Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara. Kalimat ini tercantum dalam Undang-undang Dasar UUD Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 34 ayat 1. Artinya pemerintah mempunyai tanggung jawab terhadap pemeliharaan dan pembinaan anak-anak terlantar, termasuk anak jalanan. Hak-hak asasi anak terlantar dan anak jalanan, pada hakekatnya sama dengan hak-hak asasi manusia pada umumnya, seperti halnya tercantum dalam Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 36 Tahun 1990 tentang, pengesahan konvensi tentang hak-hak anak. Mereka perlu mendapatkan hak-haknya secara normal sebagaimana layaknya anak, yaitu hak sipil dan kemerdekaan, lingkungan keluarga dan pilihan pemeliharaan, kesehatan dasar dan kesejahteraan, pendidikan, rekreasi dan budaya, dan perlindungan khusus. Anak jalanan adalah anak-anak yang berusia 6-21 tahun yang menghabiskan sebagian besar waktu mereka untuk bekerja di jalanan, baik sebagai pedagang, pengemis dan pengamen. Mereka adalah korban kemiskinan dan eksploitasi orangtuanya. Untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarga, anak-anak itu terpaksa berkeliaran di perempatan jalan, lampu merah, pusat perbelanjaan, stasiun kereta, terminal, jembatan penyeberangan orang JPO, dan sebagainya untuk mencari rezeki. Dinas Sosial DKI Jakarta mencatat sedikitnya ada 4.023 anak jalanan yang berkeliaran di beberapa titik jalan. Dari hasil penelusuran, diketahui ribuan anak jalanan itu tersebar di 52 wilayah di Jakarta. Kawasan tersebut adalah Taman Mini Indonesia Indah TMII, Cilandak, Tomang dan Perempatan Coca Cola, Jakarta Pusat. Kebanyakan anak jalanan ini berasal dari daerah dan sulit terkontrol. Selain itu, seringkali para anak jalanan itu diakomodir oknum tertentu Budiharjo, 2010. Kendala lain menurut Budiharjo 2010 adalah kapasitas sarana pembinaan yang saat ini tidak sesuai dengan jumlah anak jalanan yang ada. Sehingga pembinaan terhadap setiap anak jalanan hanya dilakukan selama 6 bulan sebelum dilepas kembali. Enam panti yang ada sudah penuh, sehingga kami hanya memberlakukan masa pembinaan tiga bulan dan tiga bulan untuk pelatihan” lanjut Budihardjo. Menurutnya, pelatihan yang sudah diberikan kepada anak jalanan sering tidak ditindaklanjuti dengan tersediaan peluang kerja, sehingga anak jalanan kerap kembali lagi ke jalan. Karena itu, dalam pemberdayaan anak jalanan, pihaknya berencana akan bekerjasama denga pihak swasta dengan memaksimalkan program Coorporate Social Responsibility CSR yang dimiliki masing-masing perusahaan. Langkah tersebut telah diterapkan beberapa badan usaha derah seperti Taman Impian jaya Ancol TIJA, Taman Margasatwa Ragunan TMR, serta pusat perbelanjaan seperti mall. Menurut Nanik 2006, awal seseorang berada di jalanan karena tidak terpenuhi kebutuhan dalam hidupnya, seperti kebutuhan terhadap ekonomi, atau pun psikologis. Kebutuhan ekonomi yang tidak terpenuhi memaksa seseorang untuk mulai mencari uang sendiri. Dan bila tidak tersedia tempat yang memungkinkan untuk mencari uang yang layak, jalanan adalah tempat yang paling bisa menjangkau. Padahal banyak orang jalanan ini adalah anggota masyarakat yang dikategorikan sebagai pelajar atau usia sekolah. Makmur Sanusi 2001 dalam Nini Fitriani 2003 menyatakan bahwa, Anak jalanan juga memiliki kecenderung lepas dari pembinaan keluarga dan sekolah sebagai institusi yang bertanggung jawab penuh terhadap pertumbuhan dan perkembangan mereka. Di jalanan mereka berinteraksi dengan nilai dan norma yang jauh berbeda dengan apa yang ada di lingkungan keluarga dan sekolah. Perlu di waspadai bahwa ada kecenderungan mereka berbuat kerusakan dan melanggar tatanan hukum dan budaya masyarakat. Hal tersebut terjadi akibat semakin sulitnya mencari nafkah di jalan. Kondisi tersebut diperparah dengan adanya pandangan masyarakat yang menganggap bahwa mereka sebagai sampah masyarakat dan kemudian mempersempit ruang gerak mereka terhadap fasilitas umum yang menjadi kebutuhan mereka. Selain itu hasil penelitian yang dilakukan oleh Nini Fitriani 2003, mengenai Akulturasi Anak Jalanan, yang mengambil 9 anak sebagai sampel penelitian. Diketahui bahwa model akulturasi yang ditemukan pada anak terdapat model integritasi terjadi pada 2 anak, separasi terjadi pada 1 anak dan assimilasi dialami oleh 6 anak jalanan. Sedangkan model marjinalisasi tidak ditemukan pada mereka. Assimilasi mendominasi dalam anak jalanan karena kurangnya perhatian dan kontrol keluarga sehingga anak kehilangan budaya rumah yang telah dianutnya dan lebih banyak berbaur dengan budaya jalanan yang terinternalisasi dalam dirinya. Banyak sekali informasi atau fenomena yang terjadi pada anak jalanan, yang membahas tentang keterpurukan mereka, hak-hak mereka yang tidak terpenuhi, ekploitasi anak, gizi buruk, keterlantaran dan akulturasi anak jalanan yang menjadikan mereka kehilangan budaya rumah. Dari hal-hal tersebut tidak adanya energi positif yang di gambarkan oleh pemberitaan media masa. Sedangkan mereka juga sama seperti kita yakni makhluk yang memiliki emosi positif, emosi negatif, dan memiliki rasa bahagia yang tidak terlalu di perhatikan oleh masyarakat sekitar. Rasa bahagia yang bukan ditimbulkan dari status mereka sebagai anak jalanan, tapi sebagai diri yang menerima keadaan baik buruknya kehidupan tanpa sedikitpun menghilangkan cita-cita mereka untuk dapat merubah status anak jalanan menjadi anak-anak yang sukses. Dan berkeinginan untuk hidup lebih layak, dan jika bisa memilih dari sebuah kehidupan, mereka akan memilih dilahirkan oleh orang tua yang kaya raya, masa depan yang terjamin, dan mereka dapat membeli kebahagiaan dengan uang yang mereka miliki. Tapi kenyataannya mereka hanyalah seorang manusia yang harus menerima diri mereka demi menghilangkan rasa kecewa atas takdir yang mereka terima. Menerima adalah kata yang mudah diucapkan namun sangat sulit untuk dilakukan. Menerima realitas memang butuh proses yang mendalam. Namun jika seseorang telah mampu melampaui tahapan proses penerimaan diri, maka penerimaan diri tersebut dapat menjadi energi yang sangat dahsyat untuk menggapai impian. Sebaliknya jika seorang individu belum melalui tahapan penerimaan diri terhadap kondisi dirinya, maka penyesalan terhadap nasib dapat menjadi belenggu kehidupan dirinya Fuad, 2006. Menurut Hurlock 1976, penerimaan diri penting untuk mengintegrasikan tubuh, pikiran, dan jiwa. Jika konsep diri seseorang tidak menyenangkan, orang tersebut akan menolak dirinya sendiri atau hanya menerima separuh bagian dirinya saja dan akan berpengaruh buruk pada keadaan psikologisnya. Bila hal ini terjadi pada anak jalanan maka akan berpengaruh buruk pada masa depannya. Bukan disebabkan keadaan mereka sebagai anak jalanan, tetapi karena kondisi psikologis mereka yang buruk. Menurut Maslow dalam Hjelle dan Ziegler dalam Indryastuti 1998 menyatakan bahwa, individu yang memiliki sikap positif terhadap diri sendiri akan dapat menerima segala kelebihan dan kekurangan dirinya. Mereka bebas dari rasa bersalah, rasa malu, dan rendah diri karena keterbatasan diri serta bebas dari kecemasan akan adanya penilaian orang lain terhadap mereka lebih lanjut, individu tersebut akan dapat mengatasi keadaan emosionalnya marah, depresi, takut, cemas dan sebagainya tanpa mengganggu orang lain. Allport dalam dalam Indryastuti 1998, menyatakan bahwa penerimaan diri didefinisikan sebagai toleransi individu terhadap peristiwa-peristiwa yang menimbulkan frustrasi. Jika penerimaan diri ini telah ada pada anak jalanan maka mereka akan menerima semua yang telah terjadi dalam kehidupannya tanpa menyesali dan putus asa untuk dapat hidup lebih baik dari sebelumnya. Setelah semuanya berproses untuk menerima diri sendiri maka rasa bahagia akan timbul dari sebuah emosi yang positif dari diri sendiri dan bukan dari kejadian yang berasal dari luar, demikian juga dengan perasaan-perasaan lainnya. Emosi yang positif menolong mereka untuk mencari cara agar dapat menjauh dari hal yang negatif dan mengambil manfaat dari energi yang datang dari keadaan yang positif. Emosi yang positif memperkuat individu dan menyediakan jalan menuju kehidupan yang gembira, bahagia, dan memuaskan Gary dan Don, 2005. Bukan berarti setelah mereka mencapai kebahagiaan dalam kondisi sebagai anak jalanan, mereka tidak menginginkan masa depan yang lebih cerah. Mereka juga memiliki kekuatan, kebajikan, dan mempunyai masa lalu untuk dikenang, masa depan untuk diraih, dan masa sekarang untuk dijalankan. Menurut Snyder dan Lopez 2007, Kebahagiaan adalah emosi positif, yang secara subjektif di definisikan oleh setiap orang. Yang oleh karena itu jarang sekali orang-orang mendefinisikan kebahagiaan dengan satu definisi yang sama. Kebahagiaan timbul dari diri sendiri dan bukan dari kejadian yang berasal dari luar Gary dan Don, 2005. Kebahagiaan tidak bisa dicapai dengan hanya memikirkannya saja, tetapi kita juga harus melakukan sesuatu yang membuat kita bahagia. Namun terkadang manusia hanya mencarinya tanpa melakukan sesuatu yang menuju pada kebahagiaan. Sehingga mereka sering kali berputus asa dengan hasil yang mereka dapatkan, padahal pencapaian kebahagiaan bukanlah pada hasil yang kita peroleh kuantitas tapi pada proses kita mencari kebahagiaan kualitas. Hal lain mengapa manusia tidak dapat merasakan kebahagiaan adalah karena manusia cenderung untuk merenungi nasib buruk yang telah menimpanya dan tidak mau berbuat sesuatu untuk memperbaikinya. Mereka terlalu terpaku pada hal yang telah berlalu dan tidak dapat melupakan masa lalunya yang pahit. Menurut Dewi Sanjana 2006, banyak orang yang sukar untuk mendapatkan kebahagiaan karena mereka berusaha untuk mencari kebahagiaan external, yaitu kebahagiaan yang dirasakan apabila mereka berhasil mendapatkan atau meraih sesuatu yang di luar dirinya. Sesuatu tersebut bisa berupa harta benda duniawi, ketenaran, nama baik, harga diri, kekuasaan, dan lain sebagianya. Apabila seseorang mendefinisikan kebahagiaan seperti ini, maka kebahagiaan yang didapat adalah kebahagiaan semu dan bersifat sementara. Biasanya kebahagiaan tersebut berlangsung dalam tempo yang singkat. Banyak orang yang tidak menyadari bahwa kebahagiaan dapat digali dari dalam diri tiap-tiap pribadi atau disebut juga dengan kebahagiaan internal. Apabila seseorang telah berhasil menemukan kebahagiaan internalnya, maka orang tersebut akan selalu merasakan bahagia dalam hidupnya, apa pun yang terjadi dalam hidupnya. Kebahagiaan internal ini tercapai apabila kita dapat selalu merasakan ketenangan, kedamaian, dan suka cita dalam segala situasi. Orang yang telah menemukan kebahagiaan internal biasanya dapat selalu menerima kenyataan yang terjadi dalam hidupnya dengan besar hati. Maka dari itu penerimaan diri sangat diperlukan bagi anak jalanan, karena penerimaan diri dianggap sebagai ciri-ciri penting kesehatan mental dan juga sebagai karakteristik aktualisasi diri Ryff, 1989. Anak-anak yang mempunyai penerimaan diri yang baik, mereka juga memiliki psikologis yang baik. Psikologis yang baik dapat menjadikan mereka bertahan hidup di lingkungan apapun. Menurut Gary dan Don 2005 psikologis yang baik juga dapat menimbulkan emosi yang positif bahagia, gembira, dan rasa puas, emosi yang positif menolong mereka untuk mencari cara agar dapat menjauh dari hal yang negatif frustasi, marah, stres, cemas, rasa malu, rasa bersalah, dan rendah diri. Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka peneliti berkeinginan untuk melakukan penelitian mengenai ”Hubungan antara Penerimaan Diri dengan Kebahagiaan Anak Jalanan.”

1.2. Batasan dan Rumusan Masalah