Kekuasaan Menyatakan Keadaan Bahaya Kekuasaan Sebagai Pemegang Kekuasaan Tertinggi Angkatan

mengalami perubahan. Ebelum perubahan UUD 1945, kewenangan tersebut dilakukan sepenuhnya oleh presiden tanpa adanya pertimbangan dari lembaga negara lainnya. Namun setelah perubahan pertama, presiden diharuskan memperhatikan pertimbangan DPR.

3.2.5 Kekuasaan Menyatakan Keadaan Bahaya

Berdasarkan Pasal 12 UUD 1945 yang tidak mengalami perubahan sama sekali, presiden mempunyai kewenangan untuk menyatakan keadaan bahaya. Pasal tersebut berbunyi: “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang.” 176 Dalam menyatakan negara dalam keadaan bahaya, Presiden tidak perlu meminta persetujuan terlebih dahulu dari Dewan Perwakilan Rakyat. Namun syarat dan akibat keadaan bahaya harus diatur dalam undang-undang, sehingga memerlukan peretujuan DPR. Tindakan presiden dalam hal menyatakan keadaan bahaya merupakan tindakan eksekutif. 177 Suwoto Mulyo Sudarmo mengatakan bahwa dalam keadaan negara dinyatakan dalam keadaan bahaya, Presiden memiliki peluang yang besar dalam memainkan peranannya. Jika perlu Presiden dapat bertindak secara inkonstitusional. 178 Melalui teori keseimbangan evenwichtstheorie, evenredigheidspostulaat R. Kranenburg juga sependapat bahwa keadaan bahaya itu adalah sesuatu yang abnormal, maka untuk mengatasi bahaya itu hukumnya dalam keadaan biasa harus dipandang abnormal dan luar biasa. Mungkins dalam keadaan normal tindakan 176 Pasal 12 UUD 1945 sebelum perubahan. 177 Dapat dilihat pada http:www.sejarahtni.mil.idindex.phpcid=1785page =4. Diakses tanggal 6 Juli 2004. 178 Suwoto Mulyosudarmo, Kekuasaan dan Tanggung Jawab Presiden Republik Indonesia, Disertasi Doktor Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 1990. hal. 115 Universitsa Sumatera Utara penguasa itu masuk ke dalam kategori onrechtmating, akan tetapi oleh karena keadaan bahaya atau abnormal, maka tindakan Penguasa itu adalah sah dan dapat dibenarkan gerechtvaardigd.

3.2.6 Kekuasaan Sebagai Pemegang Kekuasaan Tertinggi Angkatan

Bersenjata Dalam Pasal 10 UUD 1945 yang tidak mengalami perubahan berbunyi: “Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.” Dari pernyataan di atas, maka Kepolisian tidak termasuk sebagai Angkatan bersenjata. Tetapi pada era sebelum reformasi, berdasarkan Pasal 3 Undang-Undng No. 13 tahun 1961 angkatan kepolisian dinyatakan sebagai Angkatan Bersenjata Republik Indonesia sehingga secara administratif Kepolisian berada di bawah Menteri Keamanan dan Pertahanan. 179 Setelah reformasi tahun 1998, ketentuan yang terdapat dalam undang- undang tersebut telah mengalami perubahan. Pada tahun 2000, MPR mengadakan sidang umum yang salah satu hasilnya adalah dikeluarkannya Ketetapan MPR Nomor VIMPR2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. 180 Berdasarkan Ketetapan tersebut pada tahun 2002 dibentuklah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sesuai dengan Pasal 8 undang-undang tersebut, Kepolisian berada di bawah Presiden. Lembaga kepolisian tersebut dipimpin oleh Kapolri yang bertanggung jawab kepada Presiden. 181 179 Ibid. 180 Ketetapan tersebut berisisi empat pasal. 181 Pasal 8 Ayat 1 UU No.2 Tahun 2002 berbunyi, “ kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden.” Ayat 2 berbunyi “Kepolisian Negara RI dipimpin oleh Kapolri yang Universitsa Sumatera Utara Sementara itu, Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia TNI baru terbentuk 2 tahun kemudian dari lahirnya Undang-Undang Kepolisian yang baru, yaitu Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 TNI berkedudukan di bawah Presiden. Sedangkan dalam kebijakan dan strategi pertahanan serta dukungan admiistraasi, TNI di bawah koordinasi Departemen Pertahanan. 182

3.2.7 Kekuasaan Memberi Gelar dan Tanda Kehormatan Lainnya