SAM‘ DALAM TAREKAT MAWLAWIYAH

BAB IV SAM‘ DALAM TAREKAT MAWLAWIYAH

Sekilas Tentang Sama‘ Mungkin tidak ada aspek tasawuf yang lebih kontroversial, dan sekaligus populer, dibanding praktik musik al-sama‘. Musik dan nyanyian dalam zikir ini ada yang memakai tarian, dalam literatur tasawuf disebut sama‘. Walaupun dalam sistem peribadatan formal Islam, sama‘ bisa dikatakan tidak mempunyai tempat yang real, tetapi ia memainkan peranan yang besar dalam praktik kesufian. Para sufi berkeyakinan, bahwa sama‘ bukan hanya memiliki daya mistik untuk memperdalam perasaan, tetapi juga, ketika dikoordinasikan dengan kata-kata simbolis dan gerakan-gerakan berirama, memiliki kekuatan atas kemauan manusia. 1 Secara etimologis, sama‘ adalah masdar dari fi‘il madi sami‘a yang berarti mendengarkan. Kata sama‘ dalam bahasa Inggris berarti hearing, listening, listening in auditioning, audition. Dalam kamus al-Munjid, kata sama‘ diartikan mengindera suara melalui pendengaran dan juga dapat berarti al-ghina’ nyanyian. Kata al-sama‘ dalam bahasa Arab klasik bisa berarti nyanyian musik atau alat musik. 2 Dalam terminologi tasawuf, kata sama‘ memiliki konotasi yang sangat beragam, sebagaimana terefleksi dalam berbagai pendapat tokoh sufi. Dzû al-Nûn al-Misrî mengatakan, “Mendengarkan musik adalah sentuhan warîd Allâh 1 Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, Bandung: Pustaka Hidayah, 2000, h.259. 2 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik: Sebuah Pembelaan Musik SufiOleh Ahmad al- Ghazali, Yogyakarta: Gama Media, 2003, h. 12-13. yang membangkitkan hati untuk menuju Allâh. Barang siapa yang mendengarkannya dengan Allâh al-Haqq akan sampai padaNya, sedangkan orang-orang yang mendengarkannya dengan hawa nafsu nafs akan jatuh ke dalam kesesatan tazandaqa”. 3 Ucapan Dzû al-Nûn al-Misrî menjelaskan pada kita bahwa musik itu suci dan merupakan pengaruh ilahi. Barang siapa yang mendengarkan musik karena dorongan jiwa rendahnya nafs, maka ia akan tersesat, dan siapa yang mendengarkannya dengan kecintaan kepada Allâh, maka ia akan dapat mencapai derajat spiritualitas yang tinggi dan mulia serta memperoleh anugerah spiritualitas hal dari Allâh. Karena itulah Abû Ya’qub Ishaq ibn Muhammad, sufi dan sahabat al-Junaid, wafat pada tahun 330 H berkata. “Mendengarkan musik adalah kondisi spiritual hal yang melahirkan keberpulangan al-ruju‘ kepada cahaya ruhani yang ada dalam hati asrâr setelah mengalami proses iluminasi yang mengarah pada fanâ’”. 4 Masih banyak ungkapan para sufi tentang sama’ yang berbeda-beda. Adanya keragaman ucapan para sufi tentang sama’ itu karena, secara substansial, sama’ merupakan bagian dari pengalaman mistik, dan setiap sufi memiliki pengalaman yang berbeda-beda. Bagi kaum sufi, musik memiliki fungsi yang beragam, membawa jiwa ke alam realitas, menyejukkan hati, mengeluarkan permata ilahiah yang tersimpan dalam relung hati, membersihkan hati dan meningkatkan kerinduan serta kecintaan kepada Allah. Bahkan, musik juga dijadikan sebagai sarana 3 Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 13. 4 Ibid., h.13-14. mendekatkan diri kepada Allah dan untuk mencapai derajat wusul sampai kepada Zat yang dituju yaitu Allah. 5 Beberapa ulama sufi yang membahas musik sama’ dan memanfaatkannya, yaitu Abû Tâlib al-Makkî, Abû Nasr al-Sarrâj, al-Qusyairi, al- Hujwirî, Abû Hamîd al-Ghazâlî, Ahmad al-Ghazâlî, Jalâl al-Dîn al-Rûmî, dan Muhammad al-Syâdzilî al-Tûnisî. 6 Dalam buku-buku tasawuf, kata sama’ diterjemahkan kedalam bahasa Inggris oleh kebanyakan sarjana Barat seperti Nicholson diartikan dengan listening to music and singing , Javad Nurbakhsh mengartikannya dengan spitiual music , dan Sayyed Hossein Nasr mengartikannya dengan spitual concert. Hal itu karena sama’, dari segi praktik lahiriahnya, merupakan kegiatan mendengarkan sya‘ir , nyanyian yang diiringi dengan instrumen musik yang dilakukan dalam bentuk kelompok konser musik. 7 Sebenarnya sama’ telah dipraktikkan oleh sufi-sufi awal, tetapi bagaimana sama’ ini dipraktikkan tidak begitu jelas digambarkan oleh sumber- sumber awal, karena sumber-sumber ini lebih banyak membicarakan perdebatan tentang boleh tidaknya sama’ menurut syariat. Ahmad al-Ghazâlî, adik dari Imam al-Ghazâlî, yang nampaknya termasuk kelompok ulama yang membolehkan sama’, bahkan membela praktik sama’, menjelaskan praktik sama’ yang ia saksikan pada perguliran abad ke-11. 8 Menurut Ahmad al-Ghazâlî, sama’ meliputi tiga teknik fisik: menari, berputar, dan melompat, dan masing-masing gerakan tersebut memiliki fungsi 5 Ibid.,h. 11-12. 6 Ibid., h. 11. 7 Ibid., h.17. 8 Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, h.259-260. sebagai simbol dan realitas spiritual. Selain menari, berputar, dan meloncat, sama’ juga meliputi kegiatan mengajar. Jamaah berkumpul di pagi hari setelah selesai salat Subuh, atau setelah salat Isya. Selepas wirid, dan dalam keadaan duduk, seseorang dengan suara yang paling lembut membacakan bagian tertentu dari al- Qur’an. Kemudian sang syekh mendiskusikan makna ayat-ayat tersebut dengan pengertian yang cocok sesuai dengan maqâm para sâlik-nya. 9 Setelah pengajaran selesai, maka seorang qawwâl atau penyanyi mulai menyanyikan puisi-puisi sufi untuk membawa mereka ke ekstase. Setelah itu mereka bangkit dari tempat tersebut dan pulang ke tempat tinggal masing-masing dan duduk sejenak untuk merenungkan penyingkapan-penyingkapan yang muncul kepada mereka dalam keadaan tenggelam dalam ekstase. Setelah audisi, beberapa dari mereka berpuasa selama beberapa hari sebagai makanan bagi jiwa dan hati mereka berupa pengalaman-pengalaman mistik yang gaib wâridât. 10 Menurut al-Hujwirî, sama’ tidak boleh dilakukan hingga ia datang atas kehendaknya sendiri, dan tidak boleh membuatnya sebagai kebiasaan, tapi dilakukan dengan jarang, agar tidak bosan. Pembimbing ruhani syeikh atau mursyid perlu hadir selama berlangsung sama’ dan tempatnya diusahakan bebas dari orang-orang awam, dan yang menyanyi hendaklah orang yang terhormat, hatinya bersih dari pikiran-pikiran duniawi, dan wataknya tidak boleh cenderung kepada hiburan. 11 Mulyadhi mengatakan. Bahwa bagi Rûmî sama‘ adalah makanan hati, karena musik berhubungan dengan hati. Ia juga mengatakan kalau hal-hal yang berkaitan melihat dengan mata hubungannya adalah dengan otak, tapi jika 9 Ibid., h.260-261. 10 Ibid., h. 261-262. 11 Ibid., h. 371. mendengar hubungannya adalah dengan hati. Sama‘ bukanlah untuk musik, karena ia tercipta dari pengalaman spiritual seorang sufi, liriknya juga merupakan sebuah ilham spiritual. Berbeda dengan musik kontemporer, musik dan liriknya disesuaikan dengan nafsu dan pengalaman pribadi yang bersifat hubungan sesama makhluk. 12 Seorang ahli fiqh pernah mengritik Rûmî karena tarian mistiknya yang dianggap menyimpang dari aturan syariat bid‘ah. Dengan cerdik, Rûmî yang juga ahli fiqh balik bertanya pada pengeritiknya tadi: “Seumpama aku tidak menemukan sesuatu yang halal untuk dimakan, sementara tubuh jasmaniku sudah sangat kritis dan akan mati kecuali dengan makanan yang haram, bolehkah aku makan sesuatu yang haram tersebut? Dengan tegas sang ahli fiqh tadi menjawab, “Boleh, dengan mengemukakan kaidah Usûl al-fiqh, al-darûrah tubi‘ih al- mahzûrah .” Rûmî kemudian menimpali bahwa tubuh ruhaninya sangat dahaga dan akan mati tanpa tarian. Kalau tubuh jasmani saja diperbolehkan untuk memakan sesuatu yang haram, bagaimana dengan tubuh ruhani? Itu pun seandainya tarian itu diharamkan. Demikian menurut Rûmî, yang baginya sama‘ adalah santapan ruhani seperti halnya zikir. Ada fenomena yang agak aneh menurut pendapat awam bahwa para sufi, dalam melakukan sama’ lebih cenderung menggunakan syair, zikir, nyanyian, dan sebagainya daripada al-qur’an. Secara psikologis, fenomena ini sebenarnya