Perkembangan Penanaman Modal Asing di Surabaya Perkembangan Inflasi di Surabaya Perkembangan Jumlah Industri di Surabaya

70 perkembangan terendah sebesar -14,07 dengan kurs valas di tahun 2000 sebesar Rp 10.400 turun sebesar Rp 9.940 di tahun 2001.

4.2.3. Perkembangan Penanaman Modal Asing di Surabaya

Pekembangan Penanaman Modal Kerja selama periode pengamatan cenderung mengalami fluktuasi. Perkembangan penanaman modal kerja tertinggi selama periode penelitian adalah pada tahun 2002 sebesar 225,98 dengan penanaman modal asing sebesar Rp 308.766 juta yang ditahun sebelumnya hanya sebesar Rp 94.718. Sedangkan perkembangan terendah adalah pada tahun 1999 sebesar -76,58 Tabel.4. Perkembangan Penanaman Modal Asing di Surabaya tahun 1994 - 2008 Tahun PMA Juta Rp Perkembangan 1994 264.163 - 1995 573.537 117,11 1996 193.574 -66,25 1997 304.801 57,46 1998 120.210 -60,56 1999 38.578 -67,91 2000 18.590 -51,81 2001 44.491 139,33 2002 10.418 -76,58 2003 93.163 794,25 2004 81.765 -12,23 2005 92.997 13,74 2006 47.963 -48,43 2007 94.718 97,48 2008 308.766 225,98 Sumber : Badan Pusat Statistik Jawa Timur diolah Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. 71

4.2.4. Perkembangan Inflasi di Surabaya

Tabel.5. Perkembangan Inflasi di Surabaya tahun 1994 - 2008 Tahun Infalsi Perkembangan 1994 8,25 - 1995 7,80 -5,45 1996 8,00 2,56 1997 9,11 13,88 1998 95,21 945,12 1999 1,39 -98,54 2000 10,46 652,52 2001 14,13 35,09 2002 9,15 -35,24 2003 4,79 -47,65 2004 5,92 23,59 2005 14,12 138,51 2006 -52,48 -52,48 2007 -6,56 -6,56 2008 39,23 39,23 Sumber : Badan Pusat Statistik Jawa Timur diolah Berdasarkan tabel dibawah dapat diketahui bahwa pekembangan inflasa selama 15 tahun 1994-2008 cenderung mengalami fluktuasi. Perkembangan inflasi tertinggi selama periode penelitian adalah pada tahun 1998 sebesar 945,12 dengan inflasi sebesar 95,21 yang ditahun sebelumnya sebesar 1,39. Sedangkan perkembangan terendah adalah pada tahun 2006 sebesar -52,48 .

4.2.5. Perkembangan Jumlah Industri di Surabaya

Perkembangan Jumlah Industri dapat disajikan dalam tabel di bawah ini : Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. 72 Tabel.6. Perkembangan Jumlah Industri di Surabaya tahun 1994- 2008 Tahun Jumlah Industri Unit Perkembangan 1994 817 - 1995 9.497 1062,42 1996 9.781 2,99 1997 9.962 1,85 1998 10.074 1,12 1999 10.169 0,94 2000 10969 7,87 2001 11.142 1,58 2002 3.512 -68,48 2003 4.051 15.35 2004 4.478 10.54 2005 5.058 12.95 2006 5.451 7,77 2007 5.768 5,82 2008 2.434 -57,80 Sumber : Badan Pusat Statistik Jawa Timur diolah Pekembangan Jumlah Industri selama periode pengamatan cenderung mengalami fluktuasi. Perkembangan jumlah industri tertinggi selama periode penelitian adalah pada tahun 1998 sebesar 1062,42 . Sedangkan perkembangan terendah adalah pada tahun 2002 sebesar - 68,48 . 4.3 Analisis dan Uji Hipotesis 4.3.1. Pengujian Hasil Analisis Regresi Linier Berganda Sesuai Dengan Asumsi BLUE Best Linier Unbiased Estimator Sebelum kita uji persamaan regresi berganda sesuai dengan pengujian secara simultan maupun parsial, maka kita lihat terlebih dahulu Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. 73 apakah persamaan Y = β + β 1 X 1 + β 2 X 2 + β 3 X 3 + β 4 X 4 yang diasumsikan tidak terjadi pengaruh antara variable bebas atau regresi bersifat BLUE, artinya koefisien regresi pada persamaan tersebut betul – betul linier tidak bias. 1. Autokorelasi Autokorelasi dapat didefinisikan sebagai “korelasi antara data observasi yang diurutkan berdasarkan urut waktu data time series atau data yang diambil pada waktu tertentu data cross-sectional” Gujarati, 1991:201. Untuk mengetahui ada tidaknya autokorelasi dapat dilihat pada tabel Durbin Watson. Kaidah keputusan dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Jika d lebih kecil daripada d L atau lebih besar daripada 4-d L , maka hipotesis nol ditolak yang berarti terdapat autokorelasi. 2. Jika d terletak antara d U dan 4-d U , maka hipotesis nol diterima yang berarti tidak ada autokorelasi. 3. Jika nilai d terletak antara d L dan d U atau antara 4-d L dan 4-d U maka uji Durbin-Watson tidak menghasilkan kesimpulan yang pasti, untuk nilai-nilai ini tidak dapat disimpulkan ada tidaknya autokorelasi di antara faktor-faktor penganggu. Untuk mengetahui ada tidaknya gejala autokorelasi dalam model penelitian maka perlu dilihat nilai DW tabel. Diketahui jumlah variabel bebas adalah 4 k=4 dan banyaknya data adalah 15 n=15 Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. 74 sehingga diperoleh nilai DW tabel adalah sebesar d L = 0,688 dan d U = 1,977 Gambar 12. Kurva Statistik Durbin Watson Daerah Daerah Daerah Daerah Kritis Ketidak- Terima Ho Ketidak- Kritis pastian pastian Tolak Tidak ada Tolak Ho autokorelasi Ho 0 d L = 0,688 d U = 1,977 4-d U = 2,023 4-d L = 3,312 1,117 umber : Lampiran 2 dan 6 Berdasarkan hasil analisis, maka dalam model regresi ini tidak terjadi gejala autokorelasi karena nilai DW tes yang diperoleh adalah sebesar 1,117rada pada daerah antara 4-d U dan 4-d L yang berarti berada dalam daerah ketidakpastian.

2. Multikolinier

Multikolinieritas berarti ada hubungan linier yang “sempurna” atau pasti di antara beberapa atau semua variabel independen dari model regresi. Dari dugaan adanya multikolinieritas tersebut maka perlu adanya pembuktian secara statistik ada atau tidaknya gejala multikolinier dengan cara menghitung Variance Inflation Factor d S Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. 75 VIF. VIF menyatakan tingkat “pembengkakan” varians. Apabila VIF lebih besar dari 10, hal ini berarti terdapat multikolinier pada persamaan regresi linier. Adapun hasil yang diperoleh setelah diadakan pengujian analisis regresi linier berganda diketahui bahwa dari keempat variabel yang dianalisis diperoleh VIF untuk X 1 sebesar 1,117 untuk X 2 sebesar 1,656; VIF untuk X 3 sebesar 2,044 dan X 4 sebesar 1,015 yang berarti lebih kecil dari 10 sehingga dalam model regresi ini tidak terjadi multikolinier Lampiran 2 pada tabel Coefficients.

3. Heterokedastisitas

Pada regresi linier nilai residual tidak boleh ada hubungan dengan variabel bebas X. Hal ini bisa diidentifikasikan dengan menghitung korelasi rank spearman antara residual dengan seluruh variabel bebas. Pembuktian adanya heterokedastisitas dilihat pada tabel dibawah : Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. 76 Tabel 7. Tes Heterokedastisitas dengan Korelasi Rank Spearman Korelasi Residual Simpangan Baku Spearmans rho Residual Simpangan Baku Koefisien Korelasi 1000 Sig. 2-tailed - N 15 Tenaga Kerja Koefisien Korelasi .036 X 1 Sig. 2-tailed .899 N 15 Kurs Valas X 2 Koefisien Korelasi Sig. 2-tailed .093 .742 N 15 PMA Koefisien Korelasi .007 X 3 Sig. 2-tailed N .980 15 Inflasi Koefisien Korelasi .104 X 4 Sig. 2-tailed N .713 15 Sumber : Lampiran 4. Berdasarkan tabel diatas, diperoleh tingkat signifikansi koefisien korelasi rank spearman untuk variabel bebas X 1 sebesar 0,899; X 2 sebesar 0,742; X 3 sebesar 0,980 dan X 4 sebesar 0,713 terhadap residual lebih besar dari 0,05 sehingga tidak mempunyai korelasi yang berarti antara nilai residual dengan variabel yang menjelaskan. Jadi dapat disimpulkan persamaan tersebut tidak terjadi heterokedastisitas. Berdasarkan pengujian yang telah dilakukan diatas dapat disimpulkan bahwa pada model penelitian ini tidak terjadi pelanggaran asumsi klasik yang berarti tidak bias. Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. 77

4.3.2. Analisis Hasil Perhitungan Koefisien Regresi