Peranan Jasa Tarigan Sebagai Musisi Dalam Perkembangan Ensambel Musik Tradisi Karo

(1)

PERANAN JASA TARIGAN SEBAGAI MUSISI DALAM

PERKEMBANGAN ENSAMBEL MUSIK TRADISI

KARO

SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN

O L E H

SAIDUL IRFAN HUTABARAT

NIM: 040707028

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PERANAN JASA TARIGAN SEBAGAI MUSISI DALAM

PERKEMBANGAN ENSAMBEL MUSIK TRADISI

KARO

SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN O

L E H

SAIDUL IRFAN HUTABARAT

NIM: 040707028

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra USU Medan untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni

dalam Bidang Etnomusikologi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN


(3)

PERANAN JASA TARIGAN SEBAGAI MUSISI DALAM

PERKEMBANGAN ENSAMBEL MUSIK TRADISI

KARO

SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN O

L E H

SAIDUL IRFAN HUTABARAT NIM: 040707028

Pembimbing I Pembimbing II

Drs.Kumalo Tarigan, M.A Dra.Heristina Dewi, M.Si NIP: 195812131986011002 NIP:

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra USU Medan untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni

dalam Bidang Etnomusikologi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN


(4)

DISETUJUI OLEH: FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

JURUSAN ETNOMUSIKOLOGI KETUA,

NIP: 196011181988032001 Dra. Frida Deliana, M.Si


(5)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi rrabbil ‘alamin, segala puji bagi Allah penulis ucapkan atas segala nikmat dan karunia yang diberikan-Nya untuk hidup dan kehidupan penulis, buat segala kesehatan, kesabaran, kekuatan dan bantuan yang terus mengalir khususnya untuk membantu penulis dalam perjalanan penulisan skripsi ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Skripsi yang berjudul “PERANAN JASA TARIGAN SEBAGAI MUSISI DALAM PERKEMBANGAN ENSAMBEL MUSIK TRADISI KARO.” ini diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Seni (S-1) pada Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra, USU Medan.

Dalam proses penyelesaian studi dan skripsi ini, tentunya banyak orang-orang yang secara bersama membantu dan memberi semagat. Untuk itu pada kesempatan ini penulis memberikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Teristimewa kedua orang tua tercinta, almarhum Ayahanda Muhammad Ali Umar Hutabarat dan Ibunda Fauziah Adnan, atas segala cinta, do’a dan pengorbanan kalian, juga buat kakak dan abang-abangku yang memberi dorongan, semangat dan do’a.

2. Bapak Drs. Kumalo Tarigan, M.A, dan Ibu Dra. Heristina Dewi M.Pd. selaku pembimbing yang telah memberi bantuan, samangat dan membimbing dengan baik dalam penyelesaian skripsi ini.

3. Ketua Departemen Etnomusikologi Ibu Dra. Frida Deliana M.Si dan Ibu Dra. Heristina Dewi M.Pd. selaku sekretaris departemen etnomusikologi yang telah


(6)

memberikan dukungan dan bantuan dalam administrasi serta registrasi perkuliahan selama masa kuliah dan penyelesaikan tugas akhir penulis.

4. Seluruh staff pengajar di Departemen Etnomusikologi, atas segala bantuan, saran dan arahannya. terkhusus Ibu Dra. Rithaony Hutajulu, M.A, selaku pembimbing akademik.

5. Teman dan rekan-rekan seperjuangan : khususnya stambuk ’04 dan seluruh anggota Ikatan Mahasiswa Etnomusikologi atas bantuan, semangat dan kerjasama kalian selama ini.

6. Seluruh informan yang telah bersedia membantu dan menerima penulis selama melakukan penelitian. Terutama Bapak Jasa Tarigan selaku informan utama yang dengan baik melayani penulis dalam proses penelitian.

7. Keluarga kecil ku ‘RZ’ dan ‘AWYNE’, dan semua yang masih menjadi api dan air. Tetaplah menjadi keluarga dan jangan berakhir.

Semoga Allah SWT. Membalas kebaikan-kebaikan yang telah diberikan dengan melimpahkan rahmat dan karunia-Nya pada kita semua Amin.

Medan, Juni 2010


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

I.1 Latar Belakang Masalah ... 1

I.2 Pokok Permasalahan... 5

I.3 Tujuan Penelitian ... 5

I.4 Manfaat Penelitian... 6

1.5 Konsep dan Teori... 6

I.5.1 Konsep ... 6

1.5.2 Teori ... 9

1.6 Metode Penelitian ... 11

I.6.1 Studi Kepustakaan... ... 12

I.6.2 Penelitian lapangan ... 12

I.6.3 Wawancara ... 13

I.6.4 Kerja Laboratorium... ... 13

I.6.5 Lokasi Penelitian ... 13

BAB II KESENIAN KARO 2.1 Pendukung Kesenian Karo………... 14

2.1.1 Wilayah Kultural Masyarakat Karo…………. ... 14

2.2 Jenis-Jenis Kesenian Karo ... 16

2.2.1 Seni Sastra ... 17


(8)

2.2.1.2 Sastra Tulis... ... 19

2.2.2 Seni Suara (Vokal) ... 20

2.2.3. Seni Tari ... 21

2.2.3.1 Tari yang Berkaitan dengan Adat/ Komunal ... 25

2.2.3.2 Tari yang Berkaitan dengan Religi/Ritual ... 25

2.2.3.3 Tari Yang Berkaitan Dengan Hiburan ... 26

2.2.4 Seni Pahat (Ukir) ... 26

2.2.5 Seni Tenun (Mbayu) ... 31

2.2.6 Seni Drama ... 34

2.2.7 Seni Musik ... 34

2.2.7.1 Gendang Lima Sedalanen ... 36

2.2.7.1.1 Sarune ... 37

2.2.7.1.2 Gendang singanaki dan Gendang Singindungi ... 39

2.2.7.1.3 Gung dan Penganak ... 40

2.2.7.1.4 Peran masing-masing instrumen dalam Gendang Lima Sedalanen ... 41

2.2.7.1.5 Posisi pemain gendang lima sedalanen ... 43

2.2.7.2 Gendang Telu Sedalanen ... 44

2.2.7.2.1 Kulcapi ... 45

2.2.7.2.2 Balobat ... 46

2.2.7.2.3 Keteng-keteng ... 46

2.2.7.2.4 Mangkok ... 47

2.2.7.2.5 Peran masing-masing instrumen gendang telu sedalanen... 48


(9)

2.2.7.2.6 Posisi pemain gendang telu sedalanen ... 48

2.2.7.3 Alat musik tradisional Karo non-ensambel... 49

2.2.7.3.1 Kulcapi ... 49

2.2.7.3.2 Balobat ... 50

2.2.7.3.3 Surdam ... 51

2.2.7.3.4 Embal-embal dan empi-empi ... 51

2.2.7.3.5 Murbab, dan Genggong. ... 52

BAB III PERANAN JASA TARIGAN DALAM KESENIAN KARO ... 53

3.1 Perubahan Tradisi Masyarakat Karo Secara Umum ... 53

3.2 Penambahan Instrumen Dalam Ensambel Musik Tradisi Karo .... 56

3.2.1 Kulcapi dalam Ensambel Gendang Lima Sendalanen ... 56

3.2.2. Kolaborasi Keyboard Dengan Gendang Kulcapi ... 62

5.3 Sekilas Tentang Imitasi Bunyi Dari Program Keyboard KN 2000 ... 69

5.4 Gendang kibod dalam Konteks Upacara Adat Karo ... 72

5.5 Perubahan Pada Landek ... 73

BAB IV PANDANGAN MASYARAKAT PENDUKUNG TERHADAP ... KREASI JASA TARIGAN ... 77

4.1 Pandangan masyarakat ... 79

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 87

5.1 Kesimpulan ... 87

5.2 Saran ... 89

DAFTAR PUSTAKA ... 92


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Jasa Tarigan adalah seorang Seniman tradisi karo senior yang berasal dari desa Ujung bawang – sebuah desa di pegunungan Tanah Karo. Berawal dari ketertarikannya akan musik tradisi semenjak kecil, Dia pun berniat untuk menjadi pemain musik tradisi, dan dengan bakat musik yang ada pada dirinya, dia serius mendalami ilmu bermusiknya dengan belajar kepada beberapa orang musisi tradisi Karo, walau pun banyak sekali kesulitan yang harus dijalaninya.

Akhirnya, keberhasilannya dalam belajar dan meniti karier dalam dunia musik tradisi dan budaya Karo dapat dilihat dari karya-karya yang sudah dihasilkannya. Bermula dari masuknya Jasa Tarigan ke Universitas Sumatera Utara Jurusan Etnomusikologi sebagai mahasiswa dan pengajar praktek musik tradisi Karo di Etnomusikologi pada pertengahan tahun 1982, walaupun Jasa Tarigan tidak berhasil menyelesaikan studinya di Etnomusikologi tersebut.

Dalam tahun-tahun studinya di Etnomusikologi Jasa Tarigan mulai bermain dan menyukai instrumen musik Keyboard, dari sinilah berawal ide Jasa Tarigan untuk memulai karya Gendang Kibod1

1

Gendang Kibod merupakan sebutan atau istilah yang lazim diucapkan oleh orang Karo terhadap

jenis irama musik yang diprogram secara khusus di dalam Keyboard. Kata Gendang mengacu kepada pengertian musik Karo dan kata Kibod merupakan ucapan orang Karo terhadap kata Keyboard itu sendiri.

-nya yang kemudian menjadi sebuah fenomena dalam musik tradisi Karo. Dia juga yang pertama sekali memperkenalkan Gendang Kibod sebagai ensambel musik pengiring dalam upacara adat Karo.


(11)

Selain itu, dalam keberhasilannya dibidang programmer pada Keyboard, ia mendapat sertifikat nasional dari Era Musika, Roland, dan Yamaha dalam program pertunjukan Keyboard. Itu membuktikan bahwa eksistensi jasa tarigan di dunia musik modern juga mendapat tempat.

Bermodalkan ilmu, keterampilan dan kreatifitasnya itu lah Jasa Tarigan mulai mengembangkan musik tradisi Karo, dengan menyuguhkan musik yang ‘baru’ yaitu Gendang Kibod, dan juga beberapa perubahan baru pada musik tradisi Karo khususnya pada ensambel Gendang Lima Sendalanen.

Memang kesenian tidak pernah lepas dari peran masyarakatnya. Sebagai salah satu bagian yang paling penting dalam kebudayaan adalah kesenian yang merupakan ungkapan kreatifitas dari kebudayaan itu sendiri. Masyarakat yang menyangga kebudayaan, demikian pula kesenian mencipta, memberi peluang untuk bergerak, memelihara, serta menularkan, mengembangkan serta kemudian menciptakan kebudayaan baru lagi. (Umar Kayam, 1981:38).

Perkembangan kebudayaan juga telah menyentuh etnis Karo, sebagai hasil dari potensi dan perkembangan masyarakat penggunanya sendiri, seni musik tradisi dalam budaya Karo merupakan salah satu unsur kebudayaan yang paling banyak mendapat pengaruh dari luar budaya Karo, dalam hal ini adalah teknologi. Teknologi sendiri merupakan produk dari kebudayaan sebagai suatu karya manusia untuk memenuhi kebutuhannya.

Era masuknya instrumen musik Keyboard ini ke dalam kesenian tradisi Karo sekitar tahun 1991an. Diawali oleh Jasa Tarigan yang mengkolaborasikan Keyboard dengan Kulcapi dan ensambel Gendang Lima Sendalanendalam konteks seni


(12)

pertunjukan tradisional Gendang guro-guro aron. Kemudian hadirnya alat pengeras suara (seperti pick up di gitar elektrik) pada instrumen Kulcapi.

Bahkan belakangan telah muncul sebuah instrumen baru dalam Gendang Kibod, yaitu sebuah gendang konikal double side yang berfungsi sebagai instrumen pengaya struktur ritem dari pola-pola ritem yang di hasilkan oleh Keyboard dalam Gendang Kibod. Juga secara otomatis Gendang Kibod menghasilkan harmonisasi baru dalam musik tradisi Karo, dengan dimainkannya akord dan harmonisasi-harmonisasi lain pada Keyboard dalam Gendang Kibod. Hal ini juga merupakan dampak nyata dari perkembangan teknologi terhadap budaya Karo.

Dewasa ini Gendang Kibod sudah mendominasi kesenian Karo, walaupun banyak menimbulkan reaksi pro dan kontra di antara kelompok masyarakat Karo sendiri. Banyak alasan mengapa kehadiran Gendang Kibod ini membuahkan pro dan kontra di masyarakat pendukungnya, seperti para pemerhati budaya Karo yang mencemaskan bahwa kehadiran Gendang Kibod akan berdampak buruk terhadap eksistensi Gendang Lima Sendalanen dan keaslian kesenian Karo lainnya.

Tapi dari sisi lain, kemudahan dalam menyajikan, serta murahnya biaya pertunjukan Gendang Kibod mengakibatkan Gendang Kibod ini semakin eksis pada masyarakat Karo, selain itu banyaknya lagu-lagu populer yang mudah dimainkan dengan Gendang Kibod juga semakin memojokkan keberadaan Gendang Lima Sendalanen.

Dari contoh fenomena di atas dapat kita lihat, memang tampak jelas sekali bahwa modernisasi telah begitu banyak mempengaruhi musik tradisi, khususnya musik tradisi Karo dewasa ini. Misalnya, dengan munculnya Gendang Kibod yang kerap dijadikan sebagai media pengganti musik tradisional, baik untuk acara ritual


(13)

kematian maupun acara-acara adat lainnya. Akibatnya, tak hanya musik itu sendiri yang terkontaminasi keasliannya. Tapi, juga berimbas kepada seniman-seniman tradisinya sendiri yang akhirnya semakin jarang dipertunjukkan.

Jasa Tarigan sendiri yang merintis lahirnya Gendang Kibod menjadi orang yang sering disalahkan atas kondisi ini. Namun di sisi lain pemusik yang juga menguasai beberapa alat musik tradisional Karo ini, juga dianggap berperan aktif telah mempopulerkan musik Karo sehingga dikenal luas di luar wilayah Karo sendiri.

Kemudian pertanyaannya adalah bagaimana sebenarnya peranan seorang Jasa Tarigan yang sebelumnya telah mahir dan aktif dalam pertunjukan musik tradisi Karo ini bisa menjalankan pranannya tersebut dan bagaimana hal ini bisa bertahan di masyarakat.

Dari uraian di atas, penulis tertarik untuk menelitinya serta membuat suatu tulisan ilmiah dengan mengangkat Peranan Jasa Tarigan Sebagai Musisi dalam Perkembangan Ensambel Musik Tradisi Karo.


(14)

I.2 Pokok Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka ada beberapa hal

pokok yang menjadi perhatian utama dalam skripsi ini, antara lain;

1. Apa saja peranan Jasa Tarigan dalam perkembangan ensambel musik tradisi Karo?

2. Aspek-aspek apa saja yang telah berubah dan yang tetap dipertahankan dalam perkembangan musik tradisi karo tersebut?

3. Bagaimana tanggapan pendukung budaya Karo terhadap peranan-peranan Jasa Tarigan tersebut?

I.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan pokok permasalahan di atas maka tujuan

utama dari penulisan ini adalah :

1. Untuk mendeskripsikan peranan Jasa Tarigan dalam perkembangan ensambel musik tradisi Karo sebagai akibat dari akulturasi budaya

2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk perubahan dalam ensambel musik tradisi Karo setelah masuknya pengaruh Jasa Tarigan.

3. Untuk mengetahui tanggapan masyarakat Karo terhadap perubahan-perubahan yang dilakukan Jasa Tarigan.

Penelitian ini direalisasikan dalan bentuk skripsi yang menjadi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Seni dalam bidang Etnomusikologi di Departemen Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara.


(15)

I.4 Manfaat Penelitian

Selain sebagai skripsi, manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah

untuk mengetahui apa yang telah berubah, baik bertambah, berkurang maupun dimodifikasi oleh Jasa Tarigan dalam musik tradisi Karo khususnya ensambel musik tradisional Karo dan bagaimana tanggapan masyarakat pendukungnya. Tulisan ini juga bermanfaat untuk menambah referensi dan dokumentasi budaya Karo. Dan sebagai bahan dokumentasi ilmiah pada Departemen Etnomusikologi Fakultas Sastra USU Medan.

1.5 Konsep dan Teori I.5.1 Konsep

Konsep adalah rancangan ide atau pengertian yang diabstrakkan dari pengertian konkret, gambaran mental dari objek atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005).

Menurut R. Merton dalam Koentjaraningrat, konsep merupakan defenisi dari apa yang perlu diamati. Konsep juga merupakan unsur pokok dari suatu penelitian (Koentjaraningrat,1987:36).

Untuk mendapatkan pengetahuan mendasar tentang objek penelitian dan untuk menghindari ambiguitas, maka diperlukan definisi-definisi terhadap terminologi yang menjadi pokok bahasan. Definisi ini merupakan kerangka konsep yang mendasari batasan-batasan makna terhadap topik-topik yang menjadi pokok penelitian.


(16)

Kata “Peranan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka,2005) diartikan sebagai tindakan yg dilakukan oleh seseorang dalam suatu peristiwa. Namun makna dari kata “peran” dapat dijelaskan lewat beberapa cara yaitu :

1. Suatu penjelasan historis menyebutkan, konsep peran semula dipinjam dari keluarga drama atau teater yang hidup subur pada jaman Yunani Kuno (Romawi). Dalam arti ini, peran menunjuk pada karakteristik yang disandang untuk dibawakan oleh seseorang aktor dalam sebuah pentas drama.

2. Suatu penjelasan yang menunjuk pada konotasi ilmu sosial, yang mengartikan peran sebagai suatu fungsi yang dibawakan seseorang ketika menduduki suatu karakteristik (posisi) dalam strukt ur sosial.

3. Suatu penjelasan yang lebih bersifat operasional, menyebutkan bahwa peran seorang aktor adalah suatu batasan yang dirancang oleh aktor lain, yang kebetulan sama-sama berada dalam satu “penampilan/unjuk peran (role performance).

Dari penjelasan diatas ”Peranan” yang penulis maksud dalam tulisan ini adalah apa yang telah dilakukan Jasa Tarigan sebagai musisi tradisi Karo dalam ‘perkembangan’ (menambah, mengurangi dan memodifikasi) ensambel musik tradisi Karo.

Adapun defenisi musisi dalam KBBI online adalah orang yg mencipta, memimpin, atau menampilkan musik; pencipta atau pemain musik.

Kemudian untuk melihat perkembangan ensamble musik tradisi Karo yang di lakoni Jasa Tarigan, ada baiknya kita mengerti defenisi “Perkembangan” itu sendiri,

Secara singkat, perekembangan adalah proses atau tahapan pertumbuhan ke arah yang lebih maju. Pertumbuhan sendiri (growth) berarti tahapan peningkatan


(17)

sesuatu dalam hal jumlah, ukuran, dan arti pentingnya. Pertumbuhan juga dapat

berarti sebuah tahapan perkembangan (a stage of

Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa

atau membentang; menjadi besar, luas, dan banyak, serta menjadi bertambah sempurna dalam hal kepribadian, pikiran, pengetahuan, dan sebagainya.

Dalam hal ini penulis bermaksud melihat perkembangan sebagai sebuah tindakan yang dilakukan dalam inovasi, kreatifitas dan perjalanan budaya bagi masyarakat pendukungnya, dengan berbagai konsekuensi yang harus hadir bersama perkembangan tersebut.

Ensamble musik yang disebut dalam tulisan ini merujuk pada pengertian bahwa ensambel adalah kelompok pemain musik (penyanyi) yg bermain bersama secara tetap, (KBBI online). Selanjutnya Sztompka (2004: 71) mengatakan bahwa dalam arti sempit, tradisi adalah kumpulan benda material dan gagasan yang diberi makna khusus yang berasal dari masa lalu. Tradisi pun mengalami perubahan. Tradisi bertahan dalam jangka tertentu dan mungkin lenyap bila benda material dibuang dan gagasan ditolak atau dilupakan. Ada dua faktor yang menyebabkan suatu tradisi mengalami perubahan, yaitu: faktor dari dalam (internal) masyarakat, dan faktor dari luar (eksternal) masyarakat. Faktor dari dalam disebabkan oleh sifat kebudayaan yang selalu menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan secara alamiah. Faktor dari luar disebabkan oleh masuknya pengaruh budaya global. Mardimin (1994: 12-13) juga mengatakan bahwa kebudayaan tradisi pun juga berkembang, meskipun sangat lambat dan dalam kurun waktu yang lama.

Jadi, musik tradisional yang penulis maksud dalam tulisan ini adalah yang hidup di masyarakat secara turun temurun, dipertahankan sebagai sarana adat,


(18)

hiburan dam lain sebagainya. Tiga komponen yang saling mempengaruhi di antaranya Seniman, musik itu sendiri dan masyarakat penikmatnya. Sedangkan maksudnya untuk memper-satukan persepsi antara pemikiran seniman dan masyarakat tentang usaha bersama dalam mengembangkan dan melestarikan seni musik tradisional. Menjadikan musik trasidional sebagai perbendaharaan seni di masyarakat sehingga musik tradisional lebih menyentuh pada sektor komersial umum.

Berdasarkan konsepsi diatas, maka dalam tulisan ini penulis mengkaji peran dan proses dari hasil karya Jasa Tarigan sebagai seorang pencipta atau pemain musik tradisional Karo dalam menghasilkan ide-ide inovasi dan kreatifitas dalam kemajuan unsur budaya yaitu kesenian musik tradisi Karo khususnya ensamble musik. Tidak terlepas juga pembahasan tentang apa saja yang telah berubah (bertambah, berkurang dan dimodifikasi) sebagai akibat dari ‘pekembangan’ tersebut dalam struktur dan fungsi Musik tradisi Karo serta pro dan kontranya dalam masyarakat Karo.

1.5.2 Teori

Teori dapat digunakan sebagai landasan kerangka berpikir dalam membahas

permasalahan. Teori merupakan alat yang terpenting dari suatu pengetahuan. Tanpa teori hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu pengetahuan (Koentjaraningrat,1987:10).

Untuk itu penulis mencoba mengambil beberapa teori yang dianggap perlu sebagai referensi atau acuan dalam penulisan skripsi ini.

Untuk melihat bagaimana kebudayaan luar bisa mempengaruhi kebudayaan yang lain kita bisa merujuk pada teori-teori perubahan yang ada, antara lain seperti


(19)

yang ditawarkan L.Dyson (1987:39), ia mengatakan bahwa, sikap menerima dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : faktor kebutuhan, keuntungan langsung yang dapat di nikmati, senang pada satu hal yang baru (novelty), dan sifat inovatif yang ingin slalu berkreasi. Adapun sikap menolak disebabkan oleh anggapan bahwa hal-hal yang baru itu merugikan, atau bertentangan dengan tata nilai yang sudah dianut sebelumnya. Selain itu ada pula yang menolak tanpa alasan.

Sealin itu, Edi Sudyawati (1987) juga mengatakan bahwa perubahan terjadi bukan semata-mata disebabkan karena lingkaran pemilikan suatu seni tradisi menjadi lebih luas, tetapi bisa pula karena manusia-manusia pendukung kebudayaan daerah itu sendiri telah berubah, karena perubahan gaya hidup, dan pergantian generasi.

Tidak jauh dari pandangan Edi diatas, Umar Kayam (1981:48) menjelaskan bahwa sudah waktunya kreatifitas kesenian dipahami dalam konteks perkembangan masyarakat, agar strategi pengembangan kesenian mengacu kepada perkembangan masyarakat.

Tulisan ini juga membahas tentang perubahan unsur kebudayaan khususnya dalam ensambel musik Karo, penulis mengacu pada teori akulturasi yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat. Menurut Koentjaraningrat (1981:149) akulturasi adalah perpaduan kebudayaan yang terjadi bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing yang berbeda sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu dengan lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menghilangkan kepribadian kebudayaan sendiri. Akulturasi budaya pada dasarnya juga merupakan pertemuan wahana atau area dua kebudayaan, dan masing- masing dapat menerima nilai-nilai bawaannya.


(20)

1.6 Metode Penelitian

Dalam hal metode penelitian, penulis memakai metode penelitian kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Penekanan kajian diarahkan pada latar dan individu tersebut secara utuh. Suatu penelitian kualitatif memungkinkan kita memahami masyarakat secara personal dan memandang mereka sendiri mengungkapkan pandangan dunianya (Bogdan dan Taylor, 1975:4-5).

Penulis juga berpedoman pada disiplin etnomusikologi seperti yang disarankan Curt Sachs dan Nettll (1964:62) yaitu penelitian etnomusikologi dibagi dalam dua jenis pekerjaan yakni kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium (deks work).

Selain itu, untuk memperoleh data dan keterangan yang dibutuhkan dalam penulisan tulisan ini, penulis menggunakan Metode Pengumpulan Data, umumnya ada dua macam, yakni: (1) menggunakan daftar pertanyaan (questionnaires); (2) menggunakan wawancara (interview). Untuk melengkapi pengumpulan data dengan daftar pertanyaan maupun wawancara tersebut dapat pula digunakan pengamatan (Observation) dan penggunaan catatan harian, (Djarwanto, 1984:25).

Jadi, kerja lapangan dalam skripsi ini meliputi studi kepustakaan, wawancara dan kerja laboratorium. Dan kerja laboratorium sendiri meliputi pembahasan dan penganalisisan data yang telah diperoleh selama penelitian.

I.6.1 Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan dilakukan sebagai landasan dalam hal penelitian, yakni


(21)

pengetahuan dasar tentang objek penelitian. Sumber-sumber bacaan ini dapat berupa buku, ensiklopedi, jurnal, buletin, artikel, laporan penelitian dan lain-lain. Dengan melakukan studi kepustakaan ini penulis akan dapat melakukan cara yang efektif dalam melakukan penelitian lapangan dan penyusunan skripsi ini.

I.6.2 Penelitian lapangan

Penulis melakukan kerja lapangan dengan observasi langsung terhadap daerah penelitian, juga mencari nara sumber dari masyarakat pendukungnya yang diakui oleh masyarakat pendukung kebudayaan yang memiliki otoritas.

Penulis juga melakukan wawancara antara peneliti dan informan yaitu dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan pada susunan pertanyaan yang telah dipersiapkan agar memperoleh keterangan-keterangan dan data-data yang dibutuhkan.

I.6.3 Wawancara

Wawancara yang dimaksud disini adalah suatu cara yang digunakan seseorang

untuk tujuan tugas tertentu, mencoba mendapatkan keterangan secara lisan dari seorang responden dan bercakap-cakap serta bertatap muka dengan seseorang (Koentjaraningrat,1977:129). Wawancara yang penulis lakukan yaitu: wawancara berfokus (focused interview) dan wawancara bebas (free interview). Wawancara berfokus, pertanyaan yang dilakukan berpusat pada aspek permasalahannya saja sedangkan wawancara bebas pertanyaan yang diajukan tidak berpusat pada suatu pokok permasalahan yang lainnya.


(22)

I.6.4 Kerja Laboratorium

Setelah semua data yang diperoleh dari lapangan maupun bahan dari studi

kepustakaan terkumpul, selanjutnya dilakukan pembahasan dan penyusunan tulisan dengan cara menyeleksi data dengan membuang data yang tidak perlu dan menambahkan data yang kurang. Pada akhirnya, data-data hasil pengolahan dan analisis disusun secara sistematis dengan mengikuti kerangka penulisan.

I.6.5 Lokasi Penelitian


(23)

BAB II KESENIAN KARO

2.1 Pendukung Kesenian Karo

Secara umum, pendukung budaya dan kesenian Karo adalah masyarakat suku Karo. Secara garis besar suku Karo adalah suku asli yang mendiami Dataran Tinggi Karo, dan beberapa tempat lain seperti Kabupaten Deliserdang, Kota Binjai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Dairi, Kabupaten Simalungun, Kota Medan, dan Kabupaten Aceh Tenggara. Nama suku ini dijadikan salah satu nama kabupaten di salah satu wilayah yang mereka diami (dataran tinggi Karo) yaitu Kabupaten Karo. Suku ini memiliki bahasa sendiri yang disebut Bahasa Karo. Pakaian adat suku Karo didominasi dengan warna merah serta hitam dan penuh dengan perhiasan emas.

Untuk lebih jelas penulis akan memaparkan tentang siapa, bagaimana dan dimana suku Karo berada.

2.1.1 Wilayah Kultural Masyarakat Karo

Suku Karo merupakan salah satu dari beberapa sub suku bangsa Batak di Sumatera Utara, sehingga sering juga suku Karo disebut Batak Karo.Selain sebutan untuk suatu kumpulan masyarakat dari salah satu sub suku Batak tersebut, Karo juga merupakan sebutan untuk satu wilayah administratif kabupaten yaitu kabupaten Karo yang wilayahnya meliputi seluruh dataran tinggi Karo.

Gambaran tentang daerah domisili masyarakat Karo dapat pula dilihat seperti apa yang digambarkan oleh J.H. Neuman dalam buku lentera kehidupan orang Karo dalam berbudaya (Sarjani Tarigan, 2009 : 36), yaitu:


(24)

“Wilayah yang didiami oleh suku Karo dibatasi sebelah timur oleh pinggir jalan yang memisahkan dataran tinggi dari Serdang. Di sebelah Selatan kira-kira dibatasi oleh sungai Biang (yang diberi nama sungai Wampu, apabila memasuki Langkat), disebelah Barat dibatasi oleh gunung Sinabung dan disebelah Utara wilayah itu meluas sampai kedataran rendah Deli dan Serdang.”

Dari gambaran luas daerahnya diatas, domisili masyarakat Karo ini memang tidak dapat dibantah, bahwa ada beberapa kelompok yang berdomisili di daerah pantai dan hidup berdampingan dengan penduduk Melayu, dan secara bertahap kedua suku tersebut saling berbaur dan berakulturasi antara sesamanya.

Dengan demikian, orang-orang Karo yang tersebar dan berakulturasi dengan suku-suku lain tersebut, mengakibatkan adanya perbedaan julukan atas dasar wilayah komusitasnya seperti : Karo Kenjulu, Karo Teluh Dereng, Karo Singalor Lau, Karo Baluren, Karo Langkat, Karo Timur dan Karo Dusun.2

2

. Karo Kenjulu adalah sebahagian besar wilayah Kabupaten Karo, yakni kecamatan

Kabanjahe, Berastagi, Tiga Panah, Barusjahe, Simpang Empat, Payung. Yang termasuk dalam Karo

Teruh Deleng adalah kecamatan Kuta Buloh, Kec. Payung, kec. Lau Baleng dan kec. Mardinding.

Sementara Karo Singalor Lau meliputi kecamatan Tiga Binanga, kecamatan Juhar, dan kecamatan Munte.Yang termasuk Karo Baluren adalah kecamatan Tanah Pinem dan kecamatan Tigalingga. Kecamatan Tanah Pinem sudah merupakan bagian dari kabupaten Dairi.Yang termasuk Karo

Langkat adalah masyarakat Karo yang tinggal di kabupaten Langkat dan kabupaten Binjei yang

meliputi kecamatan-kecamatan: Padang Tualang, Bahorok, Salapian, Kwala, Selesai, Sungai Bingei, Binjei dan Stabat. Yang termasuk Karo Timur adalah yang tinggal di wilayah kecamatan Lubuk Pakam, kecamatan Bangun Purba, kecamatan Galang, kecamatan Gunung Meriah, kecamatan Dolok Silau dan kecamatan Silimakuta. Wilayah-wilayah tersebut merupakan daerah kabupaten Deli Serdang dan kabupaten Simalungun. Yang termasuk dalam wilayah Karo Dusun adalah kecamatan Sibolangit, Kecamatan Pancurbatu, Kecamatan Namorambe, Kecamatan Sunggal, kecamatan Kutalimbaru, kecamatan STM-Hilir, Kecamatan STM-Hulu, Kecamatan Hamparan Perak, Kecamatan Tanjung Morawa dan Kecamatan Biru-biru. (ibid : 37)


(25)

Gambar.1. Peta Provinsi Sumatera Utara (Sumber: Badan Meteorologi Indonesia) Selain wilayah-wilayah tempat tinggal yang telah dijelaskan di atas, masih ada wilayah yang cukup penting yang menjadi tempat tinggal atau domisili orang Karo, yaitu wilayah kota Medan (ibukota propinsi Sumatera Utara). Di sepanjang jalan dari Kabanjahe/Kabupaten Karo menuju kota Medan juga terdapat beberapa desa dan semi kota (sub-urban) yang juga menjadi domisili orang Karo seperti: kota Berastagi, desa Bandarbaru, desa Sibolangit, desa Sembahe, dan Pancurbatu (kecuali Berastagi, semua desa tersebut termasuk dalam wilayah kabupaten Deliserdang).

Memasuki wilayah kota Medan, terdapat lagi beberapa wilayah desa, seperti: desa Lau Cih, Kelurahan Simpang Selayang, Simpang Kuala dan Padang Bulan yang sebagian besar penduduknya adalah orang Karo. Penduduk di setiap wilayah tersebut, walaupun telah lama tinggal secara menetap, namun secara kekerabatan masih mempunyai hubungan dengan masyarakat Karo yang tinggal di wilayah kabupaten Karo.


(26)

2.2 Jenis-Jenis Kesenian Karo

Rohidi (2000:28) mengatakan bahwa berekspresi estetik merupakan salah satu kebutuhan manusia yang tergolong kedalam kebutuhan integratif. Kebutuhan integratif ini muncul karena adanya dorongan dalam diri manusia yang secara hakiki senantiasa ingin merefleksikan keberadaannya sebagai mahluk yang bermoral, berakal, dan berperasaan.

Berekspresi melalui kesenian merupakan salah satu aktivitas manusia yang sangat umum dalam setiap kelompok masyarakat pada umumnya.. Dengan demikian kesenian merupakan suatu kebutuhan yang penting dalam masyarakat untuk mengekspresikan dirinya sebagai manusia yang memiliki perasaan indah, senang, gembira maupun perasaan sedih.

tentu memiliki keunikan kesenian tersendiri. Keunikan Kesenian Karo ini lah yang menjadi kebanggaan suku Karo dalam menjalankan tutur budayanya.

Untuk itu dibawah ini penulis memapaparkan kesenian-kesenian yang dimiliki oleh masyarakat Karo dalam budayanya.

2.2.1 Seni Sastra

Kesusasteraan Karo memiliki dua bentuk, yakni lisan dan tulisan. Namun, sastra bentuk, lisan lebih dikenal dan lebih sering digunakan dibandingkan tulisan.

2.2.1.1 Sastra Lisan

Pada umumnya dalam berkomunikasi dengan sesamanya, orang Karo mempergunakan bahasa Karo. Dalam berkomunikasi atau pembicaraan sehari-hari, penggunaan bahasa Karo ini tidak memerlukan suatu bentuk atau susunan dan aturan


(27)

yang baku, yang penting apa yang dikehendaki atau yang perlu disampaikan bisa dimengerti oleh lawan bicara/pendengar.

Namun untuk keperluan tertentu, seperti ungkapan keluh kesah, pembicaraan adat, bernyanyi, dan lain sebagainya dilakukan pemilihan kosa kata yang dianggap paling sesuai. Kosa kata yang dimaksud adalah apa yang disebut oleh orang Karo sebagai cakap lumat (bahasa halus). Cakap lumat adalah dialog yang diselang-selingi dengan pepatah, perumpamaan, pantun dan gurindam. Pemakaian cakap lumat ini sering dipergunakan dalam upacara adat seperti Upacara perkawinan, memasuki rumah baru, dan dalam pergaulan muda-mudi (ungkapan percintaan).

Berdasarkan dari beberapa sumber,, penulis menyimpulkan bahwa seni sastra Karo dibedakan atas beberapa kategori, diantaranya:

1. Tabas-abas (mantra), yaitu sejenis mantra yang diucapkan atau dilantunkan untuk mengobati orang yang sakit. Mantra ini biasanya diucapkan/digunakan oleh seorang Guru sibaso (dukun).

2. Kuning-kuningan, yaitu sejenis teka-teki yang biasa digunakan oleh anak-anak, muda-mudi maupun orang tua di waktu senggang, sebagai permainan untuk mengasah otak.

3. Ndung-dungen, yaitu sejenis pantun Karo yang terdiri dari empat baris. Dua baris terdiri dari sampiran, dan dua baris berikutnya merupakan isi. 4. Bilang-bilang, yaitu dendang duka yang merupakan ratapan seseorang yang sedang berduka. Misalnya kerana teringat dengan ibunya yang telah meninggal dunia; ataupun meratapi kekasih yang telah meninggalkan dirinya kerana sesuatu hal. Dahulu Bilang-bilang ini ditulis dengan aksara Karo di sepotong bambuatau kulit kayu, isinya


(28)

adalah jeritan hati sipenulisnya. Semenjak dahulu bilang-bilang ini biasanya terfokus pada suasana kepedihan/kesedihan. Oleh karena itu ada juga yang mengatakan bilang-bilang sebagai “Dengang duka”. 5. Turi-turin, adalah cerita yang berbentuk prosa yang isinya tentang

asal-usul marga, asal asal-usul kampung, cerita tentang orang sakti, cerita lucu, dan lain sebagainya. Turi-turin biasanya diceritakan orang-orang tua kepada anak atau cucunya pada malam hari sebagai pengantar tidur. Beberapa judul ceritanya antara lain: Beru Patimar, Panglima Cimpa Gabor-gabor, Gosing si Aji Bonar, dan sebagainya.(ibid & blog Julianus Limbeng)

2.2.1.2 Sastra Tulis

Aksara Karo merupakan salah satu bentuk kekayaan sastra Karo. Menurut sejarahnya aksara Karo bersumber dari aksara Sumatera Kuno yaitu campuran aksara Rejang, Lebong, Komering dan Pasaman. Kemungkinan aksara ini dibawa dari India Selatan, kemudian ke Myanmar/Siam dan akhirnya sampai ke Tanah Karo. Aksara ini hampir mirip dengan aksara Simalungun dan Pakpak Dairi, yaitu berupa huruf silabis (semua huruf atau silabel dasarnya berbunyi a) yang biasa disebut: haka bapa nawa yang merupakan enam silabel pertama.

Pada umumnya tulisan atau aksara Karo tempo dulu digunakan untuk menuliskan ramuan-ramuan obat, mantra atau cerita. Tulisan ini di ukir di kulit kayu atau bambu yang di bentuk sedemikian rupa agar dapat dilipat-lipat, dan biasanya huruf-huruf ini diukir dengan menggunakan ujung pisau dan setelah itu tulisan tersebut diwarnai (dihitamkan) dengan bahan baku tertentu.


(29)

Gambar 2 . Aksara Karo

Sumber :

2.2.2 Seni Suara (Vokal)

Dalam berkesenian, orang Karo tidak mengenal istilah seni suara (vokal), namun biasanya orang bernyanyi sering disebut rende, dan penyanyi berarti perende-ende. Jika seorang perende-ende juga pandai menari (Landek) dan sudah biasa bernyanyi sekaligus menari dalam suatu pesta Gendang guro-guro aron, maka sebutan uuntuknya telah berubah menjadi Perkolong-kolong..

Kemampuan ini tidak terbatas hanya pada kemampuan menyanyikan lagu-lagu Karo yang bertemakan percintaan atau muda mudi, namun juga mampu menyanyikan lagu-lagu yang bertemakan pemasu-masun (nasihat-nasihat) yang secara teks atau liriknya sangat bergantung kepada konteks suatu upacara. Artinya melodi lagu pemasu-masun memang telah diketahui atau dihapal, namun lirik dari melodi tersebut harus dibuat (dinyanyikan) sendiri oleh Perkolong-kolong tersebut pada saat bernyanyi sesuai dengan konteks upacara yang sedang berlangsung pada saat itu.

Diperkirakan pada zaman dahulu masyarakat Karo belum mengenal seni suara secara nyata. Kemudian dalam perkembangannya muncullah lagu-lagu yang dibawakan seseorang sebagai ‘Perende-rende’ (penyanyi). Lagu-lagunya masih cenderung berteme kesedihan, dan lagu ini biasanya dibawakan untuk pengantar


(30)

sebuah cerita atau memuja seseorang, juga dibawakan untuk menyampaikan doa seperti lagu didong-didong.

Sementara dalam perkembangan selanjutnya budaya Karo mengenal beberapa jenis seni vokal diantara:

Katoneng-katoneng (nyanyian yang berisikan pengharapan),

Didong dong (nyanyian yang berisikan nasehat-nasehat),

Mangmang (nyanyian yang berisikan doa-doa),

Tangis-tangis (nyanyian ungkapan keluh kesah),

Turi-turin (nyanyian untuk menceritakan sesebuah cerita),

Ende-enden (nyanyian muda-mudi).

Penyajian seni vokal Katoneng-katoneng dan Ende-enden dilakukan oleh seorang penyanyi dan penari tradisional Karo (Perkolong-kolong) di dalam acara adat dan hiburan. Sementara nyanyian Mangmang dilakukan oleh seorang Guru sibaso (Dukun) di dalam upacara yang berkaitan dengan kepercayaan tradisional (ritual). Sedangkan, nyanyian Tangis-tangis dilakukan pada upacara kematian, dan didong-dong biasanya dinyanyikan dalam upacara perkawinan.

2.2.3. Seni Tari

Secara umum, tari pada masyarakat Karo disebut “Landek”. Dalam budaya Karo, penyajian Landek sangat kontekstual. Dengan kata lain, keberadaan Landek ditentukan dengan konteks penyajiannya. Selain itu setiap gerakan-gerakan dalam Landek dalam masyarakat Karo juga berhubungan dengan perlambangan-perlambangan dan makna-makna tertentu.


(31)

Adapun beberapa makna gerakan dalam Landek masyarakat Karo adalah sebagai berikut:

1. Gerak tangan kiri naik, gerak tangan kanan ke bawah, melambangkan tengah rukur, maknanya adalah menimbang-nimbang sebelum berbuat.

2. Gerakan tangan kanan ke atas, gerakan tangan kiri ke bawah melambangkan sisampat-sampaten, maknanya adalah saling tolong-menolong dan saling membantu.

3. Gerakan tangan kiri ke kanan ke depan melambangkan ise pa la banci ndeher adi langa sioraten, artinya siapa pun tak boleh mendekat jika belum tahu hubungan kekerabatan, atau sama seperti istilah tak kenal maka tak sayang,

4. Gerakan tangan memutar dan mengepal melambangkan perarihen enteguh, yaitu mengutamakan persatuan, kesatuan, dan musyawarah untuk mencapai mufakat, 5. Gerakan tangan ke atas, melambangkan ise pe la banci ndeher, siapa pun tak bisa

mendekat dan berbuat secara sembarangan,

6. Gerak tangan sampai ke kepala dan membentuk posisi seperti burung merak, melambangkan beren rukur, yang maknanya adalah menimbang-nimbang sebelum memutuskan, pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna, 7. Gerak tangan kanan dan kiri sampai di bahu melambangkan beban simberat ras

simenahang ras ibaba, artinya mampu berbuat harus mampu pula menanggung akibatnya, atau berarti juga sebagai rasa sepenanggungan,

8. Gerakan tangan di pinggang melambangkan penuh tanggung jawab, dan

9. Gerakan tangan kiri dan tangan kanan ke tengah posisi badan berdiri melambangkan ise pe reh adi enggo ertutur ialo-alo alu mehuli, maknanya tanpa


(32)

memandang bulu siapa pun manusianya apabila sudah berkenalan akan diterima dengan segala senang hati.

Sejauh ini dari beberapa referensi yang penulis peroleh, bahwa konteks penyajian Landek pada masyarakat. Karo secara umum dapat dibagi menjadi tiga, yaitu :

1. Konteks penyajian dalam adat istiadat 2. Konteks penyajian dalam religi/ritual, dan 3. Konteks penyajian untuk hiburan.

Pola-pola dasar Landek pada masyarakat Karo terbentuk atas 3 (tiga) unsur, yakni: endek (gerakan menekuk lutut), odak atau pengodak (gerakan langkah kaki), dan ole atau jemolah jemole (goyangan/ayunan badan). Unsur lainnya yang juga membentuk keindahan tari Karo adalah lempir tan (gemulai tangan), dan ncemet jari (lentik jari).

Endek merupakan salah satu unsur penting dalam tari Karo. Endek dibentuk dengan gerakan menekuk lutut kebawah dan kembali lagi keatas. Gerakan itu mengakibatkan posisi tubuh bergerak keatas dan kebawah secara vertikal. Gerakan endek itu harus disesuaikan dengan buku gendang (bunyi gung dan bunyi penganak dalam permainan musik Karo yang sedang mengiringi). Ketepatan posisi endek dalam kaitannya dengan buku gendang merupakan sebuah keharusan untuk memperlihatkan keindahan dalam tari Karo, di beberapa Landek penyesuaian itu bisa terlihat ketika gung dan penganak berbunyi tubuh penari sudah atau sedang berada di posisi atas.

Odak atau pengodak adalah gerakan penari ketika melangkah maju dan mundur, maupun melangkah serong kekiri atau kekanan. Odak harus dimulai dengan


(33)

gerakan kaki kanan, serta dilakukan pada saat gung (Gong) berbunyi. Dalam gerakan odak atau pengodak, unsur endek seperti yang telah dijelaskan di atas harus tetap terlihat, Maksudnya, ketika penari melakukan odak (melangkah), penari tersebut tetap melakukan endek dalam upaya penyesuaian gerakan odak dengan musik.

Sementara itu, Ole atau jemolah jemole merupakan gerakan goyangan atau ayunan badan kedepan dan ke belakang, atau kesamping kiri dan kanan. Gerakan ole juga mengikuti bunyi gung dan penganak.

Dari penjelasan diatas, diketahui bahawa bunyi gung dan penganak merupakan patokan dasar bagi seorang penari Karo untuk melakukan endek, odak, maupun ole. Sedangkan, unsur-unsur lempir tan maupun ncemet jari merupakan unsur pendukung untuk memperindah tari. Lempir tan diperlukan ketika akan membentuk pola gerak tertentu dari tari Karo, misalnya ketika posisi kedua tangan diatas bahu. Sedangkan ncemet jari diperlukan saat melakukan petik (gerakan tangan mengepal), dan pucuk (jari diletakkan dimuka kening penari) terutama pada tari muda-mudi.

Dalam tarian Karo, geseran kaki, goyang pinggang/pinggul, dan main mata tidak diperbolehkan, kerana dianggap tidak sopan dan melanggar norma-norma adat istiadat masyarakat Karo. Idealnya dalam menarikan tarian Karo, gerakan kaki harus dilakukan dengan melangkah atau odak, gerakan pinggang harus mengikuti ayunan badan atau ole, serta pandangan mata penari hanya boleh mengarah diagonal kebawah, tertuju pada lutut pasangan menarinya.

Namun belakangan ini, dalam budaya kontemporer Karo, terutama setelah populernya lagu-lagu Karo versi baru, maka terciptalah beberapa tari baru dengan peraturan tertentu, seperti Piso Surit, Tari Terang Bulan, Tari Mbuah Page, dan


(34)

lain-lain. Dengan demikian secara otomatis terjadi juga perubahan-perubahan norma dalam budaya tari Karo dalam konteks global.

Tari pada masyarakat Karo dalam penggunaannya dibedakan dalam tiga bagian, yaitu:

2.2.3.1 Tari yang Berkaitan dengan Adat/ Komunal

Tari yang berkaitan dengan adat adalah tari yang merupakan bagian dari suatu upacara adat. Upacara yang dimaksud adalah upacara memasuki rumah baru, pesta perkawinan, upacara kematian dan lain-lain. Tarian adat yang bersifat komunal biasanya dilakukan oleh kelompok merga atau kelompok sangkep nggeluh, bersama-sama dengan kelompok sukut (pemilik hajatan/tuan rumah), masing-masing kelompok menari dengan posisi berhadap-hadapan. Bagi kelompok sukut tarian itu merupakan tarian penyambutan atau penghormatan atas kehadiran tamu-tamu adat. Sedangkan bagi kelompok tamu adat, tarian ini merupakan aktivitas pembuka sebelum mereka menyampaikan kata-kata adat (berisikan pesan dan nasehat) kepada keluarga yang memiliki hajatan.

2.2.3.2 Tari yang Berkaitan dengan Religi/Ritual

Tari yang berkaitan dengan ritual ini biasanya dibawakan oleh seorang Guru sibaso (dukun) dalam upacara ritual. Tari yang dibawakan oleh Guru, disesuaikan dengan keperluan atau jenis upacara yang dilaksanakan. Beberapa tari Karo yang berkaitan dengan upacara ritual adalah; Tari tungkat (tari untuk mengusir roh-roh jahat), Tari njujung baka (tari yang menggunakan keranjang yang berisi sesaji untuk persembahan), Tari seluk (tarian kesurupan), dan lain sebagainya.


(35)

Upacara yang berkaitan dengan ritual yang dilakonkan oleh Guru sibaso (dukun), adalah berdasarkan tuntunan ilmu atau roh penuntunnya. Kerana ketika seorang guru (dukun) memimpin upacara, biasanya beliau memanggil jinujung-nya (junjungan-nya) untuk ‘masuk’ ke dalam dirinya. sehingga gerakan tarinya tidak lagi memiliki struktur yang baku, berbeda dengan pola gerak tari Karo pada umumnya. Tetapi secara umum gerakan yang khas pada tarian ini adalah gerakan murjah-urjah (melompat dengan mengangkat kaki secara bergantian).

2.2.3.3 Tari Yang Berkaitan Dengan Hiburan

Tari Karo yang sifatnya hiburan biasanya ditarikan oleh dua orang atau lebih muda-mudi dengan cara berpasang-pasangan, diantaranya adalah: Tari pecat-pecat seberaya, Tari lima serangke, Tari piso surit, Tari roti manis, dan lain sebagainya. Tari-tarian jenis ini pada umunya sudah memiliki komposisi yang baku, dengan kata lain koreografinya telah tersusun dengan tetap.

Tari-tarian hiburan lain yang sangat digemari oleh masyarakat Karo, diantaranya adalah Ndikar (tari pencak silat), Adu Perkolong-kolong (tarian yang dibawakan oleh sepasang Perkolong-kolong dan melakukan aksi atau cerita lucu yang menghibur), serta Gundala-gundala (drama tari topeng Karo).

2.2.4 Seni Pahat (Ukir)

Walaupun kehidupan masyarakat Karo pada waktu dulu dalam keadaan serba sederhana, namun beberapa orang “Pande tukang” (sebutan bagi orang yang ahli membuat bangunan Karo) mampu menyumbangkan karya-karyanya. Beberapa dari karya itu umumnya dimulai dengan sederhana dan dengan maksud untuk menolak


(36)

bala, menangkal roh jahat, dan sebagai media yang kemudian dipercaya memiliki kemampuan pengobatan.

Kemudian dalam perkembangannya dari waktu ke waktu, kebiasaan membuat ukiran tersebut tidak lagi dipandang dari segi kekuatan daya penangkalnya (mistis) saja. Tetapi lukisan itu telah dipandang sebagai sesuatu yang memiliki nilai keindahan sehingga kemudian dikembangkan sebagai sebuah karya seni.

Secara garis besar ada empat tempat dimana karya seni ini biasa ditempatkan, antara lain:

• Pada bangunan tradisional Karo seperti rumah adat, jambur, geriken, dan gereta guro-guro aron,

• Pada benda-benda pecah-belah seperti gantang beru-beru, cimba lau, abal-abal, busan, petak, tagan, kampil, dan alat kesenian, dan

• Pada pakaian adat Karo seperti pada uis kapal, uis nipes, dan baju, serta

• Ukiran pada berbagai benda perhiasan seperti gelang, cincin, kalung, pisau, ikat pinggang, dan lain sebagainya.

Di bawah ini penulis memaparkan beberapa jenis pola dan gambar ukiran masyarakat Karo dan tempat di mana ukiran itu biasa di terapkan.

Ampik-ampik Alas (Indung Bayu-bayu)

Motif : Terdiri dari bermacam-macam motif

yang bergabung yaitu: Bunga Gundur, Duri Ikan, Tempune-tempune, Pakau-pakau, Anjak-anjak beru Ginting dan Pancung-pancung Cekala.

Fungsi : Tolak bala / hiasan


(37)

Ukiran pada Piso Tumbuk Lada

Anyaman pada Gapura Makam Pahlawan Kabanjahe

Tapak Raja Sulaiman

Bindu Matagah

Motif :Geometris Fungsi :Tolak bala

Tempat :Melmelen, Ukat, Gantang beru-beru, Buku Pustaka

Motif :Geometris Pelambang :Tolak bala


(38)

Pahai

Bindu Matoguh

Lu k isa n Su k i

Bila dilihat dari bentuk dan nama ukiran Karo tersebut , beberapa di antaranya tercipta atas dorongan dan pengaruh lingkungan alam, manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan. Selain ornmen-ornamen di atas masih terdapat beberapa ornamen lain di antaranya adalah: Tupak salah silima-lima, Tupak salah sipitu-pitu, Desa siwaluh, Panai, Bindu metagah, Bindu matoguh, Tapak raja Sulaiman, Pantil manggus, Indung-indung simata, Tulak paku petundal, Lipan nangkih tongkeh, Kite-kite perkis, Tutup dadu/cimba lau, Cenkili kambing, Ipen-ipen, Lukisan suki, Pucuk merbung bunga bincole, Surat buta, Pengretret, Bendi-bendi (pengalo-ngalo), Embun sikawiten, Pucuk tenggiang, Litab-litab Lembu, Lukisan tonggal, Keret-keret ketadu, Taruk-taruk, Kidu-kidu, Lukisan pendamaiken, Bulang binara, Tanduk

Motif : Geometris

Pelambang : Tolak bala, Ngenen gerek-gereken Tempat : Kalung anak-anak, Buku Pustaka, dl

Motif : Geometris Pelambang : Tolak bala

Tempat : Melmelen, Ukat, Gantang beru-beru, dll

Motif : Geometris Pelambang : Hiasan


(39)

kerbau payung, Bunga gundur, Raja Sulaiman, Bunga lawang, Tudung teger, Lukisan umang, Lukisan para-para (gundur mangalata), Embun sikawiten II, Tulak paku, Lukisan kurung tendi, Osar-osar, Ukiren sisik kaperas, Galumbang sitepuken, Ukiren kaba-kaba, Likisen tagan, dan masih banyak lagi jenis ornamen yang lain.

2.2.5 Seni Tenun (Mbayu)

Pakaian tradisional Karo tentunya merupakan salah satu hasil dari kebudayaan Karo, oleh karena itu, seiring berkembangnya kebudayaan, masyarakat Karo telah memiliki banyak ragam pakaian dengan fungsi-fungsi yang berbeda. Secara tradisional pakaian ini di tenun oleh para wanita Karo dengan menggunakan kembaya (semacam kapas) yang dijadikan benang dan dicelup dengan alat pewarna yang dibuat dari bahan kapur, abu dapur, kunyit, dan telep (sejenis tumbuhan).

Secara umum pakaian tradisional Karo dapat dibagi atas tiga kelompok, yaitu: pakaian sehari hari, pakaian untuk pesta, dan pakaian kebesaran. Pakaian yang biasa digunakan pria adalah pakaian dengan model batu gunting cina lengan panjang, tutup kepala yang disebut tengkuluk atau bulang dan sarung, sedangkan untuk wanita terdiri dari baju kebaya leher bulat, sarung (abit), tutup kepala (tudung), dan kain adat bernama Uis Gara yang diselempangkan.

Pakaian pesta hampir sama dengan pakaian sehari-hari. Hanya saja, pakaian pesta lebih bersih atau baru dan dikenakan dengan baik, sehingga terlihat lebih sopan, dan pakaian kebesaran terdiri dari pakaian dengan aksesoris-aksesoris yang lengkap serta digunakan pada saat pesta saja, seperti pesta perkawinan, memasuki rumah baru, upacara kematian, dan pesta kesenian.


(40)

Di bawah ini akan dijabarkan beberapa ragam/jenis Uis yang ada pada masyarakat Karo, yaitu antara lain;

Uis Arinteneng

Uis Arinteneng terbuat dari kapas atau kembayat yang ditenun. Warnanya hitam pekat hasil pencelupan yang disebut ipelabuhken. Pakaian ini digunakan untuk alas pinggan pasu tempat emas kawin dan tempat makanan bagi pengantin sewaktu acara mukul (acara makan bersama) pada malam hari setelah selesai pesta adat, uis ini juga digunakan sebagai pembalut tiang pada peresmian atau acara adat memasuki rumah baru, dan membayar hutang adat kepada kalimbubu dalam upacara adat kematian.

Uis Julu

Bahannya sama dengan bahan Uis Arinteneng. Warnanya hitam dengan corak garis-garis putih berbentuk liris-liris. Keteng-keteng-nya berwarna merah dan hitam dan disebut Keteng-ketang Bujur. Ada juga yang disebut keteng-keteng sirat denan diberi ragam corak ukiran serta di sisi ujungnnya terdapat rambut (jumbai). Pakaian ini diguanakan sebagai Gonje (sarung laki-laki), membayar hutang adat (maneh-maneh), nambari (mengganti) pakaian orang tua laki-laki, dan digunakan juga sebagai selimut (cabin).

Uis Teba

Hampir sama dengan Uis Julu. Perbedaannya ialah garis-garis Uis Teba lebih jarang sedangkan Uis Julu lebih rapat. Warnanya hitam, di sisi ujungnya juga memiliki rambut (jumbai). Sama seperti uis Julu ,Uis ini juga digunakan untuk maneh-maneh atau membayar hutang adat bagi perempuan yang meninggal, tudung bagi perempuan, mengganti pakaian orang tua (bagi ibu), dan alas pinggan pasu


(41)

tempat emas kawin sewaktu melaksanakan pembayaran kepada pihak mempelai perempuan dalam upacara adat Perkawinan.

Uis Gatip

Uis Gatip ini berwarna hitam dan berbintik-bintik putih di tengah, tepian kain warnanya hitam pekat dan ujungnya terjalin dan berumbai. Jenis kainnya lebih tebal sehingga sering disebut dengan Uis kapal (kain tebal). Uis ini dipakai sebagai ose (pakaian) laki-laki pada upacara-upacara adat perkawinan, memasuki rumah baru, guro-guro aron (pesta muda-mudi) dsb.

Uis Jongkit

Warna dan bahan Uis ini sama dengan Uis Gatip, hanya saja Uis Jongkit memakai benang emas dengan motif melintang pada bagian tengah kain tersebut, hingga warna dan bentuknya lebih cerah. Penggunaan Uis ini juga sama seperti Uis Gatip, tapi kain ini sekarang lebih disenangi dan banyak dipakai pada upacara-upacara adat.

Uis Beka Buluh

Warna dasar kain Uis Beka Buluh ini merah cerah, bagian tengah bergaris Kuning, Ungu, Putih dan pada tepian dan ujung kain terdapat motif-motif ukiran Karo yang dibuat dengan benang emas. Kain ini dipakai sebagai Bulang (penutup kepala/topi) pada laki-laki, dan juga dipakai sebagai cekok-cekok (penghias bahu) yang diletakan sedemikian rupa pada bahu laki-laki, selain itu kain ini juga biasa diletakkan di atas tudung wanita.

Uis Kelam-Kelam

Warnanya hitam pekat, bahan kainnya lebih tipis dari Uis yang lain dan polos tanpa motif, sepintas seperti kain hitam biasa, hanya saja kain ini lebih keras


(42)

dibanding Uis yang lain. Uis ini biasa dipakai oleh wanita sebagai tudung pada upacara-upacara adat, tudung yang bahannya dari uis kelam-kelam ini disebut Tudung Teger Limpek dengan bentuknya yang khas dan unik. Memang proses pembuatan tudung ini sangat sulit dan unik, hingga saat ini tidak semua orang dapat membuat tudung ini.

Uis Jujung-jujungen

Warnanya merah bersulamkan emas dan kedua ujungnya juga berumbai benang emas, kain ini tidak selebar kain yang lainnya, bentuknya hampir sama dengan selendang. Uis ini biasanya dipakai oleh wanita dan biasanya letaknya diatas tudung dengan rumbainya terletak disebelah depan. Pada saat sekarang uis ini jarang digunakan, dan kebanyakan telah digantikan dengan uis Beka buluh.

Uis Nipes

Kain ini jenisnya lebih tipis dari kain-kain lainnya dan memiliki bermacam-macam motif dan warna (merah, coklat, hijau, ungu dan sebagainya), uis ini biasa digunakan sebagai selendang bagi wanita.


(43)

Keterangan gambar :

1. Uis Gatip 4. Uis Kelam-kelam 2. Uis Nipes 5. Uis Teba

3. Uis Jujung-jujungen 6. Uis Jongkit

Selain beberapa jenis Uis yang telah dijelaskan secara singkat di atas, masih terdapat beberapa jenis Uis yang lain, diantaranya :Uis Batu Jala, Uis Gobar Dibata, Uis Pengalkal, dan lain-lain.

2.2.6 Seni Drama

Dari beberapa referensi yang penulis peroleh, seni drama tergolong langka pada masyarakat Karo. Kalaupun ada biasanya berhubungan dengan tarian seperti Tari Mondong-Ondong yang berhubungan dengan drama Perlanja Sira (Pemikul Garam), Tari Tungkat dan Tari Guru serta Gundala-gundala (drama tari topeng Karo).

2.2.7 Seni Musik

Berekspresi melalui kesenian merupakan salah satu aktivitas manusia yang sangat umum dalam kehidupan bermasyarakat, dengan demikian kesenian merupakan suatu kebutuhan yang penting dalam sebuah masyarakat untuk mengekspresikan dirinya sebagai manusia yang memiliki perasaan indah, senang, gembira maupun sedih. Salah satu media pengekspresian kesenian tersebut adalah melalui musik. Musik tersebut dapat berupa musik instrumentalia, musik vocal, atau gabungan antara keduanya.


(44)

Orang Karo menyebut musik dengan istilah Gendang. Dan dalam masyarakat Karo gendang itu sendiri mempunyai beberapa pengertian, diantaranya;

1. Gendang, sebagai pengertian untuk menunjukkan jenis musik tertentu (Gendang Karo, Gendang Melayu),

2. Gendang, sebagai nama sebuah instrumen musik (Gendang singindungi, Gendang singanaki),

3. Gendang, untuk menunjukkan jenis lagu atau komposisi tertentu (Gendang simalungun rayat, Gendang peselukken),

4. Gendang, untuk menunjukkan ensembel musik tertentu (Gendang Lima Sendalanen, Gendang telu sendalanen),

5. Gendang untuk mengartikan sebuah upacara tertentu (Gendang cawir metua, Gendang guro-guro aron).3

Selain itu masyarakat Karo juga memiliki beberapa jenis musik yang biasanya digunakan dalam kesenian tradisionalnya. Ada alat musik yang dimainkan secara bersama-sama (ensambel), ada pula yang dimainkan tunggal (solo). Selain alat musik, terdapat pula beberapa genre musik vocal (nyanyian), baik yang dinyanyikan secara solo, maupun diiringi alat musik.

Untuk itu penulis akan menguraikan jenis-jenis alat musik serta genre musik yang terdapat dalam musik tradisional Karo sebagai berikut.

3


(45)

2.2.7.1 Gendang Lima Sendalanen

Gendang Lima Sendalanen merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menyatakan suatu ensambel musik tradisional Karo yang terdiri dari 5 (lima) buah alat musik, yaitu: (1) sarune, (2) gendang singanaki, (3) gendang singindungi, (4) penganak, dan (5) gung. Istilah gendang pada Gendang Lima Sendalanen ini berarti “alat musik”, lima berarti “lima buah”, dan sendalanen berarti “sejalan”. Dengan demikian Gendang Lima Sendalanen mengandung pengertian “lima buah alat musik yang dimainkan sejalan atau secara bersama-sama”. Kadang-kadang Gendang Lima Sendalanen disebut dengan istilah Gendang Sarune4

Perlu diketahui juga bahwa, masing-masing alat musik dalam ensambel Gendang Lima Sendalanen tersebut dimainkan oleh seorang pemain, kecuali alat musik penganak dan gung yang dapat dimainkan oleh seorang pemain.

. Adanya dua istilah atau penyebutan satu ensambel musik tradisional Karo yang sama ini-Gendang Lima Sendalanen dan Gendang Sarune-terjadi karena perbedaan latar belakang dari orang-orang yang menggunakannya.

Di kalangan musisi tradisional Karo istilah Gendang Sarune lebih sering dinggunakan, sementara itu di berbagai tulisan tentang kebudayaan musik Karo lebih banyak menggunakan istilah Gendang Lima Sendalanen. Untuk konsistensi penulisan, dalam tulisan ini penulis menggunakan istilah Gendang Lima Sendalanen. Ini tidak berarti istilah Gendang Lima Sendalanen lebih mewakili dari pada Gendang Sarune karena memang kedua istilah tesebut selalu digunakan dalam masyarakat Karo.

4

Istilah Gendang Sarune muncul karena dalam ensambel tersebut sarune merupakan alat musik pembawa melodi


(46)

Di bawah ini penulis menjabarkan penjelasan tentang masing-masing instrumen yang terdapat dalam Gendang Lima Sendalanen, yaitu :

2.2.7.1.1 Sarune

Sarune merupakan alat musik tiup yang memiliki lidah ganda (double reed), dan tabung alat musik ini berbentuk konis (conical) mirip dengan alat musik obo (oboe). Instrumen ini terdiri dari lima bagian alat yang dapat dipisah-pisahkan serta terbuat dari bahan yang berbeda pula yaitu: (a) anak-anak sarune, (b) tongkeh, (c) ampang-ampang, (d) batang sarune, dan (e) gundal.

Anak-anak sarune berfungsi sebagai lidah (reeds), terbuat dari dua helai kecil daun kelapa yang telah dikeringkan. Biasanya ketika hendak memainkan sarune, anak-anak sarune tersebut harus dibasahi terlebih dahulu dengan air liur agar menjadi lunak sehingga mudah bergetar jika ditiup.

Ampang-ampang yaitu sebuah lempengan berbentuk bundar yang terbuat dari kulit binatang Baning (trenggiling) diletakkan di tengah tongkeh (terbuat dari timah). Ampang-ampang berfungsi sebagai penahan bibir pemain sarune ketika sedang meniup alat tersebut. Batang sarune sendiri terbuat dari kayu selantam atau pohon nangka, pada batang sarune inilah terdapat lobang-lobang nada berjumlah delapan buah sebagai penghasil atau pengubah nada ketika sarune ditiup. Gundal juga terbuat dari kayu selantam yang berada pada bagian bawah sarune. Gundal ini merupakan corong (bell) pada alat tiup sarune yang fungsinya membuat lantunan nada-nada menjadi lebih panjang dan nyaring atau keras.

Perlu ditambahkan, ampang-ampang, anak-anak sarune, dan tongkeh biasanya dihubungkan satu sama lain dengan seutas tali berukuran kecil, yang


(47)

berfungsi sebagai pengikat agar bagian-bagian tersebut tidak tercecer, terpisah atau hilang karena ukurannya yang kecil.

Gambar 1: Bagian-bagian Sarune (Sumber: Di edit dari dok. Perikuten Tarigan)

Keterangan gambar 4.1:

(1) anak-anak sarune (3) batang sarune,

(2) tongkeh (4) gundal

(2a) ampang-ampang (4a) tagan sarune

Gambar 2: Sarune


(48)

2.2.7.1.2 Gendang singanaki dan gendang singindungi

Gendang singanaki dan Gendang singindungi (double sided conical drums) merupakan dua alat musik pukul yang terbuat dari kayu pohon nangka. Pada kedua sisi alat musik yang berbentuk konis tersebut, terdapat membrane yang terbuat dari kulit binatang. Sisi depan/atas atau bagian yang dipukul disebut babah gendang, sisi belakang/bawah (tidak dipukul) disebut pantil gendang. Kedua alat musik ini memiliki ukuran yang kecil, panjangnya sekitar 44 cm, dengan diameter babah gendangnya sekitar 5 cm, sedangkan diameter pantil gendang sekitar 4 cm.

Kedua alat musik tersebut memiliki kesamaan dari sisi bahan, bentuk, ukuran, dan cara pembuatannya. Perbedaannya hanya pada “gendang mini” yang disebut gerantung (panjang 11,5 cm) yang diikatkan di sisi badan gendang singanaki, sedangkan pada gendang singindungi tidak ada. Gendang singindungi dapat menghasikan bunyi naik turun melalui teknik permainan tertentu5

5

Pada bagian luar (dari ujung ke ujung) alat musik ini dililitkan tali yang terbuat dari kulit lembu. Tali tersebut lah yang berfungsi untuk mengencangkan kulit/membrane gendang, sehingga menghasilkan suara yang berbeda. Tetapi biasanya tehnik ini digunakan untuk ‘menyetem’ suara

gendang tersebut.

, sedangkan gendang singanaki tidak memiliki tehnik tersebut sehingga bunyi yang dihasilkannya tidak bisa naik turun. Masing-masing gendang memiliki dua palu-palu gendang atau alat pukul (drum stick) sepanjang 14 cm.


(49)

2.2.7.1.3 Gung dan Penganak

Penganak dan gung tergolong dalam jenis suspended idiophone/gong berpencu yang memiliki persamaan dari segi konstruksi bentuk, yakni sama seperti gong yang umumnya terdapat pada kebudayaan musik nusantara. Perbedaan keduanya (Penganak dan gung) adalah dari segi ukuran atau lebar diameternya. Gung memiliki ukuran yang besar (diameter 68,5 cm), dan penganak memiliki ukuran yang kecil (diameter 16 cm). Gung dan Penganak ini terbuat dari kuningan, sedangkan palu-palu (pemukulnya) terbuat dari kayu dengan benda lunak yang sengaja dibuat di ujungnya untuk menghasilkan suara gung yang lebih enak didengar (palu-palu gung).

Gambar 5: Penganak dan Palu-palu

Gambar 6: Gung dan Palu-palu


(50)

2.2.7.1.4 Peran masing-masing instrumen dalam Gendang Lima Sendalanen

Gendang Lima Sendalanen sebagai suatu ensambel musik yang terdiri dari lima alat musik memiliki karakter bunyi dan cara memainkan yang berbeda-beda sesuai dengan bentuk instrumen tersebut.

Sarune dimainkan dengan cara meniup anak-anak sarune (reeds) sementara jari-jari kedua tangan si pemain memegang (membuka dan menutup) lobang nada yang terdapat pada badan (batang) alat musik tersebut. Alat musik Sarune ini dalam Gendang Lima Sendalanen memiliki peran sebagai pembawa melodi lagu.

Gambar 7: Penarune sedang memainkan sarune (Sumber: Dok. Perikuten Tarigan)

Sementara itu, gendang singanaki, gendang singindungi dimainkan dengan cara memukul babah gendang (head membrane) masing-masing dengan dua palu-palu gendang (alat pukul gendang/stick). Gendang singanaki menghasilkan pola ritem berulang-ulang (repetitif), sedangkan Gendang singindungi membawakan pola ritem yang variabel, berbeda dengan pola ritem yang dimainkan gendang singanaki.


(51)

Gambar 8: Penggual Singindungi Gambar 9: Penggual Singanaki (Sumber: Dok. Perikuten Tarigan) (Sumber: Dok.Perikuten Tarigan)

Penganak dan gung dimainkan dengan memukul pencu yang terdapat pada bagian tengah penganak dan gung masing-masing dengan satu palu-palu. Kedua alat musik tersebut menghasilkan pola pukulan yang berulang-ulang.

Gambar 10: Simalu Gung sedang memainkan penganak dan gung (Sumber: Dok. Perikuten Tarigan)


(52)

2.2.7.1.5 Posisi pemain Gendang Lima Sendalanen

Secara umum pemain Gendang Lima Sendalanen dalam setiap pertunjukannya bermain dalam posisi duduk. Posisi duduk ini - khsususnya untuk penarune dan penggual - merupakan posisi baku karena dua hal, yaitu:

Dalam menghasilkan nada-nada tertentu, penarune harus menutupkan ujung Sarune-nya (tonggum) ke bagian betis kakinya sendiri,

Penggual senantiasa mengaitkan alat musiknya (gendang singanaki dan gendang singindungi) diantara kedua kakinya dalam posisi duduk bersila, sehingga posisi intrumen tersebut menjadi diagonal, dengan babah gendang mengarah ke sebelah kanan penggual.

Simalu gung dan simalu penganak juga bermain dalam posisi duduk, sementara itu kedua alat musiknya senantiasa digantung dengan seutas tali pada suatu tempat yang telah disediakan secara khusus.

Gambar 11: Posisi pemain musik Gendang Lima Sendalanen dalam upacara adat. (Sumber: Dok. Perikuten Tarigan)


(53)

2.2.7.2 Gendang telu sendalanen

Secara harfiah Gendang telu sendalanen memiliki pengertian tiga alat musik yang sejalan atau dimainkan secara bersama-sama (sama seperti pengertian Gendang Lima Sendalanen). Ketiga alat musik tersebut adalah (1) Kulcapi/balobat, (2) keteng-keteng, dan (3) mangkok. Dalam ensambel ini ada dua istrumen yang bisa digunakan sebagai pembawa melodi yaitu Kulcapi atau balobat. Pemakaian Kulcapi atau balobat sebagai pembawa melodi dilakukan secara terpisah dalam upacara yang berbeda. Sedangkan Keteng-keteng dan mangkok merupakan alat musik pengiring yang menghasilkan pola-pola ritem yang bersifat konstan dan repetitif.

Jika Kulcapi digunakan sebagai pembawa melodi, dan keteng-keteng serta mangkok sebagai alat musik pengiringnya , maka istilah Gendang telu sendalanen sering disebut Gendang Lima Sendalanen Plus Kulcapi, dan jika balobat sebagai pembawa melodi, maka istilahnya tersebut menjadi gendang balobat. Masing-masing alat musik dimainkan oleh seorang pemain.

Gambar 12: Gendang Balobat Gambar 13: Gendang Telu Sendalanen


(54)

2.2.7.2.1 Kulcapi

Kulcapi adalah alat musik petik berbentuk lute yang terdiri dari dua buah senar (two-strenged fretted-necked lute). Dahulu kala senarnya terbuat dari akar pohon aren (enau) namun sekarang telah diganti senar metal. Langkup Kulcapi (bagian depan resonator Kulcapi) tidak terdapat lobang resonator, justru lobang resonator (disebut babah) terdapat pada bagian belakang Kulcapi. Dalam memainkan Kulcapi, lobang resonator (babah) tersebut juga berfungsi untuk mengubah warna bunyi (efek bunyi) dengan cara tonggum, yakni suatu teknik permainan Kulcapi dengan cara mendekapkan seluruh/sebagian babah Kulcapi ke badan pemain Kulcapi secara berulang dalam waktu tertentu. Efek bunyi Kulcapi yang dihasilkan melalui tehnik tonggum ini hampir menyerupai efek bunyi echo pada alat musik elektronik pada umumnya.

2.2.7.2.2 Balobat

Balobat merupakan alat musik tiup yang tebuat dari bambu (block flute). Instrumen ini mirip dengan alat musik recorder pada alat musik barat. Balobat memiliki enam buah lobang nada. Dilihat dari perannya dalam gendang telu sedalanen, balobat memiliki peran yang sedikit atau kurang berperan penting, karena pada sebagian besar penampilan Gendang telu sendalanen biasanya menggunakan Kulcapi pembawa melodi.

2.2.7.2.3 Keteng-keteng

Keteng-keteng merupakan alat musik yang terbuat dari bambu. Bunyi keteng-keteng dihasilkan dari dua buah “senar” yang diambil dari kulit bambu itu sendiri


(55)

(bamboo idiochord). Pada ruas bambu tersebut dibuat satu lobang resonator dan tepat di atasnya ditempatkan sebilah potongan bambu dengan cara melekatkan bilahan itu ke salah satu senar keteng-keteng. Bilahan bambu itu disebut gung, karena peran musikal dan warna bunyinya menyerupai gung dalam Gendang Lima Sendalanen. Bunyi musik yang dihasilkan keteng-keteng merupakan gabungan dari alat-alat musik pengiring Gendang Lima Sendalanen (kecuali sarune) karena pola permainan keteng-keteng menghasilkan bunyi pola ritem: gendang singanaki, gendang singindungi, penganak dan gung yang dimainkan oleh hanya seorang pemain keteng-keteng.

Menurut Sempa Sitepu (1982: 192) kemungkinan terciptanya alat musik ini (keteng-keteng) ialah untuk menanggulangi kesulitan memanggil gendang (Gendang Lima Sendalanen) dan untuk acara yang tidak begitu besar seperti ndilo tendi (memanggil roh) atau erpangir ku lau, alat tersebut dapat menggantikannya. Balobat digunakan sebagai pembawa melodi menggantikan sarune dalam Gendang Lima Sendalanen.

2.2.7.2.4 Mangkok

Mangkok yang dimaksud dalam hal ini adalah semacam cawan (chinese glass-bowl) yang pada dasarnya bukan merupakan alat musik, namun dalam gendang telu sedalanen, mangkok tersebut digunakan sebagai instrumen pembawa ritmis. Selain sebagai alat musik, mangkok juga merupakan perlengkapan penting dari guru sibaso (dukun) dalam sistem kepercayaan tradisional Karo. Mangkok tersebut digunakan sebagai tempat air suci atau air bunga atau juga beras dalam ritual tertentu. Ketika mangkok digunakan atau dipakai sebagai alat musik dalam Gendang


(56)

telu sendalanen biasanya diisi air putih biasa, tujuannya agar bunyi yang dihasilkan mangkok tersebut menjadi lebih nyaring.

2.2.7.2.5 Peran masing-masing instrumen gendang telu sedalanen.

Secara struktur musikal, Gendang telu sendalanen mengacu kepada struktur musikal Gendang Lima Sendalanen, dimana peran musikalnya dibagi dalam dua bagian penting, yakni satu alat musik sebagai pembawa melodi, yang lainnya sebagai istrumen musik pengiring. Dalam gendang telu sedalanen, Kulcapi (dalam Gendang Lima Sendalanen Plus Kulcapi) atau balobat (dalam gendang balobat) berperan sebagai alat musik pembawa melodi. Keteng-keteng dan mangkok memiliki peranan sebagai musik pengiring. Namun keteng-keteng sebagai alat musik pengiring memiliki peran yang unik, yakni menghasilkan bunyi imitasi (tiruan) dari bunyi empat alat musik pengiring yang terdapat pada Gendang Lima Sendalanen. Dalam pola permainan alat musik keteng-keteng terdapat sora (“bunyi”) penganak, gung, cak-cak (pola ritem) singanaki dan singindungi. Pola pukulan mangkok merupakan pukulan konstan berulang-ulang mengikuti pola permainan penganak atau gung dalam Gendang Lima Sendalanen.

2.2.7.2.6 Posisi pemain Gendang Telu Sedalanen

Para pemain Gendang telu sendalanen bermain musik dalam posisi duduk. Alat musik Kulcapi dimainkan dengan posisi tangan kanan memangku ujung alat musik sekaligus jari tangan kanan memegang kuis-kuis, yaitu alat petik yang terbuat dari kayu atau kadang-kadang dari tanduk binatang. Sementara tangan kiri memegang kerahong (neck) Kulcapi sekaligus jari-jari tangan kiri berperan menekan


(57)

senar Kulcapi dalam memainkan melodi. Keteng-keteng dimainkan dengan meletakkan alat musik tersebut di lantai di depan pemain, mangkok juga ditempatkan dalam posisi serupa.

2.2.7.3 Alat musik tradisional Karo non-ensambel

Selain alat-alat musik yang termasuk dalam kedua ensambel yang telah diuraikan di atas, masih terdapat lagi beberapa alat musik tradisional Karo yang dimainkan secara sendiri (solo) tanpa disertai atau diiringi dengan alat musik yang lain (non-ensembel). Alat musik solo tersebut adalah Kulcapi, balobat, surdam, embal-embal, empi-empi, murbab, genggong, dan tambur

2.2.7.3.1 Kulcapi

Alat musik Kulcapi yang dimaksud dalam alat musik solo ini sama dengan Kulcapi yang telah diuraikan dalam gendang telu sedalanen, namun perannya dalam kebudayaan musik Karo lebih dari satu yakni dapat dimainkan dalam ensambel, dan dapat juga dimainkan secara solo (tunggal). Perbedaannya adalah konteks penyajian. Kulcapi sebagai alat musik solo biasa digunakan sebagai hiburan pribadi, maupun dihadapan sekelompok kecil pendengar yang tidak memiliki konteks tertentu. Sebagai alat musik pribadi, Kulcapi memiliki komposisi-komposisi tersendiri yang berisi tentang ceritera-cerita rakyat, seperti cerita penganjak kuda sitajur, cerita perkatimbung beru tarigan, tangis-tangis seberaya, tangis-tangis guru, dan beberapa cerita lainnya. Masing-masing ceritera tersebut dimainkan melalui melodi Kulcapi. Jika didengarkan oleh sekelompok orang sebagai hiburan, kadang-kadang timbul pertanyaan dari pendengar tentang arti melodi yang sedang dibawakan


(58)

oleh perKulcapi karena mereka tidak mengerti. PerKulcapi biasanya akan menjelaskan cerita dari melodi yang sedang ia mainkan sambil mengulangi melodi tersebut, sehingga pendengar akan semakin mengerti dengan melodi-melodi yang dimainkan perKulcapi.

Gambar 14: Kulcapi

2.2.7.3.2 Balobat

Balobat (block flute) sebagai instrumen solo juga merupakan alat musik yang sama dengan balobat yang terdapat dalam gendang balobat. Perbedaannya adalah konteks penyajian. Balobat sebagai instrumen solo digunakan sebagai hiburan pribadi ketika sedang mengembalakan ternak di padang rumput, ketika sedang menjaga padi di sawah atau di ladang.


(59)

2.2.7.3.3 Surdam

Surdam juga alat musik tiup yang terbuat dari bambu. Alat musik surdam ditiup dari belakang dengan ruas bambu yang terbuka (endblown flute). Secara konstruksi dan tehnik memainkan, surdam memiliki kemiripan dengan saluang pada musik tradisional Minangkabau atau shakuhachi pada musik tradisional Jepang. Tidak seperti balobat yang secara sederhana dapat langsung berbunyi ketika ditiup, surdam memiliki teknik khusus untuk meniupnya agar dapat berbunyi (lihat Lampiran Gambar L.3). Tanpa menguasai teknik tersebut, surdam tidak akan berbunyi ketika ditiup. Alat musik surdam biasanya dimainkan pada malam hari ketika suasana sepi.

2.2.7.3.4 Embal-embal dan empi-empi

Kedua alat musik ini sebenarnya merupakan alat musik yang hanya biasa ditemukan pada sawah atau ladang ketika padi sedang menguning. Keduanya dimainkan atau digunakan sebagai alat musik hiburan pribadi di sawah atau di ladang ketika menjaga padi dari gangguan burung. Embal-embal (aerophone, single reed) terbuat dari satu ruas bambu yang dibuat lobang-lobang penghasil nada. Sebagai alat musik tiup, lidah (reed) embal-embal dibuat dari badan alat musik alat musik itu sendiri.

Empi-empi (aerophone, multiple reeds) terbuat dari batang padi yang telah mulai menguning. Lidah (reed) dari empi-empi dibuat dari batang padi itu sendiri, dengan cara memecahkan sebagian kecil dari salah satu ujung batang padi yang memiliki ruas. Akibat terpecahnya ruas batang padi menjadi beberapa bagian (tidak terpisah) maka ketika ditiup bagian yang terpecah tersebut akan menimbulkan bunyi.


(60)

Sebagian yang tidak terpecah kemudian dibuat lobang-lobang untuk menghasilkan nada yang berbeda. Biasanya empi-empi mempunyai empat buah lobang nada. Untuk saat sekarang, embal-embal dan empi-empi sudah semakin jarang ditemukan/dimainkan oleh masyarakat Karo, khususnya orang Karo yang berada di daerah pedesaan.

2.2.7.3.5 Murbab, dan Genggong.

Alat musik murbab atau murdab merupakan alat musik gesek menyerupai rebab pada alat musik tradisional Jawa atau biola pada musik klasik barat. Murbab terdiri dari dua senar, sedangakan resonatornya terbuat dari tempurung kelapa. Alat musik murbab dahulu dipergunakan sebagai alat musik solo dan dimainkan dihadapan beberapa orang sebagai hiburan. Alat musik ini kemungkinan besar telah hilang dari kebudayaan musik Karo.

Genggong adalah alat musik yang terbuat dari besi, dan dibunyikan dengan menggunakan mulut sebagai resonator. Selain sebagai resonator, mulut juga berfungsi untuk mengubah tinggi rendahnya nada yang diinginkan. Pada waktu dulu, genggong dipergunakan oleh anak perana (perjaka) untuk memanggil singuda-nguda (gadis) pujaan hatinya pada malam hari agar keluar dari rumah, sehingga mereka bisa memadu kasih asmara. Biasanya, seorang anak perana memainkan genggong dengan lagu tertentu yang telah dimengerti oleh kekasihnya, sehingga dia akan keluar dari rumah. Genggong juga diperkirakan telah hilang dari kebudayaan musik Karo saat ini.


(61)

BAB III

PERANAN JASA TARIGAN DALAM KESENIAN KARO

3.1 Perubahan Tradisi Masyarakat Karo Secara Umum

Tradisi masyarakat Karo secara bertahap mengalami perubahan bersamaan dengan proses perkembangan masyarakat dan munculnya pengaruh dari kebudayaan luar masyarakat tersebut. Mayoritas masyarakat Karo juga telah meninggalkan kepercayaan lama yaitu pemena, sehingga beberapa kegiatan ritual tradisional semakin jarang dilakukan.

Kegiatan ritual tersebut memiliki kaitan yang erat dengan musik tradisional Karo, maka apabila ritual tersebut tidak dilaksanakan lagi, maka secara otomatis musik tradisionalnya juga semakin jarang ditampilkan. Selain itu sistem pertanian masyarakat Karo juga telah berubah dari sistem pertanian substansi menjadi bersifat ekonomis. Hal ini berdampak pada acara Gendang guro-guro aron yang menjadi salah satu seni pertunjukan tradisi yang biasanya dilaksanakan anak perana-singuda-nguda (muda-mudi). Acara tersebut juga menjadi berkurang kwantitas pertunjukannya karena sebagian besar anak perana-singuda nguda meninggalkan daerah kabupaten Karo untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di kota Medan atau kota-kota besar lainnya.

Masyarakat yang tinggal di wilayah kabupaten Karo juga telah puluhan tahun mengenal media informasi dan hiburan, seperti: surat kabar, televisi bahkan belakangan ini media innternet mulai bayak di gunakan sehingga berbagai jenis informasi dan hiburan juga telah dapat diketahui atau diamati.


(62)

Penjelasan di atas merupakan faktor-faktor umum yang terjadi dalam suatu masyarakat yang sedang berkembang. Secara lebih khusus masih terdapat faktor lain yang mengakibatkan suatu proses dan hasil sebuah perubahan menjadi berbeda-beda. Hal ini terlihat dalam proses perubahan tradisi masyarakat Karo yang akan diuraikan berikut ini.

Walaupun sebagian besar masyarakat Karo telah meninggalkan sistem kepercayaan lama, tetapi masih terdapat beberapa aktivitas tradisi yang secara rutin masih dilakukan. Seperti Kerja tahun, Kerja tahun merupakan suatu upacara adat yang berkaitan dengan pertanian, dan semua desa/kecamatan memiliki bulan tertentu dalam setiap tahun untuk merayakan Kerja tahun tersebut. Seluruh keluarga biasanya berkumpul di desa kelahirannya pada saat kerja tahun ini. Selain itu komunitas orang Karo yang tinggal secara menetap di kota Medan juga masih melaksanakan beberapa upacara tradisi, seperti perkawinan adat Karo, ritual kematian dan lain sebagainya, dan upacara-upacara tersebut dilaksanakan masih seperti tata cara yang dilakukan di wilayah kabupaten Karo, dan .

Selain itu, muda-mudi yang berada di kota Medan juga dalam waktu tertentu tetap melaksanakan Gendang guro-guro aron di dalam komunitas barunya. Walaupun konteks seni pertunjukan yang dilaksanakan di Medan tidak berkaitan dengan sistem pertanian tradisi, tapi tata cara pelaksanaannya masih mengikuti Gendang guro-guro aron di pedasaan. Para seniman yang mendukung seni pertunjukan Gendang guro-guro aron di desa dan di kota juga pada umumnya adalah orang yang sama, khususnya Perkolong-kolong.

Di lain hal, karena jarak yang tidak terlalu jauh antara kota Medan dengan wilayah Kabupaten Karo (+/-76 KM), menyebabkan hubungan antara orang Karo


(1)

(seniman), dan konteks pertunjukannya (walaupun semakin berkurang) masih tersedia dalam kebudayaan tradisional masyarakat Karo. Dengan demikian penelitian ini masih terbuka untuk permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengannya, seperti: (a) mengupayakan pengembangan Gendang Lima Sendalanen sebagai warisan kebudayaan masyarakat Karo; (b)

mengupayakan penggunaan genre Gendang Kibod secara proporsional dalam aktivitas masyarakat Karo, khususnya dalam konteks upacara adat Karo; (c) mengharmoniskan pemgembangan kedua kesenian tersebut, sehingga Gendang Lima Sendalanen tetap eksis dalam upacara tradisional, genre Gendang Kibod

juga terus berkembang dalam seni pertunjukan tradisional Karo.

2. Norma-norma sosial yang terdapat dalam kesenian tradisional hendaknya tetap dipertahankan dan jika mungkin semakin disosialisasikan melalui Gendang Kibod, sehingga perubahan yang terjadi pada alat musik tidak banyak merubah

kebudayaan tradisional masyarakat Karo.

3. Akibat adanya beberapa makna yang mengarah kepada budaya populer dalam perubahan alat musik tersebut, penulis mengharapkan kepada para pelaku kesenian Gendang Kibod agar lebih selektif dan kritis dalam melakukan suatu pembaharuan. Kretivitas hendaknya tetap dilakukan dalam kerangka konsep musik tradisional Karo. Penggunaan lagu-lagu yang bersifat populer hendaknya hanya digunakan pada konteks hiburan, sementara pada konteks upacara adat lebih mengutamakan komposisi-komposisi tradisional Karo.

4. Perubahan alat musik yang terjadi dalam kesenian tradisional Karo di Sumatera Utara hendaknya juga menjadi tantangan bagi para cendikiawan atau pemerhari kebudayaan, khususnya dari kalangan etnis Karo, di manapun berada. Penulis


(2)

berharap, penelitian ini dapat menambah wawasan dan pemahaman guna melakukan penelitian-penelitian berikutnya.

Terjadinya perubahan alat musik pada masyarakat Karo hendaknya menjadi perhatian yang serius bagi semua kalangan, khususnya kalangan pemerintahan Kabupaten Karo dan pemerintahan Propinsi Sumatera Utara umumnya. Unsur-unsur yang bersifat positif hendaknya didukung dengan pemberian penghargaan kepada para pelaku kesenian tersebut, sementara unsur-unsur yang bersifat negatif disosialisasikan kepada masyarakat agar sadar akan nilai positif dan dampak negatif yang ditimbulkannya. Selanjutnya, diharapkan pula peran aktif dari tokoh-tokoh adat masyarakat Karo untuk lebih bersikap kritis dalam pemakaian alat musik Keyboard. Apabila tidak sesuai dengan norma-norma adat pada masyarakat Karo, tokoh adat diharapkan mengemukakan pendapatnya guna memberi pengertian pada kelompok masyarakat Karo yang menggunakan kesenian genre Gendang Kibod.`


(3)

Daftar Pustaka

Depdikbud

2005 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka

Dyson, L (dalam Sujarwa)

1987 Manusia dan Seni Budaya, Jakarta : Balai Pustaka

Ginting, Pulumun P

1998 Keyboard Elektronik dalam Tradisi Musik Karo : Kajian dari Sisi Akulturasi dan teknik Permainan.

Skripsi Sarjana, Jurusan Musik Fakultas Kesenian Universitas HKBP Nomensen. Tidak di terbitkan.

Gintings, E.P PDT.DR

1999 Religi Karo, Kabanjahe : Abdi karya

Kayam, Umar

1981 Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta : Sinar Harapaan

Koentjaraningrat

1987 Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta : Balai Pustaka

Koentjaraningrat

1981 Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta : Balai Pustaka

Nettl, Bruno.

1964 Theory and Method in Ethnomusikilogi. New York: The Free Press


(4)

Prinst, Darwan, S.H

2008 Adat Karo, Medan: Bina Media Perintis

Prinst, Darwin

2002 Kamus Karo-Indonesia, Medan: Bina Media Perintis

Sebayang, Roi Jimmi N

2004 Pengaruh Gendang Keyboard Terhadap Perilaku Sosial Masyarakat Karo dalam Upacara adat perkawinan (Erdemu Bayu) di Kota Medan.

Skripsi Sarjana, Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU. Tidak di terbitkan.

Sediawati, Edi

1987 Seni Pertunjukan Indonesia. Jakarta : Sinar Harapan

Soeharto M

1995 Kamus Musik, Jakarta : PT. Grasindo

Sukardi

1981 Metodologi Penelitian Pendidikan, Jakarta : Bumi Aksara

Tarigan, Sarjani, MSP

2009 Lentera Kehidupan Orang Karo dalam Berbudaya, Medan

Taylor dan Bogdan

1975 Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta : Rosda


(5)

http://

http:// Julianusplimbeng.blogspot.com http:// barus.blogspot.com


(6)

DAFTAR INFORMAN

1. Nama : Jasa Tarigan Usia : 51 Tahun

Pekerjaan : Seniman Karo dan Wiraswasta

Alamat : Komplek Lona Garden Padang Bulan Medan

2. Nama : Juara Ginting Umur : 56 tahun

Pekerjaan : Dosen Antropologi Universitas Sumatra Utara Alamat : Jln Harmonika Baru. Medan

3. Nama : Roi Sebayang Umur : 32 tahun

Pekerjaan : Pemain Keyboard Karo Alamat : P. Bulan Medan

4. Nama : Sofian Tarigan Umur : 30 tahun

Pekerjaan : Pemain Keyboard Karo