Aplikasi Ekstrak Kecombrang (Nicolaia Sp. Horan) Sebagai Pengawet Mie Basah

(1)

SKRIPSI

APLIKASI EKSTRAK BUNGA KECOMBRANG

(

Nicolaia

sp. Horan) SEBAGAI PENGAWET MIE BASAH

Oleh

Dhenok Anggraeni F24102028

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

Dhenok Anggraeni. F24102028. Aplikasi Bunga Kecombrang (Nicolaia sp. Horan) sebagai Pengawet pada Mie Basah. Dibawah bimbingan Dr. Ir. Nuri Andarwulan, MS dan Dr. Lilis Nuraida, Msc.

ABSTRAK

Mie basah merupakan salah satu makanan populer di Indonesia yang umumnya diproduksi oleh industri kecil dan industri rumah tangga. Kadar air mie basah yang cukup tinggi menyebabkan mie basah cepat mengalami kerusaan walaupun disimpan pada suhu lemari es. Salah satu bahan alami yang memiliki potensi sebagai pengawet alami adalah bunga kecombrang. Kecombrang (Nicolaia spesiosa Horan) merupakan tanaman asli pulau Jawa. Selama ini, kecombrang banyak dimanfaatkan sebagai penambah cita rasa pada berbagai jenis makanan seperti urab dan pecal. Komponen bunga kecombrang telah diketahui terdiri atas alkaloid, flavonoid, polifenol, steroid, saponin, dan minyak atsiri. Ekstrak etanol bunga kecombrang memiliki aktivitas antibakteri terhadap E. coli dan B. subtilis.

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan umur simpan mie basah melalui penggunaan ekstrak bunga kecombrang. Secara khusus, penelitian ini juga bertujuan untuk mendapatkan jenis ekstrak kecombrang yang efektif untuk meningkatkan umur simpan dan formulasi penggunaanya dalam mie basah. Manfaat yang ingin didapat dari penelitian ini adalah meningkatkan pemanfaatan bunga kecombrang.

Metodologi penelitian ini terdiri atas empat tahap. Tahap pertama adalah analisis sifat kimia bunga kecombrang, tahap yang kedua adalah pembuatan ekstrak kecombrang, tahap yang ketiga adalah aplikasi ekstrak pada mie basah, dan tahap yang keempat adalah pengamatan. Pengamatan yang dilakukan meliputi pengamatan mutu fisik, mutu mikrobiologi, mutu kimia, dan mutu organoleptik.

Hasil penelitian menunjukkan kadar air kecombrang sebesar 90,23%, pH bunga kecombrang adalah 3,89, dan rendemen kelopak bunga sebesar 58,06%. Kadar komponen fenolik rata-rata pada ekstrak rebus 1:3 adalah 0,6099 mg/ml, ekstrak rebus 1:5 adalah 0,5411 mg/ml, ekstrak segar 1:3 adalah 0,4761 mg/ml, dan total fenol pada ekstrak segar 1:5 adalah 0,3269 mg/ml.

Hasil pengamatan secara visual menunjukkan bahwa penambahan ekstrak kecombrang mempengaruhi warna, aroma, dan tekstur mie mentah mie mentah. Semakin tinggi ekstrak maka warna semakin gelap, aroma semakin tajam, dan tekstur semakin keras. Mie yang terpilih adalah mie yang ditambah ekstrak rebus 1:3 (50%) dan yang ditambah ekstrak segar 1:3 (50%) karena umur simpannya paling lama yaitu 54 dan 66 jam.

Proses pengamatan mie terpilih dilakukan setiap 12 jam selama 60 jam. Penambahan ekstrak kecombrang berpengaruh nyata pada warna mie mentah dan mie matang. Nilai °Hue mie mentah dan mie matang yang ditambah ekstrak kecombrang lebih rendah daripada kontrol. Selama penyimpanan, terjadi penurunan warna pada mie basah. °Hue mie mentah kontrol pada jam ke-0 adalah 73,61 dan turun menjadi 70,09 pada jam ke-72. °Hue mie mentah ekstrak rebus menurun dari 72,54 menjadi 62,03 dan °Hue mie mentah ekstrak segar menurun dari 70,21 menjadi 59,28. °Hue mie mentah kontrol pada jam ke-0 adalah 83,83 dan turun menjadi 77,17 pada jam ke-72. °Hue mie mentah ekstrak rebus menurun


(3)

dari 79,06 menjadi 73,18 dan °Hue mie mentah ekstrak segar menurun dari 75,88 menjadi 69,68. Hal ini terjadi karena reaksi browning enzimatik dan degradasi antosianin dari ekstrak kecombrang.

Penambahan ekstrak kecombrang tidak berpengaruh nyata terhadap Aw dan pH mie basah. Selama penyimpanan juga terjadi penurunan nilai pH yang disebabkan oleh pertumbuhan mikroorganisme dalam mie. Nilai pH mie kontrol mentah turun dari 8,91 menjadi 7,56, nilai pH mie mentah ekstrak rebus turun dari 9,10 menjadi 7,89, dan pH mie mentah ekstrak segar turun dari 8,99 menjadi 7,66. Nilai pH mie kontrol matang turun dari 9,02 menjadi 5,56, pH mie mentah ekstrak rebus turun dari 9,05 menjadi 6,92, dan pH mie mentah ekstrak segar turun dari 8,81 menjadi 6,73. Nilai Aw kontrol mentah adalah 0,907, Aw mie mentah ekstrak rebus adalah 0,915, dan Aw mie mentah ekstrak segar adalah 0, 918. Nilai Aw kontrol matang adalah 0,970, Aw mie matang ekstrak rebus adalah 0,966, dan Aw mie matang ekstrak segar adalah 0,961.

Hasil uji TPC menunjukkan bahwa penambahan ekstrak kecombrang pada mie mentah mampu meningkatkan umur simpan secara nyata sedangkan pada mie matang tidak berpengaruh nyata. Mie mentah yang ditambah ekstrak rebus pada jam ke-46 telah melewati batas SNI dan mie mentah yang ditambah ekstrak segar melewati batas SNI pada jam ke-38. Penggunaan ekstrak kecombrang tidak mengurangi pertumbuhan kapang dan khamir pada mie mentah.

Hasil uji sensori secara umum menunjukkan penerimaan panelis terhadap mie kontrol lab dan mie yang ditambah ekstrak rebus tidak berbeda nyata. Pada mie mentah, nilai rata-rata overall kesukaan mie kontrol lab paling besar yaitu 4,07 diikuti mie ekstrak rebus (3,67), kontrol pasar (2,77), dan mie ekstrak segar (2,63). Nilai rata-rata kesukaan mie matang kontrol lab adalah 3,93, mie ekstrak rebus (3,60), ekstrak segar (2,97), dan mie kontrol pasar (2,57). Nilai kesukaan rata-rata untuk mie mentah yang dimasak yang paling tinggi adalah mie kontrol lab adalah 4,27, ekstrak rebus (4,00), kontrol pasar (3,27), dan mie ekstrak segar (3,03).

Penggunaan ekstrak kecombrang berkontribusi pada biaya produksi mie. Pemakaian ekstrak kecombrang rebus 1:3 akan memberikan kontribusi biaya produksi sebesar Rp 2859,73 per kg mie dan penambahan ekstrak segar 1:3 akan menambah biaya produksi sebesar Rp 1380,15 per kg mie.


(4)

APLIKASI EKSTRAK KECOMBRANG (Nicolaia sp. Horan) SEBAGAI PENGAWET MIE BASAH

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh :

DHENOK ANGGRAENI F 24102028

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(5)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

APLIKASI EKSTRAK KECOMBRANG (Nicolaia sp. Horan) SEBAGAI PENGAWET MIE BASAH

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh :

DHENOK ANGGRAENI F 24102028

Dilahirkan pada tanggal 20 Desember 1983 Di Purworejo

Tanggal lulus : 29 Januari 2007 Menyetujui,

Bogor, Februari 2007

Dr. Ir. Nuri Andarwulan, MS. Dr. Lilis Nuraida, MSc. Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc Ketua Departemen


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

I. PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG... 1

B. TUJUAN ... 3

C. MANFAAT ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

A. BUNGA KECOMBRANG (Nicolaia sp Horan) ... 4

1. Botani Kecombrang ... 4

2. Potensi Kecombrang ... 5

B. MIE BASAH ... 8

1. Komposisi Mie Basah ... 8

2. Pembuatan Mie Basah ... 10

3. Kerusakan Mie Basah ... 13

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 14

A. BAHAN DAN ALAT ... 14

1. Bahan ... 14

2. Alat ... 14

B. TAHAPAN PENELITIAN ... 15

1. Analisis Bunga Kecombrang ... 15

2. Pembuatan Ekstrak Kecombrang ... 15

3. Aplikasi Ekstrak Kecombrang ke Dalam Mie Basah ... 15

4. Pengamatan Mutu Mie Basah Segar ... 16

5. Pengamatan Umur Simpan Mie Basah Mentah ... 17

C. PENGAMATAN ... 18

1. Kadar Air ... 18


(7)

3. Nilai Aw ... 19

4. Total Fenol ... 19

5. Warna ... 20

6. Analisis Total Mikroba ... 20

7. Analisis Kapang Khamir ... 21

8. Analisis Total Koliform ... 21

9. Analisis Total Bakteri E. coli ... 22

10. Uji Organoleptik ... 22

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23

A. EKSTRAK BUNGA KECOMBRANG ... 23

1. Sifat Kimia Bunga Kecombrang ... 23

B. APLIKASI EKSTRAK KE DALAM MIE BASAH ... 26

1. Pengamatan Mutu Mie Basah Segar ... 26

2. Umur Simpan Mie Mentah ... 28

C. ANALISIS SIFAT KIMIA DAN SIFAT FISIK MIE TERPILIH ... 30

1. Warna Mie Basah ... 30

2. Nilai pH Mie Basah ... 33

3. Nilai Aw Mie Basah ... 35

4. Uji Total Mikroba (TPC) Mie Terpilih ... 36

5. Uji Kapang Khamir ... 40

6. Uji Koliform ... 42

7. Uji Hedonik ... 43

8. Analisis Biaya ... 48

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 50

A. KESIMPULAN ... 50

B. SARAN ... 52

DAFTAR PUSTAKA ... 53


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Syarat mutu mie basah menurut SNI 01-2987-1992 ... 9 Tabel 2. Formula ekstrak kecombrang dalam mie basah ... 17 Tabel 3. Hubungan antara konsentrasi ekstrak kecombrang dengan warna,

aroma, dan tekstur mie basah mentah pada jam ke-0 ... 29 Tabel 4. Harga mie mentah dengan penambahan ekstrak kecombrang ... 50


(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Diagram alir pembuatan mie basah secara umum ... 12

Gambar 2. Bunga kecombrang yang dipakai dalam penelitian... 23

Gambar 3. Umur simpan mie mentah dengan penambahan berbagai jenis ekstrak kecombrang ... 28

Gambar 4. Mie mentah terpilih ... 30

Gambar 5. Perubahan warna mie mentah selama penyimpanan dengan penambahan ekstrak kecombrang ... 31

Gambar 6. Perubahan warna selama penyimpanan mie matang dengan penambahan ekstrak kecombrang ... 33

Gambar 7. Perubahan pH selama penyimpanan mie mentah dengan penambahan ekstrak kecombrang ... 34

Gambar 8. Perubahan pH selama penyimpanan mie matang dengan penambahan ekstrak kecombrang ... 34

Gambar 9. Nilai Aw mie mentah dan matang dengan penambahan ekstrak kecombrang pada jam ke-0 ... 36

Gambar 10. Perubahan total mikroba selama penyimpanan mie mentah dengan penambahan ekstrak kecombrang ... 37

Gambar 11. Perubahan total mikroba selama penyimpanan mie matang dengan penambahan ekstrak kecombrang ... 37

Gambar 12. Perubahan total kapang-khamir selama penyimpanan mie mentah dengan penambahan ekstrak kecombrang ... 38

Gambar 13. Perubahan total kapang khamir selama penyimpanan mie matang dengan penambahan ekstrak kecombrang ... 40

Gambar 14. Nilai rata-rata skor kesukaan panelis pada warna mie basah ... 41

Gambar 15. Nilai rata-rata skor kesukaan panelis pada tekstur mie basah ... 44

Gambar 16. Nilai rata-rata skor kesukaan panelis pada aroma mie basah ... 46

Gambar 17. Nilai rata-rata skor kesukaan panelis pada rasa mie basah ... 47

Gambar 18. Nilai rata-rata skor kesukaan panelis pada overall mie basah ... 48


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Kadar Air Bunga Kecombrang ... 56

Lampiran 2a. Rendemen Bunga Kecombrang ... 56

Lampiran 2b. Rendemen Ekstrak Kecombrang ... 57

Lampiran 3a. Kurva Standar Asam Tanat ... 58

Lampiran 3b. Hasil Perhitungan Total Fenol Ekstrak Kecombrang ... 58

Lampiran 4. Hasil TPC Ekstrak Kecombrang... 59

Lampiran 5. Hasil Pengukuran Warna Mie Mentah yang Ditambah Ekstrak Segar 50% ... 60

Lampiran 6. Hasil Pengukuran Warna Mie Mentah Ditambah Ekstrak Rebus 50% ... 61

Lampiran 7. Hasil Uji Anova Warna Mie Mentah ... 62

Lampiran 8. Hasil Pengukuran Warna Mie Matang yang Ditambah Ekstrak Segar 50% ... 63

Lampiran 9. Hasil Pengukuran Warna MIe Matang Ditambah Ekstrak Rebus 50% ... 64

Lampiran 10. Uji Anova Pada Warna Mie Matang ... 65

Lampiran 11. Hasil Uji Anova Pada pH Mie Mentah ... 65

Lampiran 12. Hasil Uji Anova Pada pH Mie Matang ... 66

Lampiran 13. Hasil Pengukuran Aw Mie Basah ... 67

Lampiran 14. Hasil TPC Mie Mentah Ditambah Ekstrak Segar 50% ... 68

Lampiran 15. Hasil TPC Mie Mentah Ditambah Ekstrak Rebus 50% ... 69

Lampiran 16. Hasil Uji Anova Mie Mentah ... 70

Lampiran 17. Hasil Perhitungan TPC Mie Matang Ditambah Ekstrak Rebus 50% ... 71

Lampiran 18. Hasil Perhitungan TPC Mie Matang Ditambah Ekstrak Segar 50% ... 72

Lampiran 19. Hasil Uji Anova TPC Mie Matang ... 73

Lampiran 20. Hasil Perhitungan Kapang-khamir pada Mie Mentah Ditambah Ekstrak Rebus 50% ... 74


(11)

SKRIPSI

APLIKASI EKSTRAK BUNGA KECOMBRANG

(

Nicolaia

sp. Horan) SEBAGAI PENGAWET MIE BASAH

Oleh

Dhenok Anggraeni F24102028

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(12)

Dhenok Anggraeni. F24102028. Aplikasi Bunga Kecombrang (Nicolaia sp. Horan) sebagai Pengawet pada Mie Basah. Dibawah bimbingan Dr. Ir. Nuri Andarwulan, MS dan Dr. Lilis Nuraida, Msc.

ABSTRAK

Mie basah merupakan salah satu makanan populer di Indonesia yang umumnya diproduksi oleh industri kecil dan industri rumah tangga. Kadar air mie basah yang cukup tinggi menyebabkan mie basah cepat mengalami kerusaan walaupun disimpan pada suhu lemari es. Salah satu bahan alami yang memiliki potensi sebagai pengawet alami adalah bunga kecombrang. Kecombrang (Nicolaia spesiosa Horan) merupakan tanaman asli pulau Jawa. Selama ini, kecombrang banyak dimanfaatkan sebagai penambah cita rasa pada berbagai jenis makanan seperti urab dan pecal. Komponen bunga kecombrang telah diketahui terdiri atas alkaloid, flavonoid, polifenol, steroid, saponin, dan minyak atsiri. Ekstrak etanol bunga kecombrang memiliki aktivitas antibakteri terhadap E. coli dan B. subtilis.

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan umur simpan mie basah melalui penggunaan ekstrak bunga kecombrang. Secara khusus, penelitian ini juga bertujuan untuk mendapatkan jenis ekstrak kecombrang yang efektif untuk meningkatkan umur simpan dan formulasi penggunaanya dalam mie basah. Manfaat yang ingin didapat dari penelitian ini adalah meningkatkan pemanfaatan bunga kecombrang.

Metodologi penelitian ini terdiri atas empat tahap. Tahap pertama adalah analisis sifat kimia bunga kecombrang, tahap yang kedua adalah pembuatan ekstrak kecombrang, tahap yang ketiga adalah aplikasi ekstrak pada mie basah, dan tahap yang keempat adalah pengamatan. Pengamatan yang dilakukan meliputi pengamatan mutu fisik, mutu mikrobiologi, mutu kimia, dan mutu organoleptik.

Hasil penelitian menunjukkan kadar air kecombrang sebesar 90,23%, pH bunga kecombrang adalah 3,89, dan rendemen kelopak bunga sebesar 58,06%. Kadar komponen fenolik rata-rata pada ekstrak rebus 1:3 adalah 0,6099 mg/ml, ekstrak rebus 1:5 adalah 0,5411 mg/ml, ekstrak segar 1:3 adalah 0,4761 mg/ml, dan total fenol pada ekstrak segar 1:5 adalah 0,3269 mg/ml.

Hasil pengamatan secara visual menunjukkan bahwa penambahan ekstrak kecombrang mempengaruhi warna, aroma, dan tekstur mie mentah mie mentah. Semakin tinggi ekstrak maka warna semakin gelap, aroma semakin tajam, dan tekstur semakin keras. Mie yang terpilih adalah mie yang ditambah ekstrak rebus 1:3 (50%) dan yang ditambah ekstrak segar 1:3 (50%) karena umur simpannya paling lama yaitu 54 dan 66 jam.

Proses pengamatan mie terpilih dilakukan setiap 12 jam selama 60 jam. Penambahan ekstrak kecombrang berpengaruh nyata pada warna mie mentah dan mie matang. Nilai °Hue mie mentah dan mie matang yang ditambah ekstrak kecombrang lebih rendah daripada kontrol. Selama penyimpanan, terjadi penurunan warna pada mie basah. °Hue mie mentah kontrol pada jam ke-0 adalah 73,61 dan turun menjadi 70,09 pada jam ke-72. °Hue mie mentah ekstrak rebus menurun dari 72,54 menjadi 62,03 dan °Hue mie mentah ekstrak segar menurun dari 70,21 menjadi 59,28. °Hue mie mentah kontrol pada jam ke-0 adalah 83,83 dan turun menjadi 77,17 pada jam ke-72. °Hue mie mentah ekstrak rebus menurun


(13)

dari 79,06 menjadi 73,18 dan °Hue mie mentah ekstrak segar menurun dari 75,88 menjadi 69,68. Hal ini terjadi karena reaksi browning enzimatik dan degradasi antosianin dari ekstrak kecombrang.

Penambahan ekstrak kecombrang tidak berpengaruh nyata terhadap Aw dan pH mie basah. Selama penyimpanan juga terjadi penurunan nilai pH yang disebabkan oleh pertumbuhan mikroorganisme dalam mie. Nilai pH mie kontrol mentah turun dari 8,91 menjadi 7,56, nilai pH mie mentah ekstrak rebus turun dari 9,10 menjadi 7,89, dan pH mie mentah ekstrak segar turun dari 8,99 menjadi 7,66. Nilai pH mie kontrol matang turun dari 9,02 menjadi 5,56, pH mie mentah ekstrak rebus turun dari 9,05 menjadi 6,92, dan pH mie mentah ekstrak segar turun dari 8,81 menjadi 6,73. Nilai Aw kontrol mentah adalah 0,907, Aw mie mentah ekstrak rebus adalah 0,915, dan Aw mie mentah ekstrak segar adalah 0, 918. Nilai Aw kontrol matang adalah 0,970, Aw mie matang ekstrak rebus adalah 0,966, dan Aw mie matang ekstrak segar adalah 0,961.

Hasil uji TPC menunjukkan bahwa penambahan ekstrak kecombrang pada mie mentah mampu meningkatkan umur simpan secara nyata sedangkan pada mie matang tidak berpengaruh nyata. Mie mentah yang ditambah ekstrak rebus pada jam ke-46 telah melewati batas SNI dan mie mentah yang ditambah ekstrak segar melewati batas SNI pada jam ke-38. Penggunaan ekstrak kecombrang tidak mengurangi pertumbuhan kapang dan khamir pada mie mentah.

Hasil uji sensori secara umum menunjukkan penerimaan panelis terhadap mie kontrol lab dan mie yang ditambah ekstrak rebus tidak berbeda nyata. Pada mie mentah, nilai rata-rata overall kesukaan mie kontrol lab paling besar yaitu 4,07 diikuti mie ekstrak rebus (3,67), kontrol pasar (2,77), dan mie ekstrak segar (2,63). Nilai rata-rata kesukaan mie matang kontrol lab adalah 3,93, mie ekstrak rebus (3,60), ekstrak segar (2,97), dan mie kontrol pasar (2,57). Nilai kesukaan rata-rata untuk mie mentah yang dimasak yang paling tinggi adalah mie kontrol lab adalah 4,27, ekstrak rebus (4,00), kontrol pasar (3,27), dan mie ekstrak segar (3,03).

Penggunaan ekstrak kecombrang berkontribusi pada biaya produksi mie. Pemakaian ekstrak kecombrang rebus 1:3 akan memberikan kontribusi biaya produksi sebesar Rp 2859,73 per kg mie dan penambahan ekstrak segar 1:3 akan menambah biaya produksi sebesar Rp 1380,15 per kg mie.


(14)

APLIKASI EKSTRAK KECOMBRANG (Nicolaia sp. Horan) SEBAGAI PENGAWET MIE BASAH

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh :

DHENOK ANGGRAENI F 24102028

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(15)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

APLIKASI EKSTRAK KECOMBRANG (Nicolaia sp. Horan) SEBAGAI PENGAWET MIE BASAH

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh :

DHENOK ANGGRAENI F 24102028

Dilahirkan pada tanggal 20 Desember 1983 Di Purworejo

Tanggal lulus : 29 Januari 2007 Menyetujui,

Bogor, Februari 2007

Dr. Ir. Nuri Andarwulan, MS. Dr. Lilis Nuraida, MSc. Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc Ketua Departemen


(16)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

I. PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG... 1

B. TUJUAN ... 3

C. MANFAAT ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

A. BUNGA KECOMBRANG (Nicolaia sp Horan) ... 4

1. Botani Kecombrang ... 4

2. Potensi Kecombrang ... 5

B. MIE BASAH ... 8

1. Komposisi Mie Basah ... 8

2. Pembuatan Mie Basah ... 10

3. Kerusakan Mie Basah ... 13

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 14

A. BAHAN DAN ALAT ... 14

1. Bahan ... 14

2. Alat ... 14

B. TAHAPAN PENELITIAN ... 15

1. Analisis Bunga Kecombrang ... 15

2. Pembuatan Ekstrak Kecombrang ... 15

3. Aplikasi Ekstrak Kecombrang ke Dalam Mie Basah ... 15

4. Pengamatan Mutu Mie Basah Segar ... 16

5. Pengamatan Umur Simpan Mie Basah Mentah ... 17

C. PENGAMATAN ... 18

1. Kadar Air ... 18


(17)

3. Nilai Aw ... 19

4. Total Fenol ... 19

5. Warna ... 20

6. Analisis Total Mikroba ... 20

7. Analisis Kapang Khamir ... 21

8. Analisis Total Koliform ... 21

9. Analisis Total Bakteri E. coli ... 22

10. Uji Organoleptik ... 22

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23

A. EKSTRAK BUNGA KECOMBRANG ... 23

1. Sifat Kimia Bunga Kecombrang ... 23

B. APLIKASI EKSTRAK KE DALAM MIE BASAH ... 26

1. Pengamatan Mutu Mie Basah Segar ... 26

2. Umur Simpan Mie Mentah ... 28

C. ANALISIS SIFAT KIMIA DAN SIFAT FISIK MIE TERPILIH ... 30

1. Warna Mie Basah ... 30

2. Nilai pH Mie Basah ... 33

3. Nilai Aw Mie Basah ... 35

4. Uji Total Mikroba (TPC) Mie Terpilih ... 36

5. Uji Kapang Khamir ... 40

6. Uji Koliform ... 42

7. Uji Hedonik ... 43

8. Analisis Biaya ... 48

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 50

A. KESIMPULAN ... 50

B. SARAN ... 52

DAFTAR PUSTAKA ... 53


(18)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Syarat mutu mie basah menurut SNI 01-2987-1992 ... 9 Tabel 2. Formula ekstrak kecombrang dalam mie basah ... 17 Tabel 3. Hubungan antara konsentrasi ekstrak kecombrang dengan warna,

aroma, dan tekstur mie basah mentah pada jam ke-0 ... 29 Tabel 4. Harga mie mentah dengan penambahan ekstrak kecombrang ... 50


(19)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Diagram alir pembuatan mie basah secara umum ... 12

Gambar 2. Bunga kecombrang yang dipakai dalam penelitian... 23

Gambar 3. Umur simpan mie mentah dengan penambahan berbagai jenis ekstrak kecombrang ... 28

Gambar 4. Mie mentah terpilih ... 30

Gambar 5. Perubahan warna mie mentah selama penyimpanan dengan penambahan ekstrak kecombrang ... 31

Gambar 6. Perubahan warna selama penyimpanan mie matang dengan penambahan ekstrak kecombrang ... 33

Gambar 7. Perubahan pH selama penyimpanan mie mentah dengan penambahan ekstrak kecombrang ... 34

Gambar 8. Perubahan pH selama penyimpanan mie matang dengan penambahan ekstrak kecombrang ... 34

Gambar 9. Nilai Aw mie mentah dan matang dengan penambahan ekstrak kecombrang pada jam ke-0 ... 36

Gambar 10. Perubahan total mikroba selama penyimpanan mie mentah dengan penambahan ekstrak kecombrang ... 37

Gambar 11. Perubahan total mikroba selama penyimpanan mie matang dengan penambahan ekstrak kecombrang ... 37

Gambar 12. Perubahan total kapang-khamir selama penyimpanan mie mentah dengan penambahan ekstrak kecombrang ... 38

Gambar 13. Perubahan total kapang khamir selama penyimpanan mie matang dengan penambahan ekstrak kecombrang ... 40

Gambar 14. Nilai rata-rata skor kesukaan panelis pada warna mie basah ... 41

Gambar 15. Nilai rata-rata skor kesukaan panelis pada tekstur mie basah ... 44

Gambar 16. Nilai rata-rata skor kesukaan panelis pada aroma mie basah ... 46

Gambar 17. Nilai rata-rata skor kesukaan panelis pada rasa mie basah ... 47

Gambar 18. Nilai rata-rata skor kesukaan panelis pada overall mie basah ... 48


(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Kadar Air Bunga Kecombrang ... 56

Lampiran 2a. Rendemen Bunga Kecombrang ... 56

Lampiran 2b. Rendemen Ekstrak Kecombrang ... 57

Lampiran 3a. Kurva Standar Asam Tanat ... 58

Lampiran 3b. Hasil Perhitungan Total Fenol Ekstrak Kecombrang ... 58

Lampiran 4. Hasil TPC Ekstrak Kecombrang... 59

Lampiran 5. Hasil Pengukuran Warna Mie Mentah yang Ditambah Ekstrak Segar 50% ... 60

Lampiran 6. Hasil Pengukuran Warna Mie Mentah Ditambah Ekstrak Rebus 50% ... 61

Lampiran 7. Hasil Uji Anova Warna Mie Mentah ... 62

Lampiran 8. Hasil Pengukuran Warna Mie Matang yang Ditambah Ekstrak Segar 50% ... 63

Lampiran 9. Hasil Pengukuran Warna MIe Matang Ditambah Ekstrak Rebus 50% ... 64

Lampiran 10. Uji Anova Pada Warna Mie Matang ... 65

Lampiran 11. Hasil Uji Anova Pada pH Mie Mentah ... 65

Lampiran 12. Hasil Uji Anova Pada pH Mie Matang ... 66

Lampiran 13. Hasil Pengukuran Aw Mie Basah ... 67

Lampiran 14. Hasil TPC Mie Mentah Ditambah Ekstrak Segar 50% ... 68

Lampiran 15. Hasil TPC Mie Mentah Ditambah Ekstrak Rebus 50% ... 69

Lampiran 16. Hasil Uji Anova Mie Mentah ... 70

Lampiran 17. Hasil Perhitungan TPC Mie Matang Ditambah Ekstrak Rebus 50% ... 71

Lampiran 18. Hasil Perhitungan TPC Mie Matang Ditambah Ekstrak Segar 50% ... 72

Lampiran 19. Hasil Uji Anova TPC Mie Matang ... 73

Lampiran 20. Hasil Perhitungan Kapang-khamir pada Mie Mentah Ditambah Ekstrak Rebus 50% ... 74


(21)

Lampiran 21. Hasil Perhitungan Kapang-khamir pada Mie Mentah Ditambah

Ekstrak Segar 50% ... 75

Lampiran 22. Hasil Uji Anova Kapang Khamir Mie Mentah ... 76

Lampiran 23. Hasil Perhitungan Kapang-khamir pada Mie Matang Ditambah Ekstrak Segar 50%Air ... 77

Lampiran 24. Hasil Perhitungan Kapang-khamir pada Mie Matang Ditambah Ekstrak Rebus 50% ... 78

Lampiran 25. Form Uji Hedonik ... 79

Lampiran 26. Skor Uji Hedonik Mie Mentah Kontrol Lab ... 80

Lampiran 27. Skor Uji Hedonik Mie Mentah Ditambah Ekstrak Segar ... 81

Lampiran 28. Skor Uji Hedonik Mie Mentah Ditambah Ekstrak Rebus ... 82

Lampiran 29. Skor Uji Hedonik Mie Mentah Pasar ... 83

Lampiran 30. Skor Uji Hedonik Mie Matang Kontrol Lab ... 84

Lampiran 31. Skor Uji Hedonik Mie Matang Ditambah Ekstrak Segar ... 85

Lampiran 32. Skor Uji Hedonik Mie Matang Ditambah Ekstrak Rebus ... 86

Lampiran 33. Skor Uji Hedonik Mie Matang Pasar ... 87

Lampiran 34. Skor Uji Hedonik Mie Kontrol Lab Dimasak ... 88

Lampiran 35. Skor Uji Hedonik Mie Ekstrak Segar Dimasak ... 89

Lampiran 36. Skor Uji Hedonik Mie Ekstrak Rebus Dimasak ... 90

Lampiran 37. Skor Uji Hedonik Mie Ekstrak Rebus Dimasak ... 91

Lampiran 38a. Hasil Uji Hedonik Warna Mie Mentah ... 92

Lampiran 38b. Hasil Uji Hedonik Warna Mie Matang ... 92

Lampiran 38c. Hasil Uji Hedonik Warna Mie Mentah Dimasak ... 93

Lampiran 39a. Hasil Uji Hedonik Tekstur Mie Mentah ... 93

Lampiran 39b. Hasil Uji Hedonik Tekstur Mie Matang ... 94

Lampiran 39c. Hasil Uji Hedonik Tekstur Mie Mentah Dinasak ... 94

Lampiran 40a. Hasil Uji Hedonik Aroma Mie Mentah ... 95

Lampiran 40b. Hasil Uji Hedonik Aroma Mie Matang Air ... 95

Lampiran 40c. Hasil Uji Hedonik Aroma Mie Mentah Dimasak ... 96

Lampiran 41a. Hasil Uji Hedonik Rasa Mie Matang ... 96

Lampiran 41b. Hasil Uji Hedonik Rasa Mie Mentah Dimasak ... 97


(22)

Lampiran 42b. Hasil Uji Hedonik Overall Mie Matang ... 98 Lampiran 42a. Hasil Uji Hedonik Overall Mie Mentah Dimasak ... 98


(23)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Mie basah merupakan salah satu makanan populer di Indonesia yang umumnya diproduksi oleh industri kecil dan industri rumah tangga. Definisi mie basah menurut Badan Standarisasi Nasional adalah produk makanan yang dibuat dari tepung terigu dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diijinkan, berbentuk khas mie yang tidak dikeringkan (SNI No. 01-2987-1992).

Mie basah dengan bahan baku terigu dapat digolongkan menjadi dua jenis berdasarkan cara pembuatannya, yaitu mie basah mentah dan mie basah matang. Perbedaannya adalah pada tahapan setelah pemotongan. Setelah pemotongan, mie basah mentah hanya ditaburi tapioka untuk menghindari untaian mie lengket satu sama lain. Sedangkan pada mie basah matang, setelah dipotong, mie direbus dan diolesi minyak agar untaian mie matang tidak lengket satu sama lain. Tahap perebusan tersebut menyebabkan kadar air mie basah matang menjadi tinggi yaitu sekitar 52%, sedangkan mie basah mentah memiliki kadar air sekitar 35% (Astawan, 1999).

Pada dasarnya proses pembuatan mie basah terdiri dari proses pencampuran, pembentukan lembaran, pembentukan mie, serta pengukusan. Selain proses pengolahan, tahap penyimpanan dan pengemasan juga merupakan faktor penting yang mempengaruhi umur simpan mie basah (Badrudin, 1994).

Umur simpan mie basah yang pendek membuat produsen harus segera menjualnya karena mie yang tidak terjual akan segera rusak dan menimbulkan kerugian yang besar. Umur simpan mie basah mentah adalah 1-4 hari sedangkan umur simpan mie basah matang adalah 1-14 hari (Gracecia, 2005).

Usaha yang dilakukan untuk memperpanjang umur mie basah adalah dengan menambahkan bahan pengawet. Pemberian carboxy methyl cellulose


(24)

kaseinat, gum cayana, atau kalsium propionat sebesar 0,38% dapat meningkatkan umur simpan mie (Winarno dan Rahayu, 1994).

Bahan tambahan lain yang biasa digunakan adalah kalium sorbat dan natrium benzoat. Hasil survey Indrawan (2005) terhadap 12 industri mie basah mentah dan 5 industri mie matang yang tersebar di Jakarta (5), Bogor (3), Tangerang (3), dan Bekasi (6) menunjukkan bahwa natrium benzoat digunakan oleh 91,7% industri mie mentah dan 100% industri mie matang. Kombinasi kalium sorbat dan natrium benzoat digunakan oleh 16,7% industri mie mentah dan 20% industri mie matang.

Banyak industri mie yang menggunakan bahan tambahan ilegal seperti formalin dan boraks. Hasil pengujian BPOM dari sampling dan pengujian laboratorium secara serentak di Bandar Lampung, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Mataram, dan Makassar pada Desember 2005 menunjukkan bahwa 64,32 % mie basah, 33,45 % tahu, dan 26,36 % ikan basah/kering tidak memenuhi syarat kesehatan karena mengandung formalin. Badan POM juga melaporkan, dari 24 sampel yang diuji, lebih dari 80% mie basah yang dijual di Pasar Bandung mengandung boraks dan formalin (Anonim a, 2006). Alasan produsen menggunakan formalin dan boraks sebagai bahan pengawet adalah karena murah harganya, lebih awet, dan mutu mie basah yang dihasilkan lebih bagus (Astawan, 2006).

Publikasi mengenai penggunaan bahan berbahaya pada mie basah meningkatkan kesadaran masyarakat untuk lebih selektif dalam mengkonsumsi makanan dan mendorong pencarian bahan pengawet alami yang bersifat antimikroba dan yang dianggap lebih aman bagi kesehatan. Salah satu jenis bahan alami yang memiliki sifat anti mikroba adalah bunga kecombrang. Potensi bunga kecombrang sebagai antibakteri telah diteliti dengan mengekstrak bunga kecombrang dengan pelarut etanol. Hasil pengujian menunjukkan bahwa ekstrak etanol bunga kecombrang memiliki aktivitas antibakteri terhadap E. coli dan B. subtilis (Valianty, 2002).


(25)

B. TUJUAN

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan umur simpan mie basah melalui penggunaan ekstrak bunga kecombrang. Secara khusus, penelitian ini juga bertujuan untuk mendapatkan jenis ekstrak kecombrang yang efektif untuk meningkatkan umur simpan dan formulasi penggunaannya dalam mie basah.

C. MANFAAT

Manfaat yang ingin didapat dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan alternatif pengawet alami pada produk pangan terutama mie basah dan meningkatkan daya guna bunga kecombrang.


(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. BUNGA KECOMBRANG (Nicolaia sp. Horan) 1. Botani Kecombrang

Kecombrang (Nicolaia sp.Horan) merupakan tanaman asli pulau Jawa. Selama ini, kecombrang banyak dimanfaatkan sebagai penambah cita rasa pada berbagai jenis makanan seperti urab, pecel, dan sayur lodeh. Kecombrang juga dikenal berkhasiat untuk menghilangkan bau badan dan bau mulut (Anonim a, 2006).

Menurut Sudarsono (1994), rimpang bunga kecombrang digunakan sebagai pewarna untuk mendapatkan warna kuning. Batang semunya berpotensi sebagai bahan baku pembuatan kertas dan digunakan untuk membuat anyam-anyaman. Buah kecombrang juga dapat digunakan untuk membuat manisan.

Menurut Valeton (1921), marga Nicolaia yang terdapat di Indonesia ada 13 jenis yaitu Nicolaia anthodioides, Nicolaia atropurpurea, Nicolaia diepenhorstii, Nicolaia gracilis, Nicolaia grandiligulata, Nicolaia hemisphaerica Horan, Nicolaia heyniana, Nicolaia intermedia, Nicolaia rostrata, Nicolaia lorzïngii, Nicolaia solaris Horan, dan Nicolaia speciosa

Horan.

Tanaman ini tersebar di Pulau Jawa dan Sumatera terutama di daerah pegunungan. Ada beberapa jenis kecombrang yang tumbuh di Jawa Barat dan biasa disebut dengan honje. Nicolaia anthodioides terdapat di pulau Jawa dan sering disebut honje buut. Nicolaia hemisphaerica Horan diduga merupakan salah satu jenis dari Nicolaia speciosa. Tanaman ini terdapat di Jawa Barat dan disebut honje leuweung. Nicolaia solaris Horan terdapat di Jawa Barat terutama di Gunung Cermai. Bunganya berwarna merah dengan tepi berwarna kuning. Sedangkan Nicolaia speciosa Horan berwarna merah dan terdapat di Jawa Barat khususnya di Gunung Salak dan Bogor (Valeton, 1921).

Kecombrang termasuk dalam divisi spermatophyta, subdivisi


(27)

zingiberaceae, marga Nicolaia, dan jenis Nicolaia speciosa Horan. Setiap daerah mempunyai nama khusus untuk kecombrang, misalnya Kala (Gayo), Puwar kijung (Minangkabau), Kecombrang (Jawa Tengah), Honje (Sunda), Atimengo (Gorontalo), Katimbang (Makasar), Salahawa (Seram), Petikala (Ternate dan Tidore) (Anonim a, 2006). Kecombrang secara umum juga disebut sebagai Kantan di wilayah Malaya (Sudarsono, 1994).

Tanaman kecombrang merupakan tanaman tahunan yang berbentuk semak dengan tinggi 1-3 m. Tanaman ini mempunyai batang semu, tegak, berpelepah, membentuk rimpang, dan berwarna hijau. Daunnya tunggal, lanset, ujung dan pangkal runcing tetapi rata, panjang daun sekitar 20-30 cm dan lebar 5-15 cm, pertulangan daun menyirip, dan berwarna hijau. Bunga kecombrang merupakan bunga majemuk yang berbentuk bongkol dengan panjang tangkai 40-80 cm. Panjang benang sari ± 7,5 cm dan berwarna kuning. Putiknya kecil dan putih. Mahkota bunganya bertaju, berbulu jarang dan warnanya merah jambu. Biji kecombrang berbentuk kotak atau bulat telur dengan warna putih atau merah jambu. Buahnya kecil dan berwarna coklat. Akarnya berbentuk serabut dan berwarna kuning gelap (Syamsuhidayat, 1991).

Pada dasarnya, yang disebut dengan bunga kecombrang adalah suatu karangan bunga yang terdiri atas bagian bunga, daun pelindung, daun gagang, daun gantilan, kelopak, mahkota, putik, dan buah (Soedarsono, 1994). Bunga kecombrang adalah bunga majemuk yang terdiri atas bunga-bunga kecil di dalam karangan bunga-bunga dan muncul pada saat bunga-bunga sudah tua.

2. Potensi Kecombrang

Penelitian yang telah dilakukan pada rimpang lengkuas (A. galanga) yang termasuk satu famili dengan kecombrang membuktikan bahwa senyawa fenolik, flavonoid, minyak atsiri, terpena, asam organik tanaman, asam lemak, ester asam lemak tertentu, dan alkaloid tanaman mempunyai aktivitas antimikroba (Haraguchi et al., 1998).

Fenolik adalah kelompok senyawa kimia yang mengandung gugus fungsional hidroksil (-OH) yang terikat pada sebuah gugus hidrokarbon


(28)

aromatik. Senyawa ini mudah teroksidasi dan mengalami diskolorisasi menghasilkan warna kecoklatan. Fenolik memegang peran yang penting sebagai antioksidan. Senyawa-senyawa fenolik mampu mendonorkan atom hidrogen dari grup hidroksilnya kepada senyawa radikal. Senyawa paling sederhana dari kelas ini adalah fenol (C6H5OH) (Shahidi dan Naczk, 1995).

Komponen fenolik dapat dihasilkan dari metabolisme tanaman, dan dikategorikan sebagai metabolit sekunder. Fungsi fisiologis komponen fenolik dalam tanaman tidak begitu dimengerti, namun diduga komponen ini penting untuk pertumbuhan dan reproduksi tanaman. Komponen fenolik diproduksi sebagai respon untuk mengurangi kerusakan tanaman akibat serangan patogen (Pratt dan Hudson, 1990).

Umumnya struktur komponen fenolik dalam setiap tanaman berbeda-beda, namun tetap memiliki karakteristik khas yaitu adanya cincin aromatik terhidroksilasi. Sebagian besar komponen fenol dalam tanaman terpolimerisasi membentuk molekul yang lebih besar, misalnya proantosianin dan lignin. Sebagian komponen fenolik juga berada dalam bentuk ester atau glikosida terkonjugasi dengan senyawa lain, seperti flavonoid, alkohol, lemak hidroksi, sterol dan glukosida (Pratt dan Hudson, 1990).

Selama pertumbuhan tanaman, fenol mengalami perubahan. Perbedaan tingkat kemasakan mempengaruhi kandungan fenol yang akan mempengaruhi aktivitas antimikrobanya. Menurut Koensoemardiyah (1992), fenol akan mengalami polimerisasi seiring dengan tingkat kemasakan yang meningkat. Misalnya pada tanin yang semakin masak maka kemampuan untuk mengikat protein menurun. Senyawa fenolik merupakan substansi dengan cincin aromatik yang memiliki satu atau lebih gugus hidroksil dan alkil. Senyawa fenolik tanaman telah terbukti memiliki aktivitas antibakteri yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif seperti

Staphylococcus sp., Bacillus sp. atau terhadap bakteri Gram negatif seperti

Pseudomonas sp. dan koliform (Haraguchi et al., 1998).

Komponen bioaktif pada ekstrak kecombrang berbeda-beda sesuai dengan polaritasnya. Komponen fitokimia ekstrak heksana terdiri dari steroid, triterpenoid, alkaloid, dan glukosida. Komponen fitokimia ekstrak


(29)

etil asetat adalah steroid, terpenoid, alkaloid, flavonoid, dan glikosida. Sedangkan ekstrak etanol menghasilkan komponen fenolik, terpenoid, alkaloid, saponin, dan glikosida. Rendemen ekstrak yang diperoleh sangat rendah yaitu 2,9% untuk ekstrak etanol, 2,4% untuk ekstrak etil asetat, dan 9,1% untuk ekstrak heksana. Rendemen ekstrak dihitung sebagai % (v/b) (ml ekstrak/100 gram bubuk kecombrang) (Naufalin, 2005).

Potensi ekstrak kecombrang sebagai antibakteri dan antikapang telah diketahui dari hasil penelitian Naufalin (2005). Hasil penelitian Naufalin (2005) menunjukkan bahwa ekstrak dari etil asetat dan etanol mampu menghambat 7 jenis bakteri yaitu B. cereus, S. aureus, L. monocytogenes, Salmonella typhimurium, Aeromonas hydrophila, dan E. coli. Sedangkan ekstrak dengan heksana tidak menunjukkan aktivitas antimikroba.

Penentuan MIC ekstrak kecombrang dilakukan pada tujuh jenis mikroba (B. cereus, S. aureus, L. monocytogenes, Salmonella typhimurium, Aeromonas hydrophila, dan E. coli) pada konsentrasi 1-15 mg ekstrak/ml medium. MIC adalah konsentrasi terendah yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba sebanyak 90% dari inokulum asal selama inkubasi 24 jam (Cosentino et al., 1999). Ekstrak kecombrang ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam medium cair yang berisi kultur bakteri uji kemudian dimasukkan dalam inkubator goyang 150 rpm selama 24 jam.

Aktivitas antibakteri ekstrak kecombrang dengan etil asetat dan etanol dipengaruhi oleh pH, suhu, NaCl, dan pemanasan. Aktivitas antibakteri ekstrak etil asetat pada pH asam (4) lebih tinggi daripada dalam pH basa (8-9). Penambahan NaCl sampai 4% pada ekstrak etil asetat akan meningkatkan aktivitas antibakteri. Tetapi pada kadar 5% aktivitasnya menurun. Ekstrak tersebut masih menunjukkan aktivitas setelah pemanasan pada suhu 80° dan 100°C selama 10, 20, dan 30 menit, dan pada 121°C selama 10 menit. Ekstrak kecombrang juga berfungsi sebagai antikapang. Aktivitas antikapang ekstrak etil asetat lebih tinggi daripada ekstrak etanol. Spora kapang lebih resisten terhadap ekstrak bunga kecombrang daripada miselium kapang (Naufalin, 2005).


(30)

Aplikasi ekstrak kecombrang ke dalam sistem pangan masih sedikit dilakukan. Penambahan ekstrak etil asetat pada daging giling dengan konsentrasi 1 dan 3 MIC dapat disimpan selama 7 hari sedangkan penambahan ekstrak dengan konsentrasi 5 MIC dapat menghambat pertumbuhan mikroba sampai hari ke-9 (Naufalin, 2005).

B. MIE BASAH

1. Komposisi Mie Basah

Definisi mie basah adalah produk makanan yang dibuat dari tepung terigu dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diijinkan, berbentuk khas mie yang tidak dikeringkan (Badan Standarisasi Nasional, 1992). Syarat mutu mie basah diatur dalam SNI 01-2987-1992 (Tabel 1).

Tabel 1. Syarat mutu mie basah menurut SNI 01-2987-1992.

No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan

1. Keadaan : 1.1.Bau 1.2.Rasa 1.3.Warna - - - Normal Normal Normal

2. Kadar air % b/b 20-35

3. Kadar abu (bk) % b/b Maks. 3

4. Kadar protein (bk) % b/b Min. 3

5. Bahan tambahan pangan :

5.1. Boraks dan asam borat 5.2. Pewarna 5.3. Formalin - - -

Tidak boleh ada sesuai SNI-02220 M dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 722/Menkes/Per/IX/88

6. Cemaran logam : 6.1. Timbal (Pb) 6.2. Tembaga (Cu) 6.3. Seng (Zn) 6.4. Raksa (Hg)

mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg Maks. 1.0 Maks. 10.0 Maks. 40.0 Maks. 0.05

7. Arsen mg/kg Maks. 0.05

8. Cemaran mikroba 8.1.Angka

Lempeng Total 8.2. E. coli

8.3. Kapang

Koloni/gram APM/gram Koloni/gram

Maks. 1.0 x 106

Maks. 10 Maks. 1.0 x 104


(31)

Pada dasarnya mie basah terbuat dari bahan dasar terigu, air, garam dapur, dan bahan tambahan alkali. Tepung terigu merupakan bahan dasar pembuatan mie yang diperoleh dari biji gandum (Triticum vulgare). Keistimewaan terigu adalah kemampuannya untuk membentuk gluten pada saat terigu dibasahi dengan air. Sifat elastis gluten pada adonan mie menyebabkan mie yang dihasilkan tidak mudah putus pada saat pencetakan dan pemasakan. Biasanya mutu terigu yang dikehendaki adalah terigu yang memiliki kadar air 14%, kadar protein 8-12%, kadar abu 0,25-0,60%, dan gluten basah 24-36%. Dalam prakteknya, tepung terigu yang digunakan dalam pembuatan mie terdiri atas campuran dua merk yaitu Segitiga Biru dan Cakra Kembar. Pencampuran itu dimaksudkan untuk mendapatkan konsentrasi protein yang dikehendaki sehingga menghasilkan tekstur, konsistensi, dan rasa yang khas dari produk. Terigu Cakra Kembar mempunyai kadar protein 12-13% sedangkan kadar protein Segitiga Biru adalah 9,5-11% (Astawan, 2002).

Air yang ditambahkan biasanya sebanyak 32–35% dari berat terigu tergantung jenis dan kualitas terigu yang digunakan. Batas maksimum penambahan air dalam pembentukan lembaran adalah 38−40%. Jika air yang ditambahkan kurang dari 34%, adonan akan menjadi keras, rapuh, dan sulit dibentuk lembaran, sedangkan jika air yang ditambahkan lebih dari 40%, adonan akan menjadi basah dan lengket. Air berfungsi sebagai media reaksi antara gluten dengan karbohidrat sehingga adonan mengembang, melarutkan gluten, dan membentuk sifat kenyal gluten. Air yang digunakan sebaiknya memiliki pH antara 6-9. Semakin tinggi pH air maka mie yang dihasilkan tidak mudah patah karena absorbsi air meningkat dengan meningkatnya pH. Selain pH, air yang digunakan harus memenuhi persyaratan sebagai air minum, yaitu tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak berasa (Astawan, 2002).

Garam dapur ditambahkan ke dalam adonan sebanyak 0.5–2% dari berat terigu, tergantung selera masyarakat lokal. Garam dapur (NaCl) berfungsi untuk memberi rasa, memperkuat tekstur mie, mengurangi kelengketan adonan, serta meningkatkan elastisitas adonan.


(32)

Menurut Miskelly (1985), mie basah dapat dibagi menjadi dua berdasarkan warnanya yaitu white salted noodles dan yellow alkaline noodles. Perbedaan warna tersebut disebabkan penambahan alkali yang memberikan karakteristik warna kekuningan. White salted noodles adalah mie tidak ditambah alkali atau hanya ditambah air saja. Mie ini berasal dari Cina selatan. Sedangkan yellow alkaline noodles berasal dari Cina tenggara dan sekarang dapat ditemukan di Jepang, Malaysia, Indonesia, Singapura, Thailand, Taiwan, Hongkong, dan juga di Cina Selatan.

Alkali ada yang berbentuk bubuk (biasa disebut soda abu) dan ada yang berbentuk cair (air abu). Bubuk abu dilarutkan dalam air sebelum digunakan, dengan penambahan sebesar 1-5% dari berat terigu yang digunakan. Salah satu jenis alkali yang sering digunakan adalah garam karbonat. Garam karbonat berfungsi dalam pembentukan gluten, menghaluskan tesktur adonan, dan meningkatkan elastisitas dan ekstensibilitas adonan. Sedangkan natrium tripolifosfat digunakan sebagai bahan pengikat air, agar air di dalam adonan tidak mudah menguap sehingga permukaan adonan tidak cepat mengering dan mengeras (Miskelly, 1985).

2. Pembuatan Mie Basah

Menurut Hou dan Kruk (1998), berdasarkan prosesnya terdapat empat jenis mie, yaitu mie mentah (mie yang setelah pengadonan, pembentukan lembaran, dan pemotongan tidak mengalami proses lebih lanjut), mie kering (mie mentah yang mengalami proses pengeringan alami dengan sinar matahari atau dengan ruang terkontrol), mie matang (mie mentah yang mengalami proses lanjut dengan perebusan setengah matang atau matang sempurna), dan mie kukus (mie mentah yang diproses lebih lanjut dengan pengukusan).

Proses pembuatan mie basah terdiri dari proses pencampuran, pembentukan lembaran, pembentukan mie, serta pengukusan. Proses pembuatan mie dapat dilihat pada Gambar 2. Tahap pencampuran berfungsi agar proses hidrasi air dengan tepung berlangsung merata dan


(33)

untuk menarik serat-serat gluten sehingga menjadi adonan yang elastis dan halus. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam proses pencampuran yaitu jumlah air yang ditambahkan, suhu adonan, dan waktu pengadukan.

Tahap pembentukan lembaran (sheeting) bertujuan untuk menghaluskan serat-serat gluten dan membentuk lembaran adonan Lembaran kemudian digulung dan diistirahatkan selama 15 menit untuk menyempurnakan pembentukan gluten. Lembaran adonan ini kemudian dipipihkan dengan alat rollpress dan dicetak menjadi untaian benang mie hingga diameter mencapai 1-2 mm. Kemudian untaian benang mie ditaburi dengan tepung tapioka agar tidak lengket satu sama lain. Tepung yang biasa digunakan di pasaran ialah tepung tapioka (Badrudin, 1994).

pencampuran bahan ¶

pengadukan ¶

pembentukan lembaran ¶

pengistirahatan ¶

penipisan lembaran ¶

pemotongan lembaran ¶

penaburan mie dengan tapioka → ¶

Perebusan atau pengukusan ¶

Pelumasan ¶

Gambar 1. Diagram alir pembuatan mie basah secara umum

Proses selanjutnya adalah perebusan atau pemasakan untuk mendapatkan mie matang. Perebusan biasanya berlangsung selama 45-90 detik agar didapat 80-90% gelatinisasi pati. Gelatinisasi membuat pati meleleh dan membentuk lapisan tipis (film) pada permukaan mie sehingga

Bahan-bahan mie

Mie basah mentah


(34)

menjadi lembut, meningkatkan daya cerna pati, dan mempengaruhi daya rehidrasi (Badrudin, 1994).

Dalam butiran pati, rantai-rantai amilosa dan amilopektin tersusun dalam bentuk semi kristal, yang menyebabkannya tidak larut dalam air dan dapat memperlambat pencernaannya oleh amilase pankreas. Bila dipanaskan dengan air, struktur kristal rusak dan rantai polisakarida akan mengambil posisi acak. Hal inilah yang menyebabkannya mengembang dan memadat (gelatinisasi). Cabang-cabang dalam struktur amilopektinlah yang terutama menyebabkannya dapat membentuk gel yang cukup stabil. Proses pemasakan pati, di samping menyebabkan pembentukan gel juga akan melunakkan dan memecah sel sehingga memudahkan pencernaannya (Almatsier, 2001).

Menurut Astawan (2002), mie sebaiknya dimasak selama 2 menit sambil diaduk perlahan. Api harus besar supaya waktu perebusan singkat. Bila waktu perebusan lama, mie akan lembek karena banyak air yang masuk ke dalam mi. Mie yang matang ini dapat dimasak kembali dengan cara direbus atau digoreng sebelum dikonsumsi.

Pelumasan mie dilakukan dengan minyak sayur supaya untaian mie tidak lengket satu sama lain. Penambahan minyak berfungsi untuk memperbaiki tekstur, mencegah permukaan menjadi kering, mencegah kekakuan, dan memberikan flavor yang khas (Niihara et al., 1996).

Minyak yang digunakan adalah minyak sawit atau minyak kelapa. Minyak yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak kelapa. Minyak kelapa mengandung 84% trigliserida dengan tiga molekul asam lemak jenuh, 12% trigliserida dengan dua asam lemak jenuh dan 4% trigliserida dengan satu asam lemak jenuh. Minyak kelapa mempunyai aplikasi yang luas dalam industri pangan karena tahan terhadap oksidasi dan ketengikan serta tidak terdapatnya bau yang kurang menyenangkan, (Ketaren, 1986). Selain itu, mie yang dilumuri minyak kelapa mempunyai umur simpan yang lebih lama daripada mie yang dilumuri minyak sawit (Pahrudin, 2006).


(35)

3. Kerusakan Mie Basah

Menurut Gracecia (2005), umur simpan mie basah mentah di pasar tradisional Bogor dan Jakarta adalah 1-4 hari dan umur simpan mie basah matang 1-14 hari. Umur simpan mie mentah di supermarket lebih lama yaitu 10-21 hari untuk mie mentah maupun mie matang karena penyimpanan mie dilakukan di suhu rendah. Ciri-ciri kerusakan mie mentah adalah adanya jamur yang berupa bintik-bintik hitam, merah, atau biru, munculnya bau asam, tekstur hancur atau patah-patah, dan lembek. Sedangkan kerusakan pada mie matang ditandai dengan munculnya bau asam, mie menjadi lengket, berlendir, lembek atau hancur.

Perubahan warna, bau asam, dan terbentuknya lendir menandakan adanya pertumbuhan bakteri. Pada mie matang kerusakan terjadi pada penyimpanan suhu kamar setelah 40 jam berupa tumbuhnya kapang. Pertumbuhan kapang dicirikan dengan adanya miselium pada mie yang berwarna putih atau hitam (Hoseney, 1998).

Perubahan warna yang terjadi selama penyimpanan disebabkan karena adanya enzim polifenol oksidase dari terigu. Kerusakan pada mie yang direbus terlebih dahulu terjadi pada penyimpanan di suhu kamar setelah 40 jam. Kerusakan yang terjadi adalah tumbuhnya kapang pada mie, sedangkan perubahan warna tidak terjadi karena perebusan menginaktivasi enzim polifenol oksidase (Anonim b, 2006).

Kerusakan pada mie basah pada umumnya disebabkan oleh mikroba pada bahan baku yaitu tepung. Mikroba yang tumbuh pada tepung ada kapang, khamir, dan bakteri. Bakteri yang tumbuh pada tepung adalah

Pseudomonas, Micrococcus, Lactobacillus, dan beberapa jenis

Achromobacterium. Sedangkan kapang yang tumbuh pada tepung adalah

Aspergillus, Rhizopus, Mucor, Fusarium, dan Penicillium (Christensen, 1974).


(36)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah bunga kecombrang (Nicolaia sp. Horan) yang diperoleh dari daerah Kutoarjo, Jawa Tengah. Bunga yang dipakai adalah bunga mekar optimal dan bagian bunga yang dipakai adalah daun pelindung dan daun gagang.

Bahan untuk membuat mie basah antara lain tepung terigu merk Segitiga Biru dan Cakra Kembar, garam dapur, soda abu, dan air. Bahan yang digunakan untuk analisis mikrobiologis, fisik, kimia, dan organoleptik meliputi Plate Count Agar (PCA), Acidified Potato Dextrose Agar (APDA), Eosin Methylene Blue Agar (EMBA), Brilliant Green Lactose Bile Broth (BGLBB), Tryptone Broth (TB), Methyl Red Voges Proskauer (MRVP), Koser Sitrat, pereaksi IMViC, NaCl, plastik Low Density Polyethylene (LDPE), alkohol, etanol 95%, air bebas ion, folin ciocalteau, Na2CO3, dan asam tanat.

2. Alat

Alat-alat yang digunakan untuk penelitian terdiri dari alat untuk membuat mie basah, yaitu timbangan, wadah, ayakan, pengaduk, alat pembuat mie (noodle machine), panci, pisau, gelas ukur, dan mixer. Alat untuk ekstraksi bunga kecombrang adalah blender, panci, saringan dan kompor. Alat-alat yang digunakan untuk analisis mikrobiologi, fisik, dan kimia antara lain: cawan petri, inkubator, bunsen, tabung reaksi, erlenmeyer, gelas ukur, desikator, pipet, otoklaf, oven, pH-meter, Aw meter, chromameter, dan spektrofotometer.


(37)

B. TAHAPAN PENELITIAN

1. Analisis Kimia Bunga Kecombrang

Tahap ini bertujuan untuk mengetahui sifat kimia bunga kecombrang yaitu kadar air, pH, dan kandungan total fenol. Kadar air diukur mengunakan metode oven sedangkan pH diukur menggunakan pH meter. Kandungan fenol diukur menggunakan metode Chandler dan Dodds yang dimodifikasi (Shetty et al., 1995).

2. Pembuatan Ekstrak Kecombrang

Ekstrak kecombrang yang akan digunakan adalah ekstrak segar dan ekstrak rebus. Ekstrak segar diperoleh dengan menghancurkan bunga kecombrang menggunakan blender selama 3 menit kemudian disaring menggunakan kain saring (kain batis). Sedangkan ekstrak rebus diperoleh dengan merebus bunga kecombrang sampai mendidih selama 5 menit dan disaring.

Perbandingan air yang digunakan dalam ekstrak ada dua macam yaitu 1:3 dan 1:5. Ekstrak 1:3 berarti perbandingan antara berat kelopak dan berat air adalah 1:3, sedangkan ekstrak 1:5 berarti perbandingan antara berat kelopak dan berat air adalah 1:5.

3. Aplikasi Ekstrak Kecombrang ke Dalam Mie Basah

Tahap ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan ekstrak kecombrang terhadap mutu mie basah yang dihasilkan. Secara umum proses pembuatan mie basah meliputi formulasi bahan, pencampuran bahan, pembentukan lembaran, pemotongan, dan pembentukan mie. Bahan utama yang digunakan adalah tepung terigu Segitiga Biru dan Cakra Kembar dengan perbandingan 1:1. Bahan-bahan lain yang digunakan adalah garam dapur, natrium karbonat, dan air. Formulasi mie basah dibuat dengan komposisi tepung terigu Cakra kembar dan Segitiga Biru (1:1), 1% garam, 35% air, dan 0.6% natrium karbonat (Na2CO3) dari berat terigu yang digunakan.


(38)

Ekstrak bunga kecombrang yang diaplikasikan ditambahkan ke dalam campuran air. Persentase ekstrak yang digunakan bervariasi sehingga diperoleh beberapa formula. Kontrol yang digunakan adalah mie basah tanpa penambahan ekstrak kecombrang. Formulasi penggunaan ekstrak bunga kecombrang pada mie basah dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Formula mie basah dengan penambahan ekstrak kecombrang

Komposisi Persentase ekstrak kecombrang

0% (kontrol) 10% 20% 30% 40% 50%

Cakra Kembar (g) 300 300 300 300 300 300

Segitiga Biru (g) 300 300 300 300 300 300

Garam (g) 6 6 6 6 6 6

Na2CO3(g) 3.6 3.6 3.6 3.6 3.6 3.6

Air (g) 204 183.6 163.2 142.8 122.4 102

Ekstrak (g) 0 20.4 40.8 61.2 81.6 102

Mie basah yang sudah jadi kemudian dikemas menggunakan plastik LDPE dengan berat 50 g mie basah per plastik dan diseal. Pengamatan yang dilakukan adalah pengamatan mie basah segar dan pengamatan umur simpan.

4. Pengamatan Mutu Mie Basah Segar

Pengamatan mutu mie basah segar bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan ekstrak kecombrang terhadap warna, tekstur, dan aroma mie basah segar secara visual.

a. Warna

Pengamatan warna secara visual dilakukan dengan memberikan tanda (+) sesuai dengan intensitas warnanya.

Warna Intensitas

Cerah +

Agak gelap + +

Gelap + + +


(39)

b. Tekstur

Pengamatan warna secara visual dilakukan dengan memberikan tanda (+) sesuai dengan kekenyalan mie basah.

Kekenyalan Intensitas

Lunak +

Agak kenyal + +

Kenyal + + +

Sangat kenyal + + + +

c. Aroma

Pengamatan aroma secara visual dilakukan dengan memberikan tanda (+) sesuai dengan aroma mie basah

Aroma kecombrang Intensitas

Lemah +

Agak kuat + +

Kuat + + +

Sangat kuat + + + +

5. Pengamatan Umur Simpan Mie Basah Mentah

Pengamatan umur simpan mie basah mentah dilakukan setiap 6 jam dengan deteksi bau asam. Pengamatan dilakukan dengan cara membuka satu plastik mie mentah dan mencium baunya. Mie yang telah terdeteksi bau asamnya berarti telah rusak.

Mie basah yang mempunyai umur simpan paling lama kemudian dipilih untuk diamati perubahan nilai pH, warna, mutu mikrobiologi, dan mutu organoleptik. Pengukuran pH, warna, dan mikrobiologi dilakukan setiap 12 jam. Nilai pH mie basah diukur dengan menggunakan alat pH meter. Pengukuran warna dilakukan menggunakan alat chromameter, sedangkan mutu mikrobiologi dapat diketahui dengan menganalisis total mikroba (TPC) dan total kapang khamir. Uji organoleptik dilakukan untuk mengetahui penerimaan konsumen terhadap mie basah yang telah ditambah dengan ekstrak kecombrang.


(40)

Kadar Air (%b/b) = (a-b)/a x 100%

C. PENGAMATAN

1. Kadar Air (AOAC, 1996)

Kadar air diukur dengan metode oven. Bunga kecombrang sejumlah 3-5 gram ditimbang dan dimasukkan dalam cawan yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Setelah itu dikeringkan dalam oven bersuhu 105oC selama 6 jam. Cawan didinginkan dan ditimbang, kemudian dikeringkan kembali sampai diperoleh bobot tetap. Kadar air bunga segar dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

Keterangan :

a = berat bunga kecombrang segar awal (g) b = berat bunga akhir dan cawan (g) c = berat cawan (g)

2. Nilai pH (AOAC, 1984)

Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter. Sebelum digunakan, pH meter dikalibrasi terlebih dahulu dengan menggunakan larutan buffer pH 4 dan pH 7. Sampel yang digunakan pada pengukuran pH bunga kecombrang adalah 10 gr kelopak bunga ditambah dengan 100 ml akuades yang kemudian dihancurkan menggunakan blender dan disaring. Sampel yang digunakan untuk mengukur pH mie basah adalah 10 gram mie basah yang ditambah 100 ml akuades dan dihancurkan menggunakan stomacher. Cara pengukuran pH adalah dengan memasukkan elektroda pH meter di dalam sampel, ditunggu beberapa saat sampai pH stabil, sehingga terbaca nilai pH yang diukur. Setelah selesai, elektroda diangkat dan dibilas dengan akuades.

3. Nilai Aw

Pengukuran Aw dilakukan menggunakan Aw-meter Shibaura W-360. Mie basah dimasukkan ke dalam tempat sampel kemudian ditekan tombol start hingga diperoleh hasilnya. Sebelum digunakan, Aw-meter dikalibrasi lebih dahulu menggunakan NaCl jenuh.


(41)

5. Total Fenol

Metode yang digunakan untuk mengukur total fenol adalah metode Chandler dan Dodds yang dimodifikasi (Shetty et al., 1995). Ekstrak kecombrang sebanyak 1 ml dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian ditambah 1 ml etanol 95% dan 5 ml air bebas ion. Setelah itu ditambah 0.5 ml folin ciocalteau 50% (v/v), diencerkan dengan air bebas ion dan ditunggu selama 5 menit. Kemudian ditambahkan 1 ml Na2CO3 5% (b/v) dan diencerkan kembali dengan air bebas ion (jika terlalu pekat), lalu divorteks dan disimpan dalam tempat gelap selama 1 jam. Setelah itu divorteks lagi dan dibaca absorbansinya pada panjang gelombang 725 nm. Kurva standar disiapkan dengan menggunakan asam tanat di dalam 95% etanol. Penentuan total fenol untuk kurva standar dilakukan sama dengan penentuan sampel.

5. Warna

Pengukuran warna dilakukan menggunakan chromameter Minolta 100. Mie basah diletakkan pada tempat yang tersedia, kemudian ditekan tombol start dan akan diperoleh L, a, dan b dari sampel dengan kisaran 0 sampai + 100 (putih). Notasi a menyatakan warna kromatik campuran merah-hijau dengan nilai +a (positif) dari 0 sampai +100 untuk warna merah dan nilai –a (negatif) dari 0 sampai -80 untuk hijau. Notasi b menyatakan warna kromatik campuran biru-kuning dengan nilai +b (positif) dari 0 sampai +70 untuk warna kuning dan nilai –b (negatif) dari 0 sampai -80 untuk warn abiru. Sedangkan L menyatakan ketajaman warna. Semakin tinggi ketajaman warna, semakin tinggi nilai L. Selanjutnya darinilai a dan b dapat dihitung °Hue dengan rumus :

°Hue = tan-1 b a Jika hasil yang diperoleh :

18° – 54° maka produk berwarna red (R)

54° – 90° maka produk berwarna yellow red (YR) 90° – 126° maka produk berwarna yellow (Y)


(42)

6. Analisis Total Mikroba (FDA, 2001)

Analisis total mikroba dilakukan dengan metode Aerobic Plate Count (APC). Pengenceran dilakukan mengunakan pipet steril dengan pengenceran 10-2, 10-3, 10-4, dan seterusnya. Pipet 1 ml sampel ke dalam cawan petri duplo. Sampel yang digunakan harus dikocok lagi jika dibiarkan lebih dari 3 menit. Kemudian tuang 12-15 ml PCA (45±1°C)

ke dalam cawan segera. Cawan petri kemudian digerakkan secara berputar agar sampel dapat merata dan dibiarkan agar menjadi dingin dan padat. Setelah itu, cawan petri diinkubasi secara terbalik selama 48±2

jam pada suhu 35°.

Analisis total mikroba dilakuan terhadap ekstrak kecombrang dan terhadap mie terpilih. Pada analisis ekstrak, sebanyak 1 ml ekstrak dimasukkan ke dalam 9 ml larutan pengencer. Pada analisis mie, sebanyak 10 gram sampel mie basah dimasukkan dalam plastik tahan panas steril yang berisi 90 ml larutan pengencer steril. Sampel mie basah tersebut kemudian dihancurkan dengan menggunakan alat stomacher

sehingga dihasilkan sampel mie basah dengan pengenceran 1:10. Setelah itu campuran dikocok, diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi 9 ml larutan pengencer steril sehingga diperoleh tingkat pengenceran 10-2. Dengan cara yang sama dilakukan pengenceran selanjutnya.

Perhitungan koloni dilakukan berdasarkan BAM (Bacteriological Analytical Manual)-FDA :

N = C / [ (1 * n1) + (0.1 * n2) ] * (d)

N = total mikroba (cfu/g atau cfu/ml) ∑C = jumlah koloni dari tiap-tiap petri

n1 = jumlah koloni dari pengenceran pertama yang dihitung n2 = jumlah koloni dari pengenceran kedua yang dihitung d = pengenceran terkecil


(43)

7. Analisis Total Kapang dan Khamir (Fardiaz, 1989)

Sama seperti analisis total mikroba, analisis total tapang dan khamir dilakukan dengan metode TPC tetapi media yang digunakan adalah APDA (Acidified Potato Dextrose Agar). Perhitungan total kapang dan khamir juga dilakukan dengan metode SPC (Standard Plate Count).

8. Analisis Total Koliform (Fardiaz, 1989)

Analisis koliform dilakukan dengan metode MPN (Most Probable Number) 3 seri tabung dengan media BGLBB (Brilliant Green Lactose Bile Broth), meliputi uji penduga, uji penguat, dan identifikasi koliform. Tingkat pengenceran yang digunakan adalah 10-1 sampai 10-4.

Sebanyak 1 ml sampel mie basah dari masing-masing pengenceran diinokulasikan ke dalam tabung reaksi yang berisi tabung durham dan media BGLBB. Kemudian, semua tabung diinkubasikan pada suhu 37oC selama 2 hari. Setelah itu, dihitung jumlah tabung positif yang ditandai dengan adanya pembentukan gas pada tabung Durham. Hasil pengamatan dicocokkan dengan tabel MPN 3 seri, dihitung dan dinyatakan dalam MPN koliform penduga/ml sampel mie basah.

Dari tabung yang positif, diambil 1-2 ose dan digoreskan pada cawan petri steril yang berisi media EMBA (Eosin Methylene Blue Agar). Kemudian cawan diinkubasikan pada suhu 37oC selama 2 hari. Adanya bakteri koliform fekal (E. coli) ditandai dengan munculnya koloni berwarna gelap dengan sinar hijau metalik.

9. Analisis Total Bakteri E. coli (Fardiaz, 1989)

Dari koloni koliform fekal yang tumbuh pada EMBA, diambil 1-2 ose koloni dan disusp.ensikan ke dalam 2 ml larutan pengencer. Kemudian, sebanyak 0.5 ml suspensi bakteri tersebut diinokulasikan ke dalam tabung berisi media TB, MRVP, dan Koser Sitrat. Selanjutnya dilakukan konfirmasi adanya E. coli dengan uji IMViC.


(44)

10. Uji Organoleptik (Soekarto, 1985)

Uji organoleptik bertujuan untuk mengetahui tingkat penerimaan konsumen terhadap mie basah yang telah ditambah ekstrak kecombrang. Uji organoleptik ini dilakukan pada dua macam mie basah yaitu mie basah mentah dan mie basah matang. Pada mie mentah, panelis diminta menilai warna, aroma, dan tekstur. Sedangkan pada mie matang (mie yang telah dimasak), panelis diminta menilai keseluruhan (overall) baik rasa, warna, tekstur, maupun aroma.

Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji kesukaan pada 30 panelis untuk mengetahui seberapa besar penerimaan konsumen terhadap produk. Produk yang diujikan ada dua jenis yaitu mie mentah dan mie matang. Skala yang dipakai adalah skala numerik yaitu 1 (sangat tidak suka), 2 (tidak suka), 3 (netral), 4 (suka), dan 5 (sangat suka). Pengolahan data dilakukan dengan SP.SS 15.0 dan dianalisa dengan uji ANOVA dengan uji Duncan sebagai uji lanjutan.


(45)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. EKSTRAK BUNGA KECOMBRANG 1. Sifat Kimia Bunga Kecombrang

Menurut Valianty (2002), potensi antibakteri yang paling tinggi terdapat pada kelopak bunga optimal sehingga bunga kecombrang yang dipakai dalam penelitian adalah bunga kecombrang optimal (Gambar 4). Bagian bunga kecombrang yang dipakai dalam pembuatan ekstrak adalah daun pelindung dan daun gagang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar air bunga kecombrang adalah 90,23%. Hasil pengukuran kadar air dapat dilihat pada Lampiran 1.

Keterangan : a : daun pelindung b : daun gagang

Gambar 2. Bunga kecombrang yang dipakai dalam penelitian

Ekstrak kecombrang yang dipakai dalam penenelitian ada dua jenis yaitu ekstrak segar dan ekstrak rebus. Bunga kecombrang diekstrak menggunakan air. Pemakaian air sebagai pelarut bertujuan untuk memudahkan pembuatan ekstrak. Air merupakan pelarut yang bersifat polar, sehingga diharapkan dapat mengekstrak komponen-komponen polar dengan baik. Komponen polar yang ada dalam bunga kecombrang adalah fenolik, terpenoid, alkaloid, saponin, dan glikosida (Naufalin, 2005).

a

b a


(46)

Hasil rendemen pada ekstraksi bangle (Zingiber cassumunar) menunjukkan rendemen ekstrak tertinggi dihasilkan dengan air bebas ion, kemudian etanol, dan rendemen terendah dengan metanol. Komponen flavonoid yang terdapat dalam ekstrak air bebas ion dan ekstrak etanol menunjukkan adanya komponen flavonoid yang sama (Darusman, 2001).

Perhitungan rendemen bunga kecombrang juga dilakukan untuk menentukan harga jual mie basah. Hasil penelitian (Lampiran 2) menunjukkan rata-rata berat bunga kecombrang adalah 71,40 g. Rendemen kelopak bunga terhadap kecombrang utuh tanpa batang adalah 57,16%. Tabel 3. Sifat kimia ekstrak bunga kecombrang

Jenis ekstrak

(w kelopak : w air) Perlakuan

Rendemen

(%) pH

Total fenol (mg/ml)

TPC (cfu/g) Dengan

klorin

Tanpa klorin

1:3 Segar 67,53 3,03 0.4671 1,5x10

4

1,5 x 104

Rebus 59,75 3,09 0.6099 - 0

1:5 Segar 79,10 3,69 0.3269 5,3x10

4

2,7 x 104

Rebus 73,43 3,71 0.5411 - 0

Hasil penelitian pada Tabel 3 menunjukkan bahwa rendemen ekstrak segar lebih besar daripada ekstrak rebus. Proses perebusan dapat menguapkan air sehingga mengurangi rendemen. Ekstrak dengan perbandingan 1:3 memiliki pH yang lebih rendah daripada ekstrak 1:5 karena komponen yang terekstrak lebih banyak. pH bunga kecombrang adalah 3,89, lebih tinggi daripada pH ekstrak karena perbandingan air yang digunakan lebih besar yaitu 1:10.

Pengukuran total fenol bertujuan untuk mengetahui kadar total komponen fenolik pada ekstrak bunga kecombrang. Komponen bunga kecombrang telah diketahui terdiri atas alkaloid, flavonoid, polifenol, steroid, saponin, dan minyak atsiri (Tampubolon et al., 1983). Menurut (Rahayu, 1999), komponen bioaktif pada golongan zingiberaceae yang terbanyak adalah dari jenis flavonoid yang merupakan salah satu golongan fenolik alam terbesar dan terpenoid.

Senyawa fenolik merupakan substansi dengan cincin aromatik yang memiliki satu atau lebih gugus hidroksil dan alkil. Senyawa fenolik tanaman


(47)

telah terbukti memiliki aktivitas antibakteri yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif seperti Staphylococcus spp., Bacillus sp. atau terhadap bakteri Gram negatif seperti Pseudomonas sp. dan koliform (Haraguchi et al., 1998).

Hasil penelitian Tabel 3 menunjukkan kadar komponen fenolik rata-rata pada ekstrak rebus 1:3 adalah 0,6099 mg/ml, ekstrak rebus 1:5 adalah 0,5411 mg/ml, ekstrak segar 1:3 adalah 0,4761 mg/ml, dan total fenol pada ekstrak segar 1:5 adalah 0,3269 mg/ml. Hasil perhitungan total fenol selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 3.

Total fenol dalam ekstrak rebus lebih tinggi daripada ekstrak segar karena pemanasan dapat melepaskan komponen fenolik dalam ekstrak. Menurut Pokorny, et al. (2001), beberapa komponen fenolik seperti antosianin dan betasianin pada saat dipanaskan akan mengalami transformasi menjadi senyawa yang lebih aktif yaitu dari glikosida menjadi aglikon.

Dalam pembuatan ekstrak segar, kelopak bunga direndam selama 2 menit dalam natrium hipoklorit untuk mengurangi jumlah mikroba awal. Hipoklorit merupakan senyawa klorin yang paling aktif dan paling banyak digunakan sebagai sanitiser. Kalsium hipoklorit dan sodium hipoklorit merupakan komponen utama dari hipoklorit. Sanitiser ini sangat efektif dalam mendeaktivasi sel mikroba dalam aqueous suspension dan membutuhkan waktu kontak sekitar 1.5-100 detik. Konsentrasi klorin bebas yang dibutuhkan untuk inaktivasi spora bakteri sekitar 10-1000 kali lebih tinggi untuk sel vegetatif. Jadi, hipoklorit memiliki kemampuan yang terbatas untuk membunuh spora bakteri (Marriott, 1985).

Pada pembuatan ekstrak rebus, kelopak bunga tidak dicuci dulu dengan larutan klorin. Ekstrak rebus dibuat dengan cara mengiris-iris kelopak bunga kecombrang kemudian direbus sampai mendidih selama 5 menit. Kelopak bunga diiris tipis ± 1 cm untuk memperbesar luas permukaan bunga sehingga komponen di dalamnya dapat terekstrak dengan baik. Kedua jenis ekstrak tersebut kemudian dianalisis total mikrobanya.

Total mikroba pada ekstrak rebus 1:3 dan 1: 5 adalah 0. Sedangkan total mikroba ekstrak segar 1:3 adalah 1,5x104 cfu/g dan total mikroba


(48)

ekstrak segar 1:5 adalah 5,3x104 cfu/g. Hasil TPC ekstrak segar yang direndam dengan klorin dan tidak direndam klorin tidak berbeda nyata. Hal ini diduga karena larutan klorin yang digunakan sudah tidak segar. Menurut Fardiaz (1992), larutan klorin yang digunakan sebagai disinfektan harus dalam kondisi segar karena akan terdissosiasi sehingga menurunkan daya kerjanya. Total bakteri dalam air juga mempengaruhi total bakteri ekstrak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa total bakteri dalam air yang dipakai untuk membuat ekstrak adalah 1,9x103 cfu/g. Hasil perhitungan TPC ekstrak selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4.

Total mikroba pada ekstrak rebus adalah 0. Hal ini dikarenakan adanya proses pemanasan yang dapat mematikan mikroba. Sedangkan total mikroba ekstrak segar 1:3 lebih sedikit daripada total mikroba ekstrak segar 1:5 karena ekstrak lebih pekat sehingga komponen bunga yang terekstrak lebih banyak. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis total fenol yang menunjukkan bahwa komponen fenolik yang terdapat dalam ekstrak segar 1:3 lebih besar daripada ekstrak segar 1:5.

B. APLIKASI EKSTRAK PADA MIE BASAH 1.Pengamatan Mutu Mie Basah Segar

Pengamatan mutu mie basah segar meliputi warna, aroma, dan tekstur yang dilakukan secara visual. Hasil pengamatan dapat dilihat pada Tabel 4. Hasil penggamatan menunjukkan bahwa warna mie basah mentah yang tidak ditambah ekstrak (kontrol) adalah cerah. Warna kuning ini terjadi karena reaksi antara garam alkali dengan komponen flavonoid yang terdapat pada terigu (Hou dan Kruk, 1998). Warna kuning ini pada umumnya disukai masyarakat. Mie basah yang ditambah ekstrak kecombrang berwarna agak gelap. Hasil pengamatan secara visual menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak yang ditambahkan maka warna mie basah yang dihasilkan semakin gelap.


(49)

Tabel 4. Pengaruh penambahan ekstrak kecombrang pada warna, aroma, dan tekstur mie basah segar

Jenis Ekstrak Konsentrasi Warna Aroma

kecombrang Tekstur

Kontrol (tanpa ekstrak) 0% + - +

Segar 1:3

10 % + + + +

20 % + + + ++

30 % + + + + + + +

40 % + + + + + + + +

50% + + + + + + + + + +

Rebus 1:3

10 % + + + + +

20 % + + + + + +

30 % + + + + + + + +

40 % + + + + + + + + + +

50% + + + + + + + + + +

Segar 1:5

10 % + + + +

20 % + + + +

30 % + + + + +

40 % + + + + + + +

50% + + + + + +

Rebus 1:5

10 % + + +

20 % + + + + + +

30 % + + + + + + +

40 % + + + + + + + +

50% + + + + + + + + +

Hasil pengamatan pada Tabel 4 juga menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak kecombrang maka aroma kecombrang akan semakin kuat. Aroma kecombrang pada mie mentah yang ditambah ekstrak rebus lebih kuat daripada yang ditambah dengan ekstrak segar. Mie mentah yang ditambah ekstrak kecombrang pada awalnya mempunyai aroma yang sama dengan mie kontrol yaitu aroma tepung. Tetapi setelah ±10 menit


(50)

akan timbul aroma kecombrang. Aroma kecombrang yang khas diduga karena adanya minyak atsiri dalam ekstrak. Menurut Harbone (1987), minyak atsiri dapat menyebabkan wangi, harum, atau bau yang khas karena adanya komponen terpenoid di dalamnya.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak kecombrang yang ditambahkan maka mie basah semakin kenyal. Mie yang ditambah ekstrak kecombrang lebih kenyal diduga karena terbentuknya kompleks antara komponen fenolik dalam ekstrak dan ptotein. Menurut Harbone (1987), komponen fenolik dapat membentuk kompleks dengan protein melalui ikatan hidrogen yang dapat mempengaruhi tekstur.

2. Umur Simpan Mie Mentah

Penggunaan ekstrak kecombrang berfungsi untuk meningkatkan umur simpan mie basah. Hasil pengamatan secara visual dengan deteksi bau asam (Gambar 3) menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak yang ditambahkan maka umur simpan mie basah semakin panjang.

Gambar 3. Umur simpan mie mentah dengan penambahan berbagai jenis ekstrak kecombrang pada suhu kamar

42 42 54 18 24 42 54 24 24 48 60 24 30 48 60 30 36 54 66 36 48 0 10 20 30 40 50 60 70

kontrol (0%) segar 1:3 rebus 1:3 segar 1:5 rebus 1:5

Ekstrak kecombrang yang ditambahkan

Umur simpan mie mentah (jam)

0 10% 20% 30% 40% 50%


(51)

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa mie basah mentah kontrol 0% (tanpa penambahan ekstrak) mempunyai umur simpan 42 jam. Mie mentah yang ditambah ekstrak rebus 1:3 sebanyak 50% mempunyai umur simpan paling lama yaitu 66 jam. Mie mentah yang ditambah ekstrak 1:3 mempunyai umur simpan yang lebih lama daripada mie yang ditambah ekstrak 1:5 karena ekstrak yang digunakan lebih pekat sehingga komponen yang terekstrak lebih banyak.

Penambahan ekstrak segar 1:5 tidak mampu menambah umur simpan mie mentah bahkan lebih rendah daripada kontrol. Hal ini disebabkan konsentrasi ekstrak yang rendah dan adanya kandungan total mikroba pada ekstrak yang tinggi (5,3x104 cfu/g). Penambahan ekstrak rebus 1:5 juga tidak mampu menambah umur simpan kecuali pada konsentrasi 50% (48 jam).

Penambahan ekstrak kecombrang dapat memperpanjang umur mie basah diduga karena adanya komponen antibakteri dalam ekstrak. Komponen antimikroba pada kecombrang pada umumnya termasuk ke dalam golongan fenolik. Penelitian yang telah dilakukan pada rimpang lengkuas (A. galanga) membuktikan bahwa senyawa fenolik, flavonoid, minyak atsiri, terpena, asam organik tanaman, asam lemak, ester asam lemak tertentu, dan alkaloid tanaman mempunyai aktivitas antimikroba (Haraguchi et al., 1998).

Kematian bakteri oleh flavonoid dipengaruhi oleh kemampuan penetrasi menembus dinding sel bakteri yaitu tergantung ukuran molekul dan kemampuan flavonoid untuk membentuk ikatan kompleks dengan logam-logam berat seperti Mg, Zn, dan Fe. Logam-logam tersebut dibutuhkan oleh E. coli dan B. subtilis untuk mempertahankan fungsi dan integritas ribosom, sehingga fungsi ribosom dalam pembentukan protein akan terganggu (Borang, 1982).


(52)

C. ANALISIS SIFAT KIMIA DAN SIFAT FISIK MIE MENTAH TERPILIH

Mie mentah yang memiliki umur simpan paling lama dipilih untuk dianalisis pada tahap selanjutnya (Gambar 4). Mie mentah yang dipilih adalah mie mentah dengan penambahan ekstrak segar 1:3 (50%) dan ekstrak rebus 1:3 (50%). Kedua formula ekstrak tersebut juga diaplikasikan ke dalam mie matang dan dianalisis.

Keterangan : 1. Mie mentah kontrol

2. Mie mentah ditambah ekstrak segar 1:3 (50%) 3. Mie mentah ditambah ekstrak rebus 1:3 (50%)

Gambar 4. Mie mentah terpilih

1. Warna mie basah

Komponen warna yang terdapat dalam ekstrak kecombrang diduga berupa antosianin. Antosianin memberikan warna merah pada tanaman. Antosianin bersifat tidak stabil dan mudah rusak selama pengolahan. Warna antosianin dipengaruhi oleh pH, cahaya, adanya panas, oksigen, Fe, Cu, dan asam askorbat. Pada pH ≤ 3 akan terbentuk warna jingga, merah, atau ungu (Kidmose, 2002).

Antosianin dalam tanaman berbentuk glikosida yaitu membentuk ester dengan monosakarida (glukosa, galaktosa, rhamnosa, dan pentosa). Pada waktu pemanasan dalam asam mineral pekat antosianin pecah menjadi antosianidin dan gula. Misalnya, antosianin pada bit merah akan berwarna kelabu violet pada pH 8 atau lebih (Winarno, 1997).

Hasil pengamatan (Gambar 5) menunjukkan terjadinya penurunan ºHue warna mie mentah selama proses penyimpanan. ºHue


(53)

menunjukkan kisaran warna dari suatu produk. Hasil penelitian menunjukkan ºHue mie mentah segar adalah 70,21º-73,61º dan termasuk ke dalam kisaran warna yellow red (54º-90º).

Gambar 5. Perubahan warna mie mentah selama penyimpanan dengan penambahan ekstrak kecombrang

Mie mentah yang ditambah ekstrak kecombrang mempunyai ºHue yang lebih rendah daripada kontrol. Hal ini berarti warna mie menuju ke warna merah daripada kuning. Hasil pengamatan pada mie mentah terpilih (Lampiran 5 dan 6) menunjukkan bahwa ºHue mie basah mentah yang ditambah ekstrak kecombrang lebih rendah daripada kontrol. ºHue mie basah mentah yang ditambah ekstrak rebus 1:3 lebih tinggi daripada yang ditambah ekstrak segar 1:3.

Perubahan warna ini mungkin terjadi karena adanya reaksi

browning enzimatik. Reaksi browning enzimatik terjadi pada buah-buahan yang banyak mengandung senyawa fenolik misalnya katekin, tirosin, asam kafeat, asam klorogenat, dan leukoantosianin. Enzim yang mengakatalisis oksidasi adalah enzim polifenol oksidase (Winarno, 1999). Oksidasi terhadap polifenol akan membentuk quinon yang akan mengalami polimerisasi menjadi melanoidin dan menghasilkan warna coklat (Meyer, 1973).

58 60 62 64 66 68 70 72 74 76

0 12 24 36 48 60 72

lama penyimpanan (jam)

hue

kontrol (tanpa ekstrak) mie mentah+eks.rebus mie mentah+eks.segar


(54)

Nilai ºHue warna mie mentah yang ditambah ekstrak rebus lebih tinggi karena proses perebusan ekstrak juga dapat mengubah warna antosianin menjadi kekuningan atau kecoklatan. Kerusakan fisik seperti pemotongan, pengirisan akan merusak membran sehingga enzim keluar. Walaupun enzim ini inaktif karena pemanasan tetapi kenaikan suhu akan mengubah menjadi bentuk chalcone (Kidmose, 2002).

Nilai pH ekstrak rebus yang lebih tinggi juga mempengaruhi warna mie basah. Menurut Budiarto (1991), semakin tinggi pH maka warna antosianin berubah dari oranye menjadi coklat. Antosianin manggis berwarna oranye dalam gliserin dan air, sedangkan dalam metanol, etanol, dan isopropanol berwarna merah anggur.

Hasil uji Anova pada Lampiran 7 menunjukkan bahwa warna mie mentah kontrol berbeda nyata dengan mie mentah yang ditambah ekstrak kecombrang. Sedangkan warna mie mentah yang ditambah ekstrak segar 1:3 tidak berbeda nyata dari mie mentah yang ditambah ekstrak rebus 1:3.

Hasil penelitian pada mie basah matang (Gambar 6) menunjukkan bahwa nilai °Hue warna mie matang yang ditambah ekstrak kecombrang lebih rendah daripada kontrol. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 8 dan 9. Menurut Pahrudin (2006), penyimpanan mie matang kontrol selama 48 jam tidak mempengaruhi warna mie. Nilai °Hue mie matang adalah 84-87. Pada penelitian ini, terjadi penurunan warna selama penyimpanan mie matang karena adanya komponen fenolik dalam ekstrak kecombrang. Penurunan warna pada mie matang lebih rendah daripada mie mentah karena adanya proses perebusan pada mie yang dapat menginaktivasi enzim polifenol oksidase.


(55)

Gambar 6. Perubahan warna selama penyimpanan mie matang dengan penambahan ekstrak kecombrang

Hasil uji Anova pada Lampiran 10 menunjukkan bahwa warna mie matang kontrol berbeda nyata dari mie yang ditambah ekstrak rebus 1:3 dan berbeda nyata dari mie yang ditambah ekstrak segar 1:3. Sementara itu, warna mie matang yang ditambah ekstrak segar 1:3 juga berbeda nyata dari mie matang yang ditambah ekstrak segar 1:3.

2. Nilai pH Mie Basah

Hasil pengukuran pH mie mentah dapat dilihat pada Gambar 8. Penambahan ekstrak kecombrang berpengaruh nyata pada pH mie matang (p<0,05). Penambahan ekstrak kecombrang membuat penurunan pH menjadi lebih lambat diduga karena komponen antimikroba pada ekstrak kecombrang menghambat pertumbuhan mikroba pada mie basah. Selama penyimpanan, pH mie mentah semakin menurun. Penurunan pH ini disebabkan oleh adanya asam yang terbentuk dari hasil pembusukan oleh mikroba. Hal ini sesuai dengan penelitian Chamdani (2006), terjadi penurunan pH selama penyimpanan pada mie basah karena adanya hasil degradasi mikroba.

68 70 72 74 76 78 80 82 84 86

0 12 24 36 48 60 72

lama penyimpanan (jam)

hue

kontrol (tanpa ekstrak) mie matang+eks.rebus mie matang+eks.segar


(1)

Lampiran 38c. Hasil uji hedonik warna mie mentah dimasak

Source Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Model 1780,367(a) 33 53,951 54,812 ,000

PANELIS 58,367 29 2,013 2,045 ,006

SAMPEL 64,367 3 21,456 21,798 ,000

Error 85,633 87 ,984

Total 1866,000 120

Duncan sampel

N

Subset

1 2 3

ekstrak segar 30 2,57

ekstrak rebus 30 3,70

kontrol pasar 30 4,03

kontrol lab 30 4,57

Sig. 1,000 ,197 1,000

Lampiran 39a. Hasil uji hedonik tekstur mie mentah

Source Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig. Model 1601,742(a) 33 48,538 53,279 ,000

PANELIS 97,175 29 3,351 3,678 ,000

SAMPEL 13,492 3 4,497 4,936 ,003

Error 79,258 87 ,911

Total 1681,000 120

Duncan sampel

N

Subset

1 2

kontrol pasar 30 3,00

ekstrak segar 30 3,47 3,47

ekstrak rebus 30 3,80

kontrol lab 30 3,83


(2)

Lampiran 39b. Hasil uji hedonik tekstur mie matang

Source

Type III Sum of Squares df

Mean

Square F Sig.

Model 1631,967(a) 33 49,454 41,357 ,000

PANELIS 56,167 29 1,937 1,620 ,045

SAMPEL 34,967 3 11,656 9,747 ,000

Error 104,033 87 1,196

Total 1736,000 120

Duncan sampel

N

Subset

1 2 3

kontrol pasar 30 2,73

ekstrak segar 30 3,53

ekstrak rebus 30 3,90 3,90

kontrol lab 30 4,17

Sig. 1,000 ,197 ,348

Means for groups in homogeneous subsets are disp.layed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1,196.

a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 39c. Hasil uji hedonik tekstur mie mentah dinasak

Source Type III Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

Model 1897,975(a) 33 57,514 81,995 ,000

PANELIS 73,342 29 2,529 3,605 ,000

SAMPEL 7,225 3 2,408 3,433 ,020

Error 61,025 87 ,701

Total 1959,000 120

Duncan sampel

N

Subset

1 2 3

ekstrak segar 30 3,60

kontrol pasar 30 3,70 3,70

ekstrak rebus 30 4,10 4,10

kontrol lab 30 4,17


(3)

Lampiran 40a. Hasil uji hedonik aroma mie mentah

Source Type III Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

Model 1361,908(a) 33 41,270 32,913 ,000

SAMPEL 49,158 3 16,386 13,068 ,000

PANELIS 90,342 29 3,115 2,484 ,001

Error 109,092 87 1,254

Total 1471,000 120

Duncan sampel

N

Subset

1 2 3

ekstrak segar 30 2,23

kontrol pasar 30 3,10

ekstrak rebus 30 3,43 3,43

kontrol lab 30 4,00

Sig. 1,000 ,252 ,053

Lampiran 40b. Hasil uji hedonik aroma mie matang

Source Type III Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

Model 1325,167(a) 33 40,157 29,903 ,000

PANELIS 53,367 29 1,840 1,370 ,133

SAMPEL 30,167 3 10,056 7,488 ,000

Error 116,833 87 1,343

Total 1442,000 120

Duncan sampel

N

Subset

1 2

kontrol pasar 30 2,70 ekstrak segar 30 2,73

kontrol lab 30 3,67

ekstrak rebus 30 3,77


(4)

Lampiran 40c. Hasil uji hedonik aroma mie mentah dimasak

Source Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Model 1583,900(a) 33 47,997 49,652 ,000

PANELIS 74,367 29 2,564 2,653 ,000

SAMPEL 11,400 3 3,800 3,931 ,011

Error 84,100 87 ,967

Total 1668,000 120

Duncan sampel

N

Subset

1 2

ekstrak segar 30 3,13

kontrol pasar 30 3,33 3,33

kontrol lab 30 3,83

ekstrak rebus 30 3,83

Sig. ,433 ,065

Lampiran 41a. Hasil uji hedonik rasa mie matang

Source Type III Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

Model 1421,542(a) 33 43,077 32,459 ,000

PANELIS 72,842 29 2,512 1,893 ,012

SAMPEL 35,292 3 11,764 8,864 ,000

Error 115,458 87 1,327

Total 1537,000 120

Duncan sampel

N

Subset

1 2

ekstrak segar 30 2,73 kontrol pasar 30 2,80

kontrol lab 30 3,83

ekstrak rebus 30 3,87


(5)

Lampiran 41b. Hasil uji hedonik rasa mie mentah dimasak

Source Type III Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

Model 1491,167(a) 33 45,187 39,777 ,000

PANELIS 44,967 29 1,551 1,365 ,136

SAMPEL 31,667 3 10,556 9,292 ,000

Error 98,833 87 1,136

Total 1590,000 120

Duncan sampel

N

Subset

1 2

kontrol pasar 30 2,80 ekstrak segar 30 3,07

ekstrak rebus 30 3,83

kontrol lab 30 4,03

Sig. ,335 ,469

Lampiran 42a. Hasil uji hedonik overall mie mentah

Source Type III Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

Model 1392,500(a) 33 42,197 37,653 ,000

PANELIS 55,367 29 1,909 1,704 ,031

SAMPEL 43,500 3 14,500 12,938 ,000

Error 97,500 87 1,121

Total 1490,000 120

Duncan sampel

N

Subset

1 2

ekstrak segar 30 2,63 kontrol pasar 30 2,77

ekstrak rebus 30 3,67

kontrol lab 30 4,07


(6)

Lampiran 42b. Hasil uji hedonik overall mie matang

Source Type III Sum of Squares df

Mean

Square F Sig. Model 1375,567(a) 33 41,684 37,606 ,000

PANELIS 60,967 29 2,102 1,897 ,012

SAMPEL 34,067 3 11,356 10,245 ,000

Error 96,433 87 1,108

Total 1472,000 120

Duncan sampel

N

Subset

1 2

kontrol pasar 30 2,57 ekstrak segar 30 2,97

ekstrak rebus 30 3,60

kontrol lab 30 3,93

Sig. ,145 ,223

Lampiran 42c. Hasil uji hedonik overall mie mentah dimasak

Source Type III Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

Model 1655,142(a) 33 50,156 70,541 ,000

PANELIS 32,842 29 1,132 1,593 ,051

SAMPEL 30,892 3 10,297 14,482 ,000

Error 61,858 87 ,711

Total 1717,000 120

Duncan sampel

N

Subset

1 2

ekstrak segar 30 3,03 kontrol pasar 30 3,27

ekstrak rebus 30 4,00

kontrol lab 30 4,27