Mitos Pulung Gantung Berdasarkan Hasil Penelitian

sebelah tenggara kediaman Mbok Tumikem, Noto Triman didapati tewas gantung diri. Lalu pada hari Rabu Kliwon 9 Oktober 1991, Ngadimin alias Surip, warga Dusun Ngandong, Kecamatan Patuk di Kabupaten Gunung Kidul pula, mengakhiri hidupnya dengan menggantung diri. Dengan tewasnya Surip, berarti di Kabupaten Gunung Kidul, selama kurun waktu 10 tahun terjadi 17 kasus bunuh diri. Walaupun penduduk menuding pulung gantung, sesepuh Desa Siraman, Hadi Sumarto yang tahun 1991 itu berumur 74 tahun berpendapat, pulung bukanlah pendorong seseorang untuk bunuh diri, melainkan sekadar sasmita gaib atau petanda sesuatu akan terjadi.

2.2 Mitos Pulung Gantung Berdasarkan Hasil Penelitian

Beberapa peneliti sudah mencoba mencari fenomena pulung gantung ini. Beberapa di antaranya yang pernah penulis baca adalah penelitian Noor Sulistyo Budi di desa Pacarejo Jurnal Patra Widya No.32004, buku Talipati karya Iman Budhi Santoso yang diterbitkan Jalasutra dan buku Pulung Gantung: Menyingkap Tragedi Bunuh Diri di Gunung Kidul karya Darmaningtyas yang diterbitkan oleh penerbit Salwa. Darmaningtyas dan Noor Sulistyo Budi tidak cukup memuaskan dalam memberi penjelasan bagaimana jatuhnya pulung gantung itu membentuk alam kesadaran atau bawah sadar seseorang sehingga ia yakin bahwa dirinya memang dipilih oleh pulung gantung untuk melakukan bunuh diri. Darmaningtyas dan Noor Sulistyo Budi menawarkan jalan untuk memahami tingginya angka gantung diri di Gunung Kidul melalui pendekatan sosiologis, seperti tekanan ekonomi, kemiskinan, jeratan hutang atau penyakit menahun yang tidak kunjung sembuh. Sudah bisa ditebak, penjelasan macam ini memang berbau Durkheimian. Universitas Sumatera Utara Durkheim pernah menulis buku berjudul Suicide yang mencoba memberi perspektif sosiologis untuk memahami fenomena bunuh diri di kalangan Katolik dan Protestan. Buku Suicide ditulis Durkheim setelah ia begitu terpukul oleh bunuh diri yang dilakukan karibnya bernama Victor Hommay. Survey yang mendalam mengenai pelaku gantung diri yang berhasil diselamatkan mungkin bisa mengisi kekosongan ini. Wawancara yang intensif dengan pelaku gantung diri di pelosok Gunung Kidul yang berhasil diselamatkan mungkin bisa menguraikan bagaimana terbentuknya keyakinan orang tersebut untuk melakukan bunuh diri dalam kaitannya dengan pulung gantung. Masalahnya, amat jarang ada pelaku gantung diri di Gunung Kidul yang berhasil diselamatkan nyawanya. Noor Sulistyo Budi yang melakukan penelitian mengenai pulung gantung di wilayah kecamatan Semanu mencatat bahwa dari sekian banyak narasumber yang ia temui hanya ada seorang narasumber yang pernah mendengar ada pelaku gantung diri yang bisa diselamatkan, itu pun ia hanya mendengar dua kali selama hidupnya. Hingga hari ini, kepercayaan terhadap pulung gantung masih bertahan dengan kuat di Gunung Kidul, terutama di pelosok-pelosok desa yang terpencil. Di tempat-tempat itu, orang-orang masih cemas sewaktu malam-malam mengangkat kepala untuk melihat ke langit dan berharap tidak ada benda bersinar merah kebiru-biruan yang melesat cepat menuju pekarangan rumahnya. Jika ternyata pulung gantung benar-benar muncul, tak lama lagi seisi kampung akan merasa dibayang-bayangi kematian sepanjang waktu, inilah titik mangsa di mana kematian rasanya begitu akrab dan dekat, mungkin seperti bunyi Universitas Sumatera Utara kelepak kelelawar yang terbang hilir mudik di atas genting sewaktu malam sudah benar-benar larut. Sementara buku Talipati yang ditulis oleh Iman Budhi Santoso, merupakan sebuah buku yang menceritakan tentang kemisteriusan fenomena bunuh diri di kalangan masyarakat Gunung Kidul. Talipati sendiri diartikan sebagai kematian. Kondisi masyarakat Gunung Kidul yang masih sangat kental menjadi latar belakang pembahasan kasus-kasus bunuh diri di sana. Cerita di dalam buku ini dibagi menjadi beberapa bagian, kasus demi kasus yang intinya sama, yaitu bunuh diri. Bunuh diri yang diyakini masyarakat Gunung Kidul sebagai akibat mistik pulung gantung atau roh halus merupakan sebuah aib. Korban bunuh diri biasanya tidak diselesaikan secara wajar. Hanya dikafani, lalu dikuburkan. Bekas tempat bunuh dirinya dibakar walau di bagian rumah sekalipun untuk mengusir pulung gantung agar cepat pergi. Membaca buku ini, pembaca seakan-akan dibawa ke dalam suasana mistis Gunung Kidul. Merasakan bagaimana sulitnya hidup di daerah Gunung Kidul yang tandus, cukup menyeramkan juga. Penyebab bunuh dirinya serba tidak jelas. Setiap kasus bunuh diri, korban tidak pernah meninggalkan pesan. Jadi, tidak pernah ada yang diketahui secara pasti penyebabnya. Kasus yang ada di buku ini diambil sekitar bulan September tahun 1999-2000. Lain halnya dengan Darmaningtyas yang menulis buku tentang penelitiannya terhadap pulung gantung, judul bukunya Pulung Gantung, Menyingkap Tragedi Bunuh Diri di Gunung Kidul. Di sinilah Darmaningtyas Universitas Sumatera Utara membuka kedok mitos, di bawah ini dapat kita lihat sedikit tulisan mengenai penelitiannya tersebut. Di Gunung Kidul, salah satu kabupaten di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, ada keyakinan bahwa bunuh diri terjadi disebabkan oleh adanya pulung gantung. Menurut penduduk setempat, pulung gantung merupakan isyarat langit tentang akan terjadinya bunuh diri dengan cara menggantungkan diri. Mereka menggambarkan pulung gantung itu sebagai sinar merah kebiru-biruan di waktu malam yang melintas di langit dengan cepat. Bila suatu saat benda itu muncul dan jatuh di suatu tempat, tak lama di tempat itu akan terjadi peristiwa bunuh diri. Mitos semacam itu hingga kini masih diyakini oleh sebagian masyarakat Gunung Kidul. Buku Pulung Gantung, Menyingkap Tragedi Bunuh Diri di Gunung Kidul yang ditulis oleh Darmaningtyas ini menelusuri secara antropologis terhadap fenomena bunuh diri yang selama ini terjadi di Gunung Kidul yang unik itu. Penulis ingin membuktikan, apakah benar tindakan bunuh diri yang terjadi di sana disebabkan oleh mitos pulung gantung? Pulung, yang dalam tradisi Jawa sebagai simbol keberuntungan, mengapa justru dimaknai dalam konteks yang sebaliknya? Tidak adakah faktor lain yang lebih signifikan dan rasional yang menjadi penyebab bunuh diri itu? Dari keragaman bentuk dan tujuan bunuh diri yang terjadi di masyarakat dunia itu, apa yang terjadi di Gunung Kidul merupakan fenomena yang unik. Sebab, bunuh diri di Gunung Kidul diyakini oleh masyarakat setempat, ada kaitan dengan mitos pulung gantung dan dilakukan dengan cara menggantung diri. Tapi, seperti telah disebutkan di atas, benarkah itu? Universitas Sumatera Utara Darmaningtyas menunjukkan dengan data-data dari lapangan bahwa bunuh diri di Gunung Kidul justru lebih terkait dengan kondisi daerahnya yang gersang, tandus, serta kemiskinan yang diderita oleh masyarakatnya. Dari data yang dipaparkan Darmaningtyas, kita bisa melihat bahwa hingga akhir decade 1960-an masyarakat Gunung Kidul masih banyak yang mengalami kekurangan makan. Bahkan, pada tahun 1963-1964 pernah terjadi kelaparan massal dan wabah penyakit kekurangan gizi yang mematikan. Masyarakat Gunung Kidul mulai mengalami masa perbaikan ekonomi terutama menyangkut kecukupan kebutuhan bahan makan, sekitar tahun 1978, bersamaan dengan mulai berhasilnya program penghijauan yang digalakkan oleh Bupati Gunung Kidul Ir Dharmakum Darmokusumo. Meski telah mengalami perbaikan ekonomi, kemiskinan tetap saja banyak ditemukan di sana. Di daerah yang gersang dan miskin itu, sejak dekade 1980-an banyak masyarakatnya yang melakukan bunuh diri dengan cara gantung diri. Darmaningtyas menunjukkan bahwa secara komulatif, jumlah bunuh diri di Gunung Kidul dalam dua tahun terakhir 1999-2000 mencapai 64 kasus. Angka bunuh diri pada tahun 1999 mencapai 38 orang, dibandingkan tahun 2000 yang hanya 26 orang. Umumnya 34 kasus bunuh diri di Gunung Kidul ini dilakukan oleh orang yang berusia 51- 90 tahun, kemudian disusul oleh usia 31-50 tahun 22 kasus, dan hanya delapan kasus pelaku bunuh diri yang berusia di bawah usia 30 tahun. Sedangkan dari jenis kelamin, mayoritas 50 kasus laki-laki dan hanya 14 kasus yang dilakukan oleh perempuan. Berdasarkan tempat melakukan tindakan bunuh diri itu dilakukan, temuan Darmaningtyas menunjukkan adanya korelasi positif antara kekeringan dan Universitas Sumatera Utara ketandusan wilayah dengan tingginya angka bunuh diri. Selama dua tahun terakhir, di Kecamatan Tepus terjadi 11 kasus, Paliyan 10 kasus, Playen sembilan kasus orang bunuh diri. Dari data di atas, Darmaningtyas menyimpulkan bahwa fenomena bunuh diri di Gunung Kidul, ternyata bukanlah disebabkan oleh mitos pulung gantung, seperti yang selama ini diyakini oleh sebagian masyarakat Gunung Kidul, tetapi lebih karena adanya tekanan sosial ekonomi. Berbeda dengan bunuh diri yang terjadi di berbagai Negara, seperti di Amerika, Cina, dan Jepang, di mana penyebabnya lebih pada persoalan ideologi, keyakinan, atau sebagai bentuk aksi protes terhadap suatu rezim yang menindas. Bunuh diri di masyarakat Gunung Kidul disebabkan oleh keputusasaan yang mendalam dan takut dalam menghadapi sulitnya hidup. Sampel dari lapangan yang terpapar pada bab tiga di buku ini memperlihatkan bahwa bunuh diri di Gunung Kidul pada umumnya lebih disebabkan oleh persoalan-persoalan yang bersifat individual, seperti problem ekonomi, sakit tidak kunjung sembuh dan tak mampu mengobati, hidup sebatang kara, terlilit hutang, dan sejenisnya. Dari sampel itu tidak ditemukan satu kasus pun, misalnya seseorang mati bunuh diri karena memperjuangkan hak-hak sipil dan politik yang telah dirampas oleh suatu resim yang berkuasa. Dari sinilah Darmaningtyas lalu menegaskan bahwa tindakan bunuh diri yang terjadi di Gunung Kidul, sebetulnya merupakan representasi problem masyarakatnya sebagai masyarakat miskin, terbelakang, bodoh, dan tidak kritis. Cara-cara yang dipakai untuk melakukan bunuh diri pun, sifatnya masih tetap konvensional, yaitu dengan memanfaatkan benda-benda yang ada di sekitar mereka. Kebanyakan gantung diri dengan tali atau stagen sejenis kain ramping yang panjang untuk Universitas Sumatera Utara sabuk wanita. Banyaknya kaum laki-laki berumur di atas 40 tahun yang bunuh diri ini, jelas berkorelasi dengan masyarakat patriarkal, di mana kaum laki-laki berperan penting dan punya tanggung jawab besar dalam keluarga dan masyarakat. Buku ini berasal dari skripsi penulisnya di Fakultas Filsafat UGM yang kemudian data-datanya diperbarui dengan penelitian lapangan. Pada mulanya perspektif yang dipakai adalah filsafat, lalu dalam rangka kepentingan penulisan kembali dalam format buku, digeser menjadi penelitian empiris. Itulah sebabnya, bila di bab tiga dan empat penulis melakukan analisis antropologis, nuansa filsafat masih dapat kita temukan dalam bab pertama di buku ini. Satu hal mendasar yang perlu digarisbawahi dari buku ini adalah bahwa tindakan bunuh diri di Gunung Kidul sama sekali tidak ada kaitannya dengan mitos pulung gantung. Bagi Darmaningtyas, pulung gantung hanyalah gejala alami biasa yang memiliki makna setelah terjadinya peristiwa post factum. Bunuh diri yang selama ini terjadi di wilayah yang tandus itu lebih disebabkan oleh adanya tekanan sosial ekonomi. Masalah ini bagi Darmaningtyas perlu ditegaskan agar pihak-pihak yang terkait mampu merumuskan tindakan yang tepat dalam menanggulangi tindakan bunuh diri itu. Tentu saja dalam skala besar di kabupaten itu, penanggulangannya adalah dengan meningkatkan pendapatan rakyat secara merata. Darmaningtyas juga dengan sangat tegas membalik asumsi umum yang selama ini telah terbentuk di masyarakat tentang penyebab bunuh diri di Gunung Kidul, dia dengan sangat mendalam menunjukkan berbagai temuan dan pengalamannya. Buku ini ditulisnya bukan hanya untuk kepentingan akademis, tetapi juga demi membuka tabir kehidupan di daerah Universitas Sumatera Utara kelahirannya. Lebih dari itu, lewat bagian saran yang dia tulis di akhir buku ini, dia ingin menggugah kesadaran semua pihak untuk mengatasi persoalan yang sesungguhnya terjadi di Gunung Kidul, dan jangan sampai justru mempolitisasikannya dengan mitos yang tak jelas dan tak menyelesaikan masalah itu. Berdasarkan pandangan masyarakat Gunung Kidul mengenai mitos pulung gantung, seakan-akan bunuh diri itu nasib, dan tidak ada kaitan dengan kinerja pemerintah daerah khususnya dari Pemerintah Indonesia pada umumnya. Darmaningtyas dengan penelitian yang dituangkan dalam buku itu membukakan mata semua pihak bahwa mitos hanya meninbobokkan rakyat agar tidak menuding dan menuntut kepada pemerintah. Dari berbagai kisah mengenai mitos pulung gantung di atas, sudah jelas bahwa pulung gantung keberadaannya dapat dipastikan ada dan nyata. Berbagai kasus bunuh diri terjadi di daerah Gunung Kidul. Meskipun penelitian Darmaningtyas membuktikan fakta-fakta terhadap kasus bunuh diri yang disebabkan oleh faktor kesulitan ekonomi, namun oleh masyarakat setempat tetap saja bahwa bunuh diri yang terjadi alasan utamanya disebabkan pulung gantung. Karena setiap ada korban bunuh diri pasti ada pulung gantung yang jatuh di atap rumah korban. Jadi, kepercayaan masyarakat Gunung Kidul terhadap mitos pulung gantung tidak dapat dihilangkan begitu saja karena sudah mentradisi.

2.3 Deskripsi Mitos Pulung Gantung dalam Novel Jejak Gelisah