IMPLEMENTASI PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI KASUS GRATIFIKASI Studi Kasus No. 3614/Pid. B/2007 di Pengadilan Negeri Surabaya.

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi sebagai persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum UPN “Veteran” Jawa Timur

Oleh :

NPM 0671010096

IVANIUS TUBA NETO

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ”VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM SURABAYA


(2)

Disusun oleh :

NPM. 0671010096 IVANIUS TUBA NETO

Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi

Menyetujui,

Mengetahui, DEKAN

NIP. 19620625 199103 1 001 Haryo Sulistiyantoro, SH, MM Pembimbing Utama

Subani, SH. M.si NIP. 19510504 1983031 001

Pembimbing Pendamping

Fauzul Aliwarman, SH. M,Hum NPT. 382 020 70221


(3)

Studi Kasus No. 3624/Pid. B/2007 di Pengadilan Negeri Surabaya

Disusun oleh :

IVANIUS TUBA NETO NPM. 0671010096

Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh tim penguji skripsi program study ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Pada tanggal 09 November 2010

Tim Penguji : Tanda Tangan,

1. Sutrisno SH, M.Hum. NIP. 19601212 198803 1001

(...)

2. Subani SH, M.si.

NIP. 19510504 1983031 001

(...)

3. Haryo Sulistyantoro SH., MM. NIP. 19620625 199103 1 001

(...)

Mengetahui, DEKAN

NIP. 19620625 199103 1 001 Haryo Sulistyantoro SH., MM.


(4)

Studi Kasus No. 3624/Pid. B/2007 di Pengadilan Negeri Surabaya

Disusun oleh :

IVANIUS TUBA NETO NPM. 0671010096

Telah direvisi dan diterima oleh tim penguji skripsi program studi ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Pada tanggal 09 November 2010

1. Sutrisno SH, M.Hum. NIP. 19601212 198803 1001

(...)

2. Subani SH, M.si.

NIP. 19510504 1983031 001

(...)

3. Haryo Sulistyantoro SH., MM. NIP. 19620625 199103 1 001

(...)

Mengetahui, DEKAN

NIP. 19620625 199103 1 001 Haryo Sulistyantoro SH., MM.


(5)

ii

KORUPSI KASUS GRATIFIKASI

Studi Kasus No. 3614/Pid. B/2007 di Pengadilan Negeri Surabaya

Penyusun:

NPM. 0671010096 IVANIUS TUBA NETO

Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi Menyetujui,

Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

Subani, SH, M.Si

NIP. 19510504 1983031 001 NIP/NPT. 382 020 70221

Fauzul Aliwarman, SH. M, Hum

Mengetahui D E K A N

NIP. 19620625 199103 1 001 Hariyo Sulistiantoro, SH, MM


(6)

iii

Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surabaya

Penyusun:

NPM. 0671010084 SIGIT PURNOMO

Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Pada tanggal 10 Juni 2010

Tim Penguji :

1. Prof. DR. H. Wahyono, SH, MS

NIP/NPT. 35812090278

(...)

2. Subani, SH, M.Si

NIP. 19510504 198303 1 003

(...)

3. Drs. H. Warsito, SH, MM (………..)

Mengetahui D E K A N


(7)

iv

Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surabaya

Penyusun:

NPM. 0671010084 SIGIT PURNOMO

Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Pada tanggal 10 Juni 2010

Tim Penguji :

1. Prof. DR. H. Wahyono, SH, MS

NIP/NPT. 35812090278

(...)

2. Subani, SH, M.Si

NIP. 19510504 198303 1 003

(...)

3. Drs. H. Warsito, SH, MM

NIP/NPT

(………..)

Mengetahui D E K A N

NIP. 19620625 199103 1 001 Hariyo Sulistiantoro, SH, MM


(8)

iv

pemberi nafas hidup yang telah melimpah rahmat dan karunianya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini disusun guna memenuhi tuntunan sesuai kurikulum yang ada di Fakultas Hukum UPN Veteran Jawa Timur. Skripsi ini juga dimaksudkan sebagai wahana untuk menambah wawasan serta untuk menerapkan dan membandingkan teori yang telah diterima dengan keadaan sebenarnya di lapangan. Di samping itu juga diharapkan dapat memberikan bekal tentang hal-hal yang berkaitan dengan disiplin ilmunya, demi mengadakan pembaharuan bagi penegakan hukum dimasa yang akan datang.

Skripsi ini dapat terselesaikan atas bantuan, bimbingan, dan dorongan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini peneliti mengucapkan banyak terima kasih yang tak terhingga kepada :

1. Bapak Haryo Sulistiyantoro, SH,MM selaku Dekan Fakultas Hukum.

2. Bapak Prof. Dr. H. Wahyono, SH selaku dosen pembimbing utama yang memiliki empati terhadap penyusun.

3. Bapak Fauzul Aliwarman, SH.M,Hum selaku dosen pembimbing pendamping yang meluruskan kesalahan-kesalahan penyusun.

4. Bapak Haryo Sulistiyantoro, SH,MM selaku Wadek I Fakultas Hukum.

5. Bapak Sutrisno, SH, M.Hum selaku Wadek II Fakultas Hukum sekaligus sebagai dosen wali penyusun.


(9)

v

8. Kedua orang tua, yang telah memberikan doa dan dukungannya sehingga peneliti dapat menyelesaikan proposal skripsi ini.

9. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum, serta Staff Tata Usaha Fakultas Hukum yang telah membantu penyusun dalam menyelesaikan skripsi ini. 10.Sahabat-sahabat penyusun anak-anak ”Clan B” Bajawa hip-hop community

Chester, Glend, Gume, Pato, Shalton, teman-teman mahasiswa Fakultas Hukum khususnya Leny Eka N., Reni Pristiyani, Doni Eko S., Fajar Amin, Wahib Syarif, Putu Satria D., Rudi Setiawan, Ricky Herdian, Ari Handoko, Rey Kristiansyah, Mershinta Kamega A, Sigit Purnomo, para anak-anak kantin dan teman-teman yang lain yang tidak dapat penyusun sebutkan satu persatu yang telah membantu dan memberikan saran sebagai masukkan di dalam penyusunan skripsi ini hingga selesai.

Penyusun menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Karena itu saran dan kritik yang sifatnya membangun penyusun harapkan guna perbaikan dan penyempurnaan penelitian selanjutnya, sehingga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukan.

Surabaya, 26 Oktober 2010


(10)

vi

HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN SKRIPSI ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

ABSTRAK ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Kegunaan Penelitian ... 5

1.5 Kajian Pustaka ... 6

1.5.1 Tinjauan tentang Pidana ... 5

1.5.1.1 Pengertian Tindak Pidana ... .... 6

1.5.1.2 Unsur-Unsur Tindak Pidana ... ... 7

1.5.1.3 Tempat dan Waktu Tindak Pidana ... . 9

1.5.2 Tinjauan tentan Korupsi ... 9

1.5.2.1 Pengertian Tindak Pidana Korupsi... . 9

1.5.2.2 Pengertian Gratifikasi ... .... 12

1.5.2.3 Faktor Penyebab Korupsi ... ... 14

1.5.2.4 Ciri-ciri Korupsi ... ... 15

1.5.2.5 Subjek Delik Korupsi ... ... 16

1.5.2.6 Pengertian Pegawai Negeri ... .... 16

1.5.2.7 Korban Tindak Pidana Korupsi ... ... 17

1.5.2.8 Tripologi Korupsi ... ... 17

1.5.3 Tinjauan tentang Putusan Hakim ... 18


(11)

vii

1.6 Metode Penelitian ... 24

Tindakan .. ... 23

1.6.1 Pendekatan Masalah ... 24

1.6.2 Sumber Bahan Hukum ... 25

1.6.3 Metode Pengumpulan Data ... 26

1.6.4 Analisis Data ... 26

1.6.5 Lokasi Penelitian ... 27

1.6.6 Waktu Penelitian ... 27

1.6.7 Jadwal Kegiatan ... 28

1.6.8 Anggaran Penelitian ... 29

BAB II PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI (GRATIFIKASI) KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL SURABAYA DI PENGADILAN NEGERI SURABAYA ... 30

2.1 Kejadian Perkara Menurut Resume No. Pol : LP/712/VIII/ 2007/Biro Ops, Tanggal 13 Agustus 2007 ... 30

2.2 Tuntutan Jaksa Penuntut Umum terhadap Terdakwa Pelaku Tindak Pidana Korupsi ... 31

2.3 Dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap Terdakwa Pelaku Tindak Pidana Korupsi ... 32

2.4 Pembelaan terhadap Terdakwa Pelaku Tindak Pidana Korupsi ... ... 35

2.6 Pemeriksaan terhadap Saksi dalam Sidang Tindak Pidana Korupsi ... ... 35

2.7 Alasan Kasus ini Masuk Dalam Kategori Kejahatan Tindak Pidana Korupsi Gratifikasi ... ... 36


(12)

viii

3.1 Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Terhadap terdakwa

Pelaku Tindak Pidana Korupsi ... 38

3.2 Alasan Majelis Hakim Menjatuhkan Pidana Penjara dan Sanksi Denda TerhadapTerdakwa ... 40

3.3 Perbandingan Sanksi yang Dijatuhkan Kepada Pelaku Tindak Pidana Korupsi oleh Pengadilan Negeri Surabaya dan Menurut Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi…… ... 43

3.3.1 Hal-Hal yang Memberatkan ... 45

3.3.2 Hal-Hal yang Meringankan ... 45

3.4 Kesesuaian Penerapan Sanksi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi dalam Kasus ini Sesuai dengan Undang-Undang indak Pidana Korupsi . ... 46

BAB IV PENUTUP ... 49

4.1 Kesimpulan ... 49

4.2 Saran ... 50


(13)

ix

Lampiran 3 Resume dengan No. Pol. LP/712/12/VIII/2007/Biro Ops, tanggal 13 Agustus 2007

Lampiran 4 Putusan Pengadilan Negeri Surabaya

Lampiran 5 Surat Keterangan Penelitian di Pengadilan Negeri Surabaya oleh Pengadilan Tinggi Surabaya


(14)

x Nama Mahasiswa : Ivanius Tuba Neto

NPM : 0671010096

Tempat Tanggal Lahir : Surabaya, 10 Oktober 1988 Program Studi : Strata 1 (S1) Ilmu Hukum Judul Skripsi :

IMPLEMENTASI PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA

KORUPSI KASUS GRATIFIKASI

Studi Kasus No. 3624/Pid. B/2007 di Pengadilan Negeri Surabaya ABSTRAKSI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kasus kejahatan tindak pidana korupsi Kepala Badan Pertanahan Kota Surabaya masuk dalam jenis tindak pidana korupsi gratifikasi dan apakah sanksi yang diberikan oleh Majelis Hakim Surabaya sesuai dengan undang-undang tindak pidana korupsi dan kejahatan yang telah dilakukan oleh terdakwa. Metode penelitian yang digunakan merupakan penelitian Hukum Normatif yakni dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat. Pengumpulan data Hukum Primer yaitu bahan yang mengikat berupa peraturan perundang-undangan, data Sekunder bahan yang erat hubungannya dan membantu dalam menganalisis bahan Hukum Primer, putusan hakim dan rancangan Undang-Undang. Analisis data dilakukan dengan menggunakan tehnik library research yaitu metode pengumpulan data melalui telaah kepustakaan berupa buku/literatur dengan berdasar pada data Sekunder, sehingga dapat menjelaskan permasalahan yang ada secara lebih rinci. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kasus kejahatan tindak pidana korupsi Kepala Badan Pertanahan Kota Surabaya masuk dalam jenis kejahatan tindak pidana korupsi gratifikasi sesuai dengan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi karena terdakwa telah menyalahgunakan kekuasaan dan jabatannya dalam proses pengeluaran sertifikat tanah dan sanksi yang diberikan oleh Pengadilan Negeri Surabaya masih sangat ringan dengan kejahatan yang dilakukan oleh terdakwa yang mungkin saja tidak memberikan efek jera bagi seorang pelaku tindak pidana korupsi.


(15)

(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan telah masuk sampai keseluruh lapisan kehidupan masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, dalam jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara serta dari segi kualitas tindak pidana korupsi yang dilakukan semakin sistematis yang telah memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Perbuatan tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa. Sehingga dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa.

Sulitnya penanggulangan tindak pidana korupsi terlihat dari banyak diputus bebasnya terdakwa kasus tindak pidana korupsi atau minimnya pidana yang ditanggung oleh terdakwa yang tidak sebanding dengan apa yang dilakukannya. Hal ini sangat merugikan negara dan menghambat pembangunan bangsa. Jika ini terjadi secara terus menerus dalam waktu yang lama, dapat meniadakan rasa keadilan dan rasa kepercayaan atas hukum dan peraturan perundang-undangan oleh warga negara. Perasaan tersebut memang telah terlihat semakin lama semakin


(17)

menipis dan dapat dibuktikan dari banyaknya masyarakat yang ingin melakukan aksi main hakim sendiri kepada pelaku tindak pidana di dalam kehidupan masyarakat dengan mengatasnamakan keadilan yang tidak dapat dicapai dari hukum, peraturan perundang-undangan dan juga para penegak hukum di Indonesia.

Bangsa Indonesia yang sedang giat dalam melaksanakan reformasi pembangunan sangat membutuhkan suatu kondisi yang dapat mendukung terciptanya tujuan pembangunan nasional yaitu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Salah satu kondisi tersebut adalah penegakan supremasi hukum yang merupakan syarat mutlak bagi kelangsungan dan berhasilnya pelaksanaan pembangunan nasional sesuai dengan jiwa reformasi. Untuk mewujudkan hal tersebut perlu ditingkatkan usaha-usaha untuk memelihara ketertiban, keamanan, kedamaian dan kepastian hukum yang mampu mengayomi masyarakat Indonesia.

Tindak pidana korupsi merupakan suatu fenomena kejahatan yang menggerogoti dan menghambat pelaksanaan pembangunan, sehingga penanggulangan dan pemberantasannya harus benar-benar diprioritaskan. Sumber kejahatan korupsi banyak dijumpai dalam masyarakat modern dewasa ini, sehingga korupsi justru berkembang dengan cepat baik kualitas maupun kuantitasnya. Sekalipun penanggulangan tindak pidana korupsi diprioritaskan, namun diakui bahwa tindak pidana korupsi termasuk jenis perkara yang sulit penaggulangan maupun pemberantasannya.


(18)

Undang-undang korupsi dimaksudkan untuk menanggulangi dan memberantas korupsi. Politik kriminal merupakan strategi penanggulangan korupsi yang melekat pada undang-undang korupsi. Mengapa dimensi politik kriminal tidak berfungsi, hal ini terkait dengan sistem penegakan hukum di Negara Indonesia yang tidak egaliter. Sistem penegakan hukum yang berlaku dapat menempatkan koruptor tingkat tinggi di atas hukum. Sistem penegakan hukum yang tidak kondusif bagi iklim demokrasi ini diperparah dengan adanya lembaga pengampunan konglomerat korup hanya dengan pertimbangan selera, bukan dengan pertimbangan hukum.

Kasus yang akan penulis teliti, berkaitan dengan putusan Pengadilan Negeri Surabaya yang menjatuhkan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 3 (tiga) bulan dan denda sebesar Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) kepada terdakwa pelaku tindak pidana korupsi HM. Khudlori SH. Mhum., yang menjabat sebagai kepala Badan Pertanahan Surabaya yang secara sah terbukti melakukan tindak pidana korupsi dalam hal ini tindak pidana korupsi gratifikasi yang dikhususkan. Sesuai dengan Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Pasal 12 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan jelas menyebutkan bahwa, pegawai negeri atau penyelenggara negara yang melakukan tindak pidana korupsi dalam hal gratifikasi, dihukum paling singkat 4 (empat) tahun penjara dan paling lama 20 (dua puluh tahun) penjara dengan denda minimal Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah). Hal


(19)

ini tentu mengakibatkan terjadinya perbedaan antara peraturan perundang-undangan dengan putusan yang diberikan oleh Pengadilan Negeri Surabaya terhadap terdakwa pelaku tindak pidana korupsi tersebut. Hal yang meringankan apakah yang menyebabkan Majelis Hakim yang menangani perkara ini di Pengadilan Negeri Surabaya memberikan putusan yang menurut penulis, putusan ini adalah putusan yang ringan dan tidak memberikan efek jera kepada pelaku tindak pidana korupsi dan tidak sesuai dengan undang-undang tindak pidana korupsi yang berlaku.

Kesulitan tersebut terjadi dalam proses pembuktian. Hal ini dikarenakan korupsi merupakan kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang berdasi yang memiliki intelektualitas tinggi (white collar crime)

atau kejahatan kerah putih. Untuk mengungkap perkara korupsi salah satu aspeknya adalah sistem pembuktian yang terletak pada beban pembuktian. Dalam kasus ini penulis ingin meneliti dana mengetahui tentang persidangan kasus tindak pidana korupsi dan kesesuaian penerapan sanksi terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang diputuskan oleh Pengadilan Negeri Surabaya. Apakah kejahatan yang dilakukan oleh terdakwa dalam kasus ini masuk dalam kategori tindak pidana korupsi gratifikasi dan apakah sanksi yang telah diputuskan tersebut sesuai dengan undang-undang tindak pidana korupsi serta tersebut diputuskan sesuai dengan kejahatan yang dilakukan dan apakah putusan tersebut dapat memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi? Jadi, hal ini yang mendasari penulis melakukan penelitian dengan judul Implementasi Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Kasus Gratifikasi (Studi Kasus No. 3614/Pid. B/2007 di Pengadilan Negeri Surabaya)”.


(20)

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

a. Apakah tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Kota Surabaya dalam kasus ini masuk dalam ketegori tindak pidana korupsi gratifikasi?

b. Bagaimana kesesuaian penerapan sanksi terhadap pelaku tindak pidana korupsi dengan undang-undang tindak pidana korupsi dalam kasus ini?

1.3 Tujuan penelitian

Tujuan penulis melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Untuk mengetahui apakah kasus tindak pidana korupsi Kepala Badana

Pertanahan Nasional Kota Surabaya termasuk dalam jenis tindak pidana korupsi gratifikasi.

b. Untuk mengetahui kesesuaian penerapan sanksi terhadap pelaku tindak pidana korupsi sesuai dengan undang-undang tindak pidana korupsi.

1.4 Kegunaan Penelitian. a. Kegunaan Teoritis :

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya dalam rangka penyelesaian perkara tindak pidana korupsi dan kesesuaian penerapan sanksi terhadap pelaku tindak pidana korupsi.

b.Kegunaan Praktis :

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada lembaga-lembaga hukum terkait dengan penyelesaian perkara tindak


(21)

pidana korupsi dan penerapan sanksi terhadap pelaku tindak pidana korupsi agar mendapatkan efek jera dan kesesuaian sanksi terhadap tindakan yang dilakukan sesuai dengan undang-undang korupsi.

1.5 KAJIAN PUSTAKA

1.5.1 Tinjauan tentang Tindak Pidana 1.5.1.1Pengertian Tindak Pidana

Tindak Pidana merupakan suatu perbuatan yang diancam hukuman sebagai kejahatan atau pelanggaran, baik yang disebutkan dalam KUHP maupun peraturan

perundang-undangan lainnya.1

Abdoel Djamali mengatakan, Peristiwa Pidana atau sering disebut Tindak Pidana (Delict) ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukuman pidana. Suatu peristiwa hukum dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana kalau memenuhi unsur-unsur pidananya.2

1. Objektif, yaitu suatu tindakan (perbuatan) yang bertentangan dengan hukum dan mengindahkan akibat yang oleh hukum dilarang dengan ancaman hukum. Yang dijadikan titik utama dari pengertian objektif disini adalah tindakannya.

Unsur-unsur itu terdiri dari :

2. Subjektif, yaitu perbuatan seseorang yang berakibat tidak dikehendaki oleh undang-undang. Sifat unsur ini mengutamakan adanya pelaku (seseorang atau beberapa orang).

1

Kamus Hukum, Bandung, Citra Umbara, 2008, h 493.

2

R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2006, h 175.


(22)

Dilihat dari unsur-unsur pidana ini, maka suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang harus memenuhi persyaratan supaya dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana. Menurut Abdoel Djamali, syarat- syarat yang harus dipenuhi ialah sebagai berikut :3

1. Harus adanya suatu perbuatan.

2. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam ketentuan hukum.

a. Harus terbukti adanya kesalahan yang dapat

dipertanggungjawabkan.

b. Harus berlawanan dengan hukum. c. Harus tersedia ancaman Hukumannya.

Hari Saherodji mengatakan, bahwa Tindak Pidana merupakan suatu kejahatan yang dapat diartikan sebagai berikut :

1. Perbuatan anti sosial yang melanggar hukum atau undang-undang pada suatu waktu tertentu.

2. Perbuatan yang dilakukan dengan sengaja.

3. Perbuatan mana diancam dengan hukuman/perbuatan anti sosial yang sengaja, merugikan, serta mengganggu ketertiban umum, perbuatan mana dapat dihukum oleh negara.

1.5.1.2Unsur-Unsur Tindak Pidana a. Unsur Subjektif

1) Kesengajaan atau kelalaian

2) Maksud dari suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 Ayat (1) KUHP. Pasal 53 Ayat (1) KUHP

Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena sendiri.

3

Hari Saherodji dalam Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual, Bandung, Refika Aditama, 2001, h 28.


(23)

3) Berbagai maksud seperti yang terdapat dalam kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain.

4) Merencanakan terlebih dahulu, seperti yang terdapat dalam kejahatan menurut Pasal 340 KUHP

Pasal 340 KUHP

Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.

5) Perasaan takut seperti yang terdapat dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP

Pasal 308 KUHP

Jika seorang ibu karena takut akan diketahui orang tentang kelahiran anaknya, tidak lama sesudah melahirkan, menempatkan anaknya untuk ditemukan atau meninggalkannya dengan maksud untuk melepaskan diri daripadanya, maka maksimum pidana tersebut dalam Psal 305 dan 306 dikurangi separuh. b. Unsur Objektif

1) Sifat melawan hukum.

2) Kualitas dari pelaku, misalnya seorang pegawai negeri sipil melakukan kejahatan yang diatur dalam Pasal 415 KUHP.

Pasal 415 KUHP

Seorang pejabat atau orang lain yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum terus menerus atau untuk sementara waktu, yang dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga itu diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau menolong sebagai pembantu dalam melakukan perbuatan tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

3) Kausalitas, yaitu hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan kenyatan sebagai akibat.4

4


(24)

1.5.1.3Tempat dan Waktu Tindak Pidana

Tidak mudah untuk menentukan secara pasti tentang waktu dan tempat dilakukannya tindak pidana. Hal ini disebabkan oleh hakikat pidana pidana merupakan tindakan manusia, dimana pada waktu melakukan tindakannya seringkali manusia menggunakan alat yang dapat menimbulkan akibat pada waktu dan tempat yang lain dimana orang tersebut telah menggunakan alat-alat itu.

Dapat pula terjadi bahwa tindakan dari seorang pelaku telah menimbulkan akibat pada waktu dan tempat yang lain daripada waktu dan tempat di mana pelaku tersebut telah melakukan perbuatannya. Jadi, tempus delicti

adalah waktu di mana telah terjadi suatu tindak pidana sedangkan locus delicti adalah tempat tindak pidana berlangsung. Yang dianggap sebagai locus dilicti adalah : 5 a. Tempat di mana seorang pelaku itu telah melakukan

sendiri perbuatannya.

b. Tempat di mana alat yang telah dipergunakan oleh orang yang melakukan perbuatannya.

c. Tempat di mana akibat langsung dari suatu tindakan itu telah timbul.

d. Tempat di mana akibat konstitutif itu telah timbul. 1.5.2 Tinjauan Tentang Korupsi

1.5.2.1Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Korupsi dalam ensiklopedia Indonesia disebutkan sebagai (dari bahasa latin: corruptio = penyuapan, corruptore = merusak) gejala dimana para pejabat,

5


(25)

badan negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Adapun arti harafiah dari korupsi dapat berupa kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan dan ketidakjujuran.6 Dalam pengertian lain dapat

dikatakan sebagai perbuatan yang buruk seperti

penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.7

a. Korup (busuk; suka menerima uang suap/uang sogok; memakai kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya).

Muhammad Ali dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia memberikan pengertian korupsi sebagai berikut :

b. Korupsi (perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya).

c. Koruptor (orang yang korupsi).

Secara harfiah, korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat dan merusak. Jika membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan kenyataan semacam itu karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan membusuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik serta penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatan.

Secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya istilah korupsi memiliki arti yang sangat luas:

6

S.Wojowasito-W.J.S Poerwadarminta, Kamus Lengkap Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris, Jakarta, Cyperss, 1971.

7


(26)

a. Korupsi atau penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dan sebagainya) untuk kepentingan pribadi dan orang lain.

b. Korupsi; busuk; rusak; suka memakai barang atau uang yang dipercayakan kepadanya; dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi).

Menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam kamus hukum, yang dimaksud curruptie adalah korupsi; perbuatan curang; tindak pidana yang merugikan keuangan negara. Korupsi sangat berpengaruh bagi pertumbuhan dan perkembangan Bangsa Indonesia, jika dibiarkan begitu saja maka korupsi akan merajalela dan akan menjadi hal biasa dalam perbuatan hidup masyarakat. Ini akan menjadi hambatan utama bagi pemerintah untuk membangun Bangsa Indonesia yang lebih makmur dan jujur.

Baharuddin Lopa mengutip pendapat dari David M. Charmers, menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi dan yang menyangkut bidang kepentingan umum. Kesimpulan ini diambil dari definisi yang dikemukan antara lain berbunyi, financial manipulations and deliction injurious to the economy are often labeled corrupt (manipulasi dan


(27)

keputusan mengenai keuangan yang membahayakan perekonomian sering dikategorikan perbuatan korupsi). Selanjutnya ia menjelaskan the term is often applied also to misjudgements by officials in the public economies (istilah ini sering juga digunakan terhadap kesalahan ketetapan oleh pejabat yang menyangkut bidang perekonomian umum).

Dikatakan pula, disguised payment in the form of gifts, legal fees employment, favors to relatives, social influence, or any relationship that sacrifies the public and welfare, with or without the implied paymen of money, is ussually considered corrup (pembayaran terselebung dalam bentuk pemberian hadiah, ongkos administrasi, pelayanan, pemberian hadiah kepada sanak keluarga, pengaruh kedudukan sosial atau hubungan apa saja yang merugikan kepentingan dan kesejahteraan umum, dengan atau tanpa pembayaran uang, biasanya dianggap sebagai perbuatan korupsi). Ia menguraikan pula bentuk korupsi yang lain, yang diistilahkan political corruption (korupsi politik) adalah electoral corruption includes purchase of vote with money, promises of office or special favors, coercion, intimidation, and interference with administrative of judicial decisio, or goverenmental appointment (korupsi pada penelitian umum, termasuk memperoleh suara dengan uang, janji dengan jabatan atau hadiah khusus, paksaan, intimidasi dan campur tangan terhadap kebebasan memilih. Korupsi dalam jabatan melibatkan penjualan suara dalam legislatif, keputusan administrasi atau keputusan yang menyangkut pemerintahan).8

1.5.2.2Pengertian Gratifikasi

Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas

8


(28)

penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasitlitas lainnya. Gratifikasi tetap dianggap terjadi walaupun diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Walaupun batas minimum belum ada, namun ada usulan pemerintah melalui Menfkominfo pada tahun 2005 bahwa dibawah Rp. 250.000 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) supaya tidak dimasukkan kedalam kelompok gratifikasi. Namun hal ini belum diputuskan dan masih dalam wacana diskusi. Dilain pihak masyarakat sebagai pelapor dan melaporkan gratifikasi di atas Rp. 250.000 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) wajib dilindungi sesuai Peraturan Perundang-undangan No. 71 Tahun 2000. Landasan hukum tindak gratifikasi diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 dan Undang-Undang-Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Pasal 12 tentang tindak pidana korupsi dimana ancamannya adalah dipidana penjara seumur hidup atau pidana pernjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah. Pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi, setiap gratifikasi yang diperoleh pegawai negeri atau penyelenggara negara


(29)

dianggap suap, namun ketentuan yang sama tidak berlaku apabila penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang wajib dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.

1.5.2.3Faktor Penyebab Korupsi

Faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut :9

a. Lemahnya pendidikan agama dan etika.

b. Kolonialisme. Suatu pemerintahan asing tidak

menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi.

c. Kurangnya pendidikan. Namun kenyataannya sekarang kasus-kasus korupsi di Indonesia dilakukan oleh koruptor yang memiliki kemampuan intelektual yang tinggi, terpelajar dan terpandang sehingga alasan ini dapat dikatakan kurang tepat.

d. Kemiskinan. Pada kasus korupsi yang merebak di Indonesia, para pelakunya bukan didasari oleh kemiskinan melainkan keserakahan, sebab mereka bukanlah dari kalangan yang tidak mampu melainkan para konglomerat.

e. Tidak adanya sanksi yang keras.

f. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk pelaku antikorupsi.

g. Struktur pemerintahan.

h. Perubahan radikal. Pada sistem nilai mengalami perubahan radikal, korupsi muncul sebagai suatu penyakit transisional.

i. Keadaan masyarakat. Korupsi dalam suatu birokrasi bisa mencerminkan keadaan masyarakat.

9


(30)

1.5.2.4Ciri-Ciri Korupsi

Ciri-ciri korupsi dijelaskan oleh Shed Husein Alatan dalam bukunya Sosiologi Korupsisebagai berikut :10

a. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang. Hal ini tidak sama dengan kasus pencurian atau penipuan. Seorang operator yang korup sesungguhnya tidak ada dan kasus itu biasanya termasuk dalam pengertian penggelapan (fraud).

b. Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu telah merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang berkuasa dan mereka yang berada di dalam lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatannya. Namun, walaupun demikian motif korupsi tetap dijaga kerahasiaannya. c. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan

timbal balik. Kewajiban dan keuntungan itu tidak selalu berupa uang.

d. Mereka yang mempraktekkan cara-cara korupsi

biasanya berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum.

e. Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu.

f. Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan,

biasanya dilakukan oleh badan publik atau umum (masyarakat).

g. Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.

1.5.2.5Subjek Delik Korupsi

Menurut Martiman Prodjohamidjojo dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, bahwa subjek delik terbagi dalam dua kelompok, kedua-duanya jika melakukan perbuatan pidana diancam sanksi. Sanksi pidana yang

10


(31)

diberikan, disesuaikan dengan undang-undang tindak pidana korupsi yang berlaku. Kedua subjek atau pelaku delik itu adalah :

a. Manusia b. Koorporasi c. Pegawai Negeri d. Setiap Orang.

1.5.2.6Pengertian Pegawai Negeri

Undang-undang pokok Kepegawaian Nomor 18 Tahun 1961. Undang-undang ini sudah dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Pasal 1 bagaian 1 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 berbunyi : “pegawai negeri adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi Negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Pasal 2 Ayat (1) KUHP membedakan pegawai negeri atas tiga kelompok yaitu :

1. Pegawai negeri sipil.


(32)

3. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

4. Pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa pegawai negeri terdiri dari :

5. Pegawai negeri sipil pusat. 6. Pegai negeri sipil daerah.

7. Pasal 2 ayat (3) menyatakan disampaing pegawai negeri sebagaimana dimaksud pejabat yang berwenang dapat mengangkat pegawai tetap.

1.5.2.7Korban Tindak Pidana Korupsi

Korban adalah orang yang mengalami penderitaan dari tindak kejahatan yang telah dilakukan oleh orang lain terhadap dirinya atau orang yang terkena dampak dan kerugian dari perbuatan seseorang atau golongan terhadap dirinya, serta hak dari orang tersebut juga telah dirampas oleh para pelakunya. Korban dari Tindak Pidana Korupsi itu sendiri adalah perorangan, koorporasi dan negara yang mengalami kerugian materil.

1.5.2.8Tipologi Korupsi

Pengembangan tipologi korupsi menurut Vito Tanzi adalah sebagai berikut :11

1. Korupsi transaksi, yaitu korupsi yang terjadi atas kesepakatan diantara seorang donor dengan resipien untuk keuntungan kedua belah pihak.

2. Korupsi ekstortif, yaitu korupsi yang melibatkan penekanan pemaksaan untuk menghindari bahaya bagi mereka yang terlibat atau orang-orang yang dekat dengan pelaku korupsi.

11

Chaerudin, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Bandung, PT. Refika Aditama, 2008, hal 2.


(33)

3. Korupsi investif, yaiut korupsi yang berawal dari tawaran yang merupakan investasi untuk mengatisipasi adanya keuntungan di masa datang.

4. Korupsi nepotistik, yaitu korupsi yang terjadi karena perlakuan khusus baik dalam pengangkatan kantor publik maupun pemberian proyek-proyek bagi keluarga dekat.

5. Korupsi otogenik, yaitu korupsi yang terjadi ketika seorang pejabat mendapat keuntungan karena memiliki

pengetahuan sebagai orang dalam (insiders

information) tentang berbagai kebijakan publik yang seharusnya dirahasiakan.

6. Korupsi supportif, yaitu perlindungan atau penguatan korupsi yang menjadi intrik kekuasaan dan bahkan kekerasan.

7. Korupsi defensif, yaitu korupsi yang dilakukan dalam rangka mempertahankan diri dari pemerasaan.

1.5.3 Tinjauan tentang Putusan Hakim 1.5.3.1Macam-Macam Putusan Hakim

Macam-macam putusan hakim dalam persidangan di pengadilan adalah sebagai berikut :12

a. Putusan yang menyatakan tidak berwenang mengadili Dalam hal menyatakan tidak berwenang mengadili ini dapat terjadi setelah persidangan dimulai dan jaksa penuntut umum membacakan surat dakwaan maka terdakwa atau penasehat hukum terdakwa diberi kesempatan untuk mengajukan eksepsi (tangkisan). Eksepsi tersebut antara lain dapat memuat bahwa Pengadilan Negeri tersebut tidak berkompetensi (wewenang) baik secara relatif maupun absolut untuk mengadili perkara tersebut. Jika majelis hakim berpendapat sama dengan penasehat hukum maka dapat dijatuhkan putusan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili.

b. Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan batal demi hukum

12


(34)

Dakwaan batal demi hukum dapat dijatuhkan dengan memenuhi syarat-syarat yang ada. Syarat dakwaan batal demi hukum dicantum dalam Pasal 143 Ayat (3).

c. Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima

Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima pada dasarnya termasuk kekurangcermatan jaksa penuntut umum, sebab putusan tersebut dijatuhkan karena :

1. Pengaduan yang diharuskan bagi penuntut dalam delik aduan tidak ada.

2. Perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa sudah pernah diadili.

3. Hak untuk penuntutan telah hilang karena

kadaluarsa (verjaring).

d. Putusan yang menyatakan bahwa tersangka lepas dari segala tuntutan hukum

Putusan ini dijatuhkan jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan tersebut bukan tindak pidana maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum dapat disebabkan :

1. Materi hukum pidana yang didakwakan tidak cocok dengan tindak pidana.

2. Terdapat keadaan-keadaan istimewa yang

menyebabkan terdakwa tidak dapat dihukum. Keadaan istimewa tersebut antara lain :

a) Tidak mampu bertanggung jawab (Pasal 44 KUHP).

b) Melakukan di bawah daya paksa (Pasal 48 KUHP).

c) Adanya pembelaan terdakwa (Pasal 49 KUHP). d) Adanya ketentuan undang-undang (Pasal 50

KUHP).

e) Adanya perintah jabatan (Pasal 51 KUHP). e. Putusan bebas

Putusan bebas dijatuhkan jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas pebuatan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputuskan bebas. (Pasal 191 Ayat 1 KUHAP).


(35)

Pemindaan dapat dijatuhkan jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan padanya.hakim dalam hal ini membutuhkan kecermatan, ketelitian serta kebijakan memahami setiap yang terungkap dalam persidangan. Sebagai hakim harus berusaha untuk menetapkan suatu hukuman yang dirasakan oleh masyarakat dan oleh terdakwa sebagai suatu hukuman yang setimpal dan adil. Untuk menjatuhkan hukuman yang adil, harus memperhatikan :

1. Sifat tindak pidana.

2. Ancaman hukuman terhadap tindak pidana.

3. Keadaan atau suasana waktu dilakukannya tindak pidana.

4. Pribadi terdakwa.

5. Sebab-sebab melakukan tindak pidana. 6. Sikap terdakwa dalam pemeriksaan. 7. Kepentingan umum.

1.5.4 Tinjauan tentang Pemidanaan 1.5.4.1Pengertian Sanksi.

Sanksi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tanggungan (tindakan-tindakan, hukuman, dsb) untuk memaksa orang menepati perjanjian dan menaati ketentuan perundang-undangan, sedangkan menurut Terminologi Hukum Pidana, sanksi pidana adalah akibat hukum terhadap pelanggaran ketentuan pidana yang berupa pidana dan/atau tindakan.13

Kamus hukum menerangkan, sanksi adalah akibat dari suatu perbuatan atau suatu reaksi dari pihak lain (manusia atau organisasi sosial) atas suatu perbuatan dari seseorang yang telah merugikan orang atau pihak lain.14

13

Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika, 2008, h. 138. 14


(36)

Penetapan sanksi dalam suatu tindak pidana bukanlah sekedar masalah teknis perundang-undangan semata, melainkan bagian yang tidak terpisahkan dari substansi atau materi perundang-undangan itu sendiri.

Sistem penjatuhan sanksi perlu mendapatkan perhatian yang serius, mengingat berbagai keterbatasan dan kemampuan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan Apalagi sering terjadi kecenderungan dalam produk kebijakan legislasi bahwa hukum pidana hampir selalu digunakan untuk menakut-nakuti atau mengamankan bermacam-nacam kejahatan yang timbul diberbagai bidang. Fenomena semacam ini member kesan yang seolah-olah dirasakan kurang sempurna, bahkan mungkin hambar bila suatu produk perundang-undangan tidak ada ketentuan pidananya (sanksinya).15

Jenis sanksi untuk setip bentuk kejahatan berbeda-beda, namun yang jelas semua penetapan sanksi dalam hukum pidana harus tetap berorientasi pada tujuan pemidanaan itu sendiri. Sementara di lain pihak, tujuan pemidanaan atau penjatuhan sanksi hingga kini masih menjadi pusat perhatian. Guru Besar Hukum Pidana di Universitas Victoria, Canada, Gerry A. Ferguson menyayangkan tidak adanya consensus yang jelas mengenai teori pemidanaan yang sebenarnya mendasari tujuan pemidanaan.16

Dapat disimpulkan sanksi merupakan bagian penting dalam sistem pemidanaan, karena keberadaannya

15

Barda Nawawi Arief, op.cit, 1998, h 40. 16

Gerry A. Ferguson, Criminal Liability and Sentencing Of Corporations,Surabaya, FH Uanair, 1993, h 28.


(37)

dapat memberikan arah dan pertimbangan mengenai apa yang seharusnya di jadikan sanksi dalam suatu tindak pidana.

1.5.4.3Pola Jenis Sanksi Pidana dan Tindakan

Jenis sanksi yang digunakan dalam Konsep KUHP, terdiri dari jenis pidana dan tindakan. Masing-masing sanksi terdiri dari :17

A. Pidana

a. Pidana pokok : 1) Pidana penjara. 2) Pidana tutupan. 3) Pidana pengawasan. 4) Pidana denda. 5) Pidana kerja sosial. b. Pidana tambahan

1) Pencabutan hak-hak tertentu.

2) Perampasan barang-barang tertentu dan tagihan. 3) Pengumuman putusan hakim.

4) Pembayaran ganti rugi. 5) Pemenuhan kewajiban ada. c. Pidana khusus : pidana mati. B. Tindakan

a. Untuk orang yang tidak atau kurang mampu

bertanggung jawab (tindakan dijatuhkan tanpa pidana) :

1) Perawatan di rumah sakit jiwa. 2) Penyerahan kepada pemerintahan. 3) Penyerahan kepada seseorang.

b. Untuk orang pada umumnya yang mampu

bertanggung jawab (dijatuhkan bersama-sama dengan pidana) :

1) Pencabutan surat izin mengemudi.

2) Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana.

3) Perbaikan akibat-akibat tindak pidana. 4) Latihan kerja.

5) Rehabilitasi.

6) Perawatan di dalam suatu lembaga.

17

Barda Narwawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2010, h248.


(38)

2.5.4.3Perbedaan Sanksi Pidana dan Sanksi Tindakan

Sanksi pidana sesungguhnya bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan, sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap pelaku perbuatan tersebut. Jika fokus sanksi pidana tertuju pada perbuatan salah seorang lewat pengenaan penderitaan (agar yang bersangkutan menjadi jera), maka fokus sanksi tindakan terarah pada upaya memberi pertolongan agar dia berubah. Jelaslah, bahwa sanksi pidana lebih menekankan unsur pembalasan (pengimbalan). Ia merupakan penderitan yang sengaja dibebankan kepada seorang pelanggaran. Sedangkan sanksi tindakan bersumber dari ide dasar perlindungan masyarakat dan pembinaan atau perawatan si pembuat. Atau seperti dikatakan J.E. Jonkers, bahwa sanksi pidana dititikberatkan pada pidana yang diterapkan untuk kejahatan yang dilakukan, sedangkan sanksi tindakan mempunyai tujuan yang bersifat sosial. Berdasarkan tujuan, sanksi pidana dan sanksi tindakan juga bertolak dari ide dasar yang berbeda. Sanksi pidana bertujuan memberi penderitaan istimewa kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya. Selain ditujukan pada pengenaan penderita terhadap pelaku, sanksi pidana juga merupakan bentuk pernyatann pencelaan terhadap perbuatan pelaku.


