Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana PembunuhanStudy Putusan No. 514Pid.B1997PN-LP, 2008.
USU Repository © 2009
yang cukup dan mempunyai pikiran yang tenang untuk mengurungkan maksudnya atau tidak.
Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka unsur telah direncanakan terlebih dahulu telah dipenuhi.
3. Menghilangkan jiwa orang lain
Disini diperlukan perbuatan yang mengakibatkan kematian orang lain, sedangkan kematian itu dsengaja, artinya dimaksud
Bahwa sesuai dengan fakta yang ada yaitu pada tanggal 27 April 1997 telah ditemukan sesosok mayat wanita dalam keadaan telanjang di Perkebunan Tebu Sei
Semayang, yang ternyata mayat wanita tersebut dikenaldiakui oleh keluarganya sebagai mayat Sri Kumala Dewi.
Bahwa berdasarkan Visum Et Repertum yang dilakukan oleh dokter ahli forensik RSU H. Adam Malik Medan, penyebab kematian dari pada mayat tersebut adalah
karena gagal pernafasan akibat tekanan pada leher. Bahwa berdasarkan keterangan terdakwa juga di Penyidik dan hasil rekonstruksi,
dihubungkan dengan adanya alat-alat bukti berupa pakaian, dompet yang ditemukan didalam lemari pakaian dirumah terdakwa serta jam tangan wanita juga dijumpai
ditanam pada kotoran kambing dibawah kandang kambing milik terdakwa yang mana hal ini diakui oleh keluarga Sri Kumala Dewi ketika Sri Kumala Dewi pergi dari
rumahnya, maka telah terbukti adanya orangmanusia yang meninggal yaitu Sri Kumala Dewi dan Supiah akibat perbuatan terdakwa dan suaminya
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana PembunuhanStudy Putusan No. 514Pid.B1997PN-LP, 2008.
USU Repository © 2009
Berdasarkan uraian di atas, maka unsur menghilangkan jiwa orang lain telah terpenuhi.
Selanjutnya mengenai peranan terdakwa dalam Pasal 55 1 Ke-1 KUHP, maka akan dijelaskan unsur-unsurnya, yaitu :
1. Orang yang melakukan
Orang ini ialah seorang yang sendirian telah berbuat mewujudkan segala analisr atau elemen dari peristiwa pidana.
2. Orang yang menyuruh melakukan
Disini sedikitnya ada dua orang, yang menyuruh dan yang disuruh. Jadi bukan orang itu sendiri yang melakukan peristiwa pidana, akan tetapi ia menyuruh orang lain,
meskipun demikian ia dipandang dan dihukum sebagai orang yang melakukan sendiri yang melakukan peristiwa pidana, akan tetapi ia menyuruh orang lain, disuruh itu
harus hanya merupakan suatu alat saja, maksudnya ia tidak dapat dihukum karena tidak dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya.
3. Turut melakukan perbuatan itu
Turut melakukan dalam arti kata bersma-sama melakukan. Sedikit-dikitnya harus ada dua orang, ialah orang yang melakukan dan orang yang turut melakukan peristiwa
pidana itu. Disini diminta, bahwa kedua orang itu semuanya melakukan perbuatan pelaksanaan. Jadi melakukan anasir atau elemen dari peristiwa pidana itu. Tidak
boleh misalnya hanya melakukan perbuatan persiapan saja atau perbuatan yang sifatnya hanya menolong sebab jika demikian, maka orang yang menolong itu tidak
masuk turut melakukan akan tetapi dihukum sebagai membantu melakukan tersebut dalam Pasal 56.
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana PembunuhanStudy Putusan No. 514Pid.B1997PN-LP, 2008.
USU Repository © 2009
Bahwa peranan terdakwa dalam peristiwa pidana ini adalah dinilai sejak dari terdakwa mencari wanita yang mau berobat kepada suaminya sampai dengan
terdakwa mempersiapkan alat-alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan dan menyimpan barang bukti milik korban adalah suatu kerja sma rangkaian perbuatan
yang lengkap dan erat antara terdakwa dan suaminya. Bahwa sekalipun terdakwa tidaklah ikut menyelesaikan perbuatan peristiwa pidana
membunuh, tetapi terdakwa dalam hal ini telah dapat dikatakan sebagai turut serta melakukan peristiwa pidana, karena perbuatan atau pembunuhan itu tidak mungkin
dapat dilakukan sendiri oleh suami terdakwa, misalnya amat sulit membawa seorang wanita pada malam hari keperkebunan tebu, apalagi yang pada waktu itu tebu
berumur 5 – 6 bulan. Bahwa dari rangkaian perbuatan terdakwa tersebut diatas, Majelis berpendapat dan
berkesimpulan bahwa Pasal 55 1 Ke-1 KUHP telah dapat dibuktikan. Bahwa selanjutnya akan mempertimbangkan dalam hubungannya dengan Pasal 65
KUHP. Bahwa Pasal 65 KUHP mempunyai pengertian sebagai berikut : “dalam hal gabungan
beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang masing-masing berdiri sendiri dan merupakan beberapa kejahatan yang atasnya ditentukan hukuman
pokok yang semacam”. Bahwa sesuai dengan uraian sebagai tersebut diatas bahwa perbuatan yang dilakukan
terdakwa telah terbukti, dimana terdakwa ikut serta dalam pembunuhan terhadap korban Supiah dan Sri Kumala Dewi.
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana PembunuhanStudy Putusan No. 514Pid.B1997PN-LP, 2008.
USU Repository © 2009
Bahwa pembunuhan yang dilakukan terhadap korban Supiah sekitar tahun 1995 dan pembunuhan terhadap korban Sri Kumala Dewi dilakukan pada tanggal 23 April
1997, sehingga perbuatan-perbuatan tersebut sudah dapat dikwalifisir sebagai gabungan dari beberapa perbuatan yang masing-masing berdiri sendiri dan diancam
dengan hukuman utama sejenis dan oleh karenanya terdakwa telah memenuhi ketentuan Pasal 65 KUHP.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan diatas, seluruh unsur-unsur dalam dakwaan Primair telah terbukti dilakukan terdakwa, maka keputusan Majelis Hakim yang
diberikan kepada terdakwa Tumini telah sesuai dengan analisa perundang-undangan yang berlaku, yang dalam hal ketentuan KUH Pidana dalam Pasal 340 jo. 55 1 Ke-1
jo. 65 dari KUHP adalah tepat. Jika ditinjau dari sudut pandangan Hak Asasi Manusia HAM, putusan yang
dikeluarkan oleh Majelis Hakim dianggap tidak manusiawi. Menurut penulis dari satu sisi melihat hukuman mati yang diberikan kepada terdakwa Tumini adalah putusan yang
kejam, tidak manusiawi, dan sadis, namun di sisi lain sebagai bagian dari tujuan pemidanaan, putusan tersebut dianggap tepat dengan tujuan untuk memberi efek takut
bagi masyarakat lain untuk melakukan tindakan yang sama dan untuk memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat yang dirugikan terutama keluarga korban.
Penulis kurang sependapat dengan Putusan Majelis Hakim dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia dengan alasan :
1. Putusan tersebut dianggap kejam dan mengerikan, yang mengingatkan kepada hukum
rimba.
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana PembunuhanStudy Putusan No. 514Pid.B1997PN-LP, 2008.
USU Repository © 2009
2. Putusan tersebut tidak mampu memberantas tindak pidana atau tidak akan mencegah
seseorang untuk melakukan pembunuhan. 3.
Eksekusi hukuman mati bersifat abadi, tidak bisa diubah jika di kemudian hari ternyata tidak memiliki dasar yang kuat.
4. Putusan tersebut berlawanan dengan kebebasan orang pribadi, karena hidup
manusia adalah milik pribadi yang esensial dan tidak bisa diganggu oleh orang lain. Jika diteliti secara lebih mendalam, setiap hukuman pada hakikatnya mengandung
unsur kekejaman. Sekiranya hukuman mati dihapuskan, hukuman-hukuman lain pun harus dihapuskan. Bukankah hukuman penjara seumur hidup dengan kerja paksa juga
mengekang kebebasan dan bersifat kejam? Bagi si terpidana, bisa jadi akan lebih memilih hukuman mati ketimbang menderita seumur hidup di dalam penjara.
Jika ditinjau dari tujuan pemidanaan, sebagaimana kecenderungan pemikiran hukum positif akhir-akhir ini, bahwa pemidanaan lebih berorientasi untuk mendidik dan
memperbaiki si terhukum. Tetapi, bagi orang yang menghilangkan nyawa orang lain tanpa hak, menunjukkan ia tidak lagi mempertimbangkan akibat-akibat hukumnya.
Apalagi, orang yang terbunuh juga memiliki hak hidup sebagaimana orang yang membunuhnya.
Dengan kata lain, setiap orang juga punya kewajiban untuk tidak menyebabkan orang lain mati. Atau, setiap orang punya hak untuk tidak dikorbankan sampai mati.
Karena itu, adalah wajar jika orang yang membunuh dengan sengaja, harus dihilangkan nyawanya pula dari kehidupan masyarakat dunia.
Dengan kata lain, pada tiap-tiap hukuman ada dua tujuan, yaitu memberi pengajaran terhadap diri pelaku kejahatan dan menjadi pencegahan terhadap orang lain.
Jacky O. Situmorang : Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana PembunuhanStudy Putusan No. 514Pid.B1997PN-LP, 2008.
USU Repository © 2009
Apabila hukuman mati tidak memiliki implikasi atau tidak ada nilainya bagi si terhukum, maka nilainya terletak pada kesannya terhadap orang lain sebagai pencegahan umum.
Di sinilah, hendaknya Majelis Hakim yang memutus perkara tersebut hendaknya tidak meninggalkan sama sekali teori pembalasan. Jika dicermati lebih mendalam,
putusan tersebut ternyata lebih banyak berpihak kepada pelaku tindak kejahatan ketimbang berorientasi kepada kepentingan umum atau masyarakat luas, terutama pihak
korban dan keluarganya. Padahal, sebagai hukum publik, hukum pidana di Indonesia seharusnya lebih berorientasi kepada perlindungan masyarakat banyak dan pihak korban,
meski tidak harus mengabaikan nasib atau hak-hak pelaku kejahatan itu sendiri.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN