan, permintaaan atau permohonan.

2.2.8 Kalimat Berdasarkan Modusnya

Pembagian kalimat berdasarkan modusnya adalah pembagian kalimat berdasarkan isi atau amanat yang ingin disampaikan kepada pendengar (Chaer, 2009). Berdasarkan modusnya, kalimat dibedakan atas kalimat dalam modus deklaratif, interogatif, imperatif dan interjektif.


(48)

2.2.8.1Kalimat dalam Modus Deklaratif

Kalimat dalam modus deklaratif adalah kalimat yang isinya menyampaikan pernyataan yang ditujukan kepada orang lain (Chaer, 2009:187). Kalimat dalam modus deklaratif ini tidak memerlukan jawaban baik secara lisan maupun dengan tindakan. Namun, bisa saja diberikan komentar oleh pendengar bila dianggap perlu.

Kalimat dalam modus deklaratif ini bisa dibangun oleh sebuah klausa, dua buah klausa, tiga buah klausa atau juga lebih; atau dalam wujud kalimat sederhana, kalimat rapatan, kalimat luas setara, kalimat luas bertingkat, maupun kalimat luas kompleks; sesuai dengan besarnya atau luasnya isi pernyataan yang ingin disampaikan. Pada anak usia dua tahun dan tiga tahun, biasanya kalimat dalam modus deklaratif ini berupa kalimat yang terdiri dari satu klausa dan berupa kalimat sederhana.

Dilihat dari maksud penggunaannya, kalimat dalam modus deklaratif ini dapat dibedakan atas kalimat yang:

1) Hanya untuk menyampaikan informasi faktual berkenaan dengan alam sekitar atau pengalaman penutur. Contoh:

a. Di luar lagi hujan.

b. Abang suka nonton Upin Ipin.

c. Abang dan dedek makan nasi pake’ nugget.


(49)

a. Baju baru abang bagus. b. Makanan ini enak sekali.

c. Sayur ini rasanya kurang garam.

3) Untuk menyatakan perjanjian, peringatan, nasihat, dan sebagainya. Contoh: a. Kami harap Anda mau menerima keputusan ini.

b. Kamu harus berhati-hati setibanya di Jakarta. c. Besok kita harus bicarakan lagi masalah ini.

4) Untuk menyatakan ucapan selamat atas suatu keberhasilan atau ucapan prihatin atas suatu kemalangan. Contoh:

a. Kami turut berbela sungkawa atas meninggalnya orang tua Anda. b. Saya ikut merasa sedih atas musibah yang Anda alami.

c. Kami bersyukur bahwa Anda telah berhasil menunaikan ibadah haji.

5) Untuk memberi penjelasan, keterangan, atau perincian kepada seseorang. Contoh:

a. Saya jelaskan kepada Anda bahwa dia tidak bersalah.

b. Kami beritahukan yang tidak hadir adalah Siti, Siska, dan Ani. c. Kami jelaskan sekali lagi bahwa pinjaman itu tidak dikenai bunga.


(50)

2.2.8.2Kalimat Dalam Modus Interogatif

Kalimat dalam modus interogatif adalah kalimat yang mengharapkan adanya jawaban secara verbal (Chaer, 2009:189). Jawaban ini dapat berupa pengakuan, keterangan, alasan atau pendapat dari pihak pendengar atau pembaca.

Misalnya:

a. Siapa namamu?

b. Mengapa orang itu berlari?

c. Bagaimana kalau kita makan di kedai itu? d. Berapa harga minyak goreng sekarang?

Dilihat dari reaksi jawaban yang diberikan dibedakan adanya:

(1) Kalimat dalam modus interogatif yang meminta pengakuan jawaban ”ya” atau ”tidak”, atau ”ya” atau ”bukan”.

(2) Kalimat dalam modus interogatif yang meminta keterangan mengenai salah satu unsur (fungsi) kalimat.

(3) Kalimat dalam modus interogatif yang meminta alasan.

(4) Kalimat dalam modus interogatif yang meminta pendapat atau buah pikiran orang lain.

(5) Kalimat dalam modus interogatif yang menyungguhkan.


(51)

Kalimat dalam modus imperatif adalah kalimat yang meminta pendengar atau pembaca melakukan suatu tindakan (Chaer, 2009: 197). Kalimat dalam modus imperatif ini dapat berupa kalimat perintah dan kalimat larangan.

2.2.8.4Kalimat Dalam Modus Interjektif

Kalimat dalam modus interjektif adalah kalimat untuk menyatakan emosi, seperti karena kagum, kaget, terkejut, takjub, heran, marah, sedih, gemas, kecewa, tidak suka, dan sebagainya (Chaer, 2009:200). Kalimat dalam modus interjektif disusun dari sebuah klausa diawali dengan kata seru, seperti wah, nah, aduh, ah, hah, alangkah, dan sebagainya. Simak contoh berikut:

a. ”Wah, mahal sekali!” kata ibu karena terkejut. b. ”Aduh, sakitnya bukan main!” keluh anak itu. c. ”Oh, celaka, orang itu datang lagi!” kata ayah.

d. ”Nah, itu baru namanya teman!” kata Ali kepada Udin. e. ”Hih seramnya!” kata anak itu ketakutan.

Anak usia dua tahun dan tiga tahun sudah bisa mengungkapkan kalimat-kalimat berdasarkan modusnya, namun bentuk-bentuk kalimat-kalimat yang diungkapkan anak usia dua tahun dan tiga tahun biasanya merupakan bentuk-bentuk yang lebih sederhana dari contoh-contoh yang telah diberikan.


(52)

2.3 Tinjauan Pustaka

Penelitian tentang pemerolehan bahasa Indonesia sudah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya, di antaranya Dardjowidjojo (2000) yang dituangkan dalam sebuah buku yang berjudul Echa, Kisah Pemerolehan Bahasa Anak Indonesia. Buku tersebut berisi hasil penelitian longitudinal yang dilakukan Dardjowidjojo selama lima tahun terhadap cucu pertamanya, Rei Safia, yang biasa dipanggil Echa. Dalam penelitian tersebut Dardjowidjojo meneliti pemerolehan bahasa Echa dari tataran pragmatik, fonologi, morfosintaksis dan leksikon. Dari penelitian tersebut beliau mendapatkan bahwa banyak konsep universal yang dipatuhi anak dalam pemerolehan bahasa tetapi kepatuhan ini tidak merata pada ketiga komponen yang diteliti. Bahkan pada tiap komponen pun terjadi perbedaan-perbedaan yang kadang-kadang muncul secara fundamental.

Gustianingsih (2002) dalam tesis yang berjudul Pemerolehan Kalimat Majemuk Bahasa Indonesia Pada Anak Usia Taman Kanak-Kanak membahas tentang bagaimana kalimat majemuk koordinatif bahasa Indonesia diperoleh anak taman kanak-kanak, yaitu jenis konjungsi kalimat koordinatif apa yang diperoleh anak dan berapa jumlah frekuensinya. Anak TK memiliki pola struktur kalimat majemuk koordinatif bahasa Indonesia yang berbeda dengan orang dewasa. Jenis kalimat majemuk koordinatif yang sedang, akan dan telah dipahami anak TK ternyata berbeda-beda bagi setiap anak. Anak TK memiliki karakteristik kalimat majemuk koordinatif bahasa Indonesia yang berbeda dengan karakteristik bahasa orang dewasa.


(53)

Putri Nasution (2009) dalam tesis yang berjudul Kemampuan Berbahasa Anak Usia 3-4 Tahun (Prasekolah) di Play Group Tunas Mekar Medan: Tinjauan Psikolinguistik menemukan bahwa para responden yaitu anak-anak yang berusia 3-4 tahun di Play Group Tunas Mekar Medan mampu berbahasa baik dari pemerolehan fonologi, sintaksis, maupun semantik. Walaupun pada pemerolehan fonologi anak mengalami pergantian sebuah bunyi yang disuarakan dengan bunyi yang tidak disuarakan. Pada pemerolehan sintaksis anak telah mampu menggunakan kalimat-kalimat yang gramatikal dan pada pemerolehan semantik anak lebih cenderung menggunakan kata-kata yang memiliki makna denotatif.