dapat disejajarkan dengan kondisi rindu berat akan lebih cenderung memuji-muji yang dicintai melalui lagu-lagu, syair yang mengisyaratkan sifat, bentuk kesempurnaan yang terdapat pada yang dicintai dibanding dengan ketertarikan mereka terhadap 12 Sidang skripsi pada tanggal 18 Juni 2008. membaca pesan-pesan yang disampaikan oleh sang Kekasih. Dengan mendengarkan atau mendendangkan melodi cinta, kecintaan yang terpendam dalam lubuk hati semakin menguat, dan selanjutnya dia akan masuk dalam kondisi ekstasi. Ekstasi ini semakin kuat manakala melodi-melodi cinta tersebut diiringi dengan tabuhan instrumen musik yang indah. Demikianlah kondisi orang sufi yang sedang mendendangkan dan mendengarkan melodi cintanya. 13 Penekanan pada sama‘ adalah pengalaman menyimak syair dari pada menikmati pertunjukan musiknya, karena bagi sufi musik hanyalah sebagai media saja bukan dijadikan sebagai yang utama. Sedangkan bagi mereka yang lebih terfokus pada manifestasi lahir musik dari pada bentuk batinnya adalah orang- orang yang tertipu. Efek dari sama‘ jika dilakukan dengan benar, adalah ekstase majdzub. 14 Karena pengaruh sama‘, kadang-kadang seorang sufi mampu bertahan berhari-hari tidak makan. Penyebabnya, ruh dan hati mereka sudah makan berbagai pengalaman mistik yang tidak kelihatan al-waridât al-ghaibiyâh. Kondisi yang serupa ini tidak diingkari oleh mereka yang memiliki pengalaman keagamaan. 15 Sama‘ Dalam Ritual Mawlawiyah Bagi para sufi ritual sama‘ memiliki makna-makna filosofis yang sangat dalam hubungannya dengan jiwa manusia, baik dari tata cara upacaranya, maupun alat-alat musik yang dipergunakannya. Masing-masing memiliki fungsi sebagai simbol dari realitas spiritual. Penulis akan berusaha menjelaskan apa arti dari 13 Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. xiii-xiv. 14 Carl W. Ernst, Ajaran dan Amaliah Tasawuf, Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003, h. 232- 236. 15 Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 93. ritual sama‘ itu, baik itu prosesnya, simbol dari tarian dalam tarekat Mawlawiyah, dan simbol dapur yang ada dalam tarekat Mawlawiyah. Proses Sama‘ Sebelum kita membahas tentang sama‘ dalam tarekat Mawlawiyah, terlebih dahulu akan dibahas yang berkenaan dengan “rekrutmen” anggota pada tarekat Mawlawiyah. Hal ini penting, karena sebelum melakukan ritual sama‘ ini, seseorang haruslah terlebih dahulu masuk dalam anggota tarekat ini. Menurut Ira Freid Lander, seperti yang dikutip Mulyadhi, ada lima “tekke” zawiyah Mawlawiyah, sebelum tahun 1925, yang merupakan pusat- pusat tarekat yang aktif sebagai suatu bentuk kehidupan komunal. Siapa saja di bawah usia 18 tahun, yang masuk tarekat ini diminta untuk menunjukkan izin tertulis dari kedua orang tuanya sebelum ia diterima untuk hidup di tekke tersebut. Sang mursyid membawa anak laki-laki tersebut kepada syaikh tekke untuk mengutarakan maksud dan keinginannya. 16 Sang syaikh akan membai‘at anak tersebut dengan upacara kecil yang terdiri dari mambaca zikir lâ ilâha illâ Allâh dan “Allah Akbar” dan pemberian topi darwisy sikke yang digunakan dalam upacara tersebut. Sang murid diminta untuk mengikat janji setia kepada sang syaikh. Anak muda yang telah dibai‘at diberikan pilihan untuk melakukan khalwat selama 1001 hari disebut chille dan menjadi seorang Dede dalam tarekat Maulawiyah atau menjadi seorang “muhib” yang tidak melakukan khalwat dan tinggal di tekke, tetapi datang setiap hari untuk melakukan latihan yang intens dalam praktik darwis. 17 16 Mulyadhi Kartanegara, Tarekat Mawlawiyah: Tarekat Kelahiran Turki, dalam Sri Mulyati, ed., Mengenal dan MemahamiTarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006, h. 340. 