3
B. TUJUAN
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan umur simpan mie basah melalui penggunaan ekstrak bunga kecombrang. Secara khusus, penelitian ini
juga bertujuan untuk mendapatkan jenis ekstrak kecombrang yang efektif untuk meningkatkan umur simpan dan formulasi penggunaannya dalam mie
basah.
C. MANFAAT
Manfaat yang ingin didapat dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan alternatif pengawet alami pada produk pangan terutama mie
basah dan meningkatkan daya guna bunga kecombrang.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA A. BUNGA KECOMBRANG Nicolaia sp. Horan
1. Botani Kecombrang
Kecombrang Nicolaia sp. Horan merupakan tanaman asli pulau Jawa. Selama ini, kecombrang banyak dimanfaatkan sebagai penambah cita rasa
pada berbagai jenis makanan seperti urab, pecel, dan sayur lodeh. Kecombrang juga dikenal berkhasiat untuk menghilangkan bau badan dan
bau mulut Anonim a, 2006. Menurut Sudarsono 1994, rimpang bunga kecombrang digunakan
sebagai pewarna untuk mendapatkan warna kuning. Batang semunya berpotensi sebagai bahan baku pembuatan kertas dan digunakan untuk
membuat anyam-anyaman. Buah kecombrang juga dapat digunakan untuk membuat manisan.
Menurut Valeton 1921, marga Nicolaia yang terdapat di Indonesia ada 13 jenis yaitu Nicolaia anthodioides, Nicolaia atropurpurea, Nicolaia
diepenhorstii, Nicolaia gracilis, Nicolaia grandiligulata, Nicolaia hemisphaerica
Horan, Nicolaia heyniana, Nicolaia intermedia, Nicolaia rostrata, Nicolaia lorzïngii, Nicolaia solaris
Horan, dan Nicolaia speciosa Horan.
Tanaman ini tersebar di Pulau Jawa dan Sumatera terutama di daerah pegunungan. Ada beberapa jenis kecombrang yang tumbuh di Jawa Barat
dan biasa disebut dengan honje. Nicolaia anthodioides terdapat di pulau Jawa dan sering disebut honje buut. Nicolaia hemisphaerica Horan diduga
merupakan salah satu jenis dari Nicolaia speciosa. Tanaman ini terdapat di Jawa Barat dan disebut honje leuweung. Nicolaia solaris Horan terdapat di
Jawa Barat terutama di Gunung Cermai. Bunganya berwarna merah dengan tepi berwarna kuning. Sedangkan Nicolaia speciosa Horan berwarna merah
dan terdapat di Jawa Barat khususnya di Gunung Salak dan Bogor Valeton, 1921.
Kecombrang termasuk dalam divisi spermatophyta, subdivisi angiospermae
, kelas monocotyledone, bangsa zingiberales, suku
5 zingiberaceae
, marga Nicolaia, dan jenis Nicolaia speciosa Horan. Setiap daerah mempunyai nama khusus untuk kecombrang, misalnya Kala Gayo,
Puwar kijung Minangkabau, Kecombrang Jawa Tengah, Honje Sunda, Atimengo Gorontalo, Katimbang Makasar, Salahawa Seram, Petikala
Ternate dan Tidore Anonim a, 2006. Kecombrang secara umum juga disebut sebagai Kantan di wilayah Malaya Sudarsono, 1994.
Tanaman kecombrang merupakan tanaman tahunan yang berbentuk semak dengan tinggi 1-3 m. Tanaman ini mempunyai batang semu, tegak,
berpelepah, membentuk rimpang, dan berwarna hijau. Daunnya tunggal, lanset, ujung dan pangkal runcing tetapi rata, panjang daun sekitar 20-30 cm
dan lebar 5-15 cm, pertulangan daun menyirip, dan berwarna hijau. Bunga kecombrang merupakan bunga majemuk yang berbentuk bongkol dengan
panjang tangkai 40-80 cm. Panjang benang sari ± 7,5 cm dan berwarna kuning. Putiknya kecil dan putih. Mahkota bunganya bertaju, berbulu jarang
dan warnanya merah jambu. Biji kecombrang berbentuk kotak atau bulat telur dengan warna putih atau merah jambu. Buahnya kecil dan berwarna
coklat. Akarnya berbentuk serabut dan berwarna kuning gelap Syamsuhidayat, 1991.
Pada dasarnya, yang disebut dengan bunga kecombrang adalah suatu karangan bunga yang terdiri atas bagian bunga, daun pelindung, daun
gagang, daun gantilan, kelopak, mahkota, putik, dan buah Soedarsono, 1994. Bunga kecombrang adalah bunga majemuk yang terdiri atas bunga-
bunga kecil di dalam karangan bunga dan muncul pada saat bunga sudah tua.
2. Potensi Kecombrang
Penelitian yang telah dilakukan pada rimpang lengkuas A. galanga yang termasuk satu famili dengan kecombrang membuktikan bahwa senyawa
fenolik, flavonoid, minyak atsiri, terpena, asam organik tanaman, asam lemak, ester asam lemak tertentu, dan alkaloid tanaman mempunyai aktivitas
antimikroba Haraguchi et al., 1998. Fenolik adalah kelompok senyawa kimia yang mengandung gugus
fungsional hidroksil -OH yang terikat pada sebuah gugus hidrokarbon
6 aromatik. Senyawa ini mudah teroksidasi dan mengalami diskolorisasi
menghasilkan warna kecoklatan. Fenolik memegang peran yang penting sebagai antioksidan. Senyawa-senyawa fenolik mampu mendonorkan atom
hidrogen dari grup hidroksilnya kepada senyawa radikal. Senyawa paling sederhana dari kelas ini adalah fenol C
6
H
5
OH Shahidi dan Naczk, 1995. Komponen fenolik dapat dihasilkan dari metabolisme tanaman, dan
dikategorikan sebagai metabolit sekunder. Fungsi fisiologis komponen fenolik dalam tanaman tidak begitu dimengerti, namun diduga komponen ini
penting untuk pertumbuhan dan reproduksi tanaman. Komponen fenolik diproduksi sebagai respon untuk mengurangi kerusakan tanaman akibat
serangan patogen Pratt dan Hudson, 1990. Umumnya struktur komponen fenolik dalam setiap tanaman berbeda-
beda, namun tetap memiliki karakteristik khas yaitu adanya cincin aromatik terhidroksilasi. Sebagian besar komponen fenol dalam tanaman
terpolimerisasi membentuk molekul yang lebih besar, misalnya proantosianin dan lignin. Sebagian komponen fenolik juga berada dalam bentuk ester atau
glikosida terkonjugasi dengan senyawa lain, seperti flavonoid, alkohol, lemak hidroksi, sterol dan glukosida Pratt dan Hudson, 1990.
Selama pertumbuhan tanaman, fenol mengalami perubahan. Perbedaan tingkat kemasakan mempengaruhi kandungan fenol yang akan
mempengaruhi aktivitas antimikrobanya. Menurut Koensoemardiyah 1992, fenol akan mengalami polimerisasi seiring dengan tingkat kemasakan yang
meningkat. Misalnya pada tanin yang semakin masak maka kemampuan untuk mengikat protein menurun. Senyawa fenolik merupakan substansi
dengan cincin aromatik yang memiliki satu atau lebih gugus hidroksil dan alkil. Senyawa fenolik tanaman telah terbukti memiliki aktivitas antibakteri
yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif seperti Staphylococcus
sp., Bacillus sp. atau terhadap bakteri Gram negatif seperti Pseudomonas
sp. dan koliform Haraguchi et al., 1998. Komponen bioaktif pada ekstrak kecombrang berbeda-beda sesuai
dengan polaritasnya. Komponen fitokimia ekstrak heksana terdiri dari steroid, triterpenoid, alkaloid, dan glukosida. Komponen fitokimia ekstrak
7 etil asetat adalah steroid, terpenoid, alkaloid, flavonoid, dan glikosida.
Sedangkan ekstrak etanol menghasilkan komponen fenolik, terpenoid, alkaloid, saponin, dan glikosida. Rendemen ekstrak yang diperoleh sangat
rendah yaitu 2,9 untuk ekstrak etanol, 2,4 untuk ekstrak etil asetat, dan 9,1 untuk ekstrak heksana. Rendemen ekstrak dihitung sebagai vb ml
ekstrak100 gram bubuk kecombrang Naufalin, 2005. Potensi ekstrak kecombrang sebagai antibakteri dan antikapang telah
diketahui dari hasil penelitian Naufalin 2005. Hasil penelitian Naufalin 2005 menunjukkan bahwa ekstrak dari etil asetat dan etanol mampu
menghambat 7 jenis bakteri yaitu B. cereus, S. aureus, L. monocytogenes, Salmonella typhimurium, Aeromonas hydrophila, dan E. coli.
Sedangkan ekstrak dengan heksana tidak menunjukkan aktivitas antimikroba.
Penentuan MIC ekstrak kecombrang dilakukan pada tujuh jenis mikroba B. cereus, S. aureus, L. monocytogenes, Salmonella typhimurium,
Aeromonas hydrophila , dan E. coli pada konsentrasi 1-15 mg ekstrakml
medium. MIC adalah konsentrasi terendah yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba sebanyak 90 dari inokulum asal selama inkubasi 24
jam Cosentino et al., 1999. Ekstrak kecombrang ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam medium cair yang berisi kultur bakteri uji kemudian
dimasukkan dalam inkubator goyang 150 rpm selama 24 jam. Aktivitas antibakteri ekstrak kecombrang dengan etil asetat dan etanol
dipengaruhi oleh pH, suhu, NaCl, dan pemanasan. Aktivitas antibakteri ekstrak etil asetat pada pH asam 4 lebih tinggi daripada dalam pH basa 8-
9. Penambahan NaCl sampai 4 pada ekstrak etil asetat akan meningkatkan aktivitas antibakteri. Tetapi pada kadar 5 aktivitasnya menurun. Ekstrak
tersebut masih menunjukkan aktivitas setelah pemanasan pada suhu 80° dan 100
°C selama 10, 20, dan 30 menit, dan pada 121°C selama 10 menit. Ekstrak kecombrang juga berfungsi sebagai antikapang. Aktivitas antikapang
ekstrak etil asetat lebih tinggi daripada ekstrak etanol. Spora kapang lebih resisten terhadap ekstrak bunga kecombrang daripada miselium kapang
Naufalin, 2005.
8 Aplikasi ekstrak kecombrang ke dalam sistem pangan masih sedikit
dilakukan. Penambahan ekstrak etil asetat pada daging giling dengan konsentrasi 1 dan 3 MIC dapat disimpan selama 7 hari sedangkan
penambahan ekstrak dengan konsentrasi 5 MIC dapat menghambat pertumbuhan mikroba sampai hari ke-9 Naufalin, 2005.
B. MIE BASAH 1. Komposisi Mie Basah
Definisi mie basah adalah produk makanan yang dibuat dari tepung terigu dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan
tambahan makanan yang diijinkan, berbentuk khas mie yang tidak dikeringkan Badan Standarisasi Nasional, 1992. Syarat mutu mie basah
diatur dalam SNI 01-2987-1992 Tabel 1. Tabel 1. Syarat mutu mie basah menurut SNI 01-2987-1992.
No. Kriteria Uji
Satuan Persyaratan
1. Keadaan :
1.1. Bau
1.2. Rasa
1.3. Warna
- -
- Normal
Normal Normal
2. Kadar air
bb 20-35
3. Kadar abu bk
bb Maks. 3
4. Kadar protein bk
bb Min. 3
5. Bahan tambahan pangan :
5.1. Boraks dan asam borat
5.2. Pewarna 5.3. Formalin
- -
- Tidak boleh ada sesuai
SNI-02220 M dan Peraturan Menteri
Kesehatan No. 722MenkesPerIX88
6. Cemaran logam :
6.1. Timbal Pb 6.2. Tembaga Cu
6.3. Seng Zn 6.4. Raksa Hg
mgkg mgkg
mgkg mgkg
Maks. 1.0 Maks. 10.0
Maks. 40.0 Maks. 0.05
7. Arsen mgkg
Maks. 0.05
8. Cemaran mikroba
8.1.Angka Lempeng Total
8.2. E. coli 8.3. Kapang
Kolonigram APMgram
Kolonigram Maks. 1.0 x 10
6
Maks. 10 Maks. 1.0 x 10
4
9 Pada dasarnya mie basah terbuat dari bahan dasar terigu, air, garam
dapur, dan bahan tambahan alkali. Tepung terigu merupakan bahan dasar pembuatan mie yang diperoleh dari biji gandum Triticum vulgare.
Keistimewaan terigu adalah kemampuannya untuk membentuk gluten pada saat terigu dibasahi dengan air. Sifat elastis gluten pada adonan mie
menyebabkan mie yang dihasilkan tidak mudah putus pada saat pencetakan dan pemasakan. Biasanya mutu terigu yang dikehendaki adalah terigu yang
memiliki kadar air 14, kadar protein 8-12, kadar abu 0,25-0,60, dan gluten basah 24-36. Dalam prakteknya, tepung terigu yang digunakan
dalam pembuatan mie terdiri atas campuran dua merk yaitu Segitiga Biru dan Cakra Kembar. Pencampuran itu dimaksudkan untuk mendapatkan
konsentrasi protein yang dikehendaki sehingga menghasilkan tekstur, konsistensi, dan rasa yang khas dari produk. Terigu Cakra Kembar
mempunyai kadar protein 12-13 sedangkan kadar protein Segitiga Biru adalah 9,5-11 Astawan, 2002.
Air yang ditambahkan biasanya sebanyak 32–35 dari berat terigu tergantung jenis dan kualitas terigu yang digunakan. Batas maksimum
penambahan air dalam pembentukan lembaran adalah 38 −40. Jika air
yang ditambahkan kurang dari 34, adonan akan menjadi keras, rapuh, dan sulit dibentuk lembaran, sedangkan jika air yang ditambahkan lebih
dari 40, adonan akan menjadi basah dan lengket. Air berfungsi sebagai media reaksi antara gluten dengan karbohidrat sehingga adonan
mengembang, melarutkan gluten, dan membentuk sifat kenyal gluten. Air yang digunakan sebaiknya memiliki pH antara 6-9. Semakin tinggi pH air
maka mie yang dihasilkan tidak mudah patah karena absorbsi air meningkat dengan meningkatnya pH. Selain pH, air yang digunakan harus
memenuhi persyaratan sebagai air minum, yaitu tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak berasa Astawan, 2002.
Garam dapur ditambahkan ke dalam adonan sebanyak 0.5–2 dari berat terigu, tergantung selera masyarakat lokal. Garam dapur NaCl
berfungsi untuk memberi rasa, memperkuat tekstur mie, mengurangi kelengketan adonan, serta meningkatkan elastisitas adonan.
10 Menurut Miskelly 1985, mie basah dapat dibagi menjadi dua
berdasarkan warnanya yaitu white salted noodles dan yellow alkaline noodles.
Perbedaan warna tersebut disebabkan penambahan alkali yang memberikan karakteristik warna kekuningan. White salted noodles adalah
mie tidak ditambah alkali atau hanya ditambah air saja. Mie ini berasal dari Cina selatan. Sedangkan yellow alkaline noodles berasal dari Cina tenggara
dan sekarang dapat ditemukan di Jepang, Malaysia, Indonesia, Singapura, Thailand, Taiwan, Hongkong, dan juga di Cina Selatan.
Alkali ada yang berbentuk bubuk biasa disebut soda abu dan ada yang berbentuk cair air abu. Bubuk abu dilarutkan dalam air sebelum
digunakan, dengan penambahan sebesar 1-5 dari berat terigu yang digunakan. Salah satu jenis alkali yang sering digunakan adalah garam
karbonat. Garam karbonat berfungsi dalam pembentukan gluten, menghaluskan tesktur adonan, dan meningkatkan elastisitas dan
ekstensibilitas adonan. Sedangkan natrium tripolifosfat digunakan sebagai bahan pengikat air, agar air di dalam adonan tidak mudah menguap
sehingga permukaan adonan tidak cepat mengering dan mengeras Miskelly, 1985.
2. Pembuatan Mie Basah
Menurut Hou dan Kruk 1998, berdasarkan prosesnya terdapat empat jenis mie, yaitu mie mentah mie yang setelah pengadonan,
pembentukan lembaran, dan pemotongan tidak mengalami proses lebih lanjut, mie kering mie mentah yang mengalami proses pengeringan alami
dengan sinar matahari atau dengan ruang terkontrol, mie matang mie mentah yang mengalami proses lanjut dengan perebusan setengah matang
atau matang sempurna, dan mie kukus mie mentah yang diproses lebih lanjut dengan pengukusan.
Proses pembuatan mie basah terdiri dari proses pencampuran, pembentukan lembaran, pembentukan mie, serta pengukusan. Proses
pembuatan mie dapat dilihat pada Gambar 2. Tahap pencampuran berfungsi agar proses hidrasi air dengan tepung berlangsung merata dan
11 untuk menarik serat-serat gluten sehingga menjadi adonan yang elastis dan
halus. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam proses pencampuran yaitu jumlah air yang ditambahkan, suhu adonan, dan waktu pengadukan.
Tahap pembentukan lembaran sheeting bertujuan untuk menghaluskan serat-serat gluten dan membentuk lembaran adonan
Lembaran kemudian digulung dan diistirahatkan selama 15 menit untuk menyempurnakan pembentukan gluten. Lembaran adonan ini kemudian
dipipihkan dengan alat rollpress dan dicetak menjadi untaian benang mie hingga diameter mencapai 1-2 mm. Kemudian untaian benang mie ditaburi
dengan tepung tapioka agar tidak lengket satu sama lain. Tepung yang biasa digunakan di pasaran ialah tepung tapioka Badrudin, 1994.
¶ pencampuran bahan
¶ pengadukan
¶ pembentukan lembaran
¶ pengistirahatan
¶ penipisan lembaran
¶ pemotongan lembaran
¶ penaburan mie dengan tapioka
→ ¶
Perebusan atau pengukusan ¶
Pelumasan ¶
Gambar 1. Diagram alir pembuatan mie basah secara umum Proses selanjutnya adalah perebusan atau pemasakan untuk
mendapatkan mie matang. Perebusan biasanya berlangsung selama 45-90 detik agar didapat 80-90 gelatinisasi pati. Gelatinisasi membuat pati
meleleh dan membentuk lapisan tipis film pada permukaan mie sehingga Bahan-bahan mie
Mie basah mentah
Mie basah matang
12 menjadi lembut, meningkatkan daya cerna pati, dan mempengaruhi daya
rehidrasi Badrudin, 1994. Dalam butiran pati, rantai-rantai amilosa dan amilopektin tersusun
dalam bentuk semi kristal, yang menyebabkannya tidak larut dalam air dan dapat memperlambat pencernaannya oleh amilase pankreas. Bila
dipanaskan dengan air, struktur kristal rusak dan rantai polisakarida akan mengambil posisi acak. Hal inilah yang menyebabkannya mengembang
dan memadat gelatinisasi. Cabang-cabang dalam struktur amilopektinlah yang terutama menyebabkannya dapat membentuk gel yang cukup stabil.
Proses pemasakan pati, di samping menyebabkan pembentukan gel juga akan melunakkan dan memecah sel sehingga memudahkan pencernaannya
Almatsier, 2001. Menurut Astawan 2002, mie sebaiknya dimasak selama 2 menit
sambil diaduk perlahan. Api harus besar supaya waktu perebusan singkat. Bila waktu perebusan lama, mie akan lembek karena banyak air yang
masuk ke dalam mi. Mie yang matang ini dapat dimasak kembali dengan cara direbus atau digoreng sebelum dikonsumsi.
Pelumasan mie dilakukan dengan minyak sayur supaya untaian mie tidak lengket satu sama lain. Penambahan minyak berfungsi untuk
memperbaiki tekstur, mencegah permukaan menjadi kering, mencegah kekakuan, dan memberikan flavor yang khas Niihara et al., 1996.
Minyak yang digunakan adalah minyak sawit atau minyak kelapa. Minyak yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak kelapa.
Minyak kelapa mengandung 84 trigliserida dengan tiga molekul asam lemak jenuh, 12 trigliserida dengan dua asam lemak jenuh dan 4
trigliserida dengan satu asam lemak jenuh. Minyak kelapa mempunyai aplikasi yang luas dalam industri pangan karena tahan terhadap oksidasi
dan ketengikan serta tidak terdapatnya bau yang kurang menyenangkan, Ketaren, 1986. Selain itu, mie yang dilumuri minyak kelapa mempunyai
umur simpan yang lebih lama daripada mie yang dilumuri minyak sawit Pahrudin, 2006.
13
3. Kerusakan Mie Basah
Menurut Gracecia 2005, umur simpan mie basah mentah di pasar tradisional Bogor dan Jakarta adalah 1-4 hari dan umur simpan mie basah
matang 1-14 hari. Umur simpan mie mentah di supermarket lebih lama yaitu 10-21 hari untuk mie mentah maupun mie matang karena
penyimpanan mie dilakukan di suhu rendah. Ciri-ciri kerusakan mie mentah adalah adanya jamur yang berupa bintik-bintik hitam, merah, atau
biru, munculnya bau asam, tekstur hancur atau patah-patah, dan lembek. Sedangkan kerusakan pada mie matang ditandai dengan munculnya bau
asam, mie menjadi lengket, berlendir, lembek atau hancur. Perubahan warna, bau asam, dan terbentuknya lendir menandakan
adanya pertumbuhan bakteri. Pada mie matang kerusakan terjadi pada penyimpanan suhu kamar setelah 40 jam berupa tumbuhnya kapang.
Pertumbuhan kapang dicirikan dengan adanya miselium pada mie yang berwarna putih atau hitam Hoseney, 1998.
Perubahan warna yang terjadi selama penyimpanan disebabkan karena adanya enzim polifenol oksidase dari terigu. Kerusakan pada mie
yang direbus terlebih dahulu terjadi pada penyimpanan di suhu kamar setelah 40 jam. Kerusakan yang terjadi adalah tumbuhnya kapang pada
mie, sedangkan perubahan warna tidak terjadi karena perebusan menginaktivasi enzim polifenol oksidase Anonim b, 2006.
Kerusakan pada mie basah pada umumnya disebabkan oleh mikroba pada bahan baku yaitu tepung. Mikroba yang tumbuh pada tepung ada
kapang, khamir, dan bakteri. Bakteri yang tumbuh pada tepung adalah Pseudomonas, Micrococcus, Lactobacillus
, dan beberapa jenis Achromobacterium.
Sedangkan kapang yang tumbuh pada tepung adalah Aspergillus, Rhizopus, Mucor, Fusarium
, dan Penicillium Christensen, 1974.
14
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan