37
C. Hubungan Status Identitas Identity Achievement dengan Komitmen
Organisasi
Erikson dalam Hergenhahn dan Olson, 2007 dan Marcia 1993 mendefinisikan identitas diri sebagai kemampuan individu yang terus
berkembang untuk memahami mengidentifikasi serta mengevaluasi diri sendiri dan orang lain termasuk keunikan dan kemiripan, kekuatan dan
kelemahan, gaya individualitas, fungsi sintesis ego, dan juga hal yang akan dilakukan.
Krisis eksplorasi dan komitmen merupakan 2 faktor penting yang menentukan pencapaian identitas seseorang Marcia, dalam Santrock,
2003. Eksplorasi merupakan suatu aktivitas yang dilakukan untuk menggali dan mencari informasi atau alternatif yang sebanyak-banyaknya
dan mempunyai hubungan dengan kepentingan di masa depan. Berbagai informasi dan alternatif tersebut selanjutnya dibandingkan antara satu
dengan yang lain, selanjutnya akan dipilih alternatif yang dipandang paling memberikan keuntungan dan jaminan masa depan yang lebih baik.
Komitmen didefinisikan sebagai sesuatu sikap yang cenderung menetap dan memberikan kesetiaan terhadap alternatif yang telah dipilih
dan diyakini sebagai paling baik dan berguna bagi masa depan. Komitmen adalah kondisi psikologis yang mengindikasikan adanya pemberian
perhatian secara serius terhadap alternatif pilihan kriteria yang digunakan untuk mengukur tingkat komitmen remaja dalam rangka proses
pembentukan identitas diri. Setelah mengalami krisis dan komitmen,
38
seseorang dianggap telah mencapai identitasnya Marcia, dalam Santrock, 2003.
Tingkat krisis dan komitmen yang dialami individu akan menggolongkan individu dalam salah satu dari empat status identitas
Marcia, dalam Santrock, 2003. Setiap status identitas memiliki hubungan yang berbeda dengan beberapa trait terutama kesehatan psikologis,
hubungan interpersonal, dan juga karir. Banyak penelitian berusaha menemukan hubungan identitas dengan kesehatan psikologis maupun
hubungan interpersonal. Beberapa tahun terakhir ini masalah karir atau pekerjaan juga banyak diteliti hubungannya dengan identitas Steinberg,
2002. Penelitian tentang identitas tidak lagi hanya terkait hal-hal dalam psikologi perkembangan, seperti kesehatan psikologis atau hubungan
interpersonal. Kini penelitian tentang identitas juga mulai terkait dengan psikologi industri dan masalah karir atau pekerjaan dibahas juga.
Dalam rangka membentuk identitas, terdapat tiga masalah yang harus dipecahkan sebelum individu berhasil membentuk identitas. Ketiga
masalah tersebut adalah menemukan identitas seksual, ideologis, dan pekerjaan Marcia, dalam Santrock, 2003. Tahun 1960-1970an
kebanyakan peneliti tentang identitas menemukan peersoalan-persoalan pekerjaan lebih sentral bagi identitas kaum laki-laki dan persoalan-
persoalan afiliasi lebih sentral bagi identitas kaum perempuan LaVoie, dalam Santrock 2002. Perubahan terjadi pada tahun-tahun berikutnya.
Kaum perempuan mengembangkan minat-minat pekerjaan yang lebih kuat
39
Waterman, dalam Santrock 2002. Masalah pekerjaankarir menjadi semakin dianggap penting oleh remaja, baik laki-laki maupun perempuan,
dalam menemukan identitasnya. Hal ini menarik untuk diteliti sebagai salah satu masalah yang harus dipecahkan dalam rangka membentuk
identitas. Menurut Erikson dalam Santrock, 2007, manusia berkembang
dalam tahap psikososial yang terdiri dari delapan tahap perkembangan. Setiap tahap terdiri dari tugas perkembangan yang unik yang
menghadapkan seseorang pada suatu krisis yang harus dipecahkan. Individu yang berusia 18 tahun merupakan individu yang berada pada fase
perkembangan remaja. Pada masa ini, individu dihadapkan pada penemuan diri, tentang diri mereka sebenarnya, dan tujuan hidup mereka.
Individu dihadapkan pada banyak peran baru dan status kedewasaan, pekerjaan, dan cinta. Erikson dalam Santrock, 2007 mengatakan jika
individu menjelajahi peran tersebut dengan cara baik dan sampai pada jalan positif untuk diikuti dalam hidup, maka identitas positif akan
tercapai. Jika suatu identitas dipaksakan pada individu oleh orangtuanya, jika individu tidak cukup menjelajahi banyak peran, dan jika masa depan
yang positif belum jelas, maka terjadilah kebingungan identitas. Hal ini diperkuat pula oleh Marcia bahwa krisis eksplorasi dan komitmen
merupakan 2 faktor penting yang menentukan pencapaian identitas seseorang Marcia, dalam Santrock, 2003.
40
Identitas merupakan kemampuan individu yang terus berkembang untuk memahami mengidentifikasi serta mengevaluasi diri sendiri dan
orang lain termasuk keunikan dan kemiripan, kekuatan dan kelemahan, gaya individualitas, fungsi sintesis ego, dan juga hal yang akan dilakukan.
Dalam ranah psikologi industri, kemampuan mengidentifikasi diri juga penting karena sebagai anggota organisasi, individu akan mengidentifikasi
dirinya dan juga perusahaannya Cascio, 1995. Hal inilah yang disebut dengan komitmen organisasi, yaitu kondisi psikologis termasuk perasaan,
sikap, dan identifikasi pribadi terhadap organisasi yang mencirikan hubungan karyawan dengan organisasi.
Meyer dan Allen 1997 mengidentifikasi tiga tipe komitmen organisasi, yaitu: Affective commitment, Continuance commitment, dan
Normative commitment. Affective commitment didefinisikan sebagai kelekatan emosional dengan organisasi, identifikasi terhadap organisasi,
dan keterlibatan karyawan dalam organisasi. Karyawan dengan affective commitment yang kuat akan bertahan dalam organisasi karena mereka
ingin untuk
bertahan. Dalam
affective commitment
karyawan mengidentifikasi organisasinya, menginternalisasi nilai dan sikapnya, dan
menaati tuntutan organisasi Schultz, 2010. Continuance commitment merupakan kemauan untuk bertahan
dalam organisasi karena investasi yang dimiliki karyawan merupakan investasi yang tidak akan diterima lagi ketika karyawan keluar dari
organisasi, seperti pangkat yang lebih tinggi, relasi dengan karyawan lain,
41
atau hal khusus dari organisasi. Tidak ada identifikasi personal dengan tujuan dan nilai organisasi Landy dan Conte, 2004.
Normative commitment merupakan perasaan harus atau wajib bertahan dalam organisasi Riggio, 2008. Normative commitment dapat
dijelaskan oleh komitmen lainnya misalnya dalam hal pernikahan, keluarga, agama. Oleh karena itu, ketika dibawa dalam konteks organisasi
dan tempat kerja, individu sering merasa seperti memiliki tanggung jawab moral terhadap organisasi Wiener, dalam Schultz, 2010.
42
D. Kerangka Berpikir