Farid dan Simarmata: Kekerasan Masa Lalu dan Penentuan Nasib Sendiri

29

2. Al Rahab dan De Soares: Deretan Pelanggaran HAM terhadap Warga Amungme

[...] Skandal pelanggaran HAM di tanah Amungsa terjadi seiring dengan kehadiran Freeport. Sampai beberapa waktu yang lalu, deretan kasus pelanggaran HAM yang terjadi selalu terpendam bagai lumpur galian tambang tembaga dan emas Freeport. Tak ada kekuatan yang mampu menyuarakannya kepada khalayak ramai di Indonesia dan dunia. Namun, kebisuan itu akhirnya berakhir ketika Mgr H.FM. Munninghoff OFM, Uskup Jayapura, membuat laporan yang menggetarkan hati siapa saja yang membacanya. Ia telah membeberkan serangkaian tindak pelanggaran HAM yang sangat brutal di kampung-kampung sekitar kawasan konsesi freeport. [...] laporan Uskup Munninghoff membeberkan kesaksian-kesaksian para korban yang diperkuat oleh hasil investigasi terhadap rangkaian aksi bersenjata aparat keamanan kepada warga sipil di Tsinga dan Hoea. Adapun tindakan brutal aparat yang terungkap setelah dilakukan investigasi adalah 1 terjadinya serangkaian penangkapan dan penahanan yang tidak manusiawi terhadap orang-orang yang dicurigai sebagai simpatisan OPM, 2 hilangnya beberapa orang anggota keluarga dari beberapa keluarga yang salah satu saudaranya diduga ikut OPM ke hutan, 3 dilakukannya pengawasan serta pengintaian yang menimbulkan ketegangan mental berkepanjangan di kalangan penduduk, 4 terjadinya penganiayaan terhadap warga sipil, dan 5 pembakaran serta perusakan rumah dan kebun milik penduduk. Seluruh tindakan tersebut terjadi antara pertengahan tahun 1994 sampai pertengahan tahun 1995. Demonstrasi menuntut perbaikan kondisi kehidupan mengubah Lembah Tsinga menjadi daerah tertutup [...] Berbagai pelanggaran HAM tersebut diawali dengan terjadinya protes warga di Lembah Tsinga bulan Mei 1994. Pada aksi tersebut, warga melakukan demonstrasi damai menuntut perbaikan kondisi kehidupan. Pada saat berlangsungnya demonstrasi damai itu, dengan alasan yang tak jelas sekelompok orang menaikkan bendera Papua Merdeka. Berkibarnya bendera Bintang Kejora itu memancing kemarahan aparat militer. Akibatnya aparat mengambil tindakan keras terhadap pihak pengibar bendera yang diidentifikasi sebagai anak buah Kelly Kwalik. Setelah peristiwa ini, daerah Tsinga dinyatakan sebagai daerah tertutup oleh aparat keamanan. Dalam rangka mengejar kelompok Kelly Kwalik itulah terjadi rangkaian penembakan dan pembunuhan terhadap warga sipil disertai perusakan kebun dan rumah yang terkurung di daerah tertutup tersebut. Beberapa warga menjadi korban akibat terkepung dalam lokasi tembak-menembak antara TNI dan OPM.[...] [...] Salah satu peristiwa tembak-menembak antara pasukan OPM dan TNI di Timika itu terjadi pada Natal 1994. Sehari setelah peristiwa tersebut, masyarakat dikumpulkan secara paksa dan kemudian diajak oleh aparat untuk mengejar dan menyerbu tempat-tempat yang diduga sebagai persembunyian OPM. Siang harinya, seusai pertemuan itu, masyarakat yang digiring aparat lalu menyerbu tempat-tempat persembunyian OPM dan berhasil membunuh Yulius Yanempa. Sebagai bukti keberhasilan, dipotonglah tangan Yulius dan lantas potongan tangan itu diperlihatkan kepada Komandan Kompi yang memimpin operasi tersebut. Pada 27 Desember tahun yang sama, kembali TNI bersama rakyat menggelar operasi yang berhasil menangkap dua warga sipil, yaitu Dominikus Narkime dan Petrus Omabak. Kedua orang tersebut dituduh sebagai OPM. Operasi TNI dengan Peristiwa tembak-menembak TNI dan OPM di Timika Natal 1994 30 mengerahkan warga sipil ini tidak diberitakan sama sekali oleh media. Malah sebaliknya, Freeport melalui Community Development-nya yang dipimpin Surya Atmadja mengumumkan terjadinya pembakaran dan penembakan oleh OPM terhadap rumah-rumah penduduk di areal Freeport. Penyerbuan jemaat di Kampung Hoea 31 Mei 1995 Kebrutalan yang terjadi itu baru terkuak ketika pada 31 Mei 1995, Pasukan Yon 752 Paniai menyerbu jemaat yang sedang berdoa di Kampung Hoea sekitar 90 km arah ke Timur Kota Tembagapura. Dalam penyerbuan itu, kembali terjadi penembakan terhadap warga sipil dan perusakan rumah- rumah penduduk oleh pasukan yang berkedudukan di pos Jila. Dalam aksi ini, 11 orang warga sipil menjadi korban. Menurut keterangan saksi mati, mereka yang tewas sebagian berasal dari warga Kampung Hoea yang sempat bertahan hidup di hutan karena ketakutan akibat seringnya terjadi penyerbuan dan kontak senjata antara aparat TNI dan orang-orang yang disebut gerilyawan OPM. [...] Pembunuhan warga sipil di kawasan Freeport [...] Sebelumnya, peristiwa serupa juga pernah terjadi beberapa kali terhadap warga sipil yang tak bersenjata. Misalnya, peristiwa yang menimpa Wendi Tabuni, 23 Tahun. Ia ditembak mati olah aparat pada 25 Desember 1994 di dalam bus nomor 44 milik Freeport dalam perjalanan menuju Timika dari Tembagapura. Setelah ditembak, jenazahnya dibuang di Mile 66 oleh aparat dari pasukan Yon 733 yang bertugas di Mile 66. Peristiwa yang sama juga terjadi di bengkel milik Freeport di Koperapoka ketika beberapa pemuda setempat, yakni Yoel Kogoya, Pergamus Wake, dan Elias Jikwa dianiaya sampai tewas oleh pasukan dari Mess Pupurima. Begitu juga di Kwamki Lama, Timika di mana dua orang tewas akibat pedang dan terjangan peluru aparat dari pasukan Yon 733 Pattimura pada 16 April 1995. [...] 3. Taylor: Perang Tersembunyi Sejarah Timor Timur yang Dilupakan Penculikan Keluarga Kwalik Tentara Pos Koperapoka, Timika [...] Menurut istrinya, pada 6 Oktober 1994, pukul 23.00 WIT, aparat dengan senjata lengkap mendatangi rumah mereka dengan cara mendobrak pintu. Kedatangan aparat pada saat itu bertujuan mencari suaminya yang bernama Sabastianus Kwalik. Lalu Sabastianus diambil oleh aparat bersama ketiga adiknya, yaitu Romulus K, Marius K, dan Hosea K. Keempat orang tersebut digelandang ke mobil yang telah disiapkan sebelumnya. Mereka semua ditahan di kontainer yang dijadikan penjara di pos tentara Koperapoka, Timika. Menurut keterangan istrinya, di dalam kontainer itu telah berisi banyak orang yang juga mengalami nasib serupa.[...] [...] Dengan nama sandi Operasi Seroja, pada tanggal 8 Desember dilaksanakan penyerbuan atas Dili. Dimulai dengan pengeboman di pagi buta, disusul oleh serangan udara jam 5 pagi dan pada saat yang sama tentara elit Indonesia, Kopassandha mendarat di sekitar dermaga. Dalam rencana asli, saat itu juga akan dilakukan pengepungan Dili secara cepat oleh pasukan khusus dari daerah perbatasan. Tetapi mereka harus menghadapi perlawanan ketat Fretelin sehingga rencana semula batal. ...Tindakan tentara sangat brutal. Terjadi pembunuhan sistematik terhadap penduduk sipil Dili, Penyerbuan, Perlawanan dan Reaksi Internasional