pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan adalah Rumî dan Tarekat Mawlawiyahnya, dimulai dengan menjelaskan hasil penelitian mengenai samâ‘ dalam tarekat penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran penulis. SEJARAH DAN PERKEMBAN

untuk membuat gambaran terhadap data-data yang telah tersusun dan terkumpul dengan cara memberikan interpretasi terhadap data tersebut. 3. Karena penulisan ini membahas tentang tasawuf, maka Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan tasawuf. Adapun metode penulisan dalam skripsi ini menggunakan buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Skripsi, Tesis, dan Disertasi yang diterbitkan oleh CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. D. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam rangka mendapatkan sebuah pemahaman baru dan lebih mendalam tentang musik yang pada saat ini sudah agak jauh menyimpang dari tujuan bermusik itu sendiri, dan dapat menambah khazanah literatur Islam khususnya mengenai pandangan, gagasan dan ajaran tasawuf mengenai musik. Penelitian ini juga untuk memenuhi salah satu persyaratan guna meraih gelar Sarjana Strata Satu S-1 E. Sistematika Penulisan Untuk lebih mempermudah pembahasan dan penulisan pada skripsi ini, maka penulis membagi tulisan dalam beberapa bab, dengan sistematika sebagai berikut :

Bab I, pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan

dan perumusan masalah, metodologi penelitian, tujuan penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II, menguraikan pengertian, sejarah dan perkembangan musik dalam dunia Islam yang meliputi pengertiannya dan sejarah perkembangan musik khususnya di dunia Islam. Dilanjutkan dengan jenis-jenis musik apa saja yang ada dan juga pengertiannya. Berikutnya, akan dijelaskan bagaimana pandangan para ulama mengenai hukum musik itu sendiri, yang terdiri dari pendapat empat mazhab fiqih terbesar, dan tokoh-tokoh yang terkenal.

Bab III adalah Rumî dan Tarekat Mawlawiyahnya, dimulai dengan

biografi Rumi, karya-karya Rumî, dan tarekat Mawlawiyah itu sendiri.

Bab IV, menjelaskan hasil penelitian mengenai samâ‘ dalam tarekat

Mawlawiyah, pembahasan sekilas tentang sama‘, dilanjutkan dengan sama‘ dalam ritual Maulawiyah, yang akan menjelaskan symbol-simbol dalam sama‘, seperti prosesnya, simbol dari tarian, dan dapur dalam tradisi Maulawiyah. Setelah itu, akan diterangkan bagaimana sama‘ dalam dunia kontemporer dipertunjukkan.

Bab V, penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran penulis.

BAB II SEJARAH DAN PERKEMBANGAN MUSIK DALAM DUNIA ISLAM

A. Pengertian, dan Sejarah Perkembangan Musik dalam Dunia Islam Di abad yang semakin maju ini kehidupan menjadi semakin kompleks. Hal demikian tidak saja terjadi pada kehidupan sehari-hari akan tetapi juga pada kehidupan ilmu pengetahuan dengan segala cabang-cabangnya. Cabang-cabang ilmu pengetahuan inilah yang membuat adanya keterkaitan, saling mengisi serta saling melengkapi dalam kehidupan ini. Dalam bidang kesenian pada umumnya, serta musik pada khususnya. Seni sebagai media informasi, media pendidikan, maupun media komunikasi, membutuhkan keterlibatan bidang-bidang ataupun ilmu pengetahuan yang lain. Seni musik sendiri juga memiliki sejarah, bentuk, dan strukturnya, teori-teorinya dan juga filsafat dan ide penciptaannya. 1 Kita tidak dapat mengingkari bahwa musik memiliki fungsi yang banyak dalam kehidupan manusia. Sebagaimana pepatah mengatakan Men die for want of cheerfulness as plants die for want of light Manusia mati karena kekurangan kebahagiaan sebagaimana tumbuh-tumbuhan mati karena kekurangan cahaya. Pepatah ini menunjukan bahwa musik merupakan sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia karena musik dapat membuat manusia menjadi gembira, segar, dan terhibur. Dengan kata lain, musik itu merupakan pemulih energi yang hilang, penyejuk perasaan, serta pengobar perasaan dan aspirasi yang halus. 2 1 Sukatmi Susantina, Nada-Nada Radikal: Perbincangan Para Filsuf Tentang Musik, Yogyakarta: Panta Rhei Books, 2004, h.12-13. 2 Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik: Sebuah Pembelaan Musik SufiOleh Ahmad al- Ghazali, Yogyakarta: Gama Media, 2003, h. 6. Secara etimologis, kata musik berasal dari bahasa Yunani mousike yang memiliki beberapa arti yaitu: 3 a. Seni dan ilmu pengetahuan yang membahas cara meramu vokal atau suara alat-alat musik dalam berbagai lagu, yang dapat menyentuh perasaan. b. Susunan dari suara atau nada. c. Pergantian ritme dari suara yang indah, seperti suara burung dan air. d. Kemampuan untuk merespon atau menikmati musik. Dalam bahasa Yunani, musik bukanlah sekedar seni, tetapi memiliki cakupan yang sangat luas, seperti pendidikan, ilmu, tingkah laku yang baik, bahkan dipercayai sebagai sesuatu yang memiliki dimensi ritual, magis, dan etik. 4 Seni musik adalah bidang seni yang berhubungan dengan alat-alat musik dan irama yang keluar dari alat musik tersebut. Di samping itu, seni musik juga membahas cara membuat not dan bermacam aliran musik, misalnya musik vokal dan musik instrumentalia. Musik sebagai seni, menurut para filosof mampu mengungkapkan hal-hal yang tidak dapat diekspresikan dengan kata-kata, ataupun oleh jenis seni lainnya. Atau dapat dikatakan bahwa musik akan lebih mampu dan ekspresif mengungkapkan perasaan daripada bahasa, baik lisan maupun tulisan. Hal demikian, menurut para ahli filsafat dan musikologi adalah disebabkan bentuk- bentuk perasaan manusia jauh lebih dekat atau sesuai dengan bentuk-bentuk musikal daripada bentuk bahasa. 5 3 Ibid., h.17. 4 Ibid., h.17 5 Susantina, Nada-Nada Radikal, h. 2. Definisi tentang musik memang bermacam-macam, namun dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa musik itu merupakan bentuk induksi bunyi yang mempunyai susunan suara atau nada yang indah, baik itu musik vokal tanpa iringan instrumen musik, maupun musik instrumentalia dengan instrumen musik saja, dan bagi yang mendengarnya dapat menyentuh perasaan. Ada sebagian orang menganggap musik tidak berwujud sama sekali, artinya tidak dapat didefinisikan. Bangsa Yunani menganggap bahwa musik adalah salah satu cabang seni yang amat penting, sehingga mereka beranggapan bahwa orang-orang yang berpendidikan tinggi dan berbudi luhur disebut orang musikal sedang orang-orang yang bodoh dan berbudi rendah disebut orang tidak musikal atau orang yang tidak memiliki musik. 6 Secara historis, ide-ide yang berkaitan dengan fungsi dan pengaruh musik dalam Islam dipengaruhi oleh pemikiran Yunani. Bangsa Yunani memperoleh ide-ide ini dari bangsa Semit kuno, Babilonia-Assyiria. Kitâb al-Siyâsah, sebuah buku yang dikenal sebagai hasil dari pseudo Aristotelian, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Syiria oleh Yuhannâ ibn Batrîq w. 200815, sangat mempengaruhi pemikiran bangsa Arab. 7 Bicara tentang sejarah itu berarti berbicara tentang peristiwa-peristiwa yang terikat oleh perjalanan waktu. Pada umumnya, orang Arab berbakat musik sehingga seni suara telah menjadi suatu keharusan bagi mereka semenjak zaman jahilliyah . Di Hijâz kita dapati orang menggunakan musik yang mereka namakan dengan iqa irama yang berasal dari semacam gendang. Mereka menggunakan 6 Ibid., h. 116. 7 Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 7. berbagai alat musik, antara lain seruling, rebana, gambus, tambur, dan lain-lain. Setelah bangsa Arab masuk Islam, bakat musiknya berkembang dengan mendapat jiwa dan semangat baru. Pada masa Rasûlullâh, ketika Hijâz menjadi pusat politik, perkembangan musik tidak menjadi berkurang. 8 ‘Abd al-Hay al-Kattânî mencatat nama-nama penyanyi wanita di masa Rasûlullâh. Mereka ini suka menyanyi di ruang tertutup kalangan wanita saja pada pesta perkawinan dan sebagainya. Di antaranya bernama Hamamah dan Arnab. Sedangkan kaum lelaki pada masa Rasûlullâh saw dan sesudahnya suka memanggil penyanyi budak jawarî ke rumah mereka jika ada pesta pernikahan. Buktinya Amîr ibn Sa‘d seorang tabi‘in pernah meriwayatkan tentang apa yang terjadi dalam suatu pesta pernikahan. Ia berkata: 9 ÏóÎóáúÊõ Úóáóì ÞõÑó ÙóÉó Èúäö ßóÚúÈò æóÇóÈöì ãóÓúÚõæúÏò ÇúáÇó äúÕóÇÑöíøö Ýöí ÚõÑúÓò æóÇöÐóÇ ÌóæóÇÑöì íõÛóäøöíúäó, ÝóÞõáúÊõ : ÇóäúÊõãóÇ ÕóÇÍöÈóÇ ÑóÓõæúáö Çááåö Õóáøó Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó : æóãöäú Çóåúáö ÈóÏúÑò, íõÝúÚóáõ åóÐóÇ ÚöäúÏó ßõãú¿ ÝóÞóÇáó: ÇöÌúáöÓó Çöäú ÔöÆúÊó ÝóÇÓúãóÚú ãóÚóäóÇ æóÇöäú ÔöÆúÊó ÇöÐúåóÈú ÞóÏú ÑõÎøöÕó áóäóÇ Ýöì Çááøóåúæö ÚöäúÏó ÇáúÚõÑúÓö “Saya masuk kerumah Qurazah ibn Ka‘ab dan Abû Mas‘ud al- Ansari. Ketika itu sedang berlangsung pesta pernikahan, tiba-tiba ada beberapa budak perempuan mulai bernyanyi. Maka saya bertanya, Kalian berdua adalah sahabat Rasûlulullah SAW dan pejuang di perang Badar, kenapa hal ini kalian lakukan? Qurazah menjawab: Duduklah, kalau engkau mau, mari kita dengar bersama-sama, kalau tidak, silahkan pergi. 8 Abdurrahman al-Baghdadi, Seni dalam Pandangan Islam : Seni Vocal, Musik dan Tari Jakarta : Gema Insani Press, 1995, h.15. 9 Ibid.,h. 17. Sesungguhnya telah diperbolehkan bagi kita untuk mengadakan hiburan nyanyian apabila ada pesta perkawinan.” HR. Al-Nasai Kehidupan masyarakat Islam pada masa awal ditandai oleh dua karakteristik, yaitu kesederhanaan, dan berbuat banyak untuk berjuang di jalan Allah jihâd fî sabîlillâh. Pada masa ini mereka lebih tertarik oleh seruan berjihad daripada bersenang-senang menciptakan bentuk-bentuk keindahan seni musik apalagi menikmatinya. Ini membuktikan pada masa Rasûlullâh bukan tanah yang subur untuk kesenian seni musik. Tetapi ketika wilayah Islam meluas, kaum muslimin berbaur dengan berbagai bangsa yang masing-masing mempunyai kebudayaan dan kesenian, sehingga terbukalah mata mereka kepada kesenian dengan mengambil musik-musik Persia dan Romawi. 10 Umat Islam yang fleksibel, menerima musik-musik khas Persia, Arab, Syria, dan Turki di berbagai kota dan pusat kekhalifahan. Supaya musik-musik tersebut dapat beradaptasi dengan daerah tertentu, dibutuhkan metode pemaduan dan peramuan. Orang Arab yang berhasil menemukan metode ini adalah Ibn Misjah w. 715 M. Metode Ibn Misjah tersebut diperoleh setelah ia mengadakan perjalanan ke Syria dan Persia untuk belajar musik dari para ahli dan praktisi musik. 11 Pada abad 9 M., para cendikiawan Islam mulai tertarik pada ilmu tentang musik. Di Bayt al-Hikmah, Baghdad, tulisan-tulisan Yunani yang berkaitan dengan musik diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, termasuk tulisan Nichomachus, Aristoteles, dan lain-lainnya. 12 Mereka mengarang kitab-kitab musik dengan mengadakan penambahan, penyempurnaan, dan pembaharuan, baik 10 Ibid., h. 19. 11 Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 7. 12 Ibid., h. 7 dari segi alat-alat musik, maupun sistem dan tekhnisnya. Di antara pengarang teori musik Islam yang terkenal adalah, Yûnus ibn Sulayman al-Khâtib w.785 M yang menjadi rujukan para pengarang teori musik Eropa, Khalîl ibn Ahmad w.791 M pengarang buku teori musik mengenai not dan irama, Ishâq ibn Ibrâhîm al-Mausûlî w. 850 M yang berhasil memperbaiki musik Arab jahiliyah dengan sistem baru. Karyanya yang terkenal adalah Kitab al-Han wa al-Angham Buku Not dan Irama, beliau mendapat julukan Imam al-Mughanniyyin Raja Penyanyi, 13 Ibn Munajjim w. 913 M dengan bukunya Risalah fî al-Musiqa, Abû Bakr al-Razî w. 925 M pengarang Kitâb fî Jumâl al-Musiqa. 14 Al-Kindi w. 260873M seorang filosof Islam yang pertama, telah menaruh perhatian dalam bidang musik secara serius. Ia tidak hanya menggunakan musik sebagai alat hiburan, tetapi dia juga menggunakannya sebagai obat terapi menyembuhkan penyakit jiwa dan raga. Menurutnya, segala sesuatu yang ada di alam raya selalu berkaitan dan setiap nada pada sebuah alat musik yang bersenar berkaitan dengan cara menyanyikannya, ritme, dan perasaan. Semua ini pada gilirannya berhubungan dengan planet-planet, musim, hawa, humor, warna, dan parfum. 15 Kemudian pada abad 10 M, Ikhwân al-Safâ mengikuti hampir seluruh ide al-Kindi. Mereka menyebutkan secara rinci tentang pengaruh psikologis yang ditimbulkan oeh nyanyian dan ritme. Teori ini dikenal dengan sebutan al-Tatsir pengaruh, sebuah teori yang memiliki pengaruh besar di dunia Islam abad ke- 13 Al-Baghdadi, Seni dalam Pandangan Islam, h. 19-20. 14 Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 8. 15 Ibid., h. 8. 20. 16 Di dalam Rasa’il Ikhwan al-Safâ seperti yang dikatakan oleh Mulyadhi bahwa musik itu termasuk dalam kategori ilmu matematika. 17 Al-Farâbî w. 339950M, seorang filosof Islam yang terkenal dengan teori emanasinya, dan juga seorang ahli dalam teori musik melalui bukunya Kitâb al- Mûsiqa al-Kabîr, seperti yang dikutip oleh Muhaya, adalah sebuah karya dalam bidang teori musik yang terbesar pada masanya. Ia tidak sekedar mengikuti pendapat-pendapat bangsa Yunani, tetapi ia mengikutinya secara kritis. Hal itu dibuktikan dengan penolakannya terhadap teori bangsa Yunani yang mengatakan bahwa suara akan lebih pelan jika didengar di air daripada di udara dan teori yang mengatakan bahwa wol tidak akan mengeluarkan suara bila menabrak pendapat Aristoteles. Dia juga tidak mengulangi kesalahan Nichomachus yang menyatakan bahwa Pythagoras menemukan konsonan dengan cara membandingkan berat palu- palu yang ada di toko tukang besi. Al-Farabi juga mengembangkan teori al-tatsir jauh lebih maju jika dibanding teori Yunani dan al-Kindi. 