1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Menurut Resource Based View RBV, terdapat 3 jenis sumber daya resource yang menjadi pilar utama sebuah organisasi. Ketiga sumber
daya tersebut adalah organisasi organizational capital, manusia human capital, dan fisik physical capital Anis dkk., 2011. Resource Based
View RBV merupakan konsep penting bagi sebuah organisasi di masa ini Barney dan Wright 1998; Holland, Sheehan, dan Cieri, 2007.
Keberadaan SDM dalam sebuah organisasi sangat penting karena SDM yang memprakarsai terbentuknya organisasi, berperan membuat keputusan
untuk semua fungsi, dan juga berperan dalam menentukan kelangsungan hidup organisasi itu Panggabean, 2004. Sumber daya manusia menjadi
semakin penting karena dapat membuat organisasi semakin kompetitif berdasarkan keunikan yang dimilikinya Anis dkk., 2011. Karyawan
dapat menjadi aset paling penting dan berdampak langsung pada kemampuan organisasi untuk berkompetisi.
Dewasa ini organisasi bahkan memandang sumber daya manusia yang mereka miliki sebagai aset paling berharga dan sebagai satu-satunya
faktor penentu kemampuan perusahaan untuk berkompetisi Robbins dan Coulter, 2007. Saat ini banyak perusahaan harus menghadapi persaingan
yang ketat dengan perusahaan lain. Sebuah perusahaan harus memiliki
2
keunggulan kompetitif dalam menerapkan strategi bersaing agar dapat bertahan. Sumber daya manusia menjadi begitu penting bagi sebuah
perusahaan karena dapat juga menentukan sejauh mana perusahaan dapat berkompetisi. Perusahaan yang dapat berkompetisi inilah yang dapat
bertahan Sutarto,1979. Berdasarkan uraian di atas, sumber daya manusia akan berdampak pula pada kompetitifnya sebuah perusahaan dan dengan
demikian menentukan kemampuan perusahaan dalam bertahan. Sumber daya manusia sangat penting bagi perusahaan sehingga usaha untuk
menarik dan mempertahankan sumber daya manusia juga menjadi penting Holland, Sheehan dan Cieri, 2007
Pada tahun 2007-2008 Tower Watson, sebuah perusahaan konsultan manajemen dengan 14.000 rekanan di seluruh dunia, melakukan survei
Global Strategic Rewards 20072008 di beberapa negara di Asia. Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa perusahaan di Indonesia menghadapi
masalah dalam mempertahankan karyawan berprestasi baik top- performing employees. Hampir 72 karyawan yang melakukan turnover
di Indonesia
adalah karyawan
berprestasi baik
http:www.towerwatson.com . Masalah ini bahkan lebih tinggi dibanding
kebanyakan negara Asia Pasifik lainnya yang ikut dalam survei. Jika melihat prosentase jumlah karyawan berprestasi baik dari jumlah turnover
total, maka Indonesia berada di peringkat pertama. Menurut Haris dalam Duangthong, 2012, jika tingkat turnover mencapai lebih dari 10 per
tahun dinilai terlalu tinggi. Kehilangan karyawan, terutama yang
3
berperforma baik, membuat perusahaan mengeluarkan uang lebih, karena akan berdampak pada menurunnya produktivitas dan meningkatnya biaya
terkait perekrutan dan pelatihan karyawan penggantinya Riggio, 2008. Berdasarkan uraian di atas, berarti turnover adalah hal yang menghambat
usaha perusahaan dalam berkompetisi dan bertahan karena perusahaan kehilangan sumber daya manusia yang dikatakan sangat penting bagi
perusahaan. Bahkan adanya turnover membuat perusahaan merugi dengan keluarnya biaya tambahan dan membuat perusahaan tidak dapat
berkompetisi Riggio, 2008. Schultz 2010 menyebutkan turnover terkait erat dengan banyak
faktor di antaranya: kepuasan kerja, komitmen organisasi, persepsi terhadap kondisi ekonomi, dan kesempatan kerja. Zimmerman dalam
Schultz, 2010 menambahkan bahwa stabilitas emosional yang rendah pada faktor Big Five seseorang akan meningkatkan intensi seseorang
untuk melakukan turnover. Meskipun terkait dengan banyak faktor lain, menurut banyak penelitian turnover memiliki keterkaitan yang langsung
dan lebih erat dengan komitmen organisasi dibanding dengan faktor lain. Misalnya penelitian Shore dan Martin 1989 yang menemukan bahwa
komitmen organisasi lebih terkait erat dengan intensi turnover dibandingkan kepuasan kerja. Landy 2004, juga mengatakan bahwa
kepuasan kerja memengaruhi komitmen organisasi, dan komitmen organisasi mempengaruhi beberapa perilaku kontraproduktif, salah
satunya adalah turnover.
4
Kepuasan kerja memang terkait dengan turnover, namun secara tidak langsung. Hal ini dapat dilihat dari sebuah meta-analisis yang
menunjukkan bahwa tingkat komitmen organisasi yang lebih rendah terkait dengan tingkat turnover yang lebih tinggi Griffeth, Hom, dan
Gaertner dalam Riggio 2008. Komitmen organisasi memiliki peran penting dalam penelitian karena dapat memprediksi beberapa perilaku
penting, seperti turnover karyawan, kepatuhan karyawan terhadap nilai- nilai organisasi, dan kemauan karyawan untuk melakukan tanggung jawab
yang sebenarnya bukan menjadi tanggung jawab mereka Haslam, 2004. Riggio 2008 juga menambahkan bahwa turnover mungkin dipengaruhi
oleh kurangnya kepuasan kerja dan komitmen organisasi. Dengan demikian telah terbukti bahwa turnover sangat terkait dengan komitmen
organisasi. Komitmen organisasi adalah perasaan dan sikap pekerja terhadap
organisasi kerja secara keseluruhan Riggio, 2008. Robbins 2010 juga mengatakan komitmen organisasi sebagai tingkat identifikasi yang
dilakukan oleh karyawan terhadap organisasi beserta tujuannya, dan keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi. Komitmen organisasi
terkait dengan: 1 karyawan menerima tujuan dan nilai organisasi, 2 kesediaan untuk berusaha demi organisasi, dan 3 keinginan untuk
bertahan di dalam organisasi Mowday, Steers, Porter, 1974. Menurut Meyer, Allen, dan Smith 1993, komitmen organisasi adalah perpaduan
dari tiga aspek komitmen: yang merupakan sebuah kondisi psikologis yang
5
mencirikan relasi karyawan dengan organisasi atau juga dampaknya terhadap karyawan apakah tetap melanjutkan proses dengan organisasi
atau tidak. Menurut Meyer, Allen, dan Smith 1993, terdapat tiga aspek
komitmen organisasi. Ketiga aspek komitmen organisasi tersebut adalah: affective commitment like the job, continuance commitment need the
job, dan normative commitment feel obligated to stay on the job. Aspek pertama, affective commitment like the job, merupakan kelekatan
emosional karyawan terhadap organisasi dan afeksi positif yang dialami karyawan. Ini adalah aspek tertinggi di mana karyawan yang telah
mencapai aspek ini akan lebih merasakan kepuasan kerja, termotivasi, dan bersemangat. Aspek kedua, continuance commitment need the job,
merupakan komitmen untuk terus bersama organisasi karena akan berdampak ke finansial karyawan jika karyawan keluar. Komitmen aspek
continuance commitment terjadi ketika karyawan mendapat fasilitas dan keuntungan dari organisasi, dan tidak tersedianya pekerjaan lain di luar
organisasi. Aspek ketiga, normative commitment feel obligated to stay on the job, terjadi ketika karyawan merasa harus bertahan dalam organisasi.
Komitmen aspek ini terjadi ketika karyawan memiliki nilai-nilai personal yang sama dengan organisasi dan memiliki rasa tanggung jawab terhadap
organisasi meskipun belum tentu karyawan menyukai dan membutuhkan pekerjaan ini.
6
Perusahaan sebenarnya tidak tinggal diam dalam usahanya mempertahankan karyawan. Hal ini terlihat dari banyaknya program yang
dirancang oleh perusahaan untuk mempertahankan karyawan employee retention program
. Misalnya, “Southwest Airline” melakukan masa orientasi pada karyawan baru. Menurut penelitian yang dilakukan oleh
Robert Half International, program orientasi ini efektif untuk membuat karyawan bertahan dan termotivasi di dalam perusahaan Snell dan
Bohlander, 2010. Berbeda dengan pelatihan training, program orientasi menekankan pada alasan karyawan berada di organisasi tersebut. Selain
itu, pada program orientasi diberikan juga filosofi di balik peraturan organisasi dan menyediakan pola pikir untuk tugas yang terkait dengan
pekerjaan. Dengan demikian karyawan akan merasa dihargai oleh perusahaan Snell dan Bohlander, 2010. Selain itu di beberapa jurnal,
buku, dan juga di internet banyak ditulis tentang employee retention program
yang efektif. Salah satunya adalah jurnal “Losing Your Best Talent: Employee Retention the Dilemma of Textile Industry
” Sohail dkk, 2011. Temuan jurnal tersebut mengatakan bahwa jenjang karir career
path menjadi faktor terpenting yang dicari oleh karyawan dan membuat karyawan mau bertahan di perusahaan tersebut. Lagunas 2011 juga
mengungkapkan 5 cara untuk mempertahankan karyawan, yakni: merekrut karyawan yang memang bisa dipertahankan, mengubah cara pandang
bahwa merekrut adalah merencanakan karir seseorang dan bukan mengisi posisi yang kosong, mengetahui alasan pribadi karyawan keluar, memulai
7
memperhatikan karyawan yang berperforma buruk, dan bekerja bersama para manager untuk mempertahankan karyawan masing-masing.
Di sisi lain, berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia no 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, usia minimal pekerja adalah 18 tahun
Undang-undang ketenagakerjaaan,
2003. International
Labour Organization Organisasi Perburuhan Internasional juga menyatakan
bahwa usia minimum yang diperbolehkan bekerja adalah 18 tahun
Konvensi Usia Minimum, 1973. ILO adalah badan PBB yang bertugas memajukan kesempatan bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh
pekerjaan yang layak dan produktif dalam kondisi yang merdeka, setara, aman, dan bermartabat. Selain itu, menurut Pusdatinaker Pusat Data dan
Informasi Ketenagakerjaan tahun 2013, dari total 260 juta pekerja di Indonesia, sebanyak 209 juta di antaranya berusia lebih dari 20 tahun.
Berdasarkan ketentuan Undang-undang ketenagakerjaan, Konvensi Usia Minimum ILO, dan data Pusdatinaker, berarti sebagian besar pekerja atau
karyawan berada di usia lebih dari 18 tahun. Individu yang berusia 18 tahun merupakan individu yang berada
pada fase perkembangan remaja. Hal ini berarti sebagian besar pekerja atau karyawan merupakan individu yang sedang berada pada atau telah
melewati fase perkembangan remaja. Menurut Elizabeth Hurlock dalam Santrock, 2007, batasan usia kronologis masa remaja yaitu antara 13
hingga 18 tahun. Thornburgh dalam Santrock, 2007 menyatakan bahwa batasan usia kronologis Hurlock adalah batasan tradisional. Menurutnya,
8
batasan usia kontemporer membatasi usia remaja antara 11 hingga 22 tahun. Erikson dalam Santrock, 2007 menyebutkan masa remaja terjadi
pada usia 10-20 tahun. Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, maka individu yang dimaksud sebagai remaja berada pada kisaran usia 10-20
tahun. Tugas dalam tahap perkembangan individu di fase ini adalah mencari identitas, atau jika gagal maka individu akan terjebak pada
kebingungan identitas. Pada masa remaja individu dihadapkan pada kemampuan memahami diri, masa depan, dan cita-cita mereka Santrock,
2011. Identitas inilah yang menuntun remaja untuk menentukan siapa dirinya dan bukan dirinya, mengerti karakteristiknya adalah berbeda
dengan orang lain Feist dan Feist, 2010. James Marcia dalam Cloninger, 2004 melakukan riset pula terkait
pembentukan identitas dan mengidentifikasi empat status individu dalam proses ini. James Marcia yakin bahwa perkembangan identitas yang
sempurna terjadi jika individu telah mengalami sebuah krisis dan telah melewati krisis dengan komitmen yang kuat terhadap pekerjaan danatau
ideologi. Identity achievement adalah status ketika individu membangun pemahaman identitas setelah melakukan eksplorasi. Identity moratorium
adalah status ketika individu berada di tengah-tengah krisis identitas. Mereka masih bergulat dengan pertanyaan siapakah diri mereka dan apa
jati dirinya, dan kurang siap untuk membuat komitmen dibandingkan mereka yang sudah mendapatkan identitas. Identity foreclosure adalah
status ketika individu mencapai pemahaman identitas tanpa melalui proses
9
eksplorasi. Terakhir, identity difussion adalah status ketika individu tidak memiliki pemahaman identitas atau komitmen Pervin dkk., 2005.
Perbedaan keempat kategori ini terletak pada ada dan tiadanya krisis periode pengambilan keputusan yang disadari, yang berkaitan dengan
pembentukan identitas dan komitmen investasi personal dalam pekerjaan atau sistem kepercayaan, dua elemen yang dipandang krusial oleh Erikson
guna membentuk identitas Papalia dkk., 2008. Identitas terbentuk oleh adanya krisis dan komitmen. Ketika
pubertas, remaja mencari peran baru untuk membantu mereka menemukan identitas seksual, ideologis, dan pekerjaan mereka Feist dan Feist, 2010.
Menemukan identitas seksual, ideologis, dan pekerjaan merupakan masalah yang harus dipecahkan sebelum remaja berhasil membentuk
identitasnya Papalia dkk., 2008. Hal ini berarti dapat disimpulkan bahwa identitas dapat terbentuk ketika ketiga masalah tadi terpecahkan. Di sisi
lain, dapat diartikan bahwa ketika salah satu masalah tersebut belum selesai, identitas belum sepenuhnya terbentuk. Papalia menambahkan,
salah satu masalah yang disebutkan adalah terkait pekerjaan. Individu yang belum berhasil menyelesaikan masalah terkait pekerjaan ini belum pernah
mengalami krisis dan belum memiliki komitmen tentang pekerjaan. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Santrock bahwa salah satu dimensi eksplorasi
krisis yang penting ialah penjajakan pilihan-pilihan alternatif terhadap peran. Penjajakan karir merupakan hal penting Santrock, 2011.
Penjajakan karir, sebagaimana masalah menemukan identitas seksual dan
10
ideologis, dianggap penting oleh Erikson agar tidak terjadi kecenderungan distonik Feist dan Feist, 2010. Menurut Erikson dalam Feist dan Feist,
2010, di dalam tiap tahapan kehidupan terdapat interkasi berlawanan yang merupakan konflik antara elemen sintonik harmonis dan distonik
kacau. Elemen distonik merupakan keadaan ketika seseorang gagal menyelesaikan tugas perkembangan. Pekerjaankarir sering menjadi poin
penting dalam identitas. Studi tentang pentingnya penjajakan karir sebagai proses untuk mencapai identitas kebanyakan dilakukan dengan populasi
Sekolah Menengah Atas dan Universitas Friedman dan Schustack, 2008. Hasilnya menunjukkan bahwa mengeksplorasi kemungkinan karir yang
berbeda-beda merupakan bagian dari proses untuk mencapai identitas. Selama masa psychosocial moratorium
– istilah Erikson untuk periode “time out” yang diberikan masa remaja – banyak anak muda
mencari komitmen yang dapat mereka jadikan pegangan. Komitmen usia muda ini dapat membentuk kehidupan seseorang beberapa tahun
kemudian. Kemampuan anak muda memecahkan krisis identitas dipengaruhi oleh tingkat keteguhan mereka dalam memegang komitmen.
Remaja yang berhasil mengatasi krisis tersebut dengan memuaskan akan mengembangkan apa yang disebut dengan kesetiaan sebagai kekuatan
utama Papalia dkk., 2008; Feist dan Feist, 2010. Hal ini menjadi menarik untuk diteliti mengenai hubungan antara
status identitas individu dengan komitmen organisasi individu. Dalam mencari identitas dan menghindari kebingungan identitas diperlukan
11
komitmen seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, termasuk di dalamnya komitmen terhadap pekerjaan. Anak-anak muda harus mengalami sedikit
keraguan dan
kebingungan akan
diri mereka
sebelum dapat
mengembangkan identitas yang tetap Feist dan Feist, 2010. Identitas berbicara pula tentang nilai dan tujuan hidup individu Boeree, 2008.
Terkait dengan hal ini, nilai dan tujuan hidup individu juga terkait dengan komitmen organisasi. Teori perkembangan karir Donald Super
mengatakan pula bahwa eksplorasi karir pada masa remaja adalah unsur kunci dari konsep diri tentang karir pada remaja Super dalam Santrock,
2011. Ketika remaja melakukan eksplorasi berarti mereka mengalami pula
krisis karena
beberapa ahli
juga menggunakan
istilah penjajakaneksplorasi untuk menggantikan istilah krisis Santrock, 2011.
Komitmen dan krisis yang diperlukan dalam rangka membentuk identitas ternyata diperlukan pula terkait tugas terkait pekerjaan yang merupakan
salah satu dari tiga tugas penting individu untuk menemukan identitas. Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti ingin melihat hubungan
antara keberhasilan individu mencapai identitas status identitas kategori identity achievement dengan komitmen organisasi. Peneliti berasumsi
bahwa individu yang telah berhasil mencapai identitas identity achievement akan memiliki komitmen organisasi yang tinggi.
12
B. Rumusan Masalah