1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pelajaran Bahasa Indonesia adalah pelajaran yang sering dianggap sebagai pelajaran mudah. Pelajaran Bahasa Indonesia memiliki dasar-dasar keterampilan yang
harus dinilai, yaitu keterampilan membaca, menulis, berbicara, dan mendengarkan. Keempat keterampilan tersebut wajib dimiliki oleh setiap peserta didik.
Permasalahannya ialah, banyak di antaranya yang memiliki kelemahan dalam hal membaca.
Membaca adalah salah satu kegiatan yang pasti akan dilakukan di setiap pertemuan pelajaran bahasa Indonesia. Namun, tidak semua kegiatan membaca di
sekolah dapat diikuti dengan baik oleh siswa. Pada tahun 2006 berdasarkan data Badan Pusat Statistik menunjukan bahwa masyarakat Indonesia belum menjadikan
kegiatan membaca sebagai sumber utama mendapatkan informasi. Lalu, pada tahun 2009 berdasarkan data yang dilansir Organisasi Pengembangan Kerjasama Ekonomi
OECD, budaya baca masyarakat Indonesia menempati posisi terendah dari 52 negara di kawasan Asia Timur. Selanjutnya, tahun 2011 berdasarkan survei United
Nations Educational, Scientific and Cultural Organization UNESCO rendahnya
minat baca ini, dibuktikan dengan indeks membaca masyarakat Indonesia hanya 0,001 dari seribu penduduk, hanya ada satu orang yang masih memiliki minat baca
tinggi. Survey selanjutnya, pada tahun 2012 Indonesia menempati posisi 124 dari 187 negara dunia dalam penilaian Indeks Pembangunan Manusia IPM, khususnya
terpenuhinya kebutuhan dasar penduduk, termasuk kebutuhan pendidikan, kesehatan dan ‗melek huruf‘. Indonesia sebagai negara berpenduduk 165,7 juta jiwa lebih,
hanya memiliki jumlah terbitan buku sebanyak 50 juta per tahun. Itu artinya, rata-rata satu
buku di
Indonesia dibaca
oleh lima
orang Mardiah,
bpsdmkp.kkp.go.idappsperpustakaan ,
10316. Sejalan dengan penjelasan di atas, data yang didapat oleh PIRLS Progress in
International Reading Literacy Study pada tahun 2006 yang menguji kemampuan
membaca siswa Indonesia pada kelas empat sekolah dasar menunjukkan bahwa Indonesia hanya mampu menduduki posisi 41 dari 45 di antara negara-negara peserta
lainnya. Indonesia didapati memiliki skor rata-rata 405 skor rata-rata internasional=500, dengan standar deviasi=100 dikutip dari Swediati, Nonny dan
Untorodewo, Felicia N 2009: 2. Sesuai dengan penjelasan di atas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa
budaya baca memang belum menjadi budaya bangsa indonesia. Jadi, tidak mengherankan bila Indonesia kurang memiliki sumber daya manusia yang baik
karena rendahnya minat baca. Minat baca juga dapat menentukan kualitas sumber daya manusia. Bukti penelitian di atas dapat menjadi acuan bagi kita, bahwa memang
saat ini kualitas membaca siswa masih sangat kurang. Kemampuan membaca juga dapat dilatih dengan kebiasaan membaca. Siswa
yang kurang gemar membaca kemungkinan tidak akan terlalu kesulitan dalam memahami suatu bacaan pada saat menemukan kosakata yang belum pernah ia baca
ataupun ia dengar sebelumnya. Weiss 1990: 28 mengatakan bahwa kosakata tertulis PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
biasanya lebih banyak daripada kosakata lisan, dan penulis kerap memamerkan kosakata mereka. Pembaca yang biasa-biasa saja biasanya bukan tandingan untuk ahli
kata-kata yang kerap berpendidikan lebih baik, dan mereka tidak selalu mengerti apa yang mereka baca.
Selain pelajaran bahasa Indonesia yang memiliki kegiatan membaca, pelajaran lain pun memiliki kegiatan membaca yang cukup banyak, contohnya pelajaran
Sejarah. Berdasarkan artikel berjudul ―Kualitas Penyajian Buku Teks Pelajaran
Sejarah SMA 1975- 2008‖ dalam Jurnal Pendidikan, disebutkan bahwa sebuah buku
teks pelajaran harus mengajak siswa untuk dapat mengembangkan kemampuan siswa dalam berpikir kritis Purwanta, 2012: 215. Penjelasan tersebut menegaskan bahwa
pembaca tetap harus memiliki kemampuan berpikir kritis dalam membaca. Membaca kritis menurut Soedarso 2000: 72 ialah pembaca mengahargai pendapat penulis,
mengevaluasi tekniknya, pertimbangannya, dan menguji alasannya dengan alasan yang logis, dengan interpretasi yang berdasar. Untuk itu, kemampuan membaca kritis
perlu ditingkatkan salah satunya agar kualitas sumber daya manusia Indonesia dapat meningkat.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Solang 2008: 37 dalam artikel yang berjudul ―Latihan Keterampilan Intelektual dan Kemampuan Pemecahan
Masalah Secara Kreatif‖ disebutkan bahwa keterampilan berpikir yang dibingkai teori inteligensi triarthic berupa latihan keterampilan berpikir analistik, sintetik, dan
praktikal, dapat dirajutkan ke dalam mata pelajaran bahasa Indonesia dalam konten membaca. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa secara produktif dapat digunakan untuk
memecahkan permasalahan yang terkandung dalam bacaan, yang memicu keberanian siswa mengungkapkan gagasannya yang bersifat orisinal, baru, dan berguna baik bagi
dirinya maupun orang lain. Jadi, dapat disimpulkan bahwa dengan membaca seseorang dapat mengembangkan keterampilan berpikirnya untuk memecahkan
masalah dan mengungkapkan gagasanya. Dengan kata lain seseorang juga dapat mengungkapkan pemikiran kritisnya dari membaca.
Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti memutuskan untuk meneliti faktor kemampuan membaca kritis siswa yang dilihat dari pengamatan selama kegiatan
belajar mengajar, kuesioner, serta wawancara. Sebelum itu, peneliti akan terlebih dahulu meneliti kemampuan membaca kritis siswa. Peneliti merasa bahwa siswa
perlu memiliki pengalaman membaca yang lebih karena akan menghadapi Ujian Nasional lebih kurang satu tahun lagi, maka siswa perlu melatih kemampuan
membaca sekaligus berpikir kritisnya agar siswa lebih kritis dan mudah mengungkapkan gagasan yang ada dipikirannya. Untuk itu, peneliti menentukan
judul penelitian ini adalah ―Faktor Kemampuan Membaca Kritis pada Siswa Kelas XI MIA 2 di SMA Negeri 1 Kasihan, Bantul, Yogyakarta Tahun Ajaran 20152016
‖.
1.2 Rumusan Masalah