17 Ibid., h. 340. Bagi murid yang memilih khalwat selama 1001 hari chille, harus melakukan latihan-latihan yang sangat ketat selama 1001 hari itu. Sang murid harus menyelesaikan upacara sang pemula sebelum diizinkan untuk melihat tarian gasing sama‘ utama, yang dilaksanakan setiap kamis malam. Setelah belajar tarian tersebut, yang bisa berlangsung tahunan sebelum ia lulus dari status pemula. Begitu ia selesai mempelajari putaran, yang biasanya membutuhkan waktu sembilan puluh hari, sang murid ditempatkan pada status pemula ketika ia telah betul-betul berpartisipasi dalam sebuah sama‘. 18 Jika sang murid memilih menjadi seorang muhib sang pecinta, ia tinggal di rumah tetapi datang ke tekke setiap hari, untuk belajar sama‘ musik, dan diajarkan Matsnâwî karya utama Rûmî yang berisi 25.000 bait bersajak, yang terbagi dalam enam kitab oleh beberapa guru yang berbeda. Ia juga dibai‘at dengan sebuah sikke dan diizinkan untuk ikut menari. Berbeda dengan murid chille , sang muhib dibolehkan melihat sama‘ pemula. Dalam tarekat Mawlawiyah sekarang, orang-orang yang ada adalah seorang muhib, kecuali dalam Osman Dede. Ia adalah satu-satunya orang yang masih hidup yang dapat menyelesaikan ujian 1001 hari ujian chille. 19 Dalam sama‘, yaitu tarian gasing yang terkenal dari tarekat Mawlawiyah, tarian dibagi ke dalam dua bagian. Bagian pertama terdiri dari Naat sebuah puisi yang memuji Nabi Muhammad saw, improvisasi ney seruling atau taksim dan “lingkaran Sultân Walad”. Bagian kedua terdiri dari empat salam, musik instrumental akhir, pembacaan ayat-ayat suci al-Qur’an, dan do‘a. 18 Ibid., h. 341-342. 19 10 Ibid., h. 342. Bagian yang pertama dari upacara ini ialah Naat, semacam musik religius yang disusun oleh Buhûriz Mustafâ ‘Itrî 1640-1712, tetapi puisinya adalah puisi Rûmî. Naat adalah pujian terhadap Nabi Muhammad saw. Sedangkan taksim adalah sebuah improvisasi terhadap setiap makam, atau mode, yaitu konsep penciptaan musik yang menentukan hubungan-hubungan nada, nada awal, yang memiliki kontor dan pola-pola musik. Taksim merupakan bagian yang sangat kreatif dari upacara Maulawi. Selanjutnya ada “lingkaranputaran Sultân Walad”, ini disumbangkan kepada upacara oleh putra sulung Rûmî, Sultan Walad. Selama putaran ini, para darwis yang ikut bagian dalam putaran tari, berjalan mengelilingi sang samahane ruang upacara tiga kali dan menyapa satu sama lain didepan pos lokasi tempat pemimpin tekke atau pimpinan upacara berdiri. Dengan cara ini mereka menyampaikan “rahasia” dari yang satu kepada yang lain. 20 Bagian yang kedua terdiri dari empat salam, yaitu: a. Salam pertama, melodi biasanya panjang. Irama yang digunakan biasanya disebut “putaran berjalan” devr-i Revan. Bitnya adalah 148. b. Salam kedua, pola irama dari salam ini disebut “Evfer” dan terdiri dari 98 bit. c. Salam ketiga, dibagi ke dalam dua bagian yang meliputi melodi dan irama. Bagian pertama disebut “putaran”, bitnya 284. Bagian kedua dari salam ketiga ini disebut “Yoruk Semai”, bitnya adalah 68. d. Salam keempat, pola irama ini juga “Evfer” 68, yakni irama lambat dan panjang, untuk menurunkan elastasi sehingga sang darwis bisa konsentrasi kembali. Tiap-tiap salam dihubungkan melalui nyanyian. Pada bagian pertama 20 Ibid., h. 343-344. dan kedua, seleksi diambil dari Divan-i Syams atau Matsnawi, pada bagian ketiga, puisi Maulawi lain dinyanyikan. 21 Upacara berikutnya adalah musik instrumental terakhir, yang setelah seleksi instrumental ini ada taksim seruling. Kadang-kadang musik ini dapat dimainkan dengan alat-alat musik petik senar. Setelah musik selesai, seorang hâfiz di antara para penyanyi, membaca ayat-ayat al-Qur’an. Sama‘ masih terus berlangsung sampai bacaan al-Qur’an dimulai. Ketika hâfiz mulai membaca al- Qur’an, para penari tiba-tiba berhenti dan mundur ke pinggir ruangan dan duduk. Setelah ia selesai, pimpinan sama‘ berdiri dan mulai berdoa di depan sang syaikh, doa yang dibaca biasanya cukup panjang. Doa ini biasanya ditujukan untuk kesehatan dan hidup sang sultan, atau para penguasa negara. 