Tay Meng Guat (2006) dalam penelitiannya yang berjudul Pemerolehan Bahasa Kanak-Kanak: Suatu Analisis Sintaksis mengkaji tentang pemerolehan sintaksis bahasa seorang anak yang berumur tiga setengah tahun. Bahasa yang diteliti dalam penelitian ini adalah bahasa Melayu Iban yaitu bahasa yang digunakan di daerah Bahagian Dua-Betong, Malaysia. Data dianalisis berdasarkan tiga ciri utama aspek sintaksis yaitu panjang kalimat, struktur sintaksis dan jumlah ujaran setiap giliran bertutur. Penghitungan Mean Panjang Ujaran atau Mean Length of Utterance (MLU) berdasarkan Brown’s Stages of Development yang digunakan untuk menentukan tahap perkembangan bahasa anak- anak yang bersangkutan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak yang menjadi subjek penelitian memiliki MLU sebesar 2.38 yaitu satu tahap di bawah perkiraan tahap yang seharusnya dalam perkembangan penguasaan bahasa anak-anak berdasarkan Brown’s Stages of Development. Penguasaan bahasa subjek berada pada Fase Akhir Linguistik II dan


(54)

mulai beralih ke Fase Awal Linguistik III, sehingga ujaran anak masih terikat dengan bahasa holofrase dan telegrafik.

Mahmud Aziz Siregar (2002) dalam tesis yang berjudul Pengaruh Stimuli Terhadap Pemerolehan Bahasa Anak Prasekolah (Studi Komparatif) menemukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pemberian stimuli dengan perkembangan kosa kata dan semantik anak prasekolah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin intensif lingkungan memberikan stimuli terhadap anak, maka perkembangan pemerolehan bahasa anak prasekolah semakin baik. Selain itu, dari hasil penelitian ditemukan juga fakta bahwa anak masih melakukan generalisasi terhadap benda yang memiliki karakteristik yang sama.

Endang Rusyani (2008) dalam penelitiannya yang berjudul Pemerolehan Bahasa Indonesia Anak Usia 2,5 Tahun (Studi Kasus Terhadap Pemerolehan Bahasa Anak Usia Dini) menemukan bahwa anak yang berusia dua setengah tahun sudah mampu mengucapkan kata-kata yang sesuai dengan lingkungan dan benda-benda yang ada di sekitarnya. Perbendaharaan kata anak juga sudah mulai berkembang karena anak mengambil contoh dari kata-kata yang diucapkan orang tua, teman-teman, saudara-saudaranya dan orang-orang lain yang ada di sekitarnya. Dalam penelitian ini juga ditemukan fakta bahwa anak yang berusia dua setengah sudah mampu menghasilkan kalimat pada tingkat satu kata, dua kata, dan tiga kata yang sudah memiliki makna yang lengkap. Selain itu, anak juga sudah mampu menghasilkan kalimat dalam modus deklaratif, interogatif dan imperatif.


(55)

H. Noldy Pelenkahu (2010) dalam penelitiannya yang berjudul Pemerolehan Bahasa Pertama Anak Kembar Usia Dua Tahun Delapan Bulan menemukan bahwa anak kembar usia dua tahun delapan bulan yang menjadi subjek penelitian ini dalam mengujarkan satu, dua dan tiga kata mengawalinya dengan mengujarkan suku kata awal dan akhir secara bergantian. Dalam pemerolehan morfologinya anak sangat tergantung pada pola kehidupan berbahasa yang ada di lingkungan keluarganya, maksudnya sedikit banyaknya bergantung pada pola berbahasa yang dilakukan oleh ibu mereka, kemudian ayah, dan saudara-saudaranya. Kebanyakan kata-kata yang mampu diujarkan merupakan gambaran kegiatan-kegiatan yang dilakukan di dalam kehidupan kedua anak tersebut. Dari hasil penelitian juga ditemukan bahwa kedua anak tersebut kurang memiliki bakat bahasa yang dibawa sejak lahirnya sehingga orang tua perlu mengembangkannya agar tidak mengalami keterlambatan dalam pemerolehan bahasa yang baik dan benar.

Semua penelitian terdahulu yang disebutkan di atas sangat membantu penulis untuk menentukan tahap-tahap yang harus dilakukan dalam penelitian ini karena semua penelitian tersebut menjadikan anak usia dini yaitu anak yang berusia dua tahun, tiga tahun, dan empat tahun sebagai subjek penelitian. Dengan adanya penelitian-penelitian terdahulu tersebut penulis dapat membandingkan hasil yang didapatkan dalam penelitian ini dengan hasil yang didapat dalam penelitian-penelitian tersebut. Sebagian penelitian tersebut mengkaji tentang pemerolehan sintaksis, sehingga hasil yang didapatkan dalam penelitian terdahulu tersebut dapat dibandingkan dengan hasil yang didapatkan dalam penelitian ini.


(56)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode dan Teknik Penelitian

Metode penelitian adalah cara ilmiah untuk mengumpulkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Metode penelitian harus memenuhi ciri-ciri ilmiah, yaitu:

a. Rasional

Rasional yaitu pengetahuan disusun dengan menggunakan pikiran dan masuk akal (ada penalaran).

b. Empiris

Empiris yaitu pendekatan yang memisahkan pengetahuan yang berdasarkan fakta/fenomena dengan yang tidak berdasarkan fakta.

c. Sistematis

Sistematis yaitu proses yang dilakukan dalam penelitian menggunakan langkah-langkah tertentu yang logis.

Jika suatu penelitian tidak memiliki salah satu dari ciri-ciri ilmiah yang disebutkan di atas, maka penelitian tersebut tidak dianggap sebagai penelitian ilmiah.

Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode kualitatif merupakan metode yang mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda. Metode ini menyajikan hakikat hubungan antara informan dan


(57)

peneliti secara langsung (Moleong: 2001). Pendekatan yang digunakan terhadap subjek penelitian dalam penelitian ini adalah pendekatan psikolinguistik karena yang menjadi objek penelitian adalah pemerolehan bahasa pertama anak. Ilmu psikolinguistik dalam pemerolehan bahasa anak berkaitan dengan kompetensi dan performansi bahasa ibunya.

Sementara itu, teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik observasi. Teknik ini ditujukan untuk memperoleh data secara naturalis, tanpa ada pengkondisian sama sekali dari peneliti. Teknik observasi adalah teknik penelitian yang dilakukan dengan cara mengamati objek kajian dalam konteksnya. Misalnya, seorang peneliti sedang meneliti ragam ujaran dalam penyampaian maksud atau keinginan, maka ia harus mengumpulkan ujaran itu bersama dengan konteks lain yang menyertainya termasuk unsur prakondisi atau aspek sosial dan budaya.

Dalam praktik pelaksanaan teknik observasi ini, peneliti bisa melakukan pengamatan dengan cara terlibat langsung, dan bisa pula dengan cara tidak terlibat langsung. Observasi terlibat langsung ini sering dinamai teknik observasi partisipasi atau teknik observasi berperan serta, sedangkan observasi tidak terlibat langsung dikenal pula sebagai teknik observasi non-partisipasi atau teknik observasi tidak berperan serta.

Ada perbedaan yang mencolok antara metode observasi partisipasi dengan non-partisipasi. Dengan cara partisipasi, peneliti mengamati objek sekaligus terlibat dalam interaksi dengan penutur lain. Sebaliknya, dengan cara non-partisipasi, peneliti memang mengamati objek tetapi tidak terlibat dalam interaksi dengan penutur lain.


(58)

Dalam konteks terakhir ini, peneliti betul-betul hanya mengamati bagaimana data bahasa dipergunakan tanpa ada stimulus dari peneliti.

Dalam penelitian ini, peneliti menerapkan teknik observasi langsung (partisipasi) dan teknik observasi tidak terlibat langsung (non-partisipasi), yaitu dengan melakukan wawancara dan perekaman, secara bersamaan karena dalam pengumpulan data kadang peneliti terlibat langsung dengan subjek penelitian, namun di lain waktu peneliti hanya mengamati saja sementara teknik penelitian terlibat percakapan dengan orang-orang lain yang ada di lingkungannya. Pemerolehan data tidak melalui perlakuan (eksperimen). Subjek penelitian sebagai sumber data dibiarkan bercakap-cakap secara alamiah. Kemudian percakapan mereka direkam untuk selanjutnya dianalisis kalimat-kalimat yang ada dalam rekaman tersebut.

3.2 Sumber Data Penelitian

Subjek yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah anak-anak yang berusia dua tahun dan tiga tahun. Subjek yang berusia dua tahun dalam penelitian ini adalah anak-anak berusia dua tahun enam bulan dan dua tahun tujuh bulan pada saat pengumpulan data. Sedangkan subjek yang berusia tiga tahun adalah anak-anak yang berusia tiga tahun lima bulan dan tiga tahun enam bulan pada saat pengumpulan data. Subjek yang berusia dua tahun berjumlah 3 orang, dengan perincian 2 orang anak perempuan dan 1 orang anak laki-laki, yaitu AN1, AN2 dan AN3. Demikian juga dengan subjek yang berumur tiga tahun, sebanyak 3 orang anak laki-laki, yaitu AN4, AN5, AN6.


(59)

Jumlah anak laki-laki dan anak perempuan yang menjadi subjek dalam penelitian ini tidak diseimbangkan karena dalam penelitian ini tidak dibahas perbedaan pemerolehan bahasa Indonesia antara anak laki-laki dan anak perempuan. Subjek penelitian ini dipilih karena keenam anak ini cukup baik perkembangan bahasanya. Perkembangan itu sudah sampai pada perkembangan sintaksis.

3.3 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan selama satu bulan, yaitu mulai bulan Mei sampai dengan bulan Juni 2011.

Lokasi penelitian adalah di Jalan Mesjid Syuhada Gang Selamat Padang Bulan, Medan. Ada enam belas keluarga yang tinggal berdekatan di lokasi ini. Karena letak rumah yang saling berdekatan, masyarakat yang tinggal di lokasi ini sering melakukan aktivitas bersama-sama, seperti mengobrol dan bersantai di sore hari.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan secara Cross Sectional selama satu bulan. Cross Sectional (Rancangan Silang) digunakan dalam penelitian ini karena waktu yang tersedia sudah cukup panjang untuk mengetahui kemampuan berbahasa subjek penelitian karena penelitian dilakukan secara terus menerus selama satu bulan. Dalam pengumpulan data untuk penelitian ini peneliti juga dibantu dengan:


(60)

a. Perekaman

Perekaman dilakukan dalam penelitian ini untuk merekam semua percakapan antara anak dengan peneliti, anak dengan ibu, ayah, dan pengasuhnya di rumah, dan antara anak dengan anak. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat perekam yang berbentuk bolpoin merek Sony tipe dr-mp9-1 dan telepon genggam merek Nokia tipe 2730 Classic.

Hasil rekaman yang berupa percakapan digunakan untuk mendapatkan data yang akurat ketika subjek penelitian melakukan percakapan baik dengan peneliti ataupun dengan orang-orang lain yang ada di sekitarnya. Data yang berupa percakapan direkam atau dicatat. Semua kalimat yang muncul kemudian didengarkan dengan seksama. Selanjutnya, hasil percakapan diklasifikasi setiap kalimat menurut modusnya untuk kemudian, dilakukan perbandingan.

b. Wawancara

Wawancara digunakan untuk menanyakan aktivitas sehari-hari anak. Sehingga dapat diketahui bagaimana lingkungan sekitar anak, hobi anak, atau makanan yang disukai anak.

c. Simak Catat


(61)

3.5 Metode dan Teknik Analisis Data

Data secara keseluruhan dianalisis dengan menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif. Langkah yang dilakukan adalah data yang berupa rekaman ditranskripsikan ke dalam bentuk tulisan untuk menjawab pertanyaan yang telah ditetapkan dalam rumusan masalah.

Ada dua aspek dalam menganalisis data. Pertama, data dianalisis untuk mencari tahu elemen-elemen sintaksis yang berupa kalimat berdasarkan modusnya yang muncul pada waktu anak bercerita dan melakukan percakapan. Analisis seperti ini dimaksudkan untuk menentukan apakah munculnya elemen-elemen yang telah ditentukan merupakan cerminan dari kompetensi si anak atau baru merupakan tiruan belaka.

Dalam menganalisis data yang ada, penulis menggunakan kriteria yang digunakan oleh Dardjowidjojo (2000), yaitu menggunakan suatu kriteria yang dinamakan kriteria komprehensibilitas, artinya, suatu elemen yang diujarkan anak dianggap sebagai refleksi kompetensi bila elemen yang dia pakai dalam produksi itu telah menunjukkan adanya koherensi semantik dengan elemen-elemen lain dalam kalimat tersebut. Contohnya, dari data yang telah diambil, AN1 yang berusia dua tahun dan AN4 yang berusia tiga tahun, sudah mampu mengujarkan kalimat dalam modus yang berbeda-beda yaitu deklaratif, interogatif, dan imperatif.

Kedua, setelah data dianalisis dan disajikan secara deskriptif, hasilnya disorot dari segi teoretis untuk diketahui mengapa halnya demikian. Dengan kata lain, tujuan


(62)

akhir analisis dan bahasan tidak hanya mencapai observational dan descriptive adequacies, tetapi juga explanatory adequacy.

Hal ini bisa dilihat dari rekaman percakapan berikut:

Data 1:

AN1 : Minta’! Minta’ bang! Minta’ bang!

AN4 : Bilang, minta’ bang. (meminta adeknya meminta dengan lebih lembut) AN1 : Minta’ bang.

AN4 : Cuci tangan dulu!

Data 1 di atas terjadi ketika AN1 dan AN4 sedang bermain mobil-mobilan. AN1 meminta mobil-mobilan miliknya, namun abangnya menyuruhnya untuk mencuci tangannya dulu, padahal untuk bermain mobil-mobilan tidak perlu mencuci tangan. AN4 mengatakan hal tersebut hanya untuk mengganggu adiknya saja. Data tersebut menunjukkan bahwa AN1 dan AN4 sudah mampu menggunakan kalimat dalam modus imperatif dengan baik dan kalimat-kalimat yang mereka hasilkan merupakan kompetensi mereka sendiri dan sudah memiliki maksud yang sudah dapat dimengerti dengan mudah oleh mereka dan oleh orang lain yang mendengarnya.

Data 2:

AN4 : Mamak, Abang yang pegang! Mama : Ceritalah, tadi abang makan apa?


(63)

AN4 : Makan apa ya?

Mama : Kok mikir? Tadi dedek makan apa? AN1 : Nagget (nugget).

AN4 : Ikan. AN1 : Ikan.

Mama : Yang mana yang betul? AN1 dan AN4 (bersamaan): Ikan Mama : Dedek makan ikan apa, nang? AN4 : Ikan lele.

AN1 : Adek buang.

Mama : Adek buang? Kenapa? AN1 : Iya.

Mama : Iya, kenapa dibuang? AN4 : Entah.

Mama : Kasih taulah kenapa dibuang.

AN4 : Ma…mana mau mamak tadi! (Maksudnya AN5 sudah memberitahu ibunya, tapi ibunya tidak mendengarkannya).

Mama : Mana mau mama? Mama aja tadi pegi kuliah.

AN4 : Iya, yang waktu tukar baju itu, gak maunya mamak. Abang tanya: Mak, dibuang dedek. (Maksudnya AN4 memberi tahu mama bahwa AN1 membuang ikan yang dimakannya).


(64)

Mama : Oh, itu kan waktu sudah siap. Mama sudah pulang, sudah siap dedeknya makan.

AN1 : Adek apanya (yang mana)? (AN1 bertanya, untuk menegaskan dedek mana yang dimaksud karena mamanya sedang mengandung adeknya. Mereka menyebut adek yang masih dikandung mamanya ‘adek lahir’.) Mama : Adek Tasia Uli,lah.

AN4 : Enggak, dibuang dedek Mama : Iya? Gak enak rupanya, dek? AN4 : Enggak. Panas.

AN1 : Panas.

Data 2 di atas menunjukkan bahwa AN1 dan AN4 sudah mampu menghasilkan kalimat-kalimat dalam modus deklaratif, interogatif dan imperatif. Mereka juga dapat merespon kalimat-kalimat yang diucapkan mamanya dalam berbagai modus, baik dalam modus deklaratif, interogatif maupun imperatif.

Namun dapat dilihat sedikit perbedaan antara AN1 dan AN4 adalah bahwa terkadang AN1 masih meniru apa yang diucapkan AN4 dan terkadang keduanya mengujarkan kalimat-kalimat sesuka hatinya, meskipun kalimat yang diproduksi masih berhubungan dengan konteks yang sedang dibicarakan. Hal ini menunjukkan bahwa kompetensi AN1 belum sempurna, sedangkan AN4 sudah memproduksi kalimat-kalimat dalam berbagai modus dengan kompetensi yang sempurna tanpa meniru.


(65)

Dari data-data sementara yang disajikan di atas kemudian dapat dilihat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pemerolehan bahasa Indonesia anak usia dua tahun dan tiga tahun pada tataran sintaksis adalah faktor alamiah, sesuai yang dikemukakan Chomsky, di mana AN1 dan AN4 memiliki Language Acquisition Device (LAD) yang sempurna. Selain itu, faktor perkembangan kognitif, seperti yang dikemukakan Piaget, juga berperan. Seperti yang dapat dilihat bahwa AN1 dan AN4 memiliki perkembangan kognitif yang baik karena mereka sudah mampu mengungkapkan kalimat-kalimat yang menjadi sarana pengungkapan ide dan emosi mereka.


(1)

AN1 : Tak…tak.

AN4 : Aahhh..ini ….ini…..(merengek) Mama : Jangan gitu, mang.

AN4 : Ini yang rusak. Ini yang, ini yang gak bagus lagi. Mana!

AN1 : Uhh…uhhh…

Mama : Jangan berantam-berantam apa mamak bilang. Mama apain itu nanti?

AN1 : Diambi’nya power rangers dedek!

Mama : Kalo’ berantam-berantam kek mana abang?

AN4 : Hmmm?

Mama : Diapain kalo’ berantam-berantam?

AN4 : Hmmm…mak mau ini.

Mama : Biar aja. Mamak mau merekam. abang ngomong-ngomong sama dedek.

AN4 : Merekam apa?

Mama : Merekam suara abang lah sama dedek.

AN4 : Sini?

Mama : He eh

AN4 : Buatlah!

Mama : Ya, ngomong-ngomonglah!

AN4 : Adek!


(2)

AN4 : Adek! Minta’! Minta’!Ya di hp lah, mak! Mama : Apanya di hp?

AN4 : Bicaraannya. Mama : Kan direkam dulu? AN1 : Halo! Halo, bang!

AN4 : Ga’ mau!

Mama : Hah…masak gitu? Dah sakit pun bibir adeknya. AN4 : Minta’! Minta’lah! Biar kawan kita. Minta’.

Mama : Ngomonglah!

Data 14

Bapak Samuel : Siapa namamu?

AN5 : Muel

Bapak Samuel : Kuat bilang! Siapa namamu?

AN5 : Samuel!

Bapak Samuel : Marga apa?

AN5 : Cinaga (Margaku Sinaga) Bapak Samuel : Boru apa mamakmu?

AN5 : Boru ombing (Mamaku boru Sihombing). Bapak Samuel : Sekolah di mana Muel?


(3)

AN4 : Aku pun di Galiley... Galilea nya! (Aku juga bersekolah di Galilea)

Bapak Samuel : Mana? Mana? Kan?

AN5 : Aku di Galile….a. (Aku bersekolah di Galilea) Bapak Samuel : Iya, Galilea

AN4 : Aku pun di Galileanya! Bapak Samuel : Mana? Samuel aja di situ. AN4 : Aku pun Galilea!

Bapak Samuel : Mana mau si Muel. Iya kan, Muel? AN5 : Mau lo, abang itu. Bisa lo, bapak. Bapak Samuel : Nggak! Si Cheryl aja.

AN5 : Bisa kan, bang? Kan? Bapak Samuel : Cheryl kawan dia.

AN5 : Gak boleh! (Aku tidak mau berteman dengan Cheryl). Bapak Samuel : Boleh.

AN5 : Gak boleh! Tembak kau nanti! Bapak Ekklesia : Jadi mulai kapan sekolah? Besok? AN5 : Hari inilah! Udah jam lima.

Data 15

AN4 : Ayoklah!


(4)

AN4 : Cuci tangan yok!

AN5 : Di belakang aja cuci…tangan. Di belakang aja, dek.

AN1 : Di mana?

AN5 : Ini air, ini. Ini. Cuci! Dek! Dek! Cuci tangan! Bapak Ekklesia : He, jangan! Jorok itu!

AN5 : Cucilah!

Bapak Ekklesia : Jorok itu!

Data 16

Luis : Dia gak yang bersayap, yang warnanya hitam. AN6 : Hah?

Luis : Warnanya hitam. Kutu, ato nyamuk, ato … AN6 : Aku tau! Aaaah…nyamuuuuuk!

Luis : Nyamuk? Hah? Nyamuk? AN6 : Iya.

Luis : Dia gak punya sayap? Warnanya hitam? Bera’ti (berarti) kutu. AN6 : Kutu? Kutu, kutu, kan? Ajarkanlah! Mak, ku…kutu, mak, itam? Mama : Iya.

AN6 : Nggak, balalti kan, kutu kan, alnanya coklat. (Nggak, berarti kutu warnanya coklat)

Mama : Iya, ada juga coklat, tapi ada juga itam.


(5)

hitam) Mama : Ooh.

Data 17

AN6 : Cedikit ya? Mama : Iya.

AN6 : Mak, yang ini, mak, apa? Mama : Sendok.

AN6 : Cendok untuk gula? Mama : Iya.

Luis : Enaklah gulanya, ya kan, mak?

AN6 : Mamak, potokan aku? (Apakah mama sedang mengambil fotoku?)

Mama : Iya. Udah. Makanlah! Do’a dulu!

AN6 : (menggumamkan sesuatu yang tidak jelas) Amen!

Mama : Ulangi dulu! Kok, kok nggak jelas ngomongmu berdo’a. Ulangi! Ayok!

AN6 : (mengatakan sesuatu yang tidak jelas) Mama : Ya udah. Makanlah! Makan sayurnya! AN6 : Nggak!

Mama : Sikit aja. Sikit.


(6)

Mama : Iya, iya, iya. Besok nggak usah pake’ sayur. Udah, makanlah! Mari mamak suwir-suwir ikannya.

AN6 : Kalo’ ada cayul, talok ke pinggilnya? Mama : Iya. Makan! Bukan tarok pinggir. Makan! AN6 : Mak! Ambi’kanlah cendoknya!