Monarki Monarki dan Adaptasi politik

38 memberikan kestabilan dan “agak” kurang dikehendaki, cenderung diturunkan menjadi mobokrasi, yang sebenarnya juga sangat tidak diinginkan oleh semua bentuk pemerintahan yang lain, yang baik ataupun yang buruk; karena mobokrasi cenderung memunculkan tirani, atau – menurut kiasaan yang digemari orang prancis – sebagai “penunggang kuda” yang mengendarai kudanya dengan menyeruduk. Tirani merupakan bentuk puncak dari pemerintahan yang buruk, meski mereka yang menganut tabel klasifikasi ini sepakat bahwa bentuk yang terbaik dari semua bentuk pemerintahan adalah yang memungkinkan menguatnya monarki. Dan bukanlah kebetulan kalau kedaulatan dalam negara ideal plato dipusatkan dalam diri “raja-filosof”

7. Monarki

Plato menyatakan peraturan hukum merupakan cara penyelesaian pertikaian dan pengakhiran pertikaian yang paling tidak sempurna. Karena sifatnya, hukum adalah hal yang umum dan dirancang untuk diterapkan pada satu atau berbagai macam dari kebanyakan kategori hubungan sosial. Tetapi persoalan suatu masyarakat biasanya diungkapkan dalam istilah-istilah tertentu, mengaitkan individu dalam konteks-konteks sosial yang berbeda, dan yang berubah sepanjang waktu. Karena itu penguatan monarki merupakan cara yang paling efisien dan paling adil untuk memerintah negara ia menjamun bahwa pedoman dasar bagi masyarakat akan dilaksanakan menurut perubahan keadaan dan kebutuhan- kebutuhan khusus. Para prndukung pemerintahan monarki, bahkan pada saat ini, menyatakan bahwa corak pemerintahan ini memperbesar kemungkinan stablitas politik, terutama dalam hubungannya dengan perluasan perubahan sosial dan ekonomi. Para mahasiswa perbandingan politik tampaknya memang terkesan dengan kestabilan yang relatif tinggi dari negara-negara yang hingga kini masih mempertahankan beberapa lembaga monarkinya setelah sekian abad. Inggris, Swedia dan Denmark adalah contoh yang jelas, tetapi seseorang akan memasukan juga dalam kategori monarki konstitusional masa kini seperti Belanda, Norwegia, 39 Belgia, Luxemberg, Jepang, Muangthai, dan Spanyol sejak tahun 1975. Sangat berbeda dengan stabilitas relatif dari hampir semua negara-negara tersebut, monarki-monarki dalam abad kedua puluh telah dihapus dari Rusia, Jerman, Austria, Hongaria, Turki, Portugal, Spanyol, antara tahun 1931 sampai 1975, Italia, Yugoslavia, Bulgaria, Rumania, Albania, Mesir, Libya, dan - dalam tahun 1970-an – Yunani, Ethipia, dan Iran. Karenanya Pemerintahan oleh satu orang bukanlah suatu jaminan bagi stabilitas politik. Apa yang dapat dijelaskan dari berbagai temuan ini?

8. Monarki dan Adaptasi politik

Bagian terbesar dari jawaban atas pertanyaan ini meskipun tidak semuanya tergantung pada kemampuan dan kemauan dari raja-raja tertentu dan para pengganti mereka untuk menerima pengurangan yang besar dalam kekuasaan politik mereka. Contoh yang klasik adalah Inggris ketia William dan Mary naik tahta kerajaan pada tahun 1689. penobatan mereka tergantung pada penerimaan mereka atas supremasi parlementer terhadap monarki dalam bidang-bidang kebijakan umum yang penting, termasuk perpajakan, komando dan organisasi militer, dan agama yang dianut oleh kerajaan. Kesepakatan antara parlemen Inggris dan Raja bisa dianggap sebagai perjanjian sosial sekalipun perjanjian sosial itu mengesampingkan partisipasi rakyat. Sebagian besar sejarah politik inggris yang kemudian tampaknya hanyalah merupakan cerita tentang meningkatnya kekuasaan parlemen, khususnya House of Commons, berkenaan dengan semakin merosotnya kekuasaan monarki. Adalah lumrah kalau saat ini mengatakan bahwa raja atau ratu inggris itui lebih memerintah daripada berkuasa dan bahwa fungsi-fungsi utama monarki hanyalah sebagai simbol; ia merupakan penerus tradisi inggris dan menjadi pusat kesetiaan warga negara Inggris. Kebanyakan monarki masa kini tetap menjadi lembaga penting dalam masyarakatnya karena pewaris tahta raja dan ratu telah mengurangi arti penting politik dirinya. Sebagaimana dalam perang, seseorang harus mau menyerah agar tetap hidup. 40 Ini sangat bertentangan dengan sejarah lembaga monarki di Prancis selama abad ke delapan belas dan sembilan belas, di Rusia selama dasawarsa pertama abad ke dua puluh, dan Mesir serta Iran dalam pertengahan abad ke dua puluh. Dalam negara-negara ini dan negara-negara lainnya yang telah menghapuskan monarkinya, kekuasaan kerajaan terbukti tidak mampu atau tidak mau mengubah fungsi politiknya sejalan dengan perubahan sosial dan politik. Raja selalu berkeras dengan kekuasaannya dan gagal untuk memperbesar pertumbuhan otonomi parlemen serta pelaksanaan kekusaan eksekutif yang tidak besar dari para pemimpin politik untuknya. Karena itulah kemudian ia sering kehilangan tahta dan kadang-kadang jiwanya serta kehidupan keluarganya serta para pendukungnya yang setia. Kaisar rusia memperlihatkan nasib yang demikian. Sekalipun Revolusi 1905 telah berhasil menekannya untuk mengadakan sidang parlemen Duma, tetapi Kaisar Nicholas II memanipulasi lembaga perwakilan tersebut untuk memperoleh hasil yang diinginkan, menyensor pidato para delegasi, dan menolak nasehat para menterinnya. Ia tetap ngotot agar pemerintahan haruslah didasarkan pada gagasan usang tentang “hak ketuhahan raja” yang membuatnya hanya bertanggu jawab kepada tuhan terutama yang berkenaan dengan kekalahan tentara Rusia dalam Perang Dunia I yang memalukan itu. Sebenarnya kita bisa saja menghipotesakan bahwa semakin raja bertahan terhadap pengurangan kekuasaannya, semakin besar pula kemungkinan ia akan diganti oleh rejim revolusioner yang menggunakan kekerasan secara luas untuk membasmi sisa-sisa monarki dan dominasi kaum aristokrat.

9. Pemerintahan Oleh Sedikit Orang