Mitos Pulung Gantung di Gunung Kidul

BAB II DESKRIPSI MITOS PULUNG GANTUNG DALAM NOVEL

JEJAK GELISAH

2.1 Mitos Pulung Gantung di Gunung Kidul

Pakar ilmiah menyimpulkan bahwa gantung diri itu karena faktor kesulitan ekonomi. Akan tetapi bagi warga Gunung Kidul, gantung diri itu seolah-olah kodrat, nasib, ataupun suratan takdir yang tidak dapat dielakkan. Di sana ada istilah “pulung gantung”. Pulung itu sendiri bisa diartikan sebagai wahyu. Seperti pada pemilihan lurah, di sana ada istilah pulung juga. Bedanya, pulung untuk calon lurah terpilih itu berupa cahaya biru dari langit yang jatuh ke tempat calon lurah dan kemudian memang akhirnya memenangkan pemilihan lurah. Sementara, pulung gantung berupa cahaya bola api berwarna merah api- lebih kecil daripada bola voli yang jatuh ke rumah calon korban. http:www.betaufo.orangotherpulung.html Orang Gunung Kidul percaya penghuni rumah yang didatangi pulung gantung itu akan melakukan bunuh diri dengan cara gantung diri. Adapun salah satu kisah nyata seseorang terhadap mitos pulung gantung. Ia adalah Amiruddin, warga Dusun Jlantir, Gedangrejo, Kecamatan Karangmojo, Gunung Kidul, Kamis 213. Ia berkisah, sewaktu ia kecil kepercayaan terhadap pulung gantung itu hidup di tengah masyarakat. Ia sendiri pernah menyaksikan adanya cahaya merah dari langit dan terbang sekitar 50 meter dari atas tanah menuju salah satu rumah di kampungnya. Dan warga sekitar percaya bahwa itulah pulung gantung. Amiruddin juga berkisah bahwa, ada saudara jauhnya yang berkali-kali mencoba bunuh diri dengan berbagai macam cara. Pernah ia sengaja memakan buah Universitas Sumatera Utara benguk, buah yang beracun yang bisa dijadikan tempe, namun gagal karena ketahuan saudara-saudaranya. Akhirnya ia meninggal dengan gantung diri. Akan tetapi, Amirudin ternyata tidak begitu percaya kepada pulung gantung meskipun kepercayaan itu masih banyak melekat di kalangan orang-orang sedesanya. Ia tetap melihat bahwa bunuh diri itu merupakan akibat kesulitan ekonomi. Amiruddin bertutur, “jika kemudian ada yang percaya pulung gantung itu memang benar-benar ada tuahnya, itu biasanya menghinggapi orang yang sedang kosong. Yang imannya tidak kuat. Orang yang sedang kosong itu memang bermacam-macam penyebabnya. Mulai dari kesulitan ekonomi sehingga menjadi bingung tidak tahu mencari jalan keluarnya, sampai dengan sakit yang tidak sembuh sehingga bingung mengobatinya. Pulung gantung itu tidak akan memakan korban bagi orang yang sehat dan beriman kuat”. Mitos pulung gantung di Gunung Kidul, Yogyakarta sampai sekarang tetap ada. Pulung gantung dipercaya berbentuk seperti cahaya yang menakutkan dan selalu memakan korban manusia dan hewan piaraan warga di sekitar kaki Gunung Kidul. Tabloid Posmo pernah mengulas mengenai hal ini dari sudut pandang paranormal. Memang ada pro dan kontra tentang keberadaan pulung kematian ini. Sebagian kaum muda dan modernis menolaknya. Selebihnya, terutama golongan sepuh, spiritualis, dan pengikut ajaran banyak yang mempercayai sebagai keadaan yang buruk. Dipercaya bahwa cahaya pulung yang muncul akan diikuti dengan peristiwa yang menyedihkan. Tak banyak tokoh spiritual, budaya, apalagi masyarakat awam yang bisa menggambarkan dengan jelas wujud pulung itu. Hanya tradisi lisan yang turun- temurunlah yang menyebut, ia berupa cahaya. Seperti meteor yang jatuh ke bumi, Universitas Sumatera Utara berwarna merah menyala, terang menyilaukan. Saat cahaya itu muncul dan tiba di sebuah tempat atau desa, maka cahaya itu semakin membesar dan jatuh menghilang. Cahaya pulung ini akan bisa dilihat dengan mata telanjang dari kejauhan. Karena gampang dilihat inilah masyarakat sudah bisa menebak, di mana cahaya maut itu menghilang. Maka, keesokan harinya menyebar kabar buruk. Dilihat dari cara bunuh diri yang dipilih adalah gantung diri, setidaknya alasan ekonomi jauh lebih masuk akal dibandingkan dengan alasan lainnya. Gantung diri tidak membutuhkan biaya banyak, misalnya dibandingkan dengan minum cairan pembunuh hama. Gantung diri hanya menggunakan tali sembarang tali asalkan kuat, bisa pula dengan setagen sabuk panjang dari kain yang biasa dikenakan perempuan berkain panjang, ataupun sarung. Gantung diri juga lebih pasti membebaskan diri dari segala masalah di dunia karena cara ini jarang ada yang mengetahuinya. Cara mati gantung diri tidak lebih dari lima menit. Itu berbeda dengan meneguk racun serangga ataupun semacam hara-kiri kebiasaan orang Jepang. Gantung diri karena kesulitan ekonomi bisa juga ada benarnya. Dengan usia harapan hidup di Gunung Kidul yang demikian tinggi, maka beban ekonomi juga makin berat di dalam keluarga. Ketika di usia lanjut seseorang digerogoti penyakit, sementara untuk membeli obat jelas membutuhkan biaya mahal, di samping itu masih ditambah dengan kendala medan yang berat karena di pedesaan bergunung-gunung, maka jalan pintas gantung diri merupakan pilihan terdekat yang praktis. Jika kemudian ada kepercayaan soal pulung gantung, maka setiap peneliti pun bisa menyikapi dengan berbagai sudut pandang. Bahkan peneliti bisa juga terbengong-bengong jika selalu mendudukkan masalah pada segi ilmiah saja. Kaum urban sadar bahwa daerah Gunung Kidul tandus, tidak Universitas Sumatera Utara semua penduduknya bertahan hidup di sana untuk meningkatkan taraf hidupnya. Dari 752.000 penduduknya, sekitar 100.000 lebih memilih hidup sebagai kaum urban. Mereka menjadi buruh pembangunan di Yogya, Solo dan sekitarnya. Mereka juga banyak yang berprofesi sebagai penjual bakmi dorong, tukang becak hingga penjual dawet di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Kaum urban ini jelas meningkatkan pendapatan keluarga. Di bawah ini terdapat juga kisah mengenai isyarat kematian di langit Gunung Kidul. Isyarat kematian itu selalu datang tanpa permisi, tiba-tiba dan tak berbelas kasih. Ia selalu datang di sekitar atau menjelang tengah malam. Biasanya, kedatangannya didahului oleh hembusan angin sepoi-sepoi yang menegakkan bulu kuduk. Jika sudah demikian, bersiaplah mengangkat kepala, picingkan mata setajam-tajamnya, perhatikan pucuk-pucuk pohonan di sekeliling dan pastikan apakah Anda melihat pijar bola api berwarna merah semu kuning yang mengeluarkan sinar bercorak kebiruan dengan ekor sinar yang bisa mencapai panjang dua meter. Jika sepasang mata Anda benar-benar melihatnya, silahkan berdoa agar pijar bola api itu tidak melesat cepat ke arah Anda atau ke tempat di mana Anda sedang bermukim. Sebab jika benar, bersiaplah untuk menikmati hari- hari terakhir Anda menghirup kehidupan. Orang-orang di Gunung Kidul menyebutnya sebagai “pulung gantung”. Pijar bola api yang gentayangan di tengah malam itu dipercaya sebagai isyarat kematian yang hampir mendekati kepastian. Semacam pertanda sasmita yang nyaris menjadi kepastian pepasten, dalam istilah orang Jawa. Bagi orang yang sering membaca literature tentang kebudayaan Jawa, istilah “pulung gantung” yang menyebarkan aroma horor kematian yang Universitas Sumatera Utara menegakkan bulu kuduk sepintas terdengar ganjil. Dalam kosa kata kebudayaan Jawa, istilah “pulung” sering disepadankan dengan “wahyu”. Definisi “pulung” atau “wahyu” di situ berarti “isyarat bahwa Tuhan atau leluhur memberikan restu pada orang tersebut untuk menjadi pemimpin atau penguasa”. Orang Jawa mengenalnya sebagai “wahyu keprabon”. Biografi para penguasa tanah Jawa yang ditulis dalam banyak babad, syair atau legenda selalu diselipkan cerita mengenai “wahyupulung keprabon” ini. Dalam pemahaman umum orang Jawa, “pulung” juga dianggap sinonim dengan segala hal yang berbau kemuliaan, kebahagiaan, berkah, anugerah, kabegjan. Jika seseorang dengan cara yang mudah tiba-tiba mendapatkan sesuatu yang baik dan membahagiakan, orang Jawa biasa berujar “ketiban pulung” kejatuhan berkah. Tapi lain cerita jika di belakang kata “pulung” itu disematkan kata “gantung” alias “pulung gantung”. Tidak ada satu pun orang di Gunung Kidul yang akan bersyukur jika rumahnya “ketiban pulung gantung”. Sebabnya sederhana tapi berefek amat serius, “pulung gantung” dianggap sebagai isyarat kematian, persisnya kematian dengan cara gantung diri. Kepercayaan macam ini masih bertahan dengan kuat di wilayah Gunung Kidul, terutama di pelosok-pelosok desa yang terpencil. Mereka percaya bahwa salah seorang warga yang rumahnya berada di sekitar lokasi jatuhnya pulung gantung akan melakukan bunuh diri dengan teknik gantung diri beberapa kasus kadang dengan menceburkan diri ke sumur, tapi angkanya relatif kecil. Mereka percaya ini tak bisa dicegah. Orang yang rumahnya berada di sekitar lokasi jatuhnya pulung gantung biasanya akan berusaha menghindari maut dengan cara menggelar selamatan atau pengajian sembari berjaga siang dan malam. Akan tetapi pulung gantung tetap akan memakan korban. Jika tidak orang yang rumahnya kejatuhan Universitas Sumatera Utara pulung gantung, maka korban akan muncul dari kerabat pemilik rumah atau jika tidak dari tetangga yang berdekatan dengan lokasi jatuhnya pulung gantung. Ketika akhirnya muncul korban gantung diri, horor kematian tak berhenti sampai di situ. Orang-orang percaya bahwa, isyarat kematian ditandai juga dengan posisi badan pelaku gantung diri yang menghadap ke salah satu arah mata angin dan dipercaya bahwa pulung gantung kelak akan turun ke arah tersebut. Misalnya, jika seorang korban gantung diri ditemukan dalam keadaan menghadap ke arah utara, maka pada arah itu pulalah pulung gantung dipercaya akan jatuh kelak di kemudian hari. Ini menjadi horor dan teror karena tidak cukup jelas, arah utara yang merupakan pertanda akan turun pulung gantung di situ tidak jelas apa yang dituju. Bisa jadi itu menuju rumah yang berada di sebelah utara rumah si korban. Masalahnya, rumah di sebelah utara itu banyak jumlahnya. Kadang, arah itu merujuk kampung atau pedukuhan yang berada di sebelah utara rumah si korban. Ini memungkinkan aroma kematian itu menyebar dan menyelimuti banyak orang di banyak kampung atau pedukuhan. Mereka berharap-harap cemas, mungkinkah rumah atau pedukuhan saya yang akan kejatuhan pulung gantung berikutnya? Di beberapa tempat, kepercayaan terhadap benda langit yang bersinar malam hari sebagai isyarat sesuatu yang buruk memang bukannya tidak ada. Tetapi tidak ada yang sespesifik di Gunung Kidul. Adapun cerita lain mengenai hal yang mirip dengan kisah pulung gantung, yaitu banaspati. Di perbatasan Cirebon-Kuningan, Ciremai terlihat cukup jelas, cerita tentang “banaspati” yang pengertiannya kurang lebih hampir mirip seperti pulung gantung. Dikabarkan bahwa banaspati ini mencari korban. Jika banaspati ini sudah memilih korban, korban yang dipilih tidak akan pernah bisa Universitas Sumatera Utara bersembunyi. Belakangan, terdengar kabar bahwa kepercayaan ihwal banaspati ini ternyata banyak juga berkembang di wilayah-wilayah lain di tanah Jawa. Di Barat juga ada kepercayaan mengenai benda langit seperti lentera yang berkelip-kelip memancarkan cahaya berwarna biru. Benda itu biasa disebut “jack o’lantern” atau “will o’the wisp”. Benda langit ini dipercaya sebagai hantu gentayangan yang membawa api neraka yang akan menyesatkan siapa saja yang mengikutinya sehingga ia akan tersesat tanpa bisa kembali atau bahkan terperosok ke dalam rawa-rawa penuh buaya atau paya-paya yang digenangi lumpur hidup yang bisa menyedot siapa saja yang terjebak di dalamnya. Mitos “jack o’lantern” atau “will o’the wisp” itu perlahan lenyap seiring kemunculan teknologi listrik yang membuat malam-malam di Eropa menjadi terang-benderang. Belum ada riset yang bisa menjelaskan hubungan antara masih bertahannya mitos pulung gantung ini dengan peta penyebaran listrik di Gunung Kidul. Di pelosok desa-desa Gunung Kidul memang masih belum ada aliran listrik. Jika pun sudah, kondisi geografis yang berbukit-bukit dan masih dipenuhi ladang dan alang-alang seringkali membuat desa-desa tersebut relatif gelap pada malam hari. Kendati sama-sama menyebarkan aroma maut yang menegakkan bulu kuduk, kepercayaan mengenai Mitos “jack o’lantern” atau “will o’the wisp” atau banaspati di wilayah lain, tidak pernah menggerakkan seseorang untuk melalukan bunuh diri, apalagi dengan cara gantung diri. Hanya di Gunung Kidul sajalah kepercayaan tentang pijar bola api di malam hari dipercaya akan berakhir dengan tragedi gantung diri. Fenomena mengenai pulung gantung yang bersumber dari intisari menceritakan mengenai fakta orang mati gantung diri dikarenakan pulung gantung Universitas Sumatera Utara sebagai berikut. Mata kita melihatnya sebagai bola api, sementara orang di Gunung Kidul sana menyebutnya pulung. Kehadirannya selalu mengundang rasa ngeri. Pasalnya, ia dipercaya sebagai pembawa sasmita gaib. Ada saja musibah yang terjadi jika ia muncul. Tetapi, kengerian dan tanda Tanya juga melanda negara maju seperti Amerika dan Eropa, meskipun keberadaannya tetap mengundang kontroversi. Tukirah yang tidak kunjung sembuh dari sakitnya, meminta ibunya membelikan sawo. Jadi, Mbok Tumikem, janda berumur 60 tahun itu pun pergilah ke pasar. Ketika ia kembali, Tukirah sudah tewas tergantung di kayu langit-langit ruang tamu rumah mereka. Wanita itu menjerat lehernya sendiri dengan kain. Peristiwa itu terjadi 9 September 1989 di Dusun Siraman II, kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul, Jawa Tengah. Menurut para tetangga, rumah Mbok Tumikem ketiban kejatuhan pulung gantung, yaitu roh jahat yang berwujud bola cahaya sebesar kepalan, berekor dan berwarna hijau kemerahan. Kata mereka, pulung gantung inilah yang mendorong Tukirah yang sedang menderita itu bunuh diri. Tukirah tewas menghadap ke utara. Beberapa bulan kemudian, di rumah tempat Tukirah menggantung diri, tetapi lebih ke utara, Solinah ditemukan tewas gantung diri dengan setagen. Solinah ini anak Mbok Tumikem juga. Kata orang, gara-gara pulung gantung datang untuk kedua kalinya ke rumah janda malang itu, Mbok Tumikem disarankan membongkar rumahnya. Tapi kalau dibongkar, ke mana ia dan sisa keluarganya mesti tinggal? Mau dijual, siapa yang mau membeli rumah tempat dua orang pernah gantung diri? Untuk mencegah pulung gantung menyatroni lagi rumahnya, setiap malam Mbok Tumikem tidur di depan pintu rumahnya. Ternyata, pulung gantung lantas memilih korban lain. Empat bulan kemudian, di sebuah dusun Universitas Sumatera Utara sebelah tenggara kediaman Mbok Tumikem, Noto Triman didapati tewas gantung diri. Lalu pada hari Rabu Kliwon 9 Oktober 1991, Ngadimin alias Surip, warga Dusun Ngandong, Kecamatan Patuk di Kabupaten Gunung Kidul pula, mengakhiri hidupnya dengan menggantung diri. Dengan tewasnya Surip, berarti di Kabupaten Gunung Kidul, selama kurun waktu 10 tahun terjadi 17 kasus bunuh diri. Walaupun penduduk menuding pulung gantung, sesepuh Desa Siraman, Hadi Sumarto yang tahun 1991 itu berumur 74 tahun berpendapat, pulung bukanlah pendorong seseorang untuk bunuh diri, melainkan sekadar sasmita gaib atau petanda sesuatu akan terjadi.

2.2 Mitos Pulung Gantung Berdasarkan Hasil Penelitian