BAB III PENERAPAN SANKSI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI YANG
TERJADI DI PENGADILAN NEGERI SURABAYA DENGAN NOMOR PERKARA 3614Pid. B2007PN. SBY
3.1. Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Terhadap Terdakwa Pelaku Tindak
Pidana Korupsi Sesuai Nomor Perkara 3614Pid. B2007PN. SBY
Pedoman pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman, menjelaskan tentang tujuan Hukum Acara Pidana. Tujuan dari Hukum Acaara Pidana
adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak tidaknya mendekati kebenaran materil, ialah kebenaran yang selengkap- lengkapnya dari suatu perkara pidana
dengan menerapkan ketentuan Hukum Acara Pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu
pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah
dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan. Dari hasil persidangan kasus korupsi Kepala Badan Pertanahan Nasional Kota Surabaya di
Pengadilan Negeri Surabaya, terdakwa Khudlori secara sah terbukti melakukan kejahatan korupsi dan ancaman terhadap korban. Hal ini terbukti dipersidangan
dengan adanya bukti-bukti dan saksi-saksi yang memberikan keterangan dalam persidangan tersebut. Hukum Acara Pidana Indonesia menganut sistem pembuktian
negatif yang berarti hanya mengakui adanya alat-alat bukti yang sah yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di luar ketentuan tersebut bukan
merupakan alat bukti yang sah. Dalam hal penjatuhan putusan, sebelumnya harus dilakukan pembuktian. Pembuktian dalam sidang pengadilan perkara pidana
merupakan suatu hal yang sangat penting karena tugas utama dari Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan menemukan kebenaran materiil. Pengambilan
putusan oleh majelis hakim dilakukan setelah masing-masing hakim anggota majelis mengemukakan pendapat atau pertimbangan serta keyakinan atas suatu perkara lalu
dilakukan musyawarah untuk mufakat. Ketua majelis hakim berusaha agar diperoleh permufakatan bulat. Jika permufakatan bulat tidak diperoleh, putusan diambil dengan
suara terbanyak. Ada kalanya para hakim berbeda pendapat atau pertimbangan sehingga suara terbanyak pun tidak dapat diperoleh. Jika hal tersebut terjadi maka
putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan terdakwa. Kasus tindak pidana korupsi gratifikasi Kepala Badan Pertanahan Kota
Surabaya oleh Pengadilan Negeri Surabaya pada hari senin tanggal 7 tujuh Januari tahun 2008, menjatuhkan pidana penjara selama 1 satu tahun 3 tiga bulan dan
denda sebesar Rp. 50.000.000 lima puluh juta rupiah, subsidir 6 enam bulan kurungan. Seluruh biaya perkara dibebankan kepada terdakwa sebesar Rp. 5.000
lima ribu rupiah. Putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim ini sesuai dengan Pasal 11 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang N0. 20 Tahun 2001
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan sesuai keterangan para saksi dan bukti-bukti yang ada dalam proses persidangan. Akan tetapi, sanksi yang diberikan
adalah sanksi terendah dari Pasal 11 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang- Undang N0. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Mengapa
Majelis Hakim tidak memberikan sanksi yang lebih dari 1 satu tahun yang diharapkan dapat memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi dimana
kasus ini terjadi pada saat pemerintah sedang genjar melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi secara menyeluruh di setiap wilayah Indonesia?
Majelis Hakim menjatuhkan sanksi minimum terhadap terdakwa pelaku kejahatan tindak pidana korupsi Kepala Badan Pertanahan Kota Surabaya karena
sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana jelas sanksi terendahlah
yang dijatuhkan kepada terdakwa yang bersalah dalam proses persidangan. Akan tetapi dalam kasus tindak pidana korupsi, apakah harus sanksi terendah yang
dijatuhkan kepada terdakwa tindak pidana korupsi? Hal ini sangat berkesan bahwa hakim masih mengampuni terdakwa tindak pidana korupsi, dan dengan ini kejahatan
tindak pidana korupsi di Indonesia tidak akan punah. Sesuai dengan kejahatan yang telah dilakukan maka sanksi terberatlah yang diharapkan dapat diputuskan dalam
persidangan agar pelaku tindak pidana korupsi dalam hal ini kasus gratifikasi Kepala Badan Pertanahan Kota Surabaya benar-benar merasa bahwa perbuatan yang telah
dilakukan itu salah dan sanksi yang akan diberikan pengadilan benar-benar memiliki efek jera untuk tidak melakukan kejahatan itu lagi, serta sanksi pidana yang cukup
lama diharapkan dapat berhasil mengubah sifat dan mental terdakwa untuk menjadi lebih baik, karena di Indonesia ada terdakwa tindak pidana korupsi yang setelah
mendapat sanksi pidana atas kejahatannya, ketika bebas dan keluar dari pidana penjara yang dirasa tidak begitu lama dan sangat mudah untuk dijalani, terdakwa
tersebut melakukan kejahatan yang sama. Hal ini perlu dipertanyakan dan oleh sebab itu pemidanaan yang dijatuhkan sesuai putusan pengadilan dinyatakan sangat tidak
berhasil.
3.2 Alasan Majelis Hakim Menjatuhkan Pidana Penjara dan Sanksi Denda