22 Sampai sekarang, ritual sama‘ ini masih diperagakan secara formal, di Konya, Turki, pada setiap Bulan Desember, untuk mengenang jasa dan karya- karya sang Mawlânâ, yang wafat pada tanggal 12 Desember 1273. 23 Nampaknya pengaruh Rûmî terhadap perkembangan musik di Turki sangat erat, seperti yang dikatakan William Chittick. Banyak kaligrafer besar Turki adalah anggota tarekat ini. Puisi Turki juga banyak berhutang budi, baik dari sudut gaya atau tema, kepada puisi persia Rûmî. 24 Simbol Tarian Mengutip Profesor Nasr, Mulyadhi mengatakan, bahwa tarian Mawlawi dimulai dengan nostalgia tentang Tuhan, lalu berkembang menjadi keterbukaan sedikit demi sedikit terhadap limpahan rahmat dari surga, dan akhirnya 21 Ibid., h. 344. 22 Ibid., h. 344. 23 Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, Jakarta: Erlangga, 2006, h.262. 24 Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami, h. 345. menghasilkan fana’ dan penyatuan dalam diri Sang Kebenaran. Bila simbolisme sama‘ diperhatikan, bisa dikatakan bahwa tarian berputar ini menyimbolkan kosmos, karena menurut Rûmî seluruh kosmos adalah misteri yang sedang menari. 25 Ada metafora lain yang berkenaan dengan upacara tersebut. Topi Mawlawi misalnya, menyimbolkan batu kuburan, jubahnya adalah peti jenazah, dan bajunya adalah kain kafannya. Seruling buluh ney bukan saja merepresentasikan terompet mitologis untuk menghidupkan kembali yang mati pada Hari Kebangkitan, tapi juga menyimbolkan jiwa yang dikosongkan dari diri dan diisi oleh jiwa ilahi. 26 Rûmî juga menggambarkan nasib manusia tak ubahnya seperti seruling, yang telah dipisahkan jauh dari induknya dari pohon asalnya, dari mana sebagai batang ia dipotong dan dipisahkan dari induknya. Tak heran kalau suara seruling, dalam tarekat Maulawiyah merupakan salah satu alat musik yang penting dalam ritual sama‘ mereka, sering begitu menyayat hati, menyanyikan kerinduan yang mendalam untuk bisa berjumpa dengan tempat asalnya. Keluh kesah manusia, ditafsirkan Rûmî sebagai bukti adanya rasa rindu yang mendalam terhadap asal- usul mereka, yang sering tidak disadari, yaitu Tuhan sebagai “Sang Awwal”. 27 Sementara itu, sembilan lubang yang ada pada seruling merupakan isyarat sembilan lubang yang dimiliki oleh manusia dan sembilan tingkatan batin. Sembilan lubang itu adalah, dua lubang telinga, dua lubang hidung, dua lagi di mata, serta satu di mulut, qubul dan dubur. Adapun sembilan tingkatan batin itu adalah, al-qalb, al-‘aql, al-rûh, al-nafs, al-sîr, al-jauhar al-insâni, al-latifah al- 25 Mulyadi Kartanegara, Jalal al-Din Rumi, h. 15-16. 26 Ibid., h. 17. 27 Mulyadhi, Tarekat Mawlawiyah, dalam Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami, h. 326. dzâkirah, al-fu’ad, dan al-syaqqâf. Tiupan yang masuk ke seruling adalah isyarat ditiupkannya cahaya Allah ke dalam zat manusia. 28 Gerakan tarian yang dilakukan ketika mendengarkan musik adalah isyarat akan kegembiraan hakikat manusia atas terjadinya janji primordial, yaitu sebuah janji yang terjadi di alam mitsal, yaitu suatu alam tempat ruh-ruh manusia dengan penuh kesadarannya menyaksikan bahwa Allâh adalah Tuhan Mereka sebagaimana tersurat dalam al-Qur’an, 7:172, ketika Allah bertanya, “Bukankah aku ini Tuhanmu?” Tarian yang dilakukan merupakan ekspresi kegembiraan yang dirasakan ruh karena telah lepas dari belenggu jasad, dan dapat kembali ke tanah air yang sebenar-benarnya, yaitu di alam tempat ruh Allâh ditiupkan ke dalam tubuh Adam. 29 Ernst menyatakan bahwa Junaid al-Baghdâdi pernah berkata, “Ketika dikatakan pada anak Adam saat ditiupkannya ruh mereka pada Hari Perjanjian itu, ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’, maka semua ruh menjadi terpikat dengan kenikmatannya. Demikianlah, maka semua orang yang terlahir ke dunia ini, setiap kali mendengar suara yang indah, ruh mereka akan tergetar dan terganggu oleh ingatan akan kalam ilahi tersebut, karena pengaruh kalam itu ada di dalam suara yang indah.” Dengan pengertian lain, sumber sama‘ adalah rasa terpesona atau ketertarikan hati jadzb kepada Tuhan, rasa ini adalah suatu energi yang langsung mengarahkan seseorang kepadaNya. 