Hubungan 3 populasi ikan betok (Anabas testudineus) berdasarkan analisis RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) dan karakter morfometrik

(1)

ABSTRACT

PEMBARUAN SIREGAR. The relationship among three populations of climbing perch fish (Anabas testudineus) based on analysis of Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) and morphometric characters. Supervised by Dinar Tri Soelistyowati dan Rudhy Gustiano

This research’s aimed is to evaluate three population of climbing perch fish collected from Java, Sumatera and South Kalimantan using Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) and morphometric characters. The results showed the moderate level of heterozygosity (0,088-0,109), while the genetic variability was highest in Kalimantan population. The genetic distance among populations showed that the populations from Java and Sumatera was closer (0,279) than Kalimantan (0,398-0,551). The UPGMA dendrogram analysis based on genetic distance performed the climbing perch populations into two groups that consisted of Java and Sumatera populations separated from South Kalimantan. The morphometric characters described that 3 type of characters duabled to separate into three different groups and about 10% of sharing component showed that the climbing perch populations from Sumatera consist of Java population.

Keywords : Climbing Perch (Anabas testudineus), morphometric characters, RAPD, genetic variability


(2)

1   

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Betok merupakan spesies ikan air tawar yang hidup liar di perairan tawar, payau, dan rawa. Pada umumnya berukuran kecil, panjang maksimal sekitar 25 cm, bersisik keras kaku, sisi atas tubuh (dorsal) gelap kehitaman agak kecoklatan atau kehijauan, sisi samping (lateral) kekuningan, terutama di sebelah bawah, dengan garis-garis gelap melintang yang samar dan tak beraturan, sisi belakang tutup insang bergerigi tajam seperti duri, dan berkepala besar (Anonim, 2011). Ikan betok dikenal dengan nama bethok atau bethik, puyu, pepuyu. Ikan betok dikenal juga sebagai climbing gouramy atau climbing perch, karena kemampuannya memanjat ke daratan. Nama ilmiahnya adalah Anabas testudineus. Distribusi populasi ikan betok (Anabas testudineus) yang hidup di air tawar mulai langka. Pemangsa serangga yang juga menjadi musuh alami wereng ini makin susah ditemukan dalam ukuran besar. Berikut klasifikasi ilmiah ikan betok pada umumnya.

Suhu yang sesuai sebagai syarat hidup ikan betok adalah 15 – 31°C . Ikan betok merupakan ikan penghuni asli Asia Tenggara, India, Srilanka, Taiwan, Bangladesh, Afrika, Hindia Timur, Indo-Cina dan Cina bagian selatan serta menjadi ikan introduksi untuk Papua (daerah Merauke), kemudian menyebar ke arah timur Papua New Guinea (www.fishbase.org)

Klasifikasi ilmiah : Kerajaan : Animalia Filum : Chordata Kelas : Actinopterygii Ordo : Perciformes Famili : Anabantidae Genus : Anabas

Spesies : Anabas testudineus


(3)

2   

Ikan ini mempunyai naluri yang kuat untuk mendeteksi di mana keberadaan sumber air. Banyak orang yang menyebutnya ikan gaib karena ikan ini dapat dengan cepat menghilang padahal ikan ini hanya kabur dari air dengan cara berjalan di darat (merayap). Saat berjalan ikan ini merayap dengan tutup insang sebagai kaki depannya, selain itu ikan ini mempunyai daya tahan kuat.

Ikan betok liar di Kalimantan, semula bisa mencapai sampai bobot 250 gram. Kini ikan betok hanya berbobot 70-100 gram per ekor dengan kisaran harga Rp 40.000-Rp 70.000 per kilogram. Selain itu produksi tangkapan ikan betok di provinsi Kalimantan Timur antara tahun 2002-2008 mengalami peningkatan tiap tahunnya yaitu 91 ton pada tahun 2004 menjadi 1505 ton pada tahun 2005 (DKP, 2006 dalam Pellokila, 2009). Semakin meningkatnya penangkapan terhadap ikan ini menimbulkan kekhawatiran akan menurunnya populasi ikan ini di kemudian hari. Berdasarkan hal tersebut maka pengelolaan perikanan berkelanjutan perlu secepatnya dilakukan untuk mencegah terjadinya penurunan populasi ikan betok. Beberapa informasi dasar dibutuhkan dalam upaya pengelolaan yaitu kajian mengenai informasi karakteristik genotip dan fenotipnya. Identifikasi genotip dapat dilakukan dengan beberapa teknik, diantaranya adalah Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) dengan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction) (Muladno, 2002). Sedangkan identifikasi fenotip dapat dilakukan dengan analisis karakter morfometrik.

1.2. Tujuan

Mengetahui hubungan ikan betok (Anabas testudineus) yang berasal dari 3 lokasi yaitu Jawa, Sumatera, dan Kalimantan dengan metode Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) dan karakter morfometrik


(4)

3   

II. BAHAN DAN METODE

2.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Agustus sampai September tahun 2011. Sampel ikan berasal dari 3 lokasi yaitu Jawa (Jawa Barat), Sumatera (Jambi), dan Kalimantan (Kalimantan Tengah). Analisa genetik ikan dilakukan di Laboratorium Genetik Ikan, Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Sempur, Bogor, sedangkan pengukuran karakter morfometrik dilakukan di Instalasi Riset Plasma Nutfah, Cijeruk, Bogor.

2.2. Materi Uji

Sampel ikan betok berasal dari 3 lokasi, yaitu dari Kalimantan Tengah (Pulang Pisau), Jawa Barat (Tasikmalaya), dan Sumatera (Jambi), masing masing 10 ekor. Kondisi lingkungan di lokasi sampling adalah perairan rawa (Kalimantan Tengah) dan kolam budidaya air tawar ( Jawa Barat dan Sumatera). Sampel ikan diambil siripnya dan dilarutkan dalam larutan alkohol 70%-90% untuk mengawetkan sirip ikan, selanjutnya dilakukan analisis DNA dengan teknik PCR. Untuk pengukuran karakter morfometrik, diambil masing masing 10 ekor dari populasi dan dihitung panjang yang mencakup seluruh bagian luar tubuh.

Gambar 1. Ikan betok (Anabas testudineus)


(5)

4   

2.3. Metode Kerja

Profil genotip ikan dianalisis menggunakan metode RAPD yang diawali dengan proses ekstraksi DNA genom, amplifikasi DNA menggunakan teknik PCR dan elektroforesis. Sedangkan profil fenotip ikan betok dianalisis menggunakan metode pengukuran karakter morfometrik.

2.3.1. Ekstraksi DNA

Sampel ikan berupa sirip dorsal ditimbang sebanyak 5-10 mg dan dimasukan ke dalam tabung eppendorf 1,5 ml, kemudian dilisis dengan menambahkan TNES urea sebanyak 500 µl dan protein kinase 10 µl. Setelah itu dikocok menggunakan alat vortex dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam atau sampai sirip hancur. Selanjutnya ditambahkan larutan phenolchloroform isoamilalkohol (PCL) dengan perbandingan 25:24:1 sebanyak 1000 µl dan disentrifuse dengan menggunakan kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit. Supernatan lalu dipindahkan ke tabung baru dan ditambahkan etanol 90% sebanyak 1000 µl dan Na asetat sebanyak 10 µl lalu disentrifugasi pada kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit. Supernatan dibuang dan pellet dikering anginkan sampai etanol menguap. DNA dilarutkan dengan menambahkan rehydration solution sebanyak 100 µl.

2.3.2. Amplifikasi DNA dengan teknik PCR

Sebelum amplifikasi DNA, maka dilakukan terlebih dahulu seleksi primer untuk mendapatkan jenis primer yang sesuai. Amplifikasi DNA dilakukan menggunakan metode PCR dengan komposisi bahan 1 unit dry taq produk Promega, 2 µl DNA template, 2 µl primer dan 21 µl air dengan volume total sebanyak 25 µl. Lalu dimasukkan ke dalam mesin PCR dengan 35 siklus, yaitu denaturasi awal pada 94°C selama 2 menit, denaturasi 94°C selama 1 menit. annealing 36°C selama 1 menit, elongasi 72°C selama 2 menit 30 detik, elongasi akhir 72°C selama 7 menit dan penstabilan suhu 4°C selama 3 menit.


(6)

5   

Tabel 1. Sekuen primer RAPD yang diuji

No Primer Sekuen Nukleotida (5’Æ3’)

1 OPA-02 TGCCGAGCTG

2 OPC-02 GTGAGGCGTC

3 OPC-05 GATGACCGCC

Keterangan : T = deoksi Timidin 5’- monofosfat G = deoksi Guanosin 5’- monofosfat C = deoksi Sitidin 5’- monofosfat A = deoksi Adenosin 5’- monofosfat

2.3.3. Elektroforesis

Untuk mengetahui keberhasilan amplifikasi primer yang digunakan, campuran 9 µl hasil PCR dengan 2 µl loading die dielektroforesis pada gel agarose 2% (w/v) dalam larutan TBE dan tegangan 100 volt selama 30 menit. Kemudian, gel direndam agar pita DNA nya dapat terlihat pada cahaya ultraviolet. Selanjutnya, digunakan kamera untuk keperluan dokumentasi. Gene ruler 100bp DNA loader digunakan sebagai standar untuk menentukan ukuran fragmen hasil amplifikasi.

2.3.4. Karakterisasi fenotip morfometrik

Ikan betok yang berasal dari Kalimantan Tengah, Jawa Barat, dan Jambi diambil dari akuarium masing masing 10 ekor. Metode karakteristik morfometrik dilakukan dengan cara mengukur jarak titik-titik tanda yang akan dibuat pada kerangka tubuh (Gambar 2). Skema dan 21 karakteristik morfometrik ikan betok dapat dilihat pada Gambar 2 dan Tabel 2 ( Brzesky and Doyle, 1988)


(7)

6   

Tabel 2. Karakteristik morfometrik No Kode Deskripsi Jarak

1 A1-2 Bawah mulut-ujung bagian atas insang 2 A1-3 Bawah mulut-operkulum

3 A1-4 Bawah mulut-awal sirip punggung 4 A1-5 Bawah mulut-awal sirip perut 5 A2-3 Ujung atas insang-operkulum

6 A2-4 Ujung atas insang-awal sirip punggung 7 A2-5 Ujung atas insang-awal sirip perut 8 A3-4 Operkulum-awal sirip punggung 9 A3-5 Operkulum-awal sirip perut

10 A4-5 Awal sirip punggung-awal sirip perut 11 B5-6 Awal sirip perut-awal sirip anal 12 B5-7 Awal sirip perut-akhir sirip anal 13 B6-4 Awal sirip anal-awal sirip punggung 14 B10-4 Akhir sirip punggung-awal sirip punggung 15 B10-6 Akhir sirip punggung-awal sirip anal 16 C7-8 Awal sirip ekor bawah-awal sirip ekor atas 17 C7-9 Awal sirip ekor bawah-akhir sirip ekor atas 18 C8-9 Akhir sirip ekor bawah-akhir sirip ekor atas 19 C10-7 Akhir sirip punggung-awal sirip ekor bawah 20 C10-8 Akhir sirip punggung-akhir sirip ekor bawah 21 C10-9 Awal sirip punggung-awal sirip ekor atas

Keterangan : A = bagian kepala 1-2, dst = jarak antar titik karakter B = bagian seluruh tubuh

C = bagian ekor


(8)

7   

2.4. Analisis Data

Keragaman genetik yang meliputi tingkat polimorfisme, heterozigositas, uji perbandingan Fst dianalisa dengan descriptive statistics (Miller, 1997), exact test for population differentiation (Raymond & Rousset, 1995 dalam Miller, 1997) dengan menggunakan program TFPGA (Tools for Population Genetic Analyses). Kekerabatan antar populasi berdasarkan jarak genetik yang disertai dengan dendrogram dianalisis menggunakan UPGMA (Unweighted Pair Group Method with Arithmetic Mean) Wright (1978) modifikasi Rogers (1972) dalam Miller (1997) dari software TFGPA. Sedangkan untuk analisis data karakter morfometrik dianalisis menggunakan microsoft excel, dan program SPSS versi 18 (Statistical Product and Service Solution)


(9)

8   

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil

3.1.1. Profil RAPD

Keragaman profil penanda DNA meliputi jumlah dan ukuran fragmen DNA. Hasil amplifikasi dengan menggunakan primer OPA-02, OPC-02, OPC-05 selengkapnya disajikan pada Tabel 3. Amplifikasi DNA pada 3 populasi dapat dilihat pada Gambar 3-5. Profil DNA teramplifikasi dengan primer OPA-02, OPC-02, OPC-05 selengkapnya disajikan pada Lampiran 1.

Gambar 3. Amplifikasi OPA-02 pada ikan betok Jawa, Sumatera, dan Kalimantan

1

 

2

 

3

 

1

 

2

 

3

 

1

 

2

 

3

 

M

 

3000 bp 1000 bp

500 bp

Jawa Sumatera Kalimantan

4

 

5

 

6

 

4

 

5

 

6

 

4

 

5

6

 

M

 

Jawa

Gambar 4. Amplifikasi OPC-02 pada ikan betok Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.  500 bp 1000 bp 3000 bp


(10)

9   

Gambar 5. Amplifikasi OPC-05 pada ikan betok Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.   

Tabel 3. Jumlah fragmen dan ukuran fragmen 3 populasi ikan betok

Populasi Betok Jumlah Fragmen Kisaran Ukuran Fragmen (bp)

Jawa 24-26 100-2000

Sumatera 23-27 100-2000

Kalimantan 18-20 275-1750

Jumlah fragmen teramplifikasi berkisar antara 18-27 pada kisaran 100-2000 bp. Jumlah fragmen terbanyak adalah populasi ikan betok Sumatera dengan kisaran 100-2000 bp. Sedangkan kisaran terendah adalah populasi ikan betok Kalimantan yaitu 275-1750 bp.

3.1.2. Polimorfisme

Tingkat keragaman genetik populasi meliputi derajat polimorfisme dan heterozigositas (Lampiran 2). Polimorfisme memberikan gambaran mengenai tingkat keragaman suatu populasi (Yuwono, 2006). Perbedaan jumlah dan polimorfisme pita DNA yang dihasilkan setiap primer menggambarkan keunikan genom yang diamati. Pita DNA hasil amplifikasi merupakan pasangan antara nukleotida primer dengan nukleotida sampel. Panjang ukuran fragmen pita DNA yang dihasilkan setelah amplifikasi berkisar 100 sampai 2000 bp (base pairs).

1

 

2

 

3

 

1

 

2

 

3

 

1

 

2

 

3

 

M

 

Jawa Sumatera Kalimantan

3000 bp

500 bp 1000 bp


(11)

10   

Tabel 4. Persentase polimorfisme 3 populasi ikan betok

Populasi Betok Polimorfisme (%)

Jawa 18.52 Sumatera 22.22 Kalimantan 25.93

Persentase polimorfisme berkisar antara 18,52% sampai 25,93%. Persentase polimorfisme tertinggi adalah populasi ikan betok Kalimantan yaitu sebesar 25,93%, sedangkan polimorfisme terendah adalah populasi ikan betok Jawa yaitu sebesar 18,52%.

3.1.3. Heterozigositas

Heterozigositas tiap populasi disajikan dalam Tabel 5 berikut:

Tabel 5. Nilai heterozigositas 3 populasi ikan betok

Populasi Betok Heterozigositas

Jawa 0,088

Sumatera 0,095

Kalimantan 0,109

Nilai rata rata heterozigositas terendah dimiliki ikan betok dari populasi Jawa yaitu sebesar 0,088, sedangkan heterozigositas ikan betok tertinggi adalah populasi ikan betok dari Kalimantan yaitu sebesar 0,109.

3.1.4. Uji perbandingan Fst

Secara statistik dengan menggunakan uji perbandingan Fst, menunjukkan ada perbedaan genetik secara nyata antara populasi ikan betok Kalimantan terhadap populasi betok Jawa dan Sumatera.

Tabel 6. Nilai uji perbandingan berpasangan Fst 3 populasi ikan betok

Populasi Betok Jawa Sumatera Kalimantan Jawa *****

Sumatera 0,9986ns *****

Kalimantan 0,0000 0,0000 *****


(12)

11   

Berdasarkan Tabel 6 diatas dapat diketahui bahwa antara populasi ikan betok Kalimantan dengan Jawa dan Sumatera berbeda nyata. Sedangkan ikan betok Jawa dan Sumatera tidak berbeda nyata.

3.1.5. Jarak genetik

Pada Tabel 7 di bawah ini disajikan jarak genetik masing masing populasi ikan betok dari tiap tiap populasi.

Tabel 7. Jarak genetik 3 populasi ikan betok

Populasi Betok Jawa Sumatera Kalimantan Jawa *****

Sumatera 0,279 *****

Kalimantan 0,551 0,398 *****

Jarak genetik 3 populasi berkisar antara 0,279 sampai 0,551. Hubungan kekerabatan interpopulasi 3 populasi ikan betok dapat digambarkan dalam bentuk dendrogram. Dendrogram yang ditampilkan merupakan hasil analisis dengan menggunakan program TFPGA pada analisis UPGMA.

Berdasarkan dendrogram (Gambar 6) digambarkan bahwa hubungan kekerabatan genetik paling dekat adalah populasi ikan betok Jawa dengan

Gambar 6. Dendrogram hubungan genetik 3 populasi ikan betok  

Jawa

Sumatera


(13)

12   

populasi ikan betok Sumatera, yaitu sebesar 0,279 dan yang paling jauh adalah populasi ikan betok Kalimantan dengan populasi ikan betok Jawa.

3.1.6. Karakter morfometrik

Pengukuran karakter morfometrik dilakukan terhadap 21 karakter pada ikan betok Jawa, Sumatera, dan Kalimantan (Lampiran 3). Rata rata karakter morfometrik disajikan dalam Tabel 8 berikut.

Tabel 8. Rata rata 21 karakter morfometrik (cm) 3 populasi ikan betok

Karakter yang

diukur Jawa Sumatera Kalimantan A1-2 0,18±0,04 0,20±0,03 0,16±0,02 A1-4 0,33±0,02 0,30±0,08 0,28±0,03 A2-3 0,23±0,05 0,23±0,04 0,21±0,04 A1-5 0,28±0,05 0,25±0,05 0,29±0,07 A1-3 0,17±0,04 0,15±0,05 0,14±0,02 A4-5 0,30±0,03 0,29±0,03 0,29±0,06 A2-5 0,30±0,05 0,28±0,01 0,30±0,05 A3-5 0,17±0,19 0,13±0,04 0,14±0,05 A3-4 0,30±0,04 0,28±0,03 0,25±0,04 A2-4 0,20±0,06 0,16±0,06 0,15±0,04 B10-4 0,56±0,05 0,58±0,01 0,55±0,04 B6-4 0,35±0,04 0,36±0,01 0,37±0,06 B5-7 0,51±0,08 0,56±0,03 0,48±0,04 B5-6 0,19±0,03 0,20±0,02 0,18±0,03 B10-6 0,40±0,03 0,42±0,02 0,36±0,05 C10-9 0,06±0,01 0,15±0,18 0,09±0,01 C10-7 0,16±0,02 0,15±0,03 0,14±0,02 C7-8 0,07±0,04 0,09±0,04 0,09±0,01 C8-9 0,16±0,03 0,17±0,02 0,14±0,01 C10-8 0,16±0,02 0,16±0,03 0,18±0,01 C7-9 0,17±0,03 0,18±0,02 0,17±0,02


(14)

13   

3.1.7. Uji signifikansi

Uji signifikansi dilakukan untuk mengetahui karakter yang dapat digunakan sebagai penciri dari suatu jenis ikan. Berdasarkan hasil penelitian, bahwa 21 karakter yang diuji, 18 karakter tidak berbeda nyata (P>0,05) dan 3 karakter berbeda nyata (P<0,05) yaitu karakter B5-7 (awal sirip perut-akhir sirip anal), B10-6 (akhir sirip punggung-awal sirip anal) dan C8-9 (awal sirip ekor atas-awal sirip ekor bawah)

Tabel 9. Uji signifikansi 21 karakter morfometrik 3 populasi ikan betok Karakter yang

diuji

Wilks'

Lambda F df1 df2 Sig.

A1-2 0,832 2,732 2 27 0,083

A1-4 0,846 2,457 2 27 0,105

A2-3 0,963 0,514 2 27 0,604

A1-5 0,912 1,309 2 27 0,287

A1-3 0,897 1,554 2 27 0,230

A4-5 0,990 0,132 2 27 0,877

A2-5 0,917 1,219 2 27 0,311

A3-5 0,972 0,387 2 27 0,683

A3-4 0,821 2,946 2 27 0,070

A2-4 0,853 2,322 2 27 0,117

B10-4 0,914 1,277 2 27 0,295

B6-4 0,982 0,248 2 27 0,782

B5-7 0,781 3,786 2 27 0,036*

B5-6 0,925 1,093 2 27 0,350

B10-6 0,706 5,635 2 27 0,009*

C10-9 0,874 1,941 2 27 0,163

C10-7 0,942 0,837 2 27 0,444

C7-8 0,974 0,353 2 27 0,706

C8-9 0,761 4,232 2 27 0,025*

C10-8 0,893 1,613 2 27 0,218


(15)

14   

3.1.8. Canonical discriminant function

Hasil analisis fungsi kanonikal (Gambar 7) memperlihatkan bahwa karakter morfologi ikan betok Jawa dan ikan betok Sumatera tidak bersinggungan dengan ikan betok Kalimantan. Karakter morfometrik ikan betok Jawa berada di kuadran 1. Sedangkan karakter morfometrik ikan betok Sumatera dan betok Kalimantan berada di kuadran 3 dan 4. Persinggungan yang terjadi antara ikan betok Jawa dan Sumatera menunjukkan adanya pencampuran diantara kedua populasi tersebut. Karakter ikan betok Jawa dan Sumatera hanya sedikit yang bersinggungan, sedangkan ikan betok Kalimantan sama sekali tidak bersinggungan dengan ikan betok Jawa dan betok Sumatera

Gambar 7. Peta kanonikal 3 populasi ikan betok Kuadran 1

Kuadran 3 Kuadran 4 Kuadran 2


(16)

15   

3.1.9. Indeks kemiripan

Analisis kemiripan populasi berdasarkan karakter morfometrik (Tabel 10) menunjukkan tingkat homogenitas 100% pada populasi Sumatera dan Kalimantan, sedangkan karakter morfometrik populasi ikan betok Jawa memiliki indeks kemiripan dengan populasi ikan betok Sumatera sebesar 10% .

Tabel 10. Indeks kemiripan (sharing components) morfometrik (%)

Jawa Sumatera Kalimantan Total

Jawa 90,0 10,0 0,0 100,0

Sumatera 0,0 100,0 0,0 100,0 Kalimantan 0,0 0,0 100,0 100,0

3.2.0. Dendrogram penyebaran morfometrik

Analisis dendrogram karakter morfometrik ketiga populasi ikan betok menunjukkan kemiripan antara populasi Jawa dan Sumatera (Gambar 8).


(17)

16   

3.2. Pembahasan

Profil RAPD setiap populasi ikan betok menunjukkan keragaman yang berbeda berdasarkan panjang dan ukuran fragmen DNA teramplifikasi pada lokus OPA-2, OPC-2, dan OPC-5. Perbedaan tingkat keragaman genetik suatu populasi menggambarkan keunikan komposisi alelik menyusun genom. Pita DNA hasil amplifikasi merupakan pasangan antara nukleotida primer dengan nukleotida sampel (Soewardi, 2007). Panjang fragmen pita DNA yang teramplifikasi pada ikan betok berkisar antara 100 sampai 2000 bp. Tingkat polimorfisme tertinggi terdapat pada populasi betok Kalimantan yaitu sebesar 25,93% dan yang terendah adalah populasi betok Jawa (18,52%). Secara teoritis polimorfisme dipengaruhi oleh perubahan aliran materi genetik yang dibawa oleh gamet dalam pembentukan generasi baru melalui proses reproduksi. Selain itu, dinamika perubahan susunan materi genetik dapat berlangsung melalui proses inversi, delesi, substitusi, dan insersi basa nukleotida penyusun gen. Dalam pemetaan genotip, inversi DNA yang berukuran besar pada dua situs penempelan primer bisa menyebabkan ukuran basa atau jarak amplifikasi menjadi terlalu besar sehingga berakibat hilangnya fragmen, sedangkan delesi pada bagian genom yang membawa dua situs penempelan primer bisa mengakibatkan tidak ada fragmen yang teramplifikasi. Sementara, substitusi nukleotida dapat mengubah homolog antara primer dengan DNA genom yang mengakibatkan hilangnya polimorfisme atau mengubah ukuran fragmen. Sebaliknya, insersi atau delesi fragmen kecil DNA dapat mengubah ukuran fragmen yang diamplifikasi (Weising et al, dalam Kurniawirawan, 2007). Polimorfisme genetik pada ikan budidaya lebih rendah dibandingkan dengan populasi di perairan umum. Hal ini karena aktifitas seleksi induk yang tidak terkontrol dan kemungkinan terjadinya inbreeding akibat jumlah induk yang semakin terbatas pada sistem budidaya bisa mereduksi tingkat keragaman genetik populasi. Nilai heterozigotas rata-rata pada ikan betok dari populasi Jawa adalah paling rendah 0,088 dibandingkan dengan populasi ikan betok dari Sumatera (0,095) dan Kalimantan (0,109). Kecenderungan ada peningkatan keseragaman populasi pada ikan betok di Jawa dan Sumatera diduga terkait dengan pola distribusinya yang terbatas sehingga pertukaran materi genetik tidak meningkatkan variasi. Sedangkan heterozigositas yang semakin tereduksi


(18)

17   

sesuai dengan kondisi alami populasi ikan betok di Kalimantan diduga menjadi penyebab terjadinya genetic drift karena beberapa populasi diduga terperangkap dalam area yang tertutup (sistem budidaya) sehingga mengakibatkan rendahnya variasi gen. Pengujian Fst keragaman genetik antar populasi menunjukkan perbedaan yang nyata antara populasi ikan betok Kalimantan dengan Sumatera dan Jawa. Sedangkan antara populasi ikan betok Sumatera dan ikan betok Jawa menunjukkan kesamaan populasi atau mencerminkan distribusi unsur genetik yang sama.

Keragaman genetik mempengaruhi kemampuan spesies untuk merespon perubahan lingkungan baik buatan maupun alami dalam proses adaptasi agar bertahan hidup. Setiap kombinasi gen memiliki respons yang berbeda terhadap perubahan lingkungan, dalam hal ini keberagaman gen memberikan peluang yang lebih baik untuk dapat merespon perubahan lingkungan tersebut. Reduksi variasi genetik yang berlangsung dalam waktu lama dapat mengarah pada penurunan produktifitas populasi yang berdampak pada penurunan profit. Untuk mengatasi hal tersebut perlu dilakukan revitalisasi stok induk dengan mengintroduksi ragam genetik di lingkungan budidaya maupun restocking di perairan umum (Tave, 1983)

Hubungan kekerabatan antar populasi yang digambarkan menurut jarak genetik menunjukkan bahwa semakin kecil jarak genetik maka semakin tinggi kemiripan populasi tersebut, dan sebaliknya. Jarak genetik antara ketiga populasi ikan betok berkisar antara 0,279-0,551 yang menunjukkan bahwa ikan betok Jawa dengan Sumatera memiliki kemiripan yang lebih tinggi dibandingkan dengan populasi dari Kalimantan. Selain itu, lingkungan perairan rawa di Kalimantan diduga mempengaruhi perbedaan variasi genetik tersebut terkait dengan parameter kualitas air, terutama alkalinitas dan pH yang lebih rendah dibandingkan dengan perairan lingkungan budidaya di Jawa dan Sumatera (Pellokila, 2009)

Tingkah laku migrasi pada ikan betok, biasanya setelah hujan lebat ikan ini terlihat bergerak di daratan menuju kawasan perairan lain. Migrasi umumnya terjadi pada malam hari dan setelah hujan. Saat berpindah tempat mereka menggunakan ekor dan tutup insangnya yang berduri. Tujuan migrasi yang paling utama adalah karena faktor kelaparan dan untuk memijah. Ikan betok bersifat


(19)

18   

ovipar, memijah sepanjang tahun dengan puncak pemijahannya pada musim penghujan (musim banjir) di tepi tumbuhan air. Puncak pemijahan terjadi pada bulan Oktober-Desember, dengan telur telur mengapung bebas (egg layer). Suhu air yang cocok untuk pemijahan ikan betok adalah 28°C dengan pH 7. Pada musim kemarau, ikan ini membenamkan diri ke dalam lumpur dan muncul kembali saat musim penghujan (Pellokila, 2009). Selain itu, di perairan rawa, fluktuasi air tinggi dalam setahun sangat besar, hal ini terkait dengan siklus hidrologi. Akibat adanya peningkatan kedalaman dan penggenangan daratan, habitat berkembang sangat luas. Semakin luas habitat, semakin beragam pula sebaran makhluk hidup yang hidup di dalamnya karena semakin beragam pula ketersediaan makanan yang terdapat di sana. Hal ini sesuai dengan tangkapan ikan betok yang diperoleh (Setiadi dan Dewi 1989). Hasil tangkapan terbanyak terdapat pada bulan Desember saat kedalaman air tinggi. Pada populasi ikan betok dari Kalimantan, perubahan kondisi lingkungan diduga juga dipengaruhi oleh kerusakan lingkungan seperti kerusakan hutan, penebangan hutan bakau dan pencemaran lingkungan, sehingga mengakibatkan penurunan kualitas air yang berdampak pada semakin kritisnya peluang hidup ikan betok, dan memperkecil adanya migrasi maupun interaksi dengan populasi ikan betok dari tempat lain (Christanty, 2009)

Pada penelitian ini, populasi ikan betok Kalimantan menunjukkan perbedaan yang paling besar terhadap populasi Jawa dan Sumatera. Kombinasi gen yang dimiliki populasi Kalimantan diduga menunjukkan kemampuan adaptif yang berbeda bila populasi berada dalam lingkungan yang baru. Organisme yang sejak semula menduduki suatu area geografi tertentu dan merupakan suatu populasi diduga tetap mewakili golongan tempat asalnya meski muncul dan hilangnya variasi gen diantara berbagai frekuensi gen yang sudah ada sejak permulaan (Stansfield, 1991). Populasi ikan betok yang baru terbentuk bisa saja tereduksi menjadi populasi yang lebih kecil pada berbagai waktu sehingga mekanisme “leher botol” (bottle neck) bisa mempengaruhi perubahan frekuensi gen baru (fiksasi gen) dan membentuk populasi lain anggota populasi satu dengan lainnya tidak lagi dapat kawin (Stansfield, 1991). Selain itu, jika suatu spesies terpapar dalam lingkungan yang berfluktuasi dalam periode waktu yang cukup


(20)

19   

lama, maka kemampuannya untuk bertahan hidup menjadi bergantung pada kelengkapan keragaman genetiknya dengan munculnya genotip-genotip baru yang memiliki toleransi baru sehingga memungkinkan spesies tersebut untuk bertahan hidup dan mengembangkan jenisnya (Stansfield, 1991)

Keragaman morfometrik ikan betok Kalimantan lebih rendah dibandingkan dengan populasi betok Jawa dan Sumatera. Berdasarkan uji signifikansi karakter morfometrik diketahui 3 fenotip, yaitu karakter B5-7 (awal sirip perut-akhir sirip anal), B10-6 (akhir sirip punggung-awal sirip anal) dan C8-9 (awal sirip ekor atas-awal sirip ekor bawah), menunjukkan perbedaan populasi betok Kalimantan dengan populasi Jawa dan Sumatera. Dalam hal ini, 18 karakter yang tidak berbeda nyata dapat digunakan sebagai penciri jenis ikan betok. Perbedaan habitat masing masing populasi dapat menjadi penyebab adanya perbedaan pada ketiga karakter tersebut. Selain perbedaan habitat, faktor ragam lingkungan seperti pakan, kepadatan populasi, ukuran dan umur induk, ukuran telur, dan teknik pendederan juga dapat mempengaruhi (Alawi et al, 2006).

Hasil analisis fungsi kanonikal (Gambar 7) memperlihatkan bahwa karakter morfologi ikan betok dari Jawa dan Sumatera tidak bersinggungan dengan ikan betok Kalimantan. Karakter morfometrik ikan betok Jawa berada di kuadran 1. Sedangkan karakter morfometrik ikan betok Sumatera dan betok Kalimantan berada di kuadran 3 dan 4. Persinggungan yang terjadi antara ikan betok Jawa dan Sumatera menunjukkan adanya kemiripan diantara kedua populasi tersebut. Karakter ikan betok Jawa dan Sumatera hanya sedikit yang bersinggungan, sedangkan ikan betok Kalimantan sama sekali tidak bersinggungan dengan ikan betok Jawa dan betok Sumatera. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan morfometrik antara ikan betok Kalimantan dengan betok Jawa dan Sumatera.


(21)

20   

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

Populasi ikan betok dari Kalimantan memiliki tingkat polimorfisme yang paling tinggi (25,92%) dan hubungan kekerabatan genetik yang paling jauh terhadap populasi ikan betok dari Jawa (0,551) dan Sumatera (0,398). Karakter morfometrik populasi ikan betok Jawa memiliki indeks kemiripan dengan populasi ikan betok Sumatera sebesar 10%.

4.2. Saran

Untuk meningkatkan deskripsi keragaman genetik dan kemiripan ikan uji sebaiknya dilakukan penambahan jumlah dan variasi ukuran sampel yang dianalisis. Tingkat keragaman genetik yang tinggi dapat dipertimbangkan sebagai dasar seleksi populasi dalam pembentukan calon induk untuk kegiatan budidaya.


(22)

HUBUNGAN 3 POPULASI IKAN BETOK (Anabas testudineus)

BERDASARKAN ANALISIS RAPD (Random Amplified

Polymorphic DNA) DAN KARAKTER MORFOMETRIK

PEMBARUAN SIREGAR

SKRIPSI

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(23)

ABSTRACT

PEMBARUAN SIREGAR. The relationship among three populations of climbing perch fish (Anabas testudineus) based on analysis of Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) and morphometric characters. Supervised by Dinar Tri Soelistyowati dan Rudhy Gustiano

This research’s aimed is to evaluate three population of climbing perch fish collected from Java, Sumatera and South Kalimantan using Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) and morphometric characters. The results showed the moderate level of heterozygosity (0,088-0,109), while the genetic variability was highest in Kalimantan population. The genetic distance among populations showed that the populations from Java and Sumatera was closer (0,279) than Kalimantan (0,398-0,551). The UPGMA dendrogram analysis based on genetic distance performed the climbing perch populations into two groups that consisted of Java and Sumatera populations separated from South Kalimantan. The morphometric characters described that 3 type of characters duabled to separate into three different groups and about 10% of sharing component showed that the climbing perch populations from Sumatera consist of Java population.

Keywords : Climbing Perch (Anabas testudineus), morphometric characters, RAPD, genetic variability


(24)

ABSTRAK

PEMBARUAN SIREGAR. Hubungan 3 populasi ikan betok (Anabas testudineus) berdasarkan analisis RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) dan karakter morfometrik. Dibimbing oleh Dinar Tri Soelistyowati dan Rudhy Gustiano.

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi hubungan 3 populasi ikan betok (Anabas testudineus) yang berasal dari Jawa, Sumatera, dan Kalimantan dengan metode RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) dan karakter morfometrik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat heterozigositas populasi ikan betok berkisar antara 0,088-0,109, sedangkan polimorfisme genetik populasi ikan betok Kalimantan merupakan yang tertinggi (25,93%) dibandingkan dengan populasi dari Sumatera (22,22%) dan Jawa (18,52%). Hubungan kekerabatan ketiga populasi menunjukkan jarak genetik antara populasi ikan betok Jawa dan Sumatera (0,279) lebih dekat dibandingkan dengan Kalimantan terhadap Jawa (0,398) dan Sumatera (0,551). Berdasarkan analisis dendrogram UPGMA mengelompokkan populasi Jawa dan Sumatera terpisah dari populasi Kalimantan. Dalam hal ini, 3 karakter morfometrik menunjukkan perbedaan populasi dan 18 karakter kemiripan, serta terdapat indeks kemiripan antara Sumatera dan Jawa sebesar 10% .

Kata-kata kunci: ikan betok, RAPD, karakter morfometrik, keragaman genetik, jarak genetik


(25)

HUBUNGAN 3 POPULASI IKAN BETOK (Anabas testudineus)

BERDASARKAN ANALISIS RAPD (Random Amplified

Polymorphic DNA) DAN KARAKTER MORFOMETRIK

PEMBARUAN SIREGAR

SKRIPSI

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Program Studi Teknologi & Manajemen Perikanan Budidaya

Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(26)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul :

HUBUNGAN 3 POPULASI IKAN BETOK (Anabas testudineus)

BERDASARKAN ANALISIS RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA)

DAN KARAKTER MORFOMETRIK

adalah benar merupakan hasil karya yang belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, November 2011

PEMBARUAN SIREGAR C14070074


(27)

Judul Skripsi : Hubungan 3 populasi ikan betok (Anabas testudineus) berdasarkan

analisis RAPD (Random AmplifiedPolymorphic DNA) dan

karakter morfometrik

Nama Mahasiswa : Pembaruan Siregar

Nomor Pokok : C14070074

Disetujui

Pembimbing I Pembimbing II

Dr.Ir.Dinar Tri Soelistyowati, DEA Dr.Ir.Rudhy Gustiano, M.Sc

NIP. 19611016 198403 2 001 NIP. 19610803 198903 1 006

Diketahui

Kepala Departemen Budidaya Perairan

Dr.Ir.Odang Carman, M.Sc NIP. 19591222 198601 1 001


(28)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pandan, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara tanggal 17 September 1989 dari Bapak MP. Siregar dan Ibu R. Manalu. Penulis merupakan anak keempat dari lima bersaudara.

Pendidikan formal yang dilalui penulis adalah SD Negeri 158466 Aksara Indah, Pandan, dan lulus pada tahun 2001, SMP Swasta St. Fransiskus, Aek Tolang, dan lulus pada tahun 2004, kemudian SMA Swasta Tri Ratna, Sibolga dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun yang sama Penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan memilih Program Studi Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah magang di PT Semata, Tasikmalaya. Penulis juga merupakan anggota dari Komisi Kesenian Persekutuan Mahasiswa Kristen Institut Pertanian Bogor. Tugas akhir dalam pendidikan tinggi

diselesaikan dengan menulis skripsi yang berjudul “Hubungan 3 populasi ikan

betok (Anabas testudineus) berdasarkan analisis RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) dan karakter morfometrik”


(29)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus atas segala karunia dan berkat-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2011 s.d September 2011 adalah pengembangbiakan genetik ikan dengan judul Hubungan 3 populasi ikan betok (Anabas testudineus) berdasarkan analisis RAPD (Random Amplified Polymorphic

DNA) dan karakter morfometrik.

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Ibu Dr.Ir.Dinar Tri Soelistyowati, DEA dan Bapak Dr.Ir.Rudhy Gustiano,

M.Sc sebagai dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan dan nasehat.

2. Ibu Iskandariah, Bang Glen, Bang Farid, Ibu Kusdiarti, Kak Vera yang telah

banyak membantu penulis selama penelitian.

3. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Sempur Bogor atas bantuannya

selama penelitian berlangsung

4. Intan dan Nova selaku teman seperjuangan penulis selama penelitian

5. Keluarga ku yang terkasih, Bapak, Mama, kak Gelora, bang Putra, bang

Tama, dek Mora dan Christini RA Lubis yang selalu memberikan doa, dukungan dan semangat kepada penulis

6. Seluruh dosen serta staf karyawan Departemen Budidaya Perairan serta

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan atas bantuannya

7. Teman-teman terkasih di BDP 44, Baskom, dan Pondok Iona atas dukungan

dan doanya, serta semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, 24 November 2011


(30)

 

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ... ii

DAFTAR GAMBAR... iii

DAFTAR LAMPIRAN... iv

I. PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Tujuan... 2

II. BAHAN DAN METODE... 3 2.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 3 2.2 Materi Uji... ... 3 2.3 Metode Kerja... ... 4 2.3.1 Ekstraksi DNA... 4

2.3.2 Amplifikasi DNA dengan teknik PCR... 4

2.3.3 Elektroforesis... ... 5 2.3.4 Karakterisasi fenotip morfometrik... 5 2.4 Analisis data... 7

III. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 8 3.1 Hasil... 8 3.1.1 Profil RAPD... 8 3.1.2 Polimorfisme... 9 3.1.3 Heterozigositas... ... 10 3.1.4 Uji perbandingan Fst... 10 3.1.5 Jarak genetik... 11

3.1.6 Karakter morfometrik... 12

3.1.7 Uji signifikansi... 13

3.1.8 Canonical discriminant function... 14

3.1.9 Indeks kesamaan……... 15

3.2.0 Dendrogram penyebaran morfometrik... 15

3.2 Pembahasan... 16

IV. KESIMPULAN DAN SARAN... 20 4.1 Kesimpulan... 20 4.2 Saran... 20

DAFTAR PUSTAKA ... 21


(31)

ii   

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Sekuen primer RAPD yang diuji... 5 2. Karakteristik morfometrik... 6

3. Jumlah fragmen dan ukuran fragmen 3 populasi ikan betok... 9

4. Persentase polimorfisme 3 populasi ikan betok... 10 5. Nilai heterozigositas 3 populasi ikan betok... 10

6. Nilai uji perbandingan berpasangan Fst 3 populasi ikan betok... 10

7. Jarak genetik 3 populasi ikan betok... 11

8. Rata rata 21 karakter morfometrik (cm) 3 populasi ikan betok... 12

9. Uji signifikansi 21 karakter morfometrik 3 populasi ikan betok... 13

10. Indeks kemiripan (sharing components) morfometrik (%)... 15


(32)

iii 

 

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Ikan betok (Anabas testudineus)... 3

2. Ikan betok beserta skema karakteristik morfometriknya... 5

3. Amplifikasi OPA-02 pada ikan betok Jawa, Sumatera, dan Kalimantan... 8

4. Amplifikasi OPC-02 pada ikan betok Jawa, Sumatera, dan Kalimantan... 8

5. Amplifikasi OPC-05 pada ikan betok Jawa, Sumatera, dan Kalimantan... 9

6. Dendrogram hubungan genetik 3 populasi ikan betok... 11 7. Peta kanonikal 3 populasi ikan betok... 14

8. Dendrogram hubungan morfometrik 3 populasi ikan betok ... 15


(33)

iv 

 

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Amplifikasi DNA pada 3 populasi ikan betok... 24 2. Uraian statistik... 25 3. Pengukuran 21 karakter morfometrik ikan betok Jawa, Sumatera, dan

Kalimantan (cm)... 40 4. Koefisien keragaman morfometrik 3 populasi ikan betok... 41

               


(34)

1   

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Betok merupakan spesies ikan air tawar yang hidup liar di perairan tawar, payau, dan rawa. Pada umumnya berukuran kecil, panjang maksimal sekitar 25 cm, bersisik keras kaku, sisi atas tubuh (dorsal) gelap kehitaman agak kecoklatan atau kehijauan, sisi samping (lateral) kekuningan, terutama di sebelah bawah, dengan garis-garis gelap melintang yang samar dan tak beraturan, sisi belakang tutup insang bergerigi tajam seperti duri, dan berkepala besar (Anonim, 2011). Ikan betok dikenal dengan nama bethok atau bethik, puyu, pepuyu. Ikan betok dikenal juga sebagai climbing gouramy atau climbing perch, karena kemampuannya memanjat ke daratan. Nama ilmiahnya adalah Anabas testudineus. Distribusi populasi ikan betok (Anabas testudineus) yang hidup di air tawar mulai langka. Pemangsa serangga yang juga menjadi musuh alami wereng ini makin susah ditemukan dalam ukuran besar. Berikut klasifikasi ilmiah ikan betok pada umumnya.

Suhu yang sesuai sebagai syarat hidup ikan betok adalah 15 – 31°C . Ikan betok merupakan ikan penghuni asli Asia Tenggara, India, Srilanka, Taiwan, Bangladesh, Afrika, Hindia Timur, Indo-Cina dan Cina bagian selatan serta menjadi ikan introduksi untuk Papua (daerah Merauke), kemudian menyebar ke arah timur Papua New Guinea (www.fishbase.org)

Klasifikasi ilmiah : Kerajaan : Animalia Filum : Chordata Kelas : Actinopterygii Ordo : Perciformes Famili : Anabantidae Genus : Anabas

Spesies : Anabas testudineus


(35)

2   

Ikan ini mempunyai naluri yang kuat untuk mendeteksi di mana keberadaan sumber air. Banyak orang yang menyebutnya ikan gaib karena ikan ini dapat dengan cepat menghilang padahal ikan ini hanya kabur dari air dengan cara berjalan di darat (merayap). Saat berjalan ikan ini merayap dengan tutup insang sebagai kaki depannya, selain itu ikan ini mempunyai daya tahan kuat.

Ikan betok liar di Kalimantan, semula bisa mencapai sampai bobot 250 gram. Kini ikan betok hanya berbobot 70-100 gram per ekor dengan kisaran harga Rp 40.000-Rp 70.000 per kilogram. Selain itu produksi tangkapan ikan betok di provinsi Kalimantan Timur antara tahun 2002-2008 mengalami peningkatan tiap tahunnya yaitu 91 ton pada tahun 2004 menjadi 1505 ton pada tahun 2005 (DKP, 2006 dalam Pellokila, 2009). Semakin meningkatnya penangkapan terhadap ikan ini menimbulkan kekhawatiran akan menurunnya populasi ikan ini di kemudian hari. Berdasarkan hal tersebut maka pengelolaan perikanan berkelanjutan perlu secepatnya dilakukan untuk mencegah terjadinya penurunan populasi ikan betok. Beberapa informasi dasar dibutuhkan dalam upaya pengelolaan yaitu kajian mengenai informasi karakteristik genotip dan fenotipnya. Identifikasi genotip dapat dilakukan dengan beberapa teknik, diantaranya adalah Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) dengan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction) (Muladno, 2002). Sedangkan identifikasi fenotip dapat dilakukan dengan analisis karakter morfometrik.

1.2. Tujuan

Mengetahui hubungan ikan betok (Anabas testudineus) yang berasal dari 3 lokasi yaitu Jawa, Sumatera, dan Kalimantan dengan metode Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) dan karakter morfometrik


(36)

3   

II. BAHAN DAN METODE

2.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Agustus sampai September tahun 2011. Sampel ikan berasal dari 3 lokasi yaitu Jawa (Jawa Barat), Sumatera (Jambi), dan Kalimantan (Kalimantan Tengah). Analisa genetik ikan dilakukan di Laboratorium Genetik Ikan, Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Sempur, Bogor, sedangkan pengukuran karakter morfometrik dilakukan di Instalasi Riset Plasma Nutfah, Cijeruk, Bogor.

2.2. Materi Uji

Sampel ikan betok berasal dari 3 lokasi, yaitu dari Kalimantan Tengah (Pulang Pisau), Jawa Barat (Tasikmalaya), dan Sumatera (Jambi), masing masing 10 ekor. Kondisi lingkungan di lokasi sampling adalah perairan rawa (Kalimantan Tengah) dan kolam budidaya air tawar ( Jawa Barat dan Sumatera). Sampel ikan diambil siripnya dan dilarutkan dalam larutan alkohol 70%-90% untuk mengawetkan sirip ikan, selanjutnya dilakukan analisis DNA dengan teknik PCR. Untuk pengukuran karakter morfometrik, diambil masing masing 10 ekor dari populasi dan dihitung panjang yang mencakup seluruh bagian luar tubuh.

Gambar 1. Ikan betok (Anabas testudineus)


(37)

4   

2.3. Metode Kerja

Profil genotip ikan dianalisis menggunakan metode RAPD yang diawali dengan proses ekstraksi DNA genom, amplifikasi DNA menggunakan teknik PCR dan elektroforesis. Sedangkan profil fenotip ikan betok dianalisis menggunakan metode pengukuran karakter morfometrik.

2.3.1. Ekstraksi DNA

Sampel ikan berupa sirip dorsal ditimbang sebanyak 5-10 mg dan dimasukan ke dalam tabung eppendorf 1,5 ml, kemudian dilisis dengan menambahkan TNES urea sebanyak 500 µl dan protein kinase 10 µl. Setelah itu dikocok menggunakan alat vortex dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam atau sampai sirip hancur. Selanjutnya ditambahkan larutan phenolchloroform isoamilalkohol (PCL) dengan perbandingan 25:24:1 sebanyak 1000 µl dan disentrifuse dengan menggunakan kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit. Supernatan lalu dipindahkan ke tabung baru dan ditambahkan etanol 90% sebanyak 1000 µl dan Na asetat sebanyak 10 µl lalu disentrifugasi pada kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit. Supernatan dibuang dan pellet dikering anginkan sampai etanol menguap. DNA dilarutkan dengan menambahkan rehydration solution sebanyak 100 µl.

2.3.2. Amplifikasi DNA dengan teknik PCR

Sebelum amplifikasi DNA, maka dilakukan terlebih dahulu seleksi primer untuk mendapatkan jenis primer yang sesuai. Amplifikasi DNA dilakukan menggunakan metode PCR dengan komposisi bahan 1 unit dry taq produk Promega, 2 µl DNA template, 2 µl primer dan 21 µl air dengan volume total sebanyak 25 µl. Lalu dimasukkan ke dalam mesin PCR dengan 35 siklus, yaitu denaturasi awal pada 94°C selama 2 menit, denaturasi 94°C selama 1 menit. annealing 36°C selama 1 menit, elongasi 72°C selama 2 menit 30 detik, elongasi akhir 72°C selama 7 menit dan penstabilan suhu 4°C selama 3 menit.


(38)

5   

Tabel 1. Sekuen primer RAPD yang diuji

No Primer Sekuen Nukleotida (5’Æ3’)

1 OPA-02 TGCCGAGCTG

2 OPC-02 GTGAGGCGTC

3 OPC-05 GATGACCGCC

Keterangan : T = deoksi Timidin 5’- monofosfat G = deoksi Guanosin 5’- monofosfat C = deoksi Sitidin 5’- monofosfat A = deoksi Adenosin 5’- monofosfat

2.3.3. Elektroforesis

Untuk mengetahui keberhasilan amplifikasi primer yang digunakan, campuran 9 µl hasil PCR dengan 2 µl loading die dielektroforesis pada gel agarose 2% (w/v) dalam larutan TBE dan tegangan 100 volt selama 30 menit. Kemudian, gel direndam agar pita DNA nya dapat terlihat pada cahaya ultraviolet. Selanjutnya, digunakan kamera untuk keperluan dokumentasi. Gene ruler 100bp DNA loader digunakan sebagai standar untuk menentukan ukuran fragmen hasil amplifikasi.

2.3.4. Karakterisasi fenotip morfometrik

Ikan betok yang berasal dari Kalimantan Tengah, Jawa Barat, dan Jambi diambil dari akuarium masing masing 10 ekor. Metode karakteristik morfometrik dilakukan dengan cara mengukur jarak titik-titik tanda yang akan dibuat pada kerangka tubuh (Gambar 2). Skema dan 21 karakteristik morfometrik ikan betok dapat dilihat pada Gambar 2 dan Tabel 2 ( Brzesky and Doyle, 1988)


(39)

6   

Tabel 2. Karakteristik morfometrik No Kode Deskripsi Jarak

1 A1-2 Bawah mulut-ujung bagian atas insang 2 A1-3 Bawah mulut-operkulum

3 A1-4 Bawah mulut-awal sirip punggung 4 A1-5 Bawah mulut-awal sirip perut 5 A2-3 Ujung atas insang-operkulum

6 A2-4 Ujung atas insang-awal sirip punggung 7 A2-5 Ujung atas insang-awal sirip perut 8 A3-4 Operkulum-awal sirip punggung 9 A3-5 Operkulum-awal sirip perut

10 A4-5 Awal sirip punggung-awal sirip perut 11 B5-6 Awal sirip perut-awal sirip anal 12 B5-7 Awal sirip perut-akhir sirip anal 13 B6-4 Awal sirip anal-awal sirip punggung 14 B10-4 Akhir sirip punggung-awal sirip punggung 15 B10-6 Akhir sirip punggung-awal sirip anal 16 C7-8 Awal sirip ekor bawah-awal sirip ekor atas 17 C7-9 Awal sirip ekor bawah-akhir sirip ekor atas 18 C8-9 Akhir sirip ekor bawah-akhir sirip ekor atas 19 C10-7 Akhir sirip punggung-awal sirip ekor bawah 20 C10-8 Akhir sirip punggung-akhir sirip ekor bawah 21 C10-9 Awal sirip punggung-awal sirip ekor atas

Keterangan : A = bagian kepala 1-2, dst = jarak antar titik karakter B = bagian seluruh tubuh

C = bagian ekor


(40)

7   

2.4. Analisis Data

Keragaman genetik yang meliputi tingkat polimorfisme, heterozigositas, uji perbandingan Fst dianalisa dengan descriptive statistics (Miller, 1997), exact test for population differentiation (Raymond & Rousset, 1995 dalam Miller, 1997) dengan menggunakan program TFPGA (Tools for Population Genetic Analyses). Kekerabatan antar populasi berdasarkan jarak genetik yang disertai dengan dendrogram dianalisis menggunakan UPGMA (Unweighted Pair Group Method with Arithmetic Mean) Wright (1978) modifikasi Rogers (1972) dalam Miller (1997) dari software TFGPA. Sedangkan untuk analisis data karakter morfometrik dianalisis menggunakan microsoft excel, dan program SPSS versi 18 (Statistical Product and Service Solution)


(41)

8   

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil

3.1.1. Profil RAPD

Keragaman profil penanda DNA meliputi jumlah dan ukuran fragmen DNA. Hasil amplifikasi dengan menggunakan primer OPA-02, OPC-02, OPC-05 selengkapnya disajikan pada Tabel 3. Amplifikasi DNA pada 3 populasi dapat dilihat pada Gambar 3-5. Profil DNA teramplifikasi dengan primer OPA-02, OPC-02, OPC-05 selengkapnya disajikan pada Lampiran 1.

Gambar 3. Amplifikasi OPA-02 pada ikan betok Jawa, Sumatera, dan Kalimantan

1

 

2

 

3

 

1

 

2

 

3

 

1

 

2

 

3

 

M

 

3000 bp 1000 bp

500 bp

Jawa Sumatera Kalimantan

4

 

5

 

6

 

4

 

5

 

6

 

4

 

5

6

 

M

 

Jawa

Gambar 4. Amplifikasi OPC-02 pada ikan betok Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.  500 bp 1000 bp 3000 bp


(42)

9   

Gambar 5. Amplifikasi OPC-05 pada ikan betok Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.   

Tabel 3. Jumlah fragmen dan ukuran fragmen 3 populasi ikan betok

Populasi Betok Jumlah Fragmen Kisaran Ukuran Fragmen (bp)

Jawa 24-26 100-2000

Sumatera 23-27 100-2000

Kalimantan 18-20 275-1750

Jumlah fragmen teramplifikasi berkisar antara 18-27 pada kisaran 100-2000 bp. Jumlah fragmen terbanyak adalah populasi ikan betok Sumatera dengan kisaran 100-2000 bp. Sedangkan kisaran terendah adalah populasi ikan betok Kalimantan yaitu 275-1750 bp.

3.1.2. Polimorfisme

Tingkat keragaman genetik populasi meliputi derajat polimorfisme dan heterozigositas (Lampiran 2). Polimorfisme memberikan gambaran mengenai tingkat keragaman suatu populasi (Yuwono, 2006). Perbedaan jumlah dan polimorfisme pita DNA yang dihasilkan setiap primer menggambarkan keunikan genom yang diamati. Pita DNA hasil amplifikasi merupakan pasangan antara nukleotida primer dengan nukleotida sampel. Panjang ukuran fragmen pita DNA yang dihasilkan setelah amplifikasi berkisar 100 sampai 2000 bp (base pairs).

1

 

2

 

3

 

1

 

2

 

3

 

1

 

2

 

3

 

M

 

Jawa Sumatera Kalimantan

3000 bp

500 bp 1000 bp


(43)

10   

Tabel 4. Persentase polimorfisme 3 populasi ikan betok

Populasi Betok Polimorfisme (%)

Jawa 18.52 Sumatera 22.22 Kalimantan 25.93

Persentase polimorfisme berkisar antara 18,52% sampai 25,93%. Persentase polimorfisme tertinggi adalah populasi ikan betok Kalimantan yaitu sebesar 25,93%, sedangkan polimorfisme terendah adalah populasi ikan betok Jawa yaitu sebesar 18,52%.

3.1.3. Heterozigositas

Heterozigositas tiap populasi disajikan dalam Tabel 5 berikut:

Tabel 5. Nilai heterozigositas 3 populasi ikan betok

Populasi Betok Heterozigositas

Jawa 0,088

Sumatera 0,095

Kalimantan 0,109

Nilai rata rata heterozigositas terendah dimiliki ikan betok dari populasi Jawa yaitu sebesar 0,088, sedangkan heterozigositas ikan betok tertinggi adalah populasi ikan betok dari Kalimantan yaitu sebesar 0,109.

3.1.4. Uji perbandingan Fst

Secara statistik dengan menggunakan uji perbandingan Fst, menunjukkan ada perbedaan genetik secara nyata antara populasi ikan betok Kalimantan terhadap populasi betok Jawa dan Sumatera.

Tabel 6. Nilai uji perbandingan berpasangan Fst 3 populasi ikan betok

Populasi Betok Jawa Sumatera Kalimantan Jawa *****

Sumatera 0,9986ns *****

Kalimantan 0,0000 0,0000 *****


(44)

11   

Berdasarkan Tabel 6 diatas dapat diketahui bahwa antara populasi ikan betok Kalimantan dengan Jawa dan Sumatera berbeda nyata. Sedangkan ikan betok Jawa dan Sumatera tidak berbeda nyata.

3.1.5. Jarak genetik

Pada Tabel 7 di bawah ini disajikan jarak genetik masing masing populasi ikan betok dari tiap tiap populasi.

Tabel 7. Jarak genetik 3 populasi ikan betok

Populasi Betok Jawa Sumatera Kalimantan Jawa *****

Sumatera 0,279 *****

Kalimantan 0,551 0,398 *****

Jarak genetik 3 populasi berkisar antara 0,279 sampai 0,551. Hubungan kekerabatan interpopulasi 3 populasi ikan betok dapat digambarkan dalam bentuk dendrogram. Dendrogram yang ditampilkan merupakan hasil analisis dengan menggunakan program TFPGA pada analisis UPGMA.

Berdasarkan dendrogram (Gambar 6) digambarkan bahwa hubungan kekerabatan genetik paling dekat adalah populasi ikan betok Jawa dengan

Gambar 6. Dendrogram hubungan genetik 3 populasi ikan betok  

Jawa

Sumatera


(45)

12   

populasi ikan betok Sumatera, yaitu sebesar 0,279 dan yang paling jauh adalah populasi ikan betok Kalimantan dengan populasi ikan betok Jawa.

3.1.6. Karakter morfometrik

Pengukuran karakter morfometrik dilakukan terhadap 21 karakter pada ikan betok Jawa, Sumatera, dan Kalimantan (Lampiran 3). Rata rata karakter morfometrik disajikan dalam Tabel 8 berikut.

Tabel 8. Rata rata 21 karakter morfometrik (cm) 3 populasi ikan betok

Karakter yang

diukur Jawa Sumatera Kalimantan A1-2 0,18±0,04 0,20±0,03 0,16±0,02 A1-4 0,33±0,02 0,30±0,08 0,28±0,03 A2-3 0,23±0,05 0,23±0,04 0,21±0,04 A1-5 0,28±0,05 0,25±0,05 0,29±0,07 A1-3 0,17±0,04 0,15±0,05 0,14±0,02 A4-5 0,30±0,03 0,29±0,03 0,29±0,06 A2-5 0,30±0,05 0,28±0,01 0,30±0,05 A3-5 0,17±0,19 0,13±0,04 0,14±0,05 A3-4 0,30±0,04 0,28±0,03 0,25±0,04 A2-4 0,20±0,06 0,16±0,06 0,15±0,04 B10-4 0,56±0,05 0,58±0,01 0,55±0,04 B6-4 0,35±0,04 0,36±0,01 0,37±0,06 B5-7 0,51±0,08 0,56±0,03 0,48±0,04 B5-6 0,19±0,03 0,20±0,02 0,18±0,03 B10-6 0,40±0,03 0,42±0,02 0,36±0,05 C10-9 0,06±0,01 0,15±0,18 0,09±0,01 C10-7 0,16±0,02 0,15±0,03 0,14±0,02 C7-8 0,07±0,04 0,09±0,04 0,09±0,01 C8-9 0,16±0,03 0,17±0,02 0,14±0,01 C10-8 0,16±0,02 0,16±0,03 0,18±0,01 C7-9 0,17±0,03 0,18±0,02 0,17±0,02


(46)

13   

3.1.7. Uji signifikansi

Uji signifikansi dilakukan untuk mengetahui karakter yang dapat digunakan sebagai penciri dari suatu jenis ikan. Berdasarkan hasil penelitian, bahwa 21 karakter yang diuji, 18 karakter tidak berbeda nyata (P>0,05) dan 3 karakter berbeda nyata (P<0,05) yaitu karakter B5-7 (awal sirip perut-akhir sirip anal), B10-6 (akhir sirip punggung-awal sirip anal) dan C8-9 (awal sirip ekor atas-awal sirip ekor bawah)

Tabel 9. Uji signifikansi 21 karakter morfometrik 3 populasi ikan betok Karakter yang

diuji

Wilks'

Lambda F df1 df2 Sig.

A1-2 0,832 2,732 2 27 0,083

A1-4 0,846 2,457 2 27 0,105

A2-3 0,963 0,514 2 27 0,604

A1-5 0,912 1,309 2 27 0,287

A1-3 0,897 1,554 2 27 0,230

A4-5 0,990 0,132 2 27 0,877

A2-5 0,917 1,219 2 27 0,311

A3-5 0,972 0,387 2 27 0,683

A3-4 0,821 2,946 2 27 0,070

A2-4 0,853 2,322 2 27 0,117

B10-4 0,914 1,277 2 27 0,295

B6-4 0,982 0,248 2 27 0,782

B5-7 0,781 3,786 2 27 0,036*

B5-6 0,925 1,093 2 27 0,350

B10-6 0,706 5,635 2 27 0,009*

C10-9 0,874 1,941 2 27 0,163

C10-7 0,942 0,837 2 27 0,444

C7-8 0,974 0,353 2 27 0,706

C8-9 0,761 4,232 2 27 0,025*

C10-8 0,893 1,613 2 27 0,218


(47)

14   

3.1.8. Canonical discriminant function

Hasil analisis fungsi kanonikal (Gambar 7) memperlihatkan bahwa karakter morfologi ikan betok Jawa dan ikan betok Sumatera tidak bersinggungan dengan ikan betok Kalimantan. Karakter morfometrik ikan betok Jawa berada di kuadran 1. Sedangkan karakter morfometrik ikan betok Sumatera dan betok Kalimantan berada di kuadran 3 dan 4. Persinggungan yang terjadi antara ikan betok Jawa dan Sumatera menunjukkan adanya pencampuran diantara kedua populasi tersebut. Karakter ikan betok Jawa dan Sumatera hanya sedikit yang bersinggungan, sedangkan ikan betok Kalimantan sama sekali tidak bersinggungan dengan ikan betok Jawa dan betok Sumatera

Gambar 7. Peta kanonikal 3 populasi ikan betok Kuadran 1

Kuadran 3 Kuadran 4 Kuadran 2


(48)

15   

3.1.9. Indeks kemiripan

Analisis kemiripan populasi berdasarkan karakter morfometrik (Tabel 10) menunjukkan tingkat homogenitas 100% pada populasi Sumatera dan Kalimantan, sedangkan karakter morfometrik populasi ikan betok Jawa memiliki indeks kemiripan dengan populasi ikan betok Sumatera sebesar 10% .

Tabel 10. Indeks kemiripan (sharing components) morfometrik (%)

Jawa Sumatera Kalimantan Total

Jawa 90,0 10,0 0,0 100,0

Sumatera 0,0 100,0 0,0 100,0 Kalimantan 0,0 0,0 100,0 100,0

3.2.0. Dendrogram penyebaran morfometrik

Analisis dendrogram karakter morfometrik ketiga populasi ikan betok menunjukkan kemiripan antara populasi Jawa dan Sumatera (Gambar 8).


(49)

16   

3.2. Pembahasan

Profil RAPD setiap populasi ikan betok menunjukkan keragaman yang berbeda berdasarkan panjang dan ukuran fragmen DNA teramplifikasi pada lokus OPA-2, OPC-2, dan OPC-5. Perbedaan tingkat keragaman genetik suatu populasi menggambarkan keunikan komposisi alelik menyusun genom. Pita DNA hasil amplifikasi merupakan pasangan antara nukleotida primer dengan nukleotida sampel (Soewardi, 2007). Panjang fragmen pita DNA yang teramplifikasi pada ikan betok berkisar antara 100 sampai 2000 bp. Tingkat polimorfisme tertinggi terdapat pada populasi betok Kalimantan yaitu sebesar 25,93% dan yang terendah adalah populasi betok Jawa (18,52%). Secara teoritis polimorfisme dipengaruhi oleh perubahan aliran materi genetik yang dibawa oleh gamet dalam pembentukan generasi baru melalui proses reproduksi. Selain itu, dinamika perubahan susunan materi genetik dapat berlangsung melalui proses inversi, delesi, substitusi, dan insersi basa nukleotida penyusun gen. Dalam pemetaan genotip, inversi DNA yang berukuran besar pada dua situs penempelan primer bisa menyebabkan ukuran basa atau jarak amplifikasi menjadi terlalu besar sehingga berakibat hilangnya fragmen, sedangkan delesi pada bagian genom yang membawa dua situs penempelan primer bisa mengakibatkan tidak ada fragmen yang teramplifikasi. Sementara, substitusi nukleotida dapat mengubah homolog antara primer dengan DNA genom yang mengakibatkan hilangnya polimorfisme atau mengubah ukuran fragmen. Sebaliknya, insersi atau delesi fragmen kecil DNA dapat mengubah ukuran fragmen yang diamplifikasi (Weising et al, dalam Kurniawirawan, 2007). Polimorfisme genetik pada ikan budidaya lebih rendah dibandingkan dengan populasi di perairan umum. Hal ini karena aktifitas seleksi induk yang tidak terkontrol dan kemungkinan terjadinya inbreeding akibat jumlah induk yang semakin terbatas pada sistem budidaya bisa mereduksi tingkat keragaman genetik populasi. Nilai heterozigotas rata-rata pada ikan betok dari populasi Jawa adalah paling rendah 0,088 dibandingkan dengan populasi ikan betok dari Sumatera (0,095) dan Kalimantan (0,109). Kecenderungan ada peningkatan keseragaman populasi pada ikan betok di Jawa dan Sumatera diduga terkait dengan pola distribusinya yang terbatas sehingga pertukaran materi genetik tidak meningkatkan variasi. Sedangkan heterozigositas yang semakin tereduksi


(50)

17   

sesuai dengan kondisi alami populasi ikan betok di Kalimantan diduga menjadi penyebab terjadinya genetic drift karena beberapa populasi diduga terperangkap dalam area yang tertutup (sistem budidaya) sehingga mengakibatkan rendahnya variasi gen. Pengujian Fst keragaman genetik antar populasi menunjukkan perbedaan yang nyata antara populasi ikan betok Kalimantan dengan Sumatera dan Jawa. Sedangkan antara populasi ikan betok Sumatera dan ikan betok Jawa menunjukkan kesamaan populasi atau mencerminkan distribusi unsur genetik yang sama.

Keragaman genetik mempengaruhi kemampuan spesies untuk merespon perubahan lingkungan baik buatan maupun alami dalam proses adaptasi agar bertahan hidup. Setiap kombinasi gen memiliki respons yang berbeda terhadap perubahan lingkungan, dalam hal ini keberagaman gen memberikan peluang yang lebih baik untuk dapat merespon perubahan lingkungan tersebut. Reduksi variasi genetik yang berlangsung dalam waktu lama dapat mengarah pada penurunan produktifitas populasi yang berdampak pada penurunan profit. Untuk mengatasi hal tersebut perlu dilakukan revitalisasi stok induk dengan mengintroduksi ragam genetik di lingkungan budidaya maupun restocking di perairan umum (Tave, 1983)

Hubungan kekerabatan antar populasi yang digambarkan menurut jarak genetik menunjukkan bahwa semakin kecil jarak genetik maka semakin tinggi kemiripan populasi tersebut, dan sebaliknya. Jarak genetik antara ketiga populasi ikan betok berkisar antara 0,279-0,551 yang menunjukkan bahwa ikan betok Jawa dengan Sumatera memiliki kemiripan yang lebih tinggi dibandingkan dengan populasi dari Kalimantan. Selain itu, lingkungan perairan rawa di Kalimantan diduga mempengaruhi perbedaan variasi genetik tersebut terkait dengan parameter kualitas air, terutama alkalinitas dan pH yang lebih rendah dibandingkan dengan perairan lingkungan budidaya di Jawa dan Sumatera (Pellokila, 2009)

Tingkah laku migrasi pada ikan betok, biasanya setelah hujan lebat ikan ini terlihat bergerak di daratan menuju kawasan perairan lain. Migrasi umumnya terjadi pada malam hari dan setelah hujan. Saat berpindah tempat mereka menggunakan ekor dan tutup insangnya yang berduri. Tujuan migrasi yang paling utama adalah karena faktor kelaparan dan untuk memijah. Ikan betok bersifat


(51)

18   

ovipar, memijah sepanjang tahun dengan puncak pemijahannya pada musim penghujan (musim banjir) di tepi tumbuhan air. Puncak pemijahan terjadi pada bulan Oktober-Desember, dengan telur telur mengapung bebas (egg layer). Suhu air yang cocok untuk pemijahan ikan betok adalah 28°C dengan pH 7. Pada musim kemarau, ikan ini membenamkan diri ke dalam lumpur dan muncul kembali saat musim penghujan (Pellokila, 2009). Selain itu, di perairan rawa, fluktuasi air tinggi dalam setahun sangat besar, hal ini terkait dengan siklus hidrologi. Akibat adanya peningkatan kedalaman dan penggenangan daratan, habitat berkembang sangat luas. Semakin luas habitat, semakin beragam pula sebaran makhluk hidup yang hidup di dalamnya karena semakin beragam pula ketersediaan makanan yang terdapat di sana. Hal ini sesuai dengan tangkapan ikan betok yang diperoleh (Setiadi dan Dewi 1989). Hasil tangkapan terbanyak terdapat pada bulan Desember saat kedalaman air tinggi. Pada populasi ikan betok dari Kalimantan, perubahan kondisi lingkungan diduga juga dipengaruhi oleh kerusakan lingkungan seperti kerusakan hutan, penebangan hutan bakau dan pencemaran lingkungan, sehingga mengakibatkan penurunan kualitas air yang berdampak pada semakin kritisnya peluang hidup ikan betok, dan memperkecil adanya migrasi maupun interaksi dengan populasi ikan betok dari tempat lain (Christanty, 2009)

Pada penelitian ini, populasi ikan betok Kalimantan menunjukkan perbedaan yang paling besar terhadap populasi Jawa dan Sumatera. Kombinasi gen yang dimiliki populasi Kalimantan diduga menunjukkan kemampuan adaptif yang berbeda bila populasi berada dalam lingkungan yang baru. Organisme yang sejak semula menduduki suatu area geografi tertentu dan merupakan suatu populasi diduga tetap mewakili golongan tempat asalnya meski muncul dan hilangnya variasi gen diantara berbagai frekuensi gen yang sudah ada sejak permulaan (Stansfield, 1991). Populasi ikan betok yang baru terbentuk bisa saja tereduksi menjadi populasi yang lebih kecil pada berbagai waktu sehingga mekanisme “leher botol” (bottle neck) bisa mempengaruhi perubahan frekuensi gen baru (fiksasi gen) dan membentuk populasi lain anggota populasi satu dengan lainnya tidak lagi dapat kawin (Stansfield, 1991). Selain itu, jika suatu spesies terpapar dalam lingkungan yang berfluktuasi dalam periode waktu yang cukup


(52)

19   

lama, maka kemampuannya untuk bertahan hidup menjadi bergantung pada kelengkapan keragaman genetiknya dengan munculnya genotip-genotip baru yang memiliki toleransi baru sehingga memungkinkan spesies tersebut untuk bertahan hidup dan mengembangkan jenisnya (Stansfield, 1991)

Keragaman morfometrik ikan betok Kalimantan lebih rendah dibandingkan dengan populasi betok Jawa dan Sumatera. Berdasarkan uji signifikansi karakter morfometrik diketahui 3 fenotip, yaitu karakter B5-7 (awal sirip perut-akhir sirip anal), B10-6 (akhir sirip punggung-awal sirip anal) dan C8-9 (awal sirip ekor atas-awal sirip ekor bawah), menunjukkan perbedaan populasi betok Kalimantan dengan populasi Jawa dan Sumatera. Dalam hal ini, 18 karakter yang tidak berbeda nyata dapat digunakan sebagai penciri jenis ikan betok. Perbedaan habitat masing masing populasi dapat menjadi penyebab adanya perbedaan pada ketiga karakter tersebut. Selain perbedaan habitat, faktor ragam lingkungan seperti pakan, kepadatan populasi, ukuran dan umur induk, ukuran telur, dan teknik pendederan juga dapat mempengaruhi (Alawi et al, 2006).

Hasil analisis fungsi kanonikal (Gambar 7) memperlihatkan bahwa karakter morfologi ikan betok dari Jawa dan Sumatera tidak bersinggungan dengan ikan betok Kalimantan. Karakter morfometrik ikan betok Jawa berada di kuadran 1. Sedangkan karakter morfometrik ikan betok Sumatera dan betok Kalimantan berada di kuadran 3 dan 4. Persinggungan yang terjadi antara ikan betok Jawa dan Sumatera menunjukkan adanya kemiripan diantara kedua populasi tersebut. Karakter ikan betok Jawa dan Sumatera hanya sedikit yang bersinggungan, sedangkan ikan betok Kalimantan sama sekali tidak bersinggungan dengan ikan betok Jawa dan betok Sumatera. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan morfometrik antara ikan betok Kalimantan dengan betok Jawa dan Sumatera.


(53)

20   

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

Populasi ikan betok dari Kalimantan memiliki tingkat polimorfisme yang paling tinggi (25,92%) dan hubungan kekerabatan genetik yang paling jauh terhadap populasi ikan betok dari Jawa (0,551) dan Sumatera (0,398). Karakter morfometrik populasi ikan betok Jawa memiliki indeks kemiripan dengan populasi ikan betok Sumatera sebesar 10%.

4.2. Saran

Untuk meningkatkan deskripsi keragaman genetik dan kemiripan ikan uji sebaiknya dilakukan penambahan jumlah dan variasi ukuran sampel yang dianalisis. Tingkat keragaman genetik yang tinggi dapat dipertimbangkan sebagai dasar seleksi populasi dalam pembentukan calon induk untuk kegiatan budidaya.


(54)

21   

DAFTAR PUSTAKA

Alawi H, Nuraini, Sukendi. 2006. Genetika dan Pemuliaan Ikan. Uni Press. Pekanbaru.

[Anonim]. 2011. Ikan Betok .www.wikipedia.com [7 Agustus 2011].

[Anonim]. 2011. Ilmuwan IPB Rekayasa Genetik Ikan Betok. www.kompas.com [5 Agustus 2011].

Brzesky VJ, Doyle RW. 1988. A morphometric criterion for sex discrimination in tilapia. In Pullin, R.S.V., T. Bukaswan, K. Tonguthai, and J.L. Maclan (Eds.). The Second ISTA, Bangkok, Thailand. ICLARM Conf. Proc. 15:439-444.

Christanty L. 2009. Sumber Daya Alam : Ciptaan Tuhan Yang Harus Dilestarikan. Coremap II-LIPI. Jakarta.

Kurniawirawan A. 2007. Analisis Keragaman Genetik Beberapa Populasi Ikan Batak (Tor soro) dengan Metode Random Amplified Polymorphism DNA (RAPD) [Skripsi]. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Miller MP. 1997. A Windows Program for the Analysis of Allozym and Molecular Population Genetic Data. Departmen of Biological Sciences Northern Arizona University Box 5640 Flagstaff, AZ 86011-5640.

Muladno. 2002. Seputar Teknologi Rekayasa Genetik. Pustaka Wirausaha Muda. Bogor.

Pellokila NAY. 2009. Biologi Reproduksi Ikan Betok (Anabas testudineus Bloch, 1792) di Rawa Banjiran Das Mahakam, Kalimantan Timur. [Skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Raymond ML, Rousset F. 1995. An exact test for population differentiation. Evolution 49: 1280-1283.

Rogers JS. 1972. Measures of genetic similarity and genetic distance. p. 145-154 in "Studies in Genetics VII". University of Texas Publication no. 7213, Austin.

Setiadi D, Dewi. 1989 . Dasar Dasar Ekologi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat Institut Pertanian Bogor. Bogor.


(55)

22   

Soewardi K. 2007. Pengelolaan Keragaman Genetik Sumberdaya Perikanan dan Kelautan.Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Stansfield WD. 1991. Genetika Edisi Kedua. Penerbit Erlangga, Jakarta.

Tave D. 1983. Genetics for Fish Managers. The AVI Publ. Comp. Inc. NY, USA.418. pp.

Wright S. 1978. Evolution and the Genetics of Populations, vol. 4. Variability Within and Among Natural Populations. University of Chicago Press, Chicago.

www.fishbase.org. Anabas testudineus Bloch 1792. [terhubung berkala]. www. Fishbase.com/PopDyn/PopCharList.php?ID=495&GenusName=Anabas&S peciesName=testudineus&fc=426. [14 November 2011].

Yuwono T. 2006. Teori dan Aplikasi Polymerase Chain Reaction. Penerbit Andi Yogyakarta.


(56)

23   


(57)

24   

Lampiran 1. Amplifikasi DNA pada 3 populasi ikan betok

Amplifikasi OPA-02 sampel ke 4,5,6 pada ikan betok Jawa,

Sumatera, Kalimantan

Amplifikasi OPA-02 sampel ke 7,8,9 pada ikan betok Jawa,

Sumatera, Kalimantan

Amplifikasi OPC-02 sampel ke 1,2,3 pada ikan betok Jawa,

Sumatera, Kalimantan

Amplifikasi OPC-02 sampel ke 7,8,9 pada ikan betok Jawa,

Sumatera, Kalimantan

Amplifikasi OPC-05 sampel ke 4,5,6 pada ikan betok Jawa,

Sumatera, Kalimantan

Amplifikasi OPC-05 sampel ke 7,8,9 pada ikan betok Jawa,


(58)

25   

Lampiran 2. Uraian statistik

9/12/2011 4:47:15 AM

Analysis of C:\TFPGA\BETOK.DAT

Data set contains genotypes of individuals sampled from populations. Organism Type: Diploid

Marker Type: Dominant H-W Equilibrium Assumed.

Allele frequencies estimated based on the square root of the frequency of the null (recessive) genotype. DESCRIPTIVE STATISTICS

******************************************************** RESULTS FOR EACH POPULATION.

POPULATION 1

Locus 1 # obs. at locus= 10

allele: # obs: allele freq: # hets: het freq: 1 10 1.0000 0.0000 0.0000 2 0 0.0000 0.0000 0.0000 Heterozygosity: 0.0000

Heterozygosity (unbiased): 0.0000 Heterozygosity (direct count): 0.0000

Locus 2 # obs. at locus= 10

allele: # obs: allele freq: # hets: het freq: 1 10 1.0000 0.0000 0.0000 2 0 0.0000 0.0000 0.0000 Heterozygosity: 0.0000

Heterozygosity (unbiased): 0.0000 Heterozygosity (direct count): 0.0000

Amplifikasi OPA 02, OPC-02, OPC 05 sampel ke 10 pada ikan betok Jawa, Sumatera, Kalimantan


(59)

26   

Locus 3 # obs. at locus= 10

allele: # obs: allele freq: # hets: het freq: 1 10 1.0000 0.0000 0.0000 2 0 0.0000 0.0000 0.0000 Heterozygosity: 0.0000

Heterozygosity (unbiased): 0.0000 Heterozygosity (direct count): 0.0000

Locus 4 # obs. at locus= 10

allele: # obs: allele freq: # hets: het freq: 1 10 1.0000 0.0000 0.0000 2 0 0.0000 0.0000 0.0000 Heterozygosity: 0.0000

Heterozygosity (unbiased): 0.0000 Heterozygosity (direct count): 0.000

Locus 5 # obs. at locus= 10

allele: # obs: allele freq: # hets: het freq: 1 7 0.4523 4.9545 0.4954 2 3 0.5477 4.9545 0.4954 Heterozygosity: 0.4954

Heterozygosity (unbiased): 0.5215 Heterozygosity (direct count): 0.4954

Locus 6 # obs. at locus= 10

allele: # obs: allele freq: # hets: het freq: 1 7 0.4523 4.9545 0.4954 2 3 0.5477 4.9545 0.4954 Heterozygosity: 0.4954

Heterozygosity (unbiased): 0.5215 Heterozygosity (direct count): 0.4954

Locus 7 # obs. at locus= 10

allele: # obs: allele freq: # hets: het freq: 1 10 1.0000 0.0000 0.0000 2 0 0.0000 0.0000 0.0000 Heterozygosity: 0.0000

Heterozygosity (unbiased): 0.0000 Heterozygosity (direct count): 0.0000

Locus 8 # obs. at locus= 10

allele: # obs: allele freq: # hets: het freq: 1 10 1.0000 0.0000 0.0000 2 0 0.0000 0.0000 0.0000 Heterozygosity: 0.0000

Heterozygosity (unbiased): 0.0000 Heterozygosity (direct count): 0.0000


(60)

27   

Locus 9 # obs. at locus= 10

allele: # obs: allele freq: # hets: het freq: 1 10 1.0000 0.0000 0.0000 2 0 0.0000 0.0000 0.0000 Heterozygosity: 0.0000

Heterozygosity (unbiased): 0.0000 Heterozygosity (direct count): 0.0000

Locus 10 # obs. at locus= 10

allele: # obs: allele freq: # hets: het freq: 1 10 1.0000 0.0000 0.0000 2 0 0.0000 0.0000 0.0000 Heterozygosity: 0.0000

Heterozygosity (unbiased): 0.0000 Heterozygosity (direct count): 0.0000

Locus 11 # obs. at locus= 10

allele: # obs: allele freq: # hets: het freq: 1 10 1.0000 0.0000 0.0000 2 0 0.0000 0.0000 0.0000 Heterozygosity: 0.0000

Heterozygosity (unbiased): 0.0000 Heterozygosity (direct count): 0.0000

Locus 12 # obs. at locus= 10

allele: # obs: allele freq: # hets: het freq: 1 10 1.0000 0.0000 0.0000 2 0 0.0000 0.0000 0.0000 Heterozygosity: 0.0000

Heterozygosity (unbiased): 0.0000 Heterozygosity (direct count): 0.0000

Locus 13 # obs. at locus= 10

allele: # obs: allele freq: # hets: het freq: 1 10 1.0000 0.0000 0.0000 2 0 0.0000 0.0000 0.0000 Heterozygosity: 0.0000

Heterozygosity (unbiased): 0.0000 Heterozygosity (direct count): 0.0000

Locus 14 # obs. at locus= 10

allele: # obs: allele freq: # hets: het freq: 1 10 1.0000 0.0000 0.0000 2 0 0.0000 0.0000 0.0000 Heterozygosity: 0.0000

Heterozygosity (unbiased): 0.0000 Heterozygosity (direct count): 0.0000


(61)

28   

Locus 15 # obs. at locus= 10

allele: # obs: allele freq: # hets: het freq: 1 10 1.0000 0.0000 0.0000 2 0 0.0000 0.0000 0.0000 Heterozygosity: 0.0000

Heterozygosity (unbiased): 0.0000 Heterozygosity (direct count): 0.0000

Locus 16 # obs. at locus= 10

allele: # obs: allele freq: # hets: het freq: 1 10 1.0000 0.0000 0.0000 2 0 0.0000 0.0000 0.0000 Heterozygosity: 0.0000

Heterozygosity (unbiased): 0.0000 Heterozygosity (direct count): 0.0000

Locus 17 # obs. at locus= 10

allele: # obs: allele freq: # hets: het freq: 1 4 0.2254 3.4919 0.3492 2 6 0.7746 3.4919 0.3492 Heterozygosity: 0.3492

Heterozygosity (unbiased): 0.3676 Heterozygosity (direct count): 0.3492

Locus 18 # obs. at locus= 10

allele: # obs: allele freq: # hets: het freq: 1 10 1.0000 0.0000 0.0000 2 0 0.0000 0.0000 0.0000 Heterozygosity: 0.0000

Heterozygosity (unbiased): 0.0000 Heterozygosity (direct count): 0.0000

Locus 19 # obs. at locus= 10

allele: # obs: allele freq: # hets: het freq: 1 10 1.0000 0.0000 0.0000 2 0 0.0000 0.0000 0.0000 Heterozygosity: 0.0000

Heterozygosity (unbiased): 0.0000 Heterozygosity (direct count): 0.0000

Locus 20 # obs. at locus= 10

allele: # obs: allele freq: # hets: het freq: 1 10 1.0000 0.0000 0.0000 2 0 0.0000 0.0000 0.0000 Heterozygosity: 0.0000

Heterozygosity (unbiased): 0.0000 Heterozygosity (direct count): 0.0000


(1)

Locus 1 # obs. at locus= 9

allele: # obs: allele freq: # hets: het freq: 1 0 0.0000 0.0000 0.0000 2 9 1.0000 0.0000 0.0000 Heterozygosity: 0.0000

Heterozygosity (unbiased): 0.0000 Heterozygosity (direct count): 0.0000 Locus 2 # obs. at locus= 9

allele: # obs: allele freq: # hets: het freq: 1 9 1.0000 0.0000 0.0000 2 0 0.0000 0.0000 0.0000 Heterozygosity: 0.0000

Heterozygosity (unbiased): 0.0000 Heterozygosity (direct count): 0.0000 Locus 3 # obs. at locus= 9

allele: # obs: allele freq: # hets: het freq: 1 9 1.0000 0.0000 0.0000 2 0 0.0000 0.0000 0.0000 Heterozygosity: 0.0000

Heterozygosity (unbiased): 0.0000 Heterozygosity (direct count): 0.0000 Locus 4 # obs. at locus= 9

allele: # obs: allele freq: # hets: het freq: 1 9 1.0000 0.0000 0.0000 2 0 0.0000 0.0000 0.0000 Heterozygosity: 0.0000

Heterozygosity (unbiased): 0.0000 Heterozygosity (direct count): 0.0000 Locus 5 # obs. at locus= 9

allele: # obs: allele freq: # hets: het freq: 1 9 1.0000 0.0000 0.0000 2 0 0.0000 0.0000 0.0000 Heterozygosity: 0.0000

Heterozygosity (unbiased): 0.0000 Heterozygosity (direct count): 0.0000


(2)

1 9 1.0000 0.0000 0.0000 2 0 0.0000 0.0000 0.0000 Heterozygosity: 0.0000

Heterozygosity (unbiased): 0.0000 Heterozygosity (direct count): 0.0000 Locus 7 # obs. at locus= 9

allele: # obs: allele freq: # hets: het freq: 1 9 1.0000 0.0000 0.0000 2 0 0.0000 0.0000 0.0000 Heterozygosity: 0.0000

Heterozygosity (unbiased): 0.0000 Heterozygosity (direct count): 0.0000 Locus 8 # obs. at locus= 9

allele: # obs: allele freq: # hets: het freq: 1 5 0.3333 4.0000 0.4444 2 4 0.6667 4.0000 0.4444 Heterozygosity: 0.4444

Heterozygosity (unbiased): 0.4706 Heterozygosity (direct count): 0.4444 Locus 9 # obs. at locus= 9

allele: # obs: allele freq: # hets: het freq: 1 5 0.3333 4.0000 0.4444 2 4 0.6667 4.0000 0.4444 Heterozygosity: 0.4444

Heterozygosity (unbiased): 0.4706 Heterozygosity (direct count): 0.4444 Locus 10 # obs. at locus= 9

allele: # obs: allele freq: # hets: het freq: 1 9 1.0000 0.0000 0.0000 2 0 0.0000 0.0000 0.0000 Heterozygosity: 0.0000

Heterozygosity (unbiased): 0.0000 Heterozygosity (direct count): 0.0000 Locus 11 # obs. at locus= 9

allele: # obs: allele freq: # hets: het freq: 1 9 1.0000 0.0000 0.0000 2 0 0.0000 0.0000 0.0000 Heterozygosity: 0.0000

Heterozygosity (unbiased): 0.0000 Heterozygosity (direct count): 0.0000


(3)

allele: # obs: allele freq: # hets: het freq: 1 9 1.0000 0.0000 0.0000 2 0 0.0000 0.0000 0.0000 Heterozygosity: 0.0000

Heterozygosity (unbiased): 0.0000 Heterozygosity (direct count): 0.0000 Locus 13 # obs. at locus= 9

allele: # obs: allele freq: # hets: het freq: 1 5 0.3333 4.0000 0.4444 2 4 0.6667 4.0000 0.4444 Heterozygosity: 0.4444

Heterozygosity (unbiased): 0.4706 Heterozygosity (direct count): 0.4444 Locus 14 # obs. at locus= 9

allele: # obs: allele freq: # hets: het freq: 1 9 1.0000 0.0000 0.0000 2 0 0.0000 0.0000 0.0000 Heterozygosity: 0.0000

Heterozygosity (unbiased): 0.0000 Heterozygosity (direct count): 0.0000 Locus 15 # obs. at locus= 9

allele: # obs: allele freq: # hets: het freq: 1 9 1.0000 0.0000 0.0000 2 0 0.0000 0.0000 0.0000 Heterozygosity: 0.0000

Heterozygosity (unbiased): 0.0000 Heterozygosity (direct count): 0.0000 Locus 16 # obs. at locus= 9

allele: # obs: allele freq: # hets: het freq: 1 9 1.0000 0.0000 0.0000 2 0 0.0000 0.0000 0.0000 Heterozygosity: 0.0000

Heterozygosity (unbiased): 0.0000 Heterozygosity (direct count): 0.0000 Locus 17 # obs. at locus= 9

allele: # obs: allele freq: # hets: het freq: 1 9 1.0000 0.0000 0.0000 2 0 0.0000 0.0000 0.0000


(4)

1 7 0.5286 4.4853 0.4984 2 2 0.4714 4.4853 0.4984 Heterozygosity: 0.4984

Heterozygosity (unbiased): 0.5277 Heterozygosity (direct count): 0.4984 Locus 19 # obs. at locus= 9

allele: # obs: allele freq: # hets: het freq: 1 8 0.6667 4.0000 0.4444 2 1 0.3333 4.0000 0.4444 Heterozygosity: 0.4444

Heterozygosity (unbiased): 0.4706 Heterozygosity (direct count): 0.4444 Locus 20 # obs. at locus= 9

allele: # obs: allele freq: # hets: het freq: 1 9 1.0000 0.0000 0.0000 2 0 0.0000 0.0000 0.0000 Heterozygosity: 0.0000

Heterozygosity (unbiased): 0.0000 Heterozygosity (direct count): 0.0000 Locus 21 # obs. at locus= 9

allele: # obs: allele freq: # hets: het freq: 1 9 1.0000 0.0000 0.0000 2 0 0.0000 0.0000 0.0000 Heterozygosity: 0.0000

Heterozygosity (unbiased): 0.0000 Heterozygosity (direct count): 0.0000 Locus 22 # obs. at locus= 9

allele: # obs: allele freq: # hets: het freq: 1 2 0.1181 1.8745 0.2083 2 7 0.8819 1.8745 0.2083 Heterozygosity: 0.2083

Heterozygosity (unbiased): 0.2205 Heterozygosity (direct count): 0.2083 Locus 23 # obs. at locus= 9

allele: # obs: allele freq: # hets: het freq: 1 0 0.0000 0.0000 0.0000 2 9 1.0000 0.0000 0.0000 Heterozygosity: 0.0000

Heterozygosity (unbiased): 0.0000 Heterozygosity (direct count): 0.0000


(5)

allele: # obs: allele freq: # hets: het freq: 1 0 0.0000 0.0000 0.0000 2 9 1.0000 0.0000 0.0000 Heterozygosity: 0.0000

Heterozygosity (unbiased): 0.0000 Heterozygosity (direct count): 0.0000 Locus 25 # obs. at locus= 9

allele: # obs: allele freq: # hets: het freq: 1 3 0.1835 2.6969 0.2997 2 6 0.8165 2.6969 0.2997 Heterozygosity: 0.2997

Heterozygosity (unbiased): 0.3173 Heterozygosity (direct count): 0.2997 Locus 26 # obs. at locus= 9

allele: # obs: allele freq: # hets: het freq: 1 0 0.0000 0.0000 0.0000 2 9 1.0000 0.0000 0.0000 Heterozygosity: 0.0000

Heterozygosity (unbiased): 0.0000 Heterozygosity (direct count): 0.0000 Locus 27 # obs. at locus= 9

allele: # obs: allele freq: # hets: het freq: 1 0 0.0000 0.0000 0.0000 2 9 1.0000 0.0000 0.0000 Heterozygosity: 0.0000

Heterozygosity (unbiased): 0.0000 Heterozygosity (direct count): 0.0000

--- Results over all loci

Ave. sample size: 9.0000 Ave. heterozygosity: 0.1031

Ave. heterozygosity (unbiased): 0.1092 Ave. heterozygosity (direct count): 0.1031 % polymorphic loci (no criterion): 25.9259 % polymorphic loci (99% criterion): 25.9259 % polymorphic loci (95% criterion): 25.9259


(6)