18 Muhaya juga menulis bahwa Ibn Sîna w. 4281037, dalam bukunya al- Syifâ , menulis satu bab tentang musik, demikian juga dalam kitab al-Najât. Salah seorang murid Ibn Sîna, Abû Mansûr ibn Zailah w. 4401048, menulis Kitâb al- Kâfi fî al-Mûsiqa . Kitab ini dari segi isinya dipandang lebih komprehensif jika dibanding dengan tulisan-tulisan Ibn Sîna tentang musik karena memuat banyak materi yang tidak dijumpai di dalam buku-buku yang lain, terutama dalam hal praktik musik. Kita juga tidak boleh lupa terhadap jasa Ibn al-Sid w. 4581066, seorang ahli dari Andalusia yang telah menulis beberapa pasal tentang musik dan 16 Ibid., h. 9. 17 Bimbingan dan perbaikan skripsi dengan Prof. Dr. Rd. Mulyadhi Kartanegara pada tanggal 19 Juni 2008. 18 Ibid., h. 9. alat-alat musik dalam bukunya Kitab al-Mukhassas, Abû al-Salt Umayyah al- Andalusi w. 5291134, orang yang ahli dalam teori dan praktik musik, yang menulis Risalah fî al-Musiqi, sebuah buku yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Hebru. Ibn Bajjah w. 5331139, seorang filsuf dari Andalusia juga mengarang Kitâb al-Musiqa, sebuah kitab musik yang terkenal di Barat sebagaimana terkenalnya Kitâb al-Musiqa karya al-Farâbî di belahan dunia Timur. 19 .Selain dari penyusunan kitab musik oleh para cendikiawan, timbul perhatian dalam bidang pendidikan musik yang dicurahkan pada akhir masa Daulah Umayyah. Pada masa itu para khalifah dan para pejabat lainnya memberikan perhatian yang sangat besar dalam pengembangan pendidikan musik. Banyak sekolah musik didirikan oleh negara Islam di berbagai kota dan daerah, baik sekolah tingkat menengah maupun sekolah tingkat tinggi. Sekolah musik yang paling sempurna dan teratur adalah yang didirikan oleh Sa‘îd ‘Abd al- Mumin w. 1294 M. 19 Salah satu sebab mengapa dalam Daulah ‘Abbâsiyyah didirikan banyak sekolah musik adalah karena keahlian menyanyi dan bermusik menjadi salah satu syarat bagi pelayan budak, pengasuh, dayang-dayang di istana dan di rumah pejabat negara ataupun di rumah para hartawan untuk mendapatkan pekerjaan. Karena itu telah menjadi suatu keharusan bagi para pemuda dan pemudi untuk mempelajari musik. 20 Bahkan di Sevilla Andalusia telah didirikan pabrik alat- alat musik, alat-alat yang dikeluarkan oleh pabrik ini ialah Mizbar kecapi klasik, 19 Ibid., h. 10. 19 Al-Baghdadi, Seni dalam Pandangan Islam, h. 20. 20 Ibid., h. 20. ‘Ud qadim kecapi lama, ‘Ud kamil kecapi lengkap, syahrud kecapi lengkung, Murabba semacam gitar, qitara gitar, dan kamanja semacam rebab. 21 Kehadiran musik dalam dunia Islam, baik itu pada masa awal Islam maupun pada masa kini telah menyentuh berbagai aspek tradisi umat Islam yang sangat fundamental. Panggilan untuk shalat al-adzân hampir selalu dikumandangkan dengan lagu, 22 sebagaimana halnya al-Quran al-Karim yang dengan melagukannya merupakan hidangan yang sangat bergizi bagi jiwa kaum mukminin, sekalipun secara teknis melagukan al-Quran tidak pernah disebut sebagai musik. Sekarang pun, selama bulan Ramadhan, di beberapa kota Islam, dapat ditemukan tradisi lama yaitu pada waktu makan sahur banyak orang membangunkan orang untuk sahur berjalan-jalan sambil bernyanyi, dan terkadang menggunakan alat musik gendang, gitar, dan yang lainnya. Selain itu, orasi-orasi pada pemakaman yang diselenggarakan dengan peraturan agama yang sangat ketat umumnya dibacakan dengan lagu dan di beberapa tempat keramat, musik menyertai upacara-upacara religius seperti yang terjadi di makam Imam ‘Ali al-Ridâ, di Masyhad Persia, di mana tambur-tambur dan obo semacam seruling dibunyikan untuk menyambut terbitnya sinar matahari di setiap pagi hari. Bahkan di masa lalu, tentara muslim yang berangkat menunaikan perang suci jihâd fî sabîlillâh diiringi dengan musik untuk meningkatkan keberanian dan keteguhan hati perjuangan mereka. Sebenarnya 21 Sidi Gazalba, Islam dan Kesenian : Relevansi Islam dengan Seni-Budaya Karya Manusia Jakarta : Pustaka al-Husna, 1988, h. 170. 22 Dibeberapa bagian dunia Islam seperti Indonesia, adzan didahului dengan pemukulan gendang beduk yang gemanya lebih jauh daripada suara muadzin itu sendiri. kelompok musik militer pun pertama kali diciptakan oleh Dinasti Ottoman dan kemudian ditiru oleh seluruh negara Eropa. 23 Beberapa tabib muslim menggunakan musik sebagai sarana penyembuhan penyakit, baik jasmani maupun ruhani dan telah ditulis pula beberapa risalah tentang ilmu pengobatan melalui musik seperti karya al-Farâbî yang berjudul al- ‘Ilaj fî al-Mûsiqa pengobatan melalui musik dan Ikhwân al-Safâ membahas tentang pengaruh musik pada jiwa dalam Rasa’il mereka. Para pujangga pun pada umumnya memahami musik. Syair pada khususnya hampir tidak dapat dipisahkan dari musik sepanjang sejarah Islam seperti kitab al-Aghanî karya Abû Faraj al- Asfahânî yang menjelaskan kisah pada permulaan periode Islam. Dalam sastra Arab maupun Persia, perpaduan yang erat antara syair-syair terkemuka seperti Burdah atau ghazal-ghazal karya Hafîz dengan pembacaannya secara musikal terlihat di hampir setiap masa dan kesempatan. Hal yang sama terjadi pula di Turki, Urdu, dan di berbagai negeri belahan dunia Islam lainnya. 24 B. Jenis-Jenis Musik Manusia dengan daya kreatifitasnya yang terus berkembang terus-menerus dapat menghasilkan sebuah karya yang berbeda-beda, manusia mampu memadukan antara satu suara dengan suara yang lainnya dalam susunan yang harmonis, yang akhirnya melahirkan musik yang dapat menyebabkan kegembiraan atau kesedihan pendengarnya. Untuk keperluan tersebut diciptakanlah alat musik. 23 Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam Bandung: Mizan, 1993, h. 165- 166. 24 Ibid., h. 167. Pada perkembangan selanjutnya, musik berkembang bersamaan dengan berkembangnya suatu bangsa. Karena itu, kualitas musik dapat dijadikan salah satu indikator bagi kualitas kebudayaan suatu bangsa. Ilmu yang mempelajari hal ini disebut ethnomusicology, suatu cabang ilmu yang berpangkal dari sebuah pemikiran bahwa musik adalah bagian dari tingkah laku manusia sehingga tidak dapat dilepaskan dari budaya tertentu. 25 Secara ontologis, musik merupakan perpaduan antara unsur material dengan immaterial. Ia tersusun dari elemen-elemen yang bersifat jasmaniah dan ruhaniah. Karena itu, musik memiliki kekuatan untuk menspiritualkan hal yang materi dan sebaliknya, mematerikan hal yang spiritual. Adapun esensi musik itu berupa substansi ruhaniah, yaitu jiwa pendengar. 26 Dalam sejarah musik, kita dapat mengenal adanya tiga jenis musik yang ada dalam dunia musik. Pertama, musik vokal yaitu melagukan sebuah syair yang hanya dinyanyikan dengan perantaraan oral suara saja tanpa iringan instrumen musik, 27 Seperti paduan suara, dan acapela. Kedua, musik instrumentalia yaitu musik yang dihasilkan oleh alat-alat musik itu sendiri sehingga terdengar harmonis dan teratur, seperti pertunjukan-pertunjukan musik orkestra, dan musik- musik klasik ciptaan Mozart, Beethoven, dan Sebastian Bach. Ketiga, musik campuran yang merupakan perpaduan antara musik vokal dan musik instrumentalia. Walaupun pengkategorian jenis musik seperti ini, terkadang merupakan hal yang subjektif, namun merupakan salah satu ilmu yang dipelajari dan ditetapkan oleh para ahli musik. 25 Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 27 26 Ibid., h. 30. 27 Al-Baghdadi, Seni dalam Pandangan Islam, h. 13. Biasanya, jenis musik pertama lebih tinggi nilainya daripada yang kedua dan ketiga. 28 Keutamaan musik vokal disebabkan oleh kemampuan kapasitasnya dalam berkomunikasi dengan makna pesan. Al-Farâbî mengatakan bahwa dilihat dari fungsinya, musik dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam: 1. Musik yang digunakan oleh pendengarnya sebagai alat untuk menghibur diri, ini adalah fenomena yang sering kita jumpai. 2. Musik yang bertujuan untuk terjadinya suatu aksi dan reaksi perbuatan tertentu. 3. Musik yang membangunkan membangkitkan imajinasi. Ketiga jenis musik itu terangkum dan termuat dalam suara manusia. Di samping alasan di atas, keutamaan musik vokal juga disebabkan sumber musik. Pendapat ini berkeyakinan musik vokal lebih mulia daripada musik instrumentalia karena keutamaan sumbernya. Musik vokal bersumber dari manusia, sedangkan musik instrumental berasal dari benda. Karena manusia lebih mulia daripada benda. Musik vokal diciptakan oleh Tuhan, sedangkan instrumen musik diciptakan oleh manusia. 29 Apresiasi terhadap musik vokal, secara historis sudah ada sejak masa pra- Islam, baik di kalangan bangsa Arab maupun bangsa-bangsa lain. Posisi tersebut tidak bergeser pada masa Islam. Hal itu dapat dilihat pada sikap Nabi Muhammad saw yang membiarkan kehadiran penyanyi di hadapan istrinya. 30 Nabi pun pernah 28 Nyanyian yang bersifat vokal suara manusia tanpa instrument musik tidak diperselisihkan oleh ulama fiqih. 29 Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 30-31. 30 Ibid., h. 31. meminta Ka‘ab ibn Mâlik untuk melantunkan sebuah syair, di kala beliau menaiki unta dalam perjalanannya untuk menyerang Taif setelah Perang Hûnain. 31 Ada juga bentuk musik yang lebih populer, yang sering disebut dengan musik rakyat. Keberadaannya merupakan bagian integral dari pola kehidupan berbagai kelompok, terutama pedalaman dan di antara suku pengembara di seluruh dunia Islam dan dinyanyikan atau dimainkan oleh orang-orang yang benar-benar berpegang teguh pada syariat. Terkadang, jenis musik ini, menjadi inspirasi bagi para tokoh sufi untuk kesempurnaan tujuan spiritual pada pertemua- pertemuan mereka. Bahkan Jalâl al-Dîn Rûmî sering mengambil nyanyian dari kedai-kedai minuman di Anatolia dan mengubahnya menjadi sarana untuk mengungkapkan kerinduan yang sangat mendalam kepada Tuhan. 32 Di samping jenis-jenis musik tersebut, harus disebutkan pula tradisi musik klasik yang menonjol dalam dunia Islam seperti musik klasik Persia, Andalusia Spanyol, Arab Timur Dekat, Turki, dan India Utara yang masih terus hidup sampai saat ini. Meskipun tradisi musik ini bersumber dari peradaban kuno, namun semua terpadu utuh dalam semesta Islami dan jantung seni Islam. 33 C. Pandangan para Ulama tentang Hukum Musik Seiring dengan berkembangnya musik, terlebih di dalam dunia Islam, mungkin timbul pertanyaan mengapa banyak orang, tidak hanya para orientalis tetapi juga beberapa cendikiawan muslim klasik maupun modern, menegaskan bahwa musik adalah dilarang atau haram. Apakah dasar hukum Islam yang dipakai, dan manakah bukti larangan atas musik seandainya memang ada larangan 31 Syekh Muhammad Hisyam Kabbani, Energi Zikir dan Shalawat Jakarta: Serambi, 2007, h. 82-83. 32 Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, h. 166. 33 Ibid., h. 166. seperti itu. Bagian musik yang mana dan jenis musik apa yang dilarang oleh ketentuan syariat? Tidak diragukan lagi bahwa masalah ini diperdebatkan oleh para ahli hukum dan teologi terkemuka termasuk para tokoh pemikir Islam yang terkenal seperti Ibn Hazm dan al-Ghazâlî. Persoalan tentang signifikansi serta legitimasi musik dalam keseluruhan struktur tradisi Islam, bagaimanapun juga, bukanlah bersifat yuridis fiqih dan teologi kalam semata. Hal itu mencakup seluruh aspek batin dan spiritual Islam, oleh karena itu apapun ambiguitas yang ada secara yuridis, jawaban akhirnya, terutama sejauh menyangkut hubungan musik dengan spiritualitas Islam, harus dicari dalam tasawuf. 34 Ironisnya, diskursus tentang kehalalan musik masih belum berakhir dan bahkan mungkin tidak akan berakhir manakala hal tersebut hanya didekati melalui pendekatan normatif. Baik yang menghalalkan maupun yang menolak mengharamkan musik sama-sama menggunakan dalil al-Qur’an dan hadits serta berbagai pendapat sahabat dan tabi‘in serta perkataan ulama. Meskipun demikian, persoalan tentang hukum musik al-sama’ merupakan hal yang belum terjawab secara memuaskan, bahkan mungkin persoalan tersebut tidak hanya akan berakhir kalau hanya menggunakan pendekatan normatif semata. Sebagian ulama mengategorikan sama’ sebagai perbuatan yang tidak bermanfaat lahw, dapat menumbuhkan kemunafikan, dan termasuk hal yang dilarang oleh agama. Pandangan ini didukung oleh keempat imam mazhab fiqh meskipun dalam catatan sejarah hidup imam Abû Hanîfah, imam Mâlik, dan imam Syâfi‘i diriwayatkan menghargai musik. 35 34 Ibid., h. 168. 35 Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 2-3. Ahli fiqh yang mengharamkan musik mempertimbangkan berbagai dampak negatif yang ditimbulkan oleh musik sebagai alasan keharamannya. Mereka memasukkan kebiasaan yang jelek yang sering diiringi dengan musik dan selanjutnya memutuskan bahwa musik itu jelek atau paling tidak dipandang sebagai sesuatu yang mendatangkan mudharat yang lebih banyak jika dibanding dengan manfaat yang diperoleh darinya. Oleh karena itu, musik harus disingkirkan dari kehidupan sosial. Sebelum kita membahas dan mendiskusikan pendapat para fuqaha, terlebih dahulu kami akan mengutip beberapa pendapat, baik dari golongan yang mengharamkan maupun yang membolehkan. Dalam hal ini, al-Baghdadi menulis di dalam bukunya bahwa Imam Syaukânî dalam kitabnya Nail al-Autâr menyatakan sebagai berikut: 36 1. Para ulama berselisih pendapat tentang hukum menyanyi dan alat musik. Menurut jumhur adalah haram, sedangkan mazhab Ahl al-Madînah, al- Zahîriyah, dan jama‘ah sufiyah memperbolehkannya. 2. Abû Mansûr al-Baghdâdi ulama mazhab Syafi‘î menyatakan: ‘Abd Allâh ibn Ja‘far berpendapat bahwa menyanyi dan musik itu tidak menjadi masalah. Dia sendiri pernah menciptakan lagu untuk dinyanyikan oleh para pelayan wanita dengan alat musik seperti rebab. Ini terjadi pada masa Imam ‘Alî ibn Abî Tâlib. 3. Imam al-Haramain didalam kitabnya al-Nihâyah mengatakan bahwa ‘Abd Allâh ibn Zubair memiliki beberapa jariyah budak wanita yang biasa memainkan alat gambus. Pada suatu hari ‘Abd Allâh ibn ‘Umar datang 36 Al-Baghdadi, Seni dalam Pandangan Islam, h. 21. kepadanya dan melihat gambus tersebut berada di sampingnya. Lalu Ibn ‘Umar bertanya, “Apa ini wahai sahabat Rasûlullâh?” setelah diamati sejenak, lalu ia berkata, “oh, barangkali timbangan buatan negeri Syam,” ejeknya. Mendengar itu Ibn Zubair berkata, “digunakan untuk menimbang akal manusia.” 4. al-Ruyâni meriwayatkan dari al-Qaffâl bahwa mazhab Mâliki membolehkan menyanyi dengan ma’azif alat musik yang berdawai. 5. Abû al-Fadl ibn Tâhir mengatakan: “Tidak ada perselisihan pendapat antara ahli Madinah tentang menggunakan alat gambus, mereka berpendapat boleh saja.” Ibn al-Nahwî didalam kitabnya al-Umdah mengatakan bahwa para sahabat Rasûlullâh saw yang membolehkan menyanyi dan mendengarkannya antara lain ‘Umar ibn al-Khattâb, ‘Utsmân ibn ‘Affân, ‘Abd al-Rahmân ibn ‘Auf, sa‘ad ibn Abî Waqâs, dan lain-lain. Sedangkan dari kalangan Tabi‘în antara lain Sa‘id al- Musayyâb, Salîm ibn ‘Umar, Ibn Hibbân, Khârijah ibn Zaid, dan lain-lain. 37 Ibn Hajar menukil pendapat Imam Nawâwî dan Imam Syâfi‘i yang mengatakan bahwa haramnya menyanyi dan main musik hendaklah dapat dimengerti karena hal demikian biasanya disertai dengan minum-minuman keras, bergaul dengan wanita, dan semua perkara lain yang membawa kepada maksiat. Adapun nyanyian pada saat bekerja, nyanyian ibu untuk mendiamkan bayinya, dan nyanyian perang, menurut Imam Auzâ‘î adalah sunnah. Begitu juga dengan nyanyian pada perayaan-perayaan seperti pesta nikah, khitanan, hari raya, dan 37 Ibid., h. 22. hari-hari lainnya dibolehkan. Para sufi berpendapat boleh bernyanyi dengan atau tanpa iringan alat-alat musik. 38 Al-‘Izz ibn ‘Abd al-Salâm berpendapat, tarian-tarian itu bid‘ah. Adapun nyanyian yang baik dan dapat mengingatkan orang kepada akhirat tidak mengapa bahkan sunnah dinyanyikan. Imam al-Mawardî berkata, “Kalau kami mengharamkan nyanyian dan bunyi-bunyian alat-alat permainan itu maka maksud kami adalah dosa kecil bukan dosa besar. 39 Ibn Qayyim al-Jauziyâh seorang ulama fikih mazhâb Hanbalî, yang merupakan murid Ibn Taimîyah mengaitkan bahaya musik dengan sifat buruk yang dimiiki oleh manusia, al-nafs al-ammârah nafsu yang mendorong seseorang untuk berbuat hal-hal yang jelek. Ia juga berpendapat bahwa mendengarkan musik itu menjadikan hati jauh dari pancaran Allâh cahaya Allâh dan RahmatNya. Musik dapat membuat manusia lupa akan kesederhanaan dan mengganggu pikiran. 40 ‘Abd al-Rahmân al-Jazîrî di dalam kitabnya al-Fiqh ‘alâ al-Mazâhîb al- Arba‘a mengatakan bahwa ulama Syâfi‘iyah dan Hanafiyah mengharamkan nyanyian yang bercampur dengan hal-hal yang dilarang oleh syara’, selain itu dibolehkan. Sedangkan ulama Malikiyah membolehkan musik itu untuk perayaan- perayaan khusus, dengan alat musik khusus seperti gendang, rebana yang tidak memakai genta, seruling dan terompet. Selanjutnya. Ulama Hanbaliyah mengatakan bahwa tidak boleh menggunakan alat-alat musik, seperti gambus, seruling, gendang, rebana, dan alat yang serupa dengannya. Adapun tentang nyanyian atau lagu, maka hukumnya boleh. Bahkan sunnah melagukannya ketika 38 Ibid., h. 23. 39 Ibid., h. 23-24. 40 Muhaya, Bersufi Melalui Musik, h. 4. membacakan ayat-ayat al-Qur’an asal tidak sampai mengubah aturan-aturan bacaannya. 41 Golongan yang kurang setuju tentang musik, hanya membolehkan nyanyian dalam pesta pernikahan dan hari-hari raya, juga untuk memenuhi nazar. Untuk menguatkan pendapatnya, mereka mengutip sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Bukhârî dari ‘ ۥisyah ra: 42 ÇóäøóåóÇ Òó ÞøóÊú ÇöãúÑóÇóÉð Çöáóì ÑóÌõáò ãöäó ÇúáÇó äúÕóÇÑöì ÝóÞóÇáó ÇáäøóöÈíøõ Õóáøó Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó : íÇó ÚóÇÆöÔóÉõ ãóÇ ßóÇäó ãóÚóßõãú ãöäú áóåúæò ÝóÅöäøó ÇúáÇó äúÕóÇÑó íõÚúÌöÈõåõãõ Çááøóåúæö “Bahwa ia pernah mengawinkan seorang wanita dengan seorang laki-laki dari kalangan Ansâr. Maka Nabi SAW bersabda: ″Hai ‘A’isyah, tidak adakah padamu hiburan nyanyian karena sesungguhnya orang- orang Ansâr senang dengan hiburan.” Dalam kisah lain diceritakan bahwa Rasûlullâh saw pergi menghadapi suatu peperangan. Setelah perang usai, seorang budak wanita jariyahkulit hitam menjumpai beliau dan mengutarakan nazarnya untuk menyanyi sambil menabuh rebana bila Rasûlullâh saw pulang dengan selamat dari medan perang. Dengan izin Rasûlullâh saw, jariyah itu bernyanyi dan memainkan rebana di hadapannya. Tak lama kemudian datang Abû Bakr, disusul ‘Utsmân serta ‘Alî turut menikmati nyanyiannya. Namun sewaktu yang datang adalah ‘Umar ibn al-Khattâb, si jariyah berhenti seketika dan cepat-cepat menyembunyikan rebananya. 43 41 Al-Baghdadi, h. 24-25. 42 Ibid., h. 16-17. 43 Fathi Utsman, Ijtihad Pakar Islam Masa Lalu, Solo: Pustaka Mantiq, 1994, h.72. Dalam hal ini, Ibn Hazm menyanggah pendapat mereka. Dia mengatakan bahwa tidak ada dalil yang menerangkan kekhususan itu. Masalah nazar tersebut tak bisa digolongkan dalam kekhususan karena tidak boleh bernazar dalam maksiat kepada Allâh swt. Izin yang diberikan Rasûlullâh saw terhadap jariah itu untuk menyanyi sambil memainkan rebana membuktikan bahwa perbuatan itu bukanlah maksiat kepada Allâh swt. 44 Abû Tâlib al-Makkî pengarang kitab Qut al-Qulûb meriwayatkan dari Syu’bah bahwa dia mendengar permainan genderang di rumah al-Minhâl ibn Amrû, seorang ahli hadits terkenal. Abû al-Fadl ibn Tâhir juga menulis dalam bukunya bahwa tak ada selisih pendapat di antara ulama Madinah tentang diperbolehkannya permainan gambus. Al-Mawardî jiga mengatakan bahwa sebagian golongan Syâfi‘iyah mengizinkan permainan gambus. Serta masih banyak lagi yang berpendapat sama, misalnya penulis buku al-Imtâ al-Idfawî dari Abû Bakr ibn al-‘Arabî. 45 Golongan yang membolehkan nyanyian dan permainan musik, berargumentasi bahwa kitabullah maupun sunnah Rasul tidak cukup menghasilkan qiyas dan istidlal yang mengharamkan mendengarkan suara-suara indah dan teratur dengan instrumen pengiringnya. Menurut Fathi ‘Utsmân, Golongan ini juga menolak hadis yang diriwayatkan oleh Abû Amir dan Abû Mâlik al-Asy‘arî yang dikutip al-Bukhârî: 46 áóíóßõæúäóäøó ãöäú Çõ ãøóÊöíú Þóæúãñ íóÓúÊóÍöáøõæúäó ÇáúÍöÑøó æóÇáúÍóÑöíúÑó æó ÇáúÎóãúÑó æóÇáúãóÚóÇÒöÝó. 44 Ibid., h. 72. 45 Ibid., h. 69. 46 Ibid., h. 70. “Sungguh akan terjadi pada suatu kaum dari umatku yang menghalalkan perzinaan, memakai kain sutera, arak, dan alat-alat musik.” Mereka menganggap sanad dan matan hadis tersebut lemah, ada perbedaan dalam menentukan aat-alat musik yang diperbolehkan, alat-alat musik yang dilarang tidak bisa disamakan hukumnya dengan arak yang memang sudah jelas- jelas haram, dan menghalalkan hal-hal tersebut pada waktu-waktu dan syarat- syarat tertentu. 47 Golongan yang membolehkan musik juga berargumentasi bahwa sekiranya musik dan lagu dihukumi haram karena merupakan lahw senda gurau, perkataan yang tak berguna, maka pada hakikatnya yang ada di dunia ini juga haram. Dasarnya adalah firman Allâh swt: “Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau.” Q.S: Muhammad: 36 Segala macam keramaian dan hiburan dalam pesta perkawinan merupakan sarana dan arena kegembiraan bagi bangsa Arab. Oleh karena itu, Rasûlullâh saw mewasiatkan agar hiburan tetap dipelihara dalam kehidupan bermasyarakat. 48 Ibn Hazm juga mengatakan bahwa pendapat yang mengharamkan nyanyian dan memainkan alat musik rebana, serta setiap alat musik termasuk seruling, tambur, tidak dapat dijadikan hujjah karena tidak ada hujjah dalam 47 Ibid., h. 70. 48 Ibid., h. 71. ucapan manusia manapun selain ucapan Rasûlullâh saw. Ibn Hazm membantah pendapat mereka dengan menggunakan dalil yang sama, yaitu surat Luqman ayat 6. 49 Dari uraian di atas kita dapat mengetahui, bahwa segala sesuatu tergantung dari niatnya, sesuai dengan hadits Rasûlullâh saw. Oleh karena itu siapa saja yang niatnya mendengar nyanyian untuk melakukan suatu kemaksiatan kepada Allâh swt, maka ia adalah seorang fasiq. Begitu pula halnya tiap sesuatu hiburan selain nyanyian. Para ulama memang telah berselisih pendapat terhadap masalah musik nyanyian. Sebagian dari mereka tidak menganggap hadis-hadis yang mengharamkan nyanyian adalah sahîh. Sedangkan yang lain telah menjadikan hadis-hadis tersebut sebagai hujjah atau bukti untuk mengharamkan musik. Masing-masing mengikuti apa yang mereka tentukan sebagai dasar pengambilan hukum sesuai dengan ijtihadnya. Oleh karena itu, siapa saja yang ijtihadnya telah menghasilkan suatu dugaan yang kuat bahwa bermusik dan mendengarkannya adalah haram, maka itulah hukum Allâh swt terhadapnya, juga terhadap setiap orang yang mengikutinya. Sedangkan bagi orang yang belum terbukti bagi kesahîhan hadis-hadis yang mengharamkan musik, disertai dengan dugaan yang kuat dan dengan ijtihad yang benar, maka itulah hukum Allâh swt terhadapnya, juga terhadap setiap orang yang mengikutinya sebab masalah ini adalah masalah khilafiyah yang tidak perlu dibesar-besarkan. Dan seyogyanya, setiap golongan saling menghargai pendapatnya masing-masing, tidak saling mengafirkan satu sama lain. 49 Al-Baghdadi, Seni dalam Pandangan Islam, h. 57.

BAB III RÛMÎ DAN TAREKAT MAWLAWIYAH