30 Menari sambil berputar-putar merupakan ekspresi dari ruh yang berputar- putar dalam lingkaran segala yang ada al-maujûdat setelah ruh menerima 28 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik: Sebuah Pembelaan Musik SufiOleh Ahmad al- Ghazali, Yogyakarta: Gama Media, 2003, h. 88-89. 29 Ibid., h. 89. 30 Ernst, Ajaran dan Amaliah Tasawuf, h. 238. dampak berbagai manifestasi al-tajalliyat dan desendensi al-tanzîlat Allah. Sebuah kondisi spritualitas hal orang yang telah mencapai derajat ma‘rifat. Melingkar seperti bentuk sumbu al-fatl isyarat ruh yang diam beserta Allah melalui cahaya suci yang ada pada diri manusia sîrr, wujûd, dan jangkauan pandangan serta pikiran manusia yang menembus ke seluruh tingkatan alam. 31 Posisi tangan kanan yang menengadah dengan telapak tangan ke atas, sedang tangan kiri diturunkan ke bawah ketika menari, menggambarkan pengaruh dari langit yang diterima dengan telapak tangan terbuka dari atas, diteruskan ke bawah menuju dunia oleh tangan yang lain. 32 Artinya seorang sufi jika mendapatkan berkah dan rahmat dari Tuhan maka dibagi-bagikan kembali kepada makhluk Tuhan yang lain. Putaran yang dilakukan oleh peserta sama‘ berlawanan dengan arah jarum jam, seperti putaran tawaf mengelilingi Ka’bah pada ritual ibadah haji. Kaki lurus seperti huruf alif, melambangkan ketauhidan. Manakala peserta sama‘ telah memperoleh aspek mistis dari kondisi- kondisi spiritual ahwâl yang gaib, hati mereka telah menjadi halus, dan mereka telah mencapai kesucian jiwa, maka peserta sama‘ hendaknya duduk. Pada saat itu penyanyi hendaklah menyanyikan lagu-lagu yang ringan untuk mengeluarkan kesadaran dan keterpengaruhan mereka dari berbagai pengalaman mistis dengan cara sedikit demi sedikit. Bila masih dalam keadaan seperti itu, penyanyi hendaknya mengulangi apa yang telah dinyanyikan dengan suara yang lebih bergetar daripada bacaan yang pertama. Hal ini diulang sampai tiga kali bila 31 Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 89-90. 32 Mulyadhi, Tarekat Maulawiyah, dalam Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami, h. 338. masih belum sadar. Karena keseluruhan tingkatan itu ada tiga macam: tingkatan manusia, malaikat, dan tingkatan ketuhanan rubûbiyyah. 33 Simbol Dapur Dalam kehidupan sehari-hari, kata dapur tentu sudah tidak asing lagi bagi kita, karena kata itu sudah menjadi bagian dari hidup menusia, terutama mungkin para wanita, tetapi sekarang para pria pun sudah banyak yang berkecimpung dalam dunia dapur. Jika kita mendengar kata dapur, sudah pasti yang terbayang adalah pengolahan makanan, dari bahan mentah menjadi matang. Setelah itu, makanan pun siap untuk disantap, baik sendiri maupun beramai-ramai, yang terkadang terasa lebih nikmat. Banyak dari kita tidak menyadari makna filosofis dari kata dapur itu, karena bagi kita dapur memang seperti itu, yaitu sebuah tempat untuk mengolah makanan. Tetapi, lain halnya Bagi pengikut tarekat Mawlawiyah, yang memaknai dapur begitu mendalam, dan dapur juga memiliki peranan yang sangat penting. Dapur menjadi salah satu syarat untuk menjadi pengikut tarekat Maulawiyah. Anak muda yang telah dibai’at, dan yang memilih untuk melakukan khalwat selama 1001 hari seperti yang telah dijelaskan pada proses sama‘, akan dibawa ke ahchi Dede ahchi artinya tukangjuru masak dan deberikan ujian pertama. Juru masak dalam tarekat Mawlawiyah adalah penting, bukan hanya karena mempersiapkan makanan, tetapi juga karena “manusia adalah bahan baku yang harus dimasak dulu untuk menjadi makanan dan enak dimakan”. Ujian pertama si neu-niyaz yang baru dibai’at dibawa ke matbakh dapur, yang sebenarnya sebuah kamar kecil di mana sang murid duduk di atas lutut di atas 33 Ibid., h. 91. saka pos, yang terbuat dari kulit sapi selama tiga hari. Ia hanya boleh bergerak untuk salat lima waktu, ke toilet dan makan makanan yang dibawakan untuknya. Selama itu ia tidak boleh bicara ataupun tidur. Seorang Dede penguji mengawasinya untuk melihat apakah ia telah siap untuk melanjutkan latihan berikutnya. 34 Pada hari keempat sang murid dibawa ke hammâm tempat mandi untuk dimandikan, dicukur dan diberi pakaian berwarna hitam, disebut tennuresi chille untuk dikenakan selama masa khalwat. Setelah itu ia dibawa ke ahchi Dede untuk memberinya dzikr doa yang harus diulang-ulang sambil ia melaksanakan pekerjaan sehari-harinya. Pada waktu ini, sang murid diserahkan kepada Dede kazandji kazandji artinya periuk besar untuk masak sup yang bertanggung jawab atas pendidikannya sebagai seorang darwisy. 35 Kazandji Dede bertanggung jawab untuk memelihara tekke zawiyah dan menugaskan sang murid untuk tugas dapur dan pembersihan. Pada waktu siang, sang murid harus juga belajar menjadi seorang penari sama‘ dan bekerja dengan guru tari semazenbashi. Tugas sehari-harinya adalah berzikir, melaksanakan salat lima waktu, melakukan tugas pelayanan, dan belajar sama‘ tari. Kalau ia berkeinginan menjadi seorang pemusik ia harus mendapat izin dari Dede ahchi dan kazandji. 36 Begitu besarnya peranan dapur dan juru masak dalam tarekat Mawlawiyah, sehingga bagi para murid chille yang ingin menjadi bagian dalam ritual sama‘ harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari juru masak. Ternyata, memberi makanan terhadap tubuh jasmani ini lebih mudah dari pada memberi 34 Mulyadhi, TarekatMaulawiyah, dalam Sri Mulyati, ed., h. 341. 35 Ibid., h. 341. 36 Ibid., h. 341. makan tubuh ruhani. Oleh karena itu, makna dari dapur itu sendiri adalah pelatihan awal bagi sang murid untuk belajar mengolah jiwa-jiwa yang belum matang menjadi matang, yang diibaratkan dengan bahan makanan yang masih mentah, kemudian diolah menjadi sedemikian rupa enaknya. Seperti apa yang dikatakan oleh Syaikh Muzaffer mursyid tarekat Halveti-Jerrahi, dan guru spiritual Robert Frager pakar Psikologi modern, “Pertama-tama bukalah sebuah dapur. Pusat sufi sesungguhnya adalah sebuah dapur. Jika kau dapat memberi makanan pada tubuh jasmani, maka kau akan mampu memberikan makanan bagi ruhani mereka”. 37 Sama‘ di Dunia Kontemporer Kemampuan berseni, khususnya musik, merupakan salah satu perbedaan manusia dengan makhluk Tuhan lainnya. Jika demikian, Islam pasti mendukung kesenian itu selama penampilan lahirnya mendukung fitrah manusia yang suci. Oleh karena itu, Islam sangat mendukung kesenian itu dan bukan menjadi faktor penghambat. Musik yang Islami bukan hanya terbatas untuk seni belaka, akan tetapi dapat berfungsi sebagai sarana dakwah Islamiyah yang amat digemari oleh setiap manusia, selain sebagai sarana hiburan saja. Pada masa sekarang, khususnya di Indonesia musik sufi sama‘ banyak mempengaruhi kalangan seniman musik Indonesia. Baik itu dalam hal syairnya, aransemen musiknya dan lainnya. Bahkan musik sufi telah mempunyai penggemarnya tersendiri, seperti yang dilakukan oleh kelompok musik Debu yang latar belakangnya merupakan sebuah tarekat yang dipimpin oleh Syaikh Fattâh 37 Robert Frager, Psikologi Sufi untuk Transformasi Hati, Diri, dan Jiwa, Jakarta: Serambi, 2002, h. 146. yang telah diberi otorisasi untuk tiga tarekat, Rifâ‘iyyah, Chistiyyah, dan Syâdzîliyyah, hijrah ke Indonesia. Debu telah memproduksi beberapa album rekaman, dan penggemarnya pun tidak sedikit, baik dari kalangan muda maupun yang tua. Penulis sendiri pernah menonton konsernya di Jakarta. Musik dan syair-syair Debu lebih banyak dipengaruhi tarekat Chistiyah. Karena dalam tradisi tarekat tersebut ada musik, syair-syair, dan lagu-lagu. Bagi mereka menyanyi bukan hanya hiburan. Tapi bagian dari dzikir dan ibadah kepada Allah. “Kami senantiasa menyanyi secara dzikir, ibadah, dan istighfar,” tegas Najib, salah seorang koordinator Debu. Kebiasaan menyanyi tersebut awalnya hanya dilakukan untuk kalangan sendiri, tidak untuk umum. Syaikh Fattâh melihat dalam kebiasaan menyanyi tersebut terdapat hal-hal yang kurang baik. Karena itu dia membuat syair-syair yang berisi nilai-nilai Islam. “Dengan syair, Syaikh mengajar kami, dan kami selalu mengingat ajarannya karena selalu diulang-ulang dalam syair,” katanya. Syair-syair yang dibawakan Debu merupakan gubahan Syaikh Fattâh yang terinspirasi oleh pengalaman perjalanan ke berbagai negara. Selain itu, ada juga syair-syair terjemahan. Tokoh-tokoh yang mempengaruhi syair-syair musik Debu antara lain, Jalâl al- Dîn Rûmî, Hamzah Fansûri, Yûsuf al-Makasârî, Hafîz Syirazî, dan sebagainya. Tema-tema yang terdapat dalam syairnya sebagian besar tentang cinta dan kerinduan kepada pada Sang Kekasih Sejati, Allah. 38 Syair-syair sufi banyak diadopsi oleh seniman-seniman musik Indonesia, seperti Ahmad Dani, yang banyak sekali mengadopsi syair-syair sufi semisal Jalâl 38 Abdul D, dan Edi Junaedi, “Konser Debu Menyentuh Lubuk Jiwa, dan Ingatkan Cinta,” artikel diakses pada 14 Februari 2002, dari http:in.musikdebu.comnewsarticlesJurnalIslamStory.htm al-Dîn al-Rûmî, Rabî‘ah al-‘Adâwiyah ke dalam lagu-lagunya, karena Dani sendiri merupakan pengikut tarekat Naqsyabandi Haqqanî. Penulis melihat kenapa para seniman musik banyak yang mengadopsi sayair-syair sufi, karena syair-syair para sufi banyak menggambarkan tentang cinta, kerinduan, dan penyatuan. Tema-tema ini zaman sekarang banyak digemari oleh masyarakat, baik dari kalangan tua maupun muda. Di tingkat budaya populer, musik sufi tarekat Chisytiyah mendapatkan audiens yang semakin banyak pada abad 20 lewat industri rekaman, awalnya di India pada masa kolonial, dan kini di dunia internasional. Selama beberapa tahun, industri film Bombay yang sangat sukses mengandalkan musik dalam film yang secara eksplisit didasarkan pada tradisi gazal Urdu, yang dalam tema, sajak, erat kaitannya dengan syair-syair sufi. Bagaimanapun, ada lebih dari satu orang peneliti yang memberikan keterangan tentang adanya pengaruh gaya musikal Bombay terhadap penampilan-penampilan musik di tempat-tempat Chisytiyah. 39 Pengaruh musik sufi belakangan ini sangat terlihat. Musik sufi ditemukan di semua kawasan Muslim dimana syair sufi dibaca. Musik lokal yang digunakan dalam musik sufi sangat bervariasi, dan masing-masing memilki sejarah panjang dan kompleks, yang seringkali tidak diketahui oleh orang luar. Musik sufi kini telah banyak dipopulerkan di Barat, dan kini juga bisa disimak melalui kaset-kaset rekaman. 40 Banyak band-band dalam dan luar negeri yang mengadopsi syair-syair sufi, Ernst mencatat adanya sebuah album Nusrat Fateh ‘Ali Khan pemusik sufi yang direkam oelh radio Perancis pada 1989. band besar seperti Rolling Stones 39 Carl W. Ernst, Ajaran dan Amaliah Tasawuf, Jakarta: Pustaka Sufi, 2003, h. 243. 40 Ibid., h. 239. pun pernah berkolaborasi dengan para pemain musik sufi, bahkan membuat rekaman album musik mereka pada 1971. 41 Ritual sama‘ Mawlawiyah juga belakangan banyak melakukan konser keliling. Ernst mencatat, pada 1994 mereka konser di Duke University, yang didahului dengan pembacaan syair-syair Rûmî versi bahasa Inggris. Setelah jeda istirahat, para darwis naik ke atas panggung, dan dengan arahan dua pimpinan Mawlawiyah, mempertunjukkan rangkaian dari upacara sama‘ dengan iringan alat musik dan vokal. 42 Walaupun musik sufi didasarkan pada pelbagai karya sastra, komposisi musik, dan idiom-idiom simbolik, namun elemen sentral yang menjadikannya disebut musik sufi adalah ritual yang menggunakan suara manusia untuk membacakan syair-syair yang ditujukan pada Tuhan., Nabi Muhammad, dan para wali. 43 41 Ibid., h. 252. 42 Ibid., h. 249. 43 Ibid., h. 254.

BAB V PENUTUP