Bronkhorst: Investigasi Forensik Kompleksitas Ketersediaan dan akses Data

56 tengkorak, enam puluh buah telah diidentifikasi. Mengapa jumlahnya begitu sedikit? Salah satu kemungkinan logis adalah segera setelah mencapai kekuasaan, cara yang paling baik, pemerintah demokratik baru melakukan pembongkaran terhadap kuburan-kuburan tersebut dengan menggunakan buldozer. Oleh karena itu tak mengherankan jika sebagian besar bukti telah hilang. Kemungkinan lain, karena jumlah korban semakin besar. Campo de Mayo, misalnya sebuah kamp konsentrasi di dekat Buenos Aires dihuni oleh kira-kira dua ribu tahanan, diantaranya hanya sepuluh tahan yang hidup. Dan kemungkinan lagi, banyak mayat yang terbenam di laut. Ia kemudian terus mengarahkan pengamatan kepada fenomena khusus yang juga telah menjadi perhatian banyak negara: ada semacam hubungan menakutkan antara kerahasiaan tindakan bengis yang dilakukan oleh negara dengan dokumen rahasia tentang tindakan-tindakan kejahatan yang paling mengerikan—perhatikan pusat-pusat penyiksaan di Kamboja, arsip-arsip polisi yang ditemukan di Chad, peristiwa-peristiwa yang terjadi di stadion Chile, maupun kamp-kamp konsentrasi di Argentina. Apa yang menjadi motif pelaku pembunuhan mungkin bukanlah terutama, ataupun bukan hanya, karena didorong sadistis belaka. Akan tetapi dengan menyitir kata-kata Hannah Arendt yang sangat terkenal, ia merasa yakin akan kebanalan kebiasaan atau kelumrahan dari kejahatan seperti itu. Fondeblider: “Jika memang benar belum dihancurkan kami sangat yakin, pasti ada segudang informasi yang disimpan di suatu tempat. Mesin pembunuh melibatkan birokrasi yang masif. Setiap tindakan pembunuhan dan bahkan juga tempat pembuangan mayat pun mesti didaftar. Akan tetapi daftar-daftar tersebut tidak pernah dipublikasikan untuk umum. Karena itu dalam setiap upaya pencarian dan identifikasi, kita harus memformulasikan hipotesis kita sendiri, kecuali jika kita ingin seperti mencari sebuah jarum dalam tumpukan rumput kering.” [...] [...] Fondeblider menjelaskan mengapa proses identifikasi setiap korban yang tewas akibat kekerasan di Argentina lebih mudah dibandingkan di negara-negara lain. Sekaligus ia menjelaskan alasan masih perlu dilanjutkannya penggalian-penggalian tersebut. “Di Argentina, para korban kelas menengah memiliki proporsi yang besar. ini lebih berarti bahwa secara relatif tersedia lebih banyak data. Di daerah-daerah pedesaan Guatemala, misalnya, praktis tidak mungkin dilakukan identifikasi terhadap korban. Bila ditemukan mayat di daerah-daerah tersebut, sering kemudian oleh komunitas lokal mayat tersebut dikuburkan bersama di kuburan massal disertai upacara kolektif. Anda akan menemukan jenis upacara-upacara seperti yang dilakukan di Kurdistan Irak, Ethiopia, dan El Salvador. Tetapi ritual-ritual semacam ini tidaklah dikenal di Argentina. Di Argentina misalnya komite Ibu-ibu Plaza de Mayo akan mendampingi keluarga-keluarga ketika dilakukan penggalian mayat- mayat itu, dan direncanakan upacara penguburan kembali mayat-mayat tersebut.” Fondeblider menyatakan bahwa orang-orang Argentina tampaknya lebih tertarik dengan sejarah Nazi dibandingkan dengan pembongkaran kuburan-kuburan massal yang tengah berlangsung di sepanjang jalan negeri itu. “Itulah yang digandrungi orang-orang Argentina, dan mereka dengan senang hati akan membeli buku tentang kejahatan NAZI tersebut dan dengan penuh minat menyaksikan dokumenter-dokumenter TV. Oleh karenanya, sulit untuk mengumpulkan dana di negara kami. Kami sangat bergantung pada dana-dana asing. Dalam kenyataannya, kini kami dapat memberikan pelayanan khusus semacam itu. [...] 57

2. Hayner: Menggali kebenaran masa lalu oleh masyarakat sipil

[...] Di samping kerja komisi kebenaran yang ditopang oleh pemerintahan, berbagai organisasi- organisasi non-pemerintah pun telah mensponsori upaya-upaya penting untuk menggali kebenaran tentang masa lalu. Sebagai contoh, sebuah proyek yang dibentuk di Yale University telah berhasil mengumpulkan dokumentasi yang luas tentang kekerasan di Kamboja di bawah Khmer Merah dari tahun 1975-1979. Sementara itu, di dalam Kamboja sendiri, tidak ada minat yang kuat untuk melakukan pencarian kebenaran secara formal, dan lebih tertarik pada upaya pengadilan kejahatan internasional untuk menyelesaikan kasus-kasus kejahatan masa lalu mereka. Di Guatemala, sebuah proyek disponsori gereja telah melatih sejumlah wakil lokal dari seluruh negeri untuk mengumpulkan berbagai kesaksian yang sangat berkualiatas dan dalam jumlah yang luar biasa, sebelum komisi kebenaran yang disponsori Perserikatan Bangsa-bangsa bekerja, yang dimulai tahun 1997. Proyek-proyek pelengkap lainnya di Guatemala juga telah dilakukan oleh organisasi-organisasi masyarakat. Menentukan kebenaran tentang kejahatan-kejahatan menakutkan pada masa lalu juga semakin dipermudah belakangan ini, karena sumbangan dari ilmu pengetahuian, khususnya dalam penggunaan ilmu forensik secara lebih canggih untuk mengidentifikasi sisa-sisa tubuh manusia atau penyebab yang tepat atas kematian. Kemajuan ini telah memperluas kemungkinan kecermatan dari suatu cerita kebenaran walaupun akses terhadap ahli-ahli forensik semacam ini kadang-kadang terbatas dan proses pertanggungjawaban yang cermat semacam itu membutuhkan sumber daya yang intensif. Karena upaya untuk mendapatkan cara-cara yang lebih bagi pertanggungjawabab masa transisi terus berlanjut, maka sudah selayaknya masalah pelatihan dan pemakaian ahli ilmu- ilmu pengetahuan secara tepat untuk mendukung kerja-kerja pencarian kebenaran ini perlu mendapat perhatian yang lebih besar. Sama juga halnya dengan pemanfaatan tenaga-tenaga profesional non-legal yang begitu banyak. Lebih dari semua bentuk mekanisme transisional, upaya mencari dan secara resmi mendokumentasikan kebenaran-kebenaran masa lalu harusnya lebih banyak mendapatkan masukan dari para psikolog, ahli sejarah, ahli statistik, ahli-ahli ilmu sosial serta yang lainnya. akhirnya mungkin dibutuhkan titik konsensus final dari berbagai ahli hak asasi manusia, untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dalam lapangan pencarian kebenaran yang masih terus berkembang ini. karena semakin banyak negara yang akan mencoba cara ini dalam waktu-waktu yang akan datang, maka mungkin beberapa persoalan terbuka tadi harus mulai dipikirkan jawabannya kendati secara perlahan-lahan.[...] PERTANYAN-PERTANYAAN DISKUSI: 1 Identifikasi dan petakan persoalan-persoalan yang akan anda hadapi dalam mengumpulkan data-data kejahatan-kejahatan hak asasi manusia di masa lampau 2 Coba identifikasi sejumlah strategi dan metodologi kerja yang mungkin dapat dipilih untuk menghadapi persoalan-persoalan di atas? 58

II. Darimana Memulai: Mengajak Korban Mau Bersuara

Pengantar Pada dasarnya tidaklah mudah untuk membuat para korban kejahatan hak asasi manusia di masa Orde Baru bersedia mengungkapkan atas apa yang pernah mereka alami. Rasa takut adalah alasan utama dan pertama mengapa mereka sulit untuk mengungkapkan kebenaran masa lalu kepada sejumlah orang atau publik luas. 1.Roosa, Ratih Farid: Metodologi Wawancara Sejarah Lisan [...] Penelitian sejarah lisan ini merupakan sebuah kerja bersama yang dimulai sejak awal 2000 oleh sepuluh anggota Tim Relawan untuk Kemanusiaan TRuK. Sebelumnya, kami semua berdiskusi mengenai penelitian ini bersama Sekretaris Umum TruK saat itu, Karlina, untuk menemukan cara paling mudah dan tepat untuk menjalankan kegiatan ini. John Roosa menjadi penasehat sekaligus koordinator dari kelompok relawan yang terlibat dalam penelitian ini. Sampai saat itu, TRuK lebih banyak menaruh perhatian pada para korban kasus-kasus yang baru terjadi, antara lain korban Kerusuhan Mei 1998 dan Tragedi Semanggi I dan II. Para relawan menemani korban dan mengumpulkan kesaksian mereka untuk mendapatkan gambaran menyeluruh mengenai mengapa dan bagaimana peristiwa-peristiwa tragis itu terjadi. Walau tak seorang pun dari mereka punya pengalaman dengan sejarah lisan, kami melihat mereka memiliki kemampuan tertentu untuk menjadi pewawancara yang baik. Mereka memiliki kesabaran mendengar orang lain, ketahanan mendengar kisah orang yang menderita, dan keprihatinan yang tulus terhadap para korban. Dalam pengalaman kami, para pengajar universitas dan mahasiswa justru tidak pernah bisa membuat wawancara yang baik. mereka berfikir mereka tahu segala sesuatunya, atau merasa yakin bahwa apapun yang perlu