(39)

Dengan demikian, perbedaan prinsip antara sanksi pidana dengan sanksi tindakan terletak pada ada tidaknya unsur pencelaan, bukan pada ada tidaknya unsur penderitaan. Sedangkan sanksi tindakan tujuan lebih bersifat mendidik. Jika ditinjau dari sudut teori-teori pemidanaan, maka sanksi tindakan merupakan sanksi yang tidak membalas. Ia semata-mata ditujukan pada prevensi khusus, yakni melindungi masyarakat dari ancaman yang dapat merugikan kepentingan masyarakat itu. Singkatnya, sanksi pidana berorentasi pada ide pengenaan sanksi terhadap pelaku suatu perbuatan, sementara sanksi tindakan beorientasi pada ide perlindungan masyarakat.

1.6 Metode Penelitian

1.6.1 Pendekatan Masalah.

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan Yuridis Normatif. Dalam penelitian atau pengkajian ilmu hukum normatif, kegiatan untuk menjelaskan hukum tidak diperlukan dukungan data atau fakta-fakta sosial, sebab ilmu hukum normatif tidak mengenal data atau fakta sosial, yang dikenal hanya bahan hukum. Jadi untuk menjelaskan hukum atau untuk mencari makna dan memberi nilai akan hukum tersebut hanya digunakan konsep hukum dan langkah-langkah yang ditempuh adalah langkah normatif.18

Pendekatan yang peneliti lakukan ini berdasarkan aturan-aturan dan teori-teori yang berkaitan dengan kasus tindak pidana korupsi, yang diatur sesuai dengan UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi dan penyelesaian

18

Bahder Johan Nasution, MetodePenelitianIlmuHukum, Bandung, Mandar Maju, 2008, h 87.


(40)

tindak pidana korupsi di Pengadilan Negeri sesuai dengan UU No. 1 Tahun 1946 HUHP.

1.6.2 Sumber Bahan Hukum.

Sumber utama penelitian ilmu hukum normatif adalah bahan hukum bukan data atau fakta sosial karena dalam penelitian ilmu hukum normatif yang dikaji adalah bahan hukum yang berisi aturan-aturan yang bersifat normatif.19

1. Sumber Bahan Hukum Primer

Bahan-bahan hukum tersebut terdiri dari :

Sumber Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundang-undangan secara hierarki dan putusan-putusan pengadilan. Data primer diperoleh melalui bahan yang mendasari dan berkaitan dengan penulisan ini, yaitu :

• Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

• Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);

• UU No. 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

• UU No. 30 Tahun 2003 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

• UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi.

19Ibid


(41)

2. Sumber Bahan Hukum Sekunder

Adalah bahan hukum yang mejelaskan secara umum mengenai bahan hukum primer, hal ini bisa berupa:

• Buku-buku ilmu hukum;

• Jurnal ilmu hukum;

• Laporan penelitian ilmu hukum;

• Internet dan bahan yang terkait dengan permasalahan yang dibahas.

1.6.3 Metode Pengumpulan Data.

Pengkajian ilmu hukum, metode atau cara untuk mengumpulkan data berbeda dengan cara pengumpulan data pada disiplin ilmu lain, perbedaan ini muncul karena apa yang dimaksud dengan data dalam ilmu hukum berbeda dengan makna data pada penelitian ilmu hukum lain. Data yang dimaksud dalam penelitian ilmu hukum Normatif adalah apa yang ditemukan sebagai isu atau permasalahan hukum dalam struktur dan materi hukum positif yang diperoleh dari kegiatan mempelajari bahan-bahan hukum terkait.20

1.6.4 Analisis Data.

Analisis hasil penelitian berisi uraian tentang cara-cara analisis yang menggambarkan bagaimana suatu data dianalisis dan

20Ibid


(42)

apa manfaat data yang terkumpul untuk dipergunakan dalam memecahkan masalah. Analisis data yang digunakan adalah analisis deskripstif, yang diawali dengan mengelompokkan data dan informasi yang sama menurut sub aspek dan selanjutnya melakukan interprestasi untuk memberi makna terhadap tiap subaspek dan hubungannya satu sama lain. Kemudian setelah itu dilakukan analisis atau interprestasi keseluruhan aspek untuk memahami makna hubungan antara aspek yang satu dengan aspek yang lain dan dengan keseluruhan aspek yang menjadi pokok permasalahan penelitian yang dilakukan secara induktif sehingga memberikan gambaran hasil secara utuh. Disamping memperoleh gambaran secara utuh, ditetapkan langkah selanjutnya dengan memperhatikan dokumen khusus yang menarik untuk diteliti yaitu kasus tindak pidana korupsi. Dengan demikian penelitian menjadi lebih fokus dan tertuju pada masalah yang lebih spesifik.21

1.6.5 Lokasi Penelitian

Lokasi yang penulis gunakan dalam penelitian dan pengumpulan data adalah di Pengadilan Negeri Surabaya di Jalan Raya Arjuno No.16-18 Surabaya.

1.6.6 Waktu Penelitian

Waktu penelitian ini adalah 3 (tiga) bulan, dimulai dari bulan September sampai dengan November 2010. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April minggu pertama. Tahap persiapan

21Ibid


(43)

penelitian ini, meliputi : penentuan judul penelitian, penulisan proposal, seminar proposal, dan perbaikan proposal. Tahap pelaksanaan penelitian selama 2 bulan terhitung mulai minggu pertama bulan September sampai Oktober minggu terakhir, meliputi : pengumpulan sumber data sekunder, pengolahan dan penganalisaan data. Tahap penyelesaian penelitian selama 1 bulan terakhir pada bulan Oktober, meliputi : kegiatan penulisan laporan penelitian, pendaftaran ujian lisan dan melakukan ujian skripsi. 1.6.7 Jadwal Kegiatan

No. Jadwal Penelitian Agustus 2010 September 2010 Oktober 2010 November 2010

Minggu ke- 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

1. Pembayaran

Administrasi

2. Pendaftaran Skripsi

3. Penentuan Dosen

Pembimbing

4. Pengajuan Judul

5. Acc Judul

6. Minta Surat ke Instansi

7. Pengajuan ke Instansi

8. Mengerjakan BAB I

9. Pendaftaran Proposal

10. Seminar Proposal

11. Revisi Proposal

12. Pengumpulan

Proposal

13. Penelitian

14. Mengerjakan Bab II, III,

IV

15. Pendaftaran Ujian

Lisan


(44)

1.6.8 Anggaran Penelitian

Penelitian ini dibiayai secara pribadi oleh peneliti dan kedua orang tua peneliti. Rincian penggunaan dana adalah sebagai berikut :

1. Biaya tahap persiapan Rp.300.000 2. Biaya tahap pelaksanaan Rp. 200.000 3. Biaya tahap penyelesaian Rp. 500.000

Jumlah semua rincian biaya yang digunakan untuk penelitian ini adalah sebesar Rp. 1.000.000.-


(45)

PENYELESAIAN PERKARA KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL SURABAYA DI PENGADILAN NEGERI SURABAYA YANG MENYATAKAN BAHWA TERDAKWA TELAH MELAKUKAN TINDAK

PIDANA KORUPSI GRATIFIKASI

2.1 Kejadian Perkara Menurut Resume No. Pol : LP/712/VIII/2007/Biro Ops, Tanggal 13 Agustus 2007

Tanggal 13 Agustus 2007 sekitar jam 21.00 Wib di Restoran Hotel Somerset Surabaya telah terjadi tindak pidana korupsi dengan cara menerima hadiah berupa uang tunai sebesar Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) yang dipergunakan untuk percepatan pengurusan permohonan pengakuan hak atas tanah milik Pak Yasan nomor 72 kelas dt 1 seluas 38.332 M2, yang diukur ternyata terdapat kelebihan luas 7.502 M2. Kelebihan hasil ukur tersebut disahkan oleh tersangka untuk meminta biaya pengurusan diluar ketentuan dengan jumlah biaya sebesar Rp. 675.000.000 (enam ratus tujuh puluh lima juta rupiah) kemudian diturunkan menjadi Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) dan sudah diberi tanda jadi Rp. 20.000.000 (dua puluh juta rupiah) dan telah diterima oleh tersangka H.M. Khudlori, SH, M.Hum (Kepala Kantor Pertanahan Surabaya), sesuai dengan Pasal 12 huruf a, b,e dan Pasal 11 UU RI No. 20 Tahun 2001 perubahan dari UU RI No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan Pasal 368 KUHP. Oleh karena itu Pengadilan Negeri Surabaya yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara pidana, pada peradilan tingkat pertama, dengan pemeriksaan acara biasa, telah menjatuhkan putusan dalam perkara terdakwa :

Nama : HM.Khudlori, SH.M.Hum


(46)

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Kebangsaan : Indonesia

Tempat Tinggal : - Jl. WR. Supratman No.6-A Kel. Dr.

Soetomo Kec. Tegalsari Kota Surabaya. - Komplek Villa Bukit Indah Jl. Lontar Blok AA 3No. 29 Surabaya.

Agama : Islam

Pekerjaan : PNS (Kepala Kantor Badan Pertahanan

Nasional Kota Surabaya)

Pendidikan : S2

Terdakwa ditahan sejak 14 Agustus 2007 dan didampingi tim penasehat hukum, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Tanggal 25 Agustus 2007 : 1. Sutito, SH. MH.,

2. Suhar Adi K, SH. MH., 3. Syaiful Ma’arif, SH. CN., 4. Arifin Djauhari SH. MH., 5. M. Affandi, SH. MKn., 6. A. Fauzan, SH, LLM.,

Pemeriksaa terhadap tersangka atas nama HM. Khudlori, SH. M.Hum dan perbuatan tersangka terbukti melanggar Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.20 tahun 2001 Pasal 12 huruf a, b, e dan Pasal 368 KUHP

2.2 Tuntutan Jaksa Penuntut Umum terhadap Terdakwa Pelaku Tindak Pidana Korupsi

Tuntutan pidana Jaksa Penuntut umum dalam hal ini Munasim SH, MH Selaku Jaksa Penuntut Umum pada tanggal 18 Desember 2007, yang pada pokoknya menuntut terdakwa :


(47)

diubah dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa HM. Khudlori, SH. M.Hum dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan dikurangi masa tahanan yang telah dijalani dan membayar denda sebesar Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) subsidair 6 (enam) enam bulan kurungan.

Alasan tuntutan jaksa penuntut umum ini adalah :

a. Karena dalam Pasal 11 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang

pemberantasan tindak pidana korupsi mengandung unsur pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang menerima janji yang berhubungan dengan jabatannya. Khudlori selaku Kepala Badan Pertanahan Kota Surabaya telah menerima jumlah uang untuk mempercepat pengeluaran sertifikat tanah.

b. Karena terdakwa Khudlori dalam waktu melakukan kejahatan ini, secara sah sedang menjabat sebagai Kepala Badan Pertanahan Kota Surabaya yang memiliki wewenang penuh dalam hal pengeluaran sertifikathak milik atas tanah.

2.3 Dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap Terdakwa Pelaku Tindak Pidana Korupsi.

Terdakwa dalam persidangan telah didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum dalam hal ini Munasim SH, MH Selaku Jaksa Penuntut Umum sesuai dengan surat dakwaan No. Reg. Perk : Pds-07 / Ft. 1 / Surabaya / 2007 tertanggal 23 Oktober 2007, sebagai berikut :

a. Terdakwa diancam pidana menurut menurut Pasal 12 Huruf e Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.20


(48)

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

b. Pasal 11 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang No.20 Tahun 2001 tentang perubahan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. c. Dan Pasal 468 Ayat (1) KUHP.

Alasan dakwaan terhadap tedakwa oleh jaksa penuntut umum sesuai analisa putusan Pengadilan Negeri Surabaya adalah :

a. Alasan terdakwa melanggar Pasal 12 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi karena terdakwa telah

menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran dengan potongan untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri. Hal ini terbukti dalam pertemuan makan malam,

terdakwa menyampaikan kepada saudara H. Bambang “bagaimana

janjinya?”, kemudian dijawab H. Bambang “monggo saja yang penting

berapaun boleh saja, jika tidak ikhlas tidak jadipun tidak apa-apa”. Kata-kata

ini berulangkali terdakwa sampaikan. Kemudian saudara Waluyo Jektiono (Yoyok) berkata “sudahlah pak, kurangilah menjadi Rp. 50.000.000 (enam

ratus lima puluh juta rupiah)”, akan tetapi H. Bambang masih berat sekali

dengan angka tersebut, akhirnya terdakwa sendiri yang memutuskan sebesar Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) dan terdakwa bertanya lagi “apakah

bapak ikhlas dengan angka ini?”, lalu H. Bambang bertanya “bagaimana


(49)

ikhlas”.

b. Alasan terdakwa melanggar Pasal 11 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang perubahan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi karena terdakwa telah menerima janji atau hadiah yang diberikan karena kekuasan dan kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya. Hal ini terbukti dengan pertemuan yang dilakukan sekitar pukul 20.15 Wib di hari senin tanggal 13 Agustus 2007, terdakwa sudah sampai di lokasi ( Hotel Somerset) dan saudara Mochamad Afena datang bersama saudara Waluyo Jektiono (Yoyok) dan saudara H. Bambang. Dalam pertemuan makan malam, terdakwa menyampaikan kepada saudara H. Bambang “bagaimana janjinya?”, kemudian dijawab H. Bambang “monggo

saja yang penting berapaun boleh saja, jika tidak ikhlas tidak jadipun tidak

apa-apa”. Kata-kata ini berulangkali terdakwa sampaikan. Kemudian saudara

Waluyo Jektiono (Yoyok) berkata “sudahlah pak, kurangilah menjadi Rp.

50.000.000 (enam ratus lima puluh juta rupiah)”, akan tetapi H. Bambang

masih berat sekali dengan angka tersebut, akhirnya terdakwa sendiri yang memutuskan sebesar Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) dan terdakwa bertanya lagi “apakah bapak ikhlas dengan angka ini?”, lalu H. Bambang

bertanya “bagaimana dengan sistem pembayaran kalau dua kali”, H. Farhan

keberatan dan terdakwa menjawab “ silahkan saja mau empat kali silahkan

saja yang penting bapak ikhlas”.

c. Alasan terdakwa melanggar pasal 368 Ayat (1) KUHP kerana terdakwa dengan jelas mengancam akan menjadikan tanah tersebut menjadi tanah milik


(50)

jawaban terdakwa yang terlampir dalam putusan Pengadilan Negeri Surabaya yang berbunti “kalau ga mau bayar tidak apa-apa. Kelebihan tanah tersebut

akan saya jadikan tanah Negara”.

2.4 Pembelaan terhadap Terdakwa Pelaku Tindak Pidana Korupsi

Pledoi atau isi pembelaan terhadap terdakwa diberikan kepada penasehat hukum terdakwa setelah Jaksa Penuntut Umum membacakan tuntutannya kemudian Hakim Ketua memberikan kesempatan kepada Penasehat Hukum terdakwa untuk menyampaikan pembelaan.

Pembelaan terhadap terdakwa HM. Khudlori, SH M.Hum dilakukan oleh pendamping yang dalam hal ini merupakan tim penasehat hukum terdakwa berdasarkan surat kuasa khusus pada tanggal 25 Agustus 2007. Alasan para advokat melakukan pembelaan terhadap terdakwa kasus korupsi Kepala Badan Pertanahan Kota Surabaya adalah :

1. Karena dakwaan Penuntut Umum baik dakwaan kesatu, kedua dan ketiga tidak terbukti.

2. Karena terdakwa belum menikmati hasil dari kejahatan yang dilakukan. Oleh karena itu, tim pembela memohon kepada Majelis Hakim agar : 1. Membebaskan terdakwa dari seluruh tuntutan hukum.

2. Mengembalikan harkat dan martabat terdakwa sebagai manusia. 3. Membebankan biaya perkara kepada negara

2.5 Pemeriksaan terhadap Saksi dalam Sidang Tindak Pidana Korupsi

Pemeriksaan terhadap saksi dalam persidangan ini atas nama : 1. Handoyo Sudrajat (Anggota KPK).


(51)

4. Waluyo Jektiono alias Yoyok (selaku Kuasa Pengurusan Sertifikat dari Poegoeh Setiyasa).

5. Mochamad Afenan (selaku Kuasa Pengurusan Sertifikat dari Poegoeh Setiyasa)

6. Agus Wieyono (selaku Kuasa dari H. Farhan / M. Yusuf). 7. H. Farhan / M. Yusuf (Pemohon / Pemilik Tanah).

8. Suprapto, SH (Petugas Ukur).

9. Suwanto, S.Sos, MM (Kasi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah). 10. Ir. B. Setya Adi (Kasi Survei Pengukuran dan Pemetaan). 11. Widoyo (Kasubsi Penetapan Hak).

12. Suparman (Lurah Keputih).

Pemeriksaan terhadap saksi dilakukan sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 160 Ayat (1), (2) dan (3). Keterangan saksi-saksi yang telah disumpah dalam persidangan, menyatakan bahwa terdakwa dengan sah telah melanggar tindak pidana korupsi gratifikasi.

2.6 Alasan Kasus ini Masuk Dalam Kategori Kejahatan Tindak Pidana Korupsi Gratifikasi

Pengertian gratifikasi secara umum itu sendiri meliputi pemberian uang, barang, rabat dan komisi pinjaman tanpa bunga yang landasan hukumnya diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 21 Tahun 2001. Gratifikasi yang diterima oleh penyelengara negara dianggap suap, dan hal ini yang menyatakan bahwa dalam kasus ini, terdakwa Khudlori yang menjabat sebagai Kepala Badan Pertanahan Kota Surabaya dianggap telah melakukan tindak pidana korupsi gratifikasi sesuai dengan bukti-bukti dan keterangan saksi yang ada. Terdapat dua unsur sesuai dengan undang-undang tindak pidana korupsi


(52)

pidana korupsi gratifikasi. Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut : a. Unsur penyelenggara negara.

Dalam hal ini terdakwa khudlori menjadi penyelenggara negara karena sedang menjabat sebagai Kepala Badan Pertanahan Kota Surabaya dan dengan jabatan inilah yang beranggapan bahwa terdakwa Khudlori telah menerima suap karena kekuasaan atas jabatannya untuk dapat mengeluarkan setifikat tanah.

b. Unsur menerima hadiah.

Unsur inilah yang dianggap sebagai unsur utama dalam kasus ini. Terdakwa dinyatakan telah menerima sejumlah uang sesuai keterangan saksi dan bukti-bukti yang terlampir dalam putusan. Hal ini dengan jelas melanggar Pasal 12 Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang inilah yang menjadi landasan hukum tindak gratifikasi yang dilakukan oleh terdakwa. Dengan dengan demikian maka terdakwa telah melakukan kejahatan tindak pidana korupsi yang masuk dalam jenis tindak pidana korupsi gratifikasi.


(53)

PENERAPAN SANKSI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI YANG TERJADI DI PENGADILAN NEGERI SURABAYA DENGAN

NOMOR PERKARA 3614/Pid. B/2007/PN. SBY

3.1. Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Terhadap Terdakwa Pelaku Tindak Pidana Korupsi Sesuai Nomor Perkara 3614/Pid. B/2007/PN. SBY

Pedoman pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman, menjelaskan tentang tujuan Hukum Acara Pidana. Tujuan dari Hukum Acaara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak tidaknya mendekati kebenaran materil, ialah kebenaran yang selengkap- lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan Hukum Acara Pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan. Dari hasil persidangan kasus korupsi Kepala Badan Pertanahan Nasional Kota Surabaya di Pengadilan Negeri Surabaya, terdakwa Khudlori secara sah terbukti melakukan kejahatan korupsi dan ancaman terhadap korban. Hal ini terbukti dipersidangan dengan adanya bukti-bukti dan saksi-saksi yang memberikan keterangan dalam persidangan tersebut. Hukum Acara Pidana Indonesia menganut sistem pembuktian negatif yang berarti hanya mengakui adanya alat-alat bukti yang sah yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di luar ketentuan tersebut bukan merupakan alat bukti yang sah. Dalam hal penjatuhan putusan, sebelumnya harus dilakukan pembuktian. Pembuktian dalam sidang pengadilan perkara pidana merupakan suatu hal yang sangat penting karena tugas utama dari Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan menemukan kebenaran materiil. Pengambilan


(54)

mengemukakan pendapat atau pertimbangan serta keyakinan atas suatu perkara lalu dilakukan musyawarah untuk mufakat. Ketua majelis hakim berusaha agar diperoleh permufakatan bulat. Jika permufakatan bulat tidak diperoleh, putusan diambil dengan suara terbanyak. Ada kalanya para hakim berbeda pendapat atau pertimbangan sehingga suara terbanyak pun tidak dapat diperoleh. Jika hal tersebut terjadi maka putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan terdakwa.

Kasus tindak pidana korupsi gratifikasi Kepala Badan Pertanahan Kota Surabaya oleh Pengadilan Negeri Surabaya pada hari senin tanggal 7 (tujuh) Januari tahun 2008, menjatuhkan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 3 (tiga) bulan dan denda sebesar Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah), subsidir 6 (enam) bulan kurungan. Seluruh biaya perkara dibebankan kepada terdakwa sebesar Rp. 5.000 (lima ribu rupiah). Putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim ini sesuai dengan Pasal 11 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang N0. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan sesuai keterangan para saksi dan bukti-bukti yang ada dalam proses persidangan. Akan tetapi, sanksi yang diberikan adalah sanksi terendah dari Pasal 11 Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang N0. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Mengapa Majelis Hakim tidak memberikan sanksi yang lebih dari 1 (satu) tahun yang diharapkan dapat memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi dimana kasus ini terjadi pada saat pemerintah sedang genjar melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi secara menyeluruh di setiap wilayah Indonesia?

Majelis Hakim menjatuhkan sanksi minimum terhadap terdakwa pelaku kejahatan tindak pidana korupsi Kepala Badan Pertanahan Kota Surabaya karena sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana jelas sanksi terendahlah


(55)

tetapi dalam kasus tindak pidana korupsi, apakah harus sanksi terendah yang dijatuhkan kepada terdakwa tindak pidana korupsi? Hal ini sangat berkesan bahwa hakim masih mengampuni terdakwa tindak pidana korupsi, dan dengan ini kejahatan tindak pidana korupsi di Indonesia tidak akan punah. Sesuai dengan kejahatan yang telah dilakukan maka sanksi terberatlah yang diharapkan dapat diputuskan dalam persidangan agar pelaku tindak pidana korupsi dalam hal ini kasus gratifikasi Kepala Badan Pertanahan Kota Surabaya benar-benar merasa bahwa perbuatan yang telah dilakukan itu salah dan sanksi yang akan diberikan pengadilan benar-benar memiliki efek jera untuk tidak melakukan kejahatan itu lagi, serta sanksi pidana yang cukup lama diharapkan dapat berhasil mengubah sifat dan mental terdakwa untuk menjadi lebih baik, karena di Indonesia ada terdakwa tindak pidana korupsi yang setelah mendapat sanksi pidana atas kejahatannya, ketika bebas dan keluar dari pidana penjara yang dirasa tidak begitu lama dan sangat mudah untuk dijalani, terdakwa tersebut melakukan kejahatan yang sama. Hal ini perlu dipertanyakan dan oleh sebab itu pemidanaan yang dijatuhkan sesuai putusan pengadilan dinyatakan sangat tidak berhasil.

3.2 Alasan Majelis Hakim Menjatuhkan Pidana Penjara dan Sanksi Denda Terhadap Terdakwa

Majelis Hakim menjatuhkan pidana penjara dan sanksi denda terhadap pelaku tindak pidana korupsi gratifikasi Kepala Badan Pertanahan Kota Surabaya,dengan melihat unsur-unsur yang ada dalam kejadian tersebut sehingga pelaku tindak pidana korupsi dalam kasus ini dinyatakan bersalah dan patut menerima sanksi atas kesalahan yang telah dilakukannya sesuai dengan Undang-Undang No. 31 Tahun


(56)

pemberantasan tindak pidana korupsi. Unsur-unsur tersebut adalah :

a. Unsur Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara.

Khudlori yang dalam kasus ini sebagai terdakwa, pada saat kejadian perkara menjabat sebagai seorang pegawai negeri pada Kantor Badan Pertanahan Nasional Kota Surabaya dengan kedudukan sebagai kepala kantor sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 yang menyebutkan bahwa pegawai negeri adalah meliputi :

a) Pegawai negari sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Kepegawaian.

b) Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam KUHP.

c) Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau daerah. d) Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima

bantuan dari keungan Negara atau daerah.

e) Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas Negara atau masyarakat.

b. Unsur Menerima Hadiah atau Janji.

Terdakwa Khudlori terbukti dalam kasus ini telah menerima uang dari saksi Waluyo yang telah berada dalam kekuasaan terdakwa yang merupakan realisasi dari sesuatu yang telah dijanjikan yaitu pengeluaran sertifikat tanah. Maka unsur menerima hadiah atau janji secara sah terbukti sehingga terdakwa dianggap bersalah dalam kasus ini. Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Surabaya terbukti bahwa uang sejumlah Rp.20.000.000 (dua puluh juta rupiah) yang telah


(57)

tanah milik H. Farhan lebih cepat dan kelebihan tanah tidak dijadikan menjadi tanah Negara. Dengan berdasarkan uraian diatas maka terbukti bahwa terdakwa telah menerima uang dari saksi Waluyo yang telah berada dalam kekuasaan terdakwa, hal tersebut merupakan realisasi dari suatu yang telah dijanjikan. majelis berpendapat bahwa unsur menerima hadiah atau janji telah dapat terbukti secara sah dan meyakinkan sehingga terdakwa dengan demikian dianggap bersalah.

c. Unsur hadiah atau Janji Tersebut Diberikan karena Kekuasaan atau Kewenangan yang Berhubungan dengan Jabatannya.

Dalam pertemuan yang dilakukan di Hotel Somerse, terdakwa terbukti serius meminta imbalan untuk mempercepat pengeluaran sertifikat tanaha dan selalu mengatakan akan membuat kelebihan tanah korban menjadi tanah milik negara jika permintaan imbalan yang diinginkan terdakwa tidak dipenuhi. Karena terbukti terdakwa serius dalam permintaannya dan selalu mengatakan akan membuat kelebihan tanah menjadi tanah milik negara, membuat saksi-saksi menjadi ketakutan dan mengingat pula terdakwa adalah sebagai pejabat kepala kantor Badan Pertanahan Kota Surabaya dimana sedang diurus sertifikat tanah tersebut maka saksi-saksi percaya bahwa terdakwa berkompeten mengatur segala penataan dan pengaturan pertanahan sebagaimana yang menjadi wewenang terdakwa sebagai kepala kantor. Berhubung dengan kewenangan atas jabatan terdakwa maka, terdakwa Khudlori dalam kasus ini dianggap bersalah. Dengan demikian majelis berpendapat bahwa unsur patut diketahui atau diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena adanya kekuasaan atau kewenangan yang


(58)

memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatan, telah dapat terbukti secara sah dan meyakinkan.

3.3 Perbandingan Sanksi yang Dijatuhkan Kepada Pelaku Tindak Pidana Korupsi oleh Pengadilan Negeri Surabaya dan Menurut Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi

Sanksi bagi pelaku tindak pidana korupsi yang melanggar undang-undang ini berhak dipidana penjara dengan durasi minimal 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dengan denda batas minimal Rp.50.000.000 (lima puluh juta rupiah). Sanksi yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Surabaya adalah menurut Pasal 11 dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan paling sedikit 1 (satu) tahun dan denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). Terdakwa tindak pidana korupsi dalam kasus ini secara sah dan meyakinkan telah melanggar 3 (tiga) pasal sekaligus dalam perbuatannya antara lain Pasal 12 huruf e dan Pasal 11 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi serta Pasal 368 Ayat 1 KUHP yang masing- masing berbunyi :

Pasal 12 huruf e

Pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri; Pasal 11

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.


(59)

Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau oranglain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan arang itu atau orang lain, atau supaya membuat utang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasaan, dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun.

Perbandingan sanksi pidana dan denda yang diberikan terlihat jelas berbeda dengan tututan Jaksa Penuntut Umum terhadap terdakwa yang secara sah melakukan pelanggaran peraturan perundang-undangan dengan putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Surabaya. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan penulis terhadap kasus ini, bahwa sanksi yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Surabaya terhadap pelaku tindak pidana korupsi dalam gratifikasi Kepala Badan Pertanahan Nasional Kota Surabaya dalam hal ini Khudlori sesuai dengan pertimbangan dan musyawarah yang dilakukan sebelum menjatuhkan putusan dengan melihat unsur-unsur yang meringankan terdakwa terhadap tindak kejahatan yang dilakukan. Hal-hal yang meringankan tersebut menurut peneliti bukan dan tidak menjadi dasar dan acuan bagi Majelis Hakim yang menangani perkara tindak pidana korupsi ini untuk mengurangi atau menjatuhkan putusan yang menurut peneliti putusan tersebut termasuk putusan yang ringan bagi seorang pelaku tindak pidana korupsi atau penjahat berdasi.

Sistem sanksi dalam hukum pidana menyatakan bahwa pidana yang diterima seseorang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kejahatan yang dilakukannya. Jadi pertimbangan yang diambil merupakan ganjaran sanksi terbesar sesuai dengan kesalahan yang dilakukan oleh terdakwa tindak pidana tersebut. Akan tetapi putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Surabaya jelas terlihat mengambil sanksi terendah sesuai dengan kesalahan yang dilakukan oleh terdakwa tindak pidana korupsi Kepala Kantor Badan Pertanahan Kota Surabaya. Dalam hal ini


(60)

apakah pemidanaan ini akan berhasil atau tidak, sebab pemidanaan itu harus bertujuan kepada pendidikan kembali dan timbulnya efek jera agar pelaku yang dipidana tidak mengulangi kesalahannya lagi. Dalam proses persidangan terdapat hal-hal yang memberatkan dan meringankan. Hal yang meringankan dan yang memberatkan dalam kasus tindak pidana korupsi Kepala Badan Pertanahan Kota Surabaya adalah sebagai berikut :

3.3.1 Hal-Hal yang Memberatkan :

1. Sifat dari perbuatan terdakwa itu sendiri, yaitu dilakukan pada saat pemerintah sedang menggalakkan program pemberantasan korupsi, serta kapasitas terdakwa selaku Kepala Badan Pertanahan Negara Kota Surabaya yang justru dituntut untuk member teladan dalam rangka tugas-tugas pelayanan public dengan sebaik-baiknya.

2. Perbuatan terdakwa semakin memperburuk citra pegawai negeri.

3.3.2 Hal-Hal Yang Meringankan :

1. Terdakwa belum menikmati hasil kejahatannya.

2. Terdakwa merasa bersalah dan mengakui kesalahannya.

3. Terdakwa mempunyai tanggungan anak-anak dan istri.

4. Terdakwa selama kurang lebih dua puluh tahun telah mengabdi pada negara.

Hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa sesuai fakta persidangan kasus korupsi Kepala Badan Pertanahan Nasional Surabaya


(61)

akan dijalani. Namun dengan melihat hal-hal yang memberatkan dan meringankan, sanksi yang diberikan menurut penulis sangatlah rendah, karena terdakwa dengan sengaja memanfaatkan kedudukannya sebagai Kepala Badan Pertanahan Kota Surabaya untuk melakukan korupsi dengan memeras korban dan sengaja membelit belitkan urusan serifikat tanah yang ada, sementara korban telah membayar semua biaya administrasi sesuai dengan aturan yang ada. Sanksi pidana penjara 1 (satu) tahun tentu tidak sesuai dengan kejahatan yang dilakukan karena kita semua tidak mengetahui bahwa mungkin sebelumnya terdakwa terlebih dahulu melakukan kejahatan yang sama dengan memanfaatkan kedudukannya sebaga Kepala Badan Pertanahan Kota Surabaya karena salah satu fakor korupsi adalah tidak adanya sanksi yang keras terhadap pelaku tindak pidana korupsi itu sendiri.

3.4 Kesesuaian Penerapan Sanksi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi dalam Kasus ini Sesuai Dengan Undang –Undang Tindak Pidana Korupsi.

Kesesuaian penerapan sanksi dalam kasus tindak pidana korupsi Kepala Badan Pertanahan Nasional Kota Surabaya ini dinyatakan sesuai dengan undang – undang tindak pidana korupsi karena dalam kasus ini terdakwa secara sah dalam persidangan terbukti melakukan kejahatan tindak pidana korupsi gratifikasi yang melanggar Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang N0. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Sanksi yang diberikan oleh Majelis Hakim dalam persidangan terhadap terdakwa dalam kasus ini adalah sesuai dengan Pasal 11 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang N0. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yaitu dengan sanksi penjara


(62)

puluh juta rupiah. Apakah sanksi yang diberikan ini sesuai dengan kejahatan yang dilakukan oleh terdakwa? Menurut peneliti bahwa sanksi yang diberikan oleh Majelis Hakim dalam persidangan kasus tindak pidana korupsi gratifikasi Kepala Badan Pertanahan Kota Surabaya di Pengadilan Negeri Surabaya, tidak sesuai dengan kejahatan yang dilakukan oleh terdakwa. Alasannya karena dalam persidangan tersebut terdakwa jelas melakukan kejahatan tindak pidana korupsi gratifikasi dan melakukan pemerasan terhadap korban. Hal ini tentu menunjukan bahwa terdakwa memiliki niat untuk melakukan kejahatan tersebut dengan meminta imbalan berupa sejumlah uang terhadap korban untuk mempercepat pengurusan srtifikat tanah. Dan ancaman terhadap korban ada dalam perkataan terdakwa yang ingin menjadikan kelebihan tanah menjadi milik negara dan menyuruh korban untuk menunggu sertifikat tanah milik korban keluar sesuai prosedur. Hal ini jelas membuat korban merasa bahwa jika imbalan yang diminta tidak diberikan maka sertifikat tanah yang dimilikinya memiliki proses waktu yang sangat lama untuk dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional Surabaya dengan melihat jabatan terdakwa sebagai Kepala Kantor Bandan Pertanahan Surabaya.

Dalam kasus ini, terdakwa memberikan keterangan bahwa sudah mengurus sertifikat tanahnya sesuai dengan dengan prosedur selama bertahun-tahun, akan tetapi pengurusan sertifikat tanah tersebut tidak pernah dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Surabaya. Oleh karena itu korban memilih untuk bertemu langsung dengan terdakwa. Dalam pertemuan inilah korban secara tidak langsung dipaksa oleh terdakwa untuk memberikan sejumlah uang untuk mempercepat proses pengeluaran sertifikat tanah milik korban. Jadi, dengan melihat fakta kejadian perkara dan bukti-bukti dalam


(1)

selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan sanksi denda sebesar Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah. Apakah sanksi yang diberikan ini sesuai dengan kejahatan yang dilakukan oleh terdakwa? Menurut peneliti bahwa sanksi yang diberikan oleh Majelis Hakim dalam persidangan kasus tindak pidana korupsi gratifikasi Kepala Badan Pertanahan Kota Surabaya di Pengadilan Negeri Surabaya, tidak sesuai dengan kejahatan yang dilakukan oleh terdakwa. Alasannya karena dalam persidangan tersebut terdakwa jelas melakukan kejahatan tindak pidana korupsi gratifikasi dan melakukan pemerasan terhadap korban. Hal ini tentu menunjukan bahwa terdakwa memiliki niat untuk melakukan kejahatan tersebut dengan meminta imbalan berupa sejumlah uang terhadap korban untuk mempercepat pengurusan srtifikat tanah. Dan ancaman terhadap korban ada dalam perkataan terdakwa yang ingin menjadikan kelebihan tanah menjadi milik negara dan menyuruh korban untuk menunggu sertifikat tanah milik korban keluar sesuai prosedur. Hal ini jelas membuat korban merasa bahwa jika imbalan yang diminta tidak diberikan maka sertifikat tanah yang dimilikinya memiliki proses waktu yang sangat lama untuk dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional Surabaya dengan melihat jabatan terdakwa sebagai Kepala Kantor Bandan Pertanahan Surabaya.

Dalam kasus ini, terdakwa memberikan keterangan bahwa sudah mengurus sertifikat tanahnya sesuai dengan dengan prosedur selama bertahun-tahun, akan tetapi pengurusan sertifikat tanah tersebut tidak pernah dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Surabaya. Oleh karena itu korban memilih untuk bertemu langsung dengan terdakwa. Dalam pertemuan inilah korban secara tidak langsung dipaksa oleh terdakwa untuk memberikan sejumlah uang untuk mempercepat proses pengeluaran sertifikat tanah milik korban. Jadi, dengan melihat fakta kejadian perkara dan bukti-bukti dalam


(2)

sangat ringan. Sanksi maksimu yang terdapat dalam Pasal 11 Undang-Undang No. No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang N0. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah sanksi penjara 5 (lima) tahun dan sanksi penjara minimum 1 (satu) tahun. Sanksi minimum yang diberika oleh Pengadilan Negeri Surabaya dengan melihat hal-hal yang meringankan dinyatakan belum cukup memberikan efek jera sesuai dengan kejahatan yang dilakukan oleh terdakwa dalam kasus ini. Majelis Hakim seharusnya memberikan sanksi maksimum dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun terhadap terdakwa karena terdakwa melakukan kejahatan tindak pidana korupsi dimana Pemerintah Indonesia sedang genjar melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi secara merata dan menyeluruh di Indonesia. Dengan demikian pelaku tindak pidana korupsi akan merasa jera dan tidak mengulangi kejahatannya lagi sebab kejahatan tindak pidana korupsi adalah kejahatan yang merugikan negara dan masyarakat Indonesia itu sendiri.


(3)

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan.

1. Terdakwa tindak pidana korupsi dalam kasus ini terbukti melakukan kejahatan tindak pidana korupsi gratifikasi. Hukuman yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya kepada terdakwa tindak pidana korupsi dalam kasus gratifikasi Kepala Badan Pertanahan Nasional Surabaya ini masih sangat ringan dan belum tentu hukuman pemidanaan penjara yang dijatuhkan dapat berhasil dilaksanakan dalam proses pemberantasan korupsi dan perbaikan moral dan tingkah laku terhadap pelaku tindak pidana korupsi dalam kasus ini. Bisa dikatakan bahwa hukuman yang diberikan tidak cukup untuk memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi. 2. Sanksi bagi pelaku tindak pidana korupsi Kepala Badan Pertanahan

Nasional Kota Surabaya dalam kasus ini dijatuhkan sesuai dengan Pasal 11 Undang-Undang No.21 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi, akan tetapi jelas terlihat bahwa terdakwa juga telah melanggar Pasal 368 Ayat 1 KUHP tentang pemerasan terhadap korban. Hal ini tentu menjadi pertimbangan kepada majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya untuk lebih memberatkan sanksi terhadap pelaku tindak pidana korupsi atas pelanggaran yang telah dilakukan oleh terdakwa. Denda yang diputuskan kepada terdakwa oleh Pengadilan Negeri Surabaya sebagai ganti rugi atas kejahatan yang


(4)

telah dilakukan bias dikatakan masih sangat rendah dan tidak sesuai dengan perbuatan yang dilakukan terdakwa walaupun terdakwa belum menikmati hasil dari kejahatan yang telah dilakukan, karena jelas terbukti bahwa terdakwa benar-benar ingin melakukan kejahatn yang tanpa disadari telah melakukan tindak pidana korupsi dan pemerasan terhadap korban yang melanggar undang-undang tindak pidana korupsi dan KUHP tentan pemerasan dan ancaman terhadap korban.

4.2 Saran.

1. Agar pemerintah dan badan hukum lainnya yang di Indonesia bisa dengan tegas memberantas kejahatan tindak pidana korupsi dan memberikan sanksi yang berat dan tegas terhadap pelaku tindak pidana korupsi karena dengan kejahatan yang dilakukan dapat mempengaruhi perekonomian Bangsa Indonesia pada umumnya. Hal ini tentu tidak diinginkan oleh kita sebagai masyarakat bangsa indonesia.

2. Pengadilan Negeri Surabaya diharapkan lebih tegas dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana korupsi, bukannya mengambil sanksi terendah dalam pemidanaan untuk menjatuhkan putusan. Hal ini tentu tidak efektif dalam proses pemberantasan tindak pidana korupsi. Sanksi terendah yang diberikan bisa saj tidak memberikan efek jera tera dan keberhasilan dari pemidanan penjara itu sendiri kepada terdakwa tindak pidana korupsi yang secara sah telah terbukti melakukan kejahatan korupsi.


(5)

3. Denda yang dijatuhkan terhadap terdakwa haruslah sesuai dengan kerugian dan kejahatan yang telah dilakukan oleh terdakwa. Kejahatan yang telah dilakukan oleh terdakwa tentu saja meresahkan semua orang dan merugikan banyak pihak. Oleh karena itu, kerugian yang dialami oleh korban, badan hukum atau Negara itu sendiri harus menjadi denda terhadap terdakwa atas kejahatan yang telah dilakukannya.

4. Dengan adanya penelitian yang telah dilakukan oleh penulis ini diharapkan dapn memberikan informasi bagi lembaga atau instasi yan terkait dalam hal ini Pengadilan Negeri Surabaya untuk lebih mempertegas penyelesaian tindak pidana korupsi yang ada di Indonesia khusunya di Kota Surabaya.


(6)

49 PT Refika Aditama, Bandung, 2008.

Djaja Ermansjah, Memberantas Korupsi Bersama Komisi Pemberantasan Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.

Djoko Sumaryanto, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi

Dalam Rangka Pengembalian Kerugian Keuangan Negara, PT Prestasi

Pustakaraya, Jakarta, 2009.

Efendi Jonaedi, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi Dalam Rangka Pengembalian Kerugian Negara, PT Prestasi Pustakaraya, Jakarta, 2009.

Hartanti Evi, Penyelidikan, Penyidikan, Penuntutan dan Pemeriksaan di Sidang

Pengadilan Kasus Korupsi. Mandar Maju. Bandung, 2007.

Hartanti Evi, Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2007. Nasution Bahir Johan., Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung,

2008.

Nawawi Arief Barda, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Media Grafika, Jakarata, 2010.

Kamus Hukum., Citra Umbara, Bandung, 2008.

Pujiono, Kumpulan Tulisan Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2007.

Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, PT Rajagrafindo, Jakarta, 2002.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.

Undang-Undang R.I Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR).

Undang-Undang Nomor 31 Tahhun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang RI Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Perubahan KUHP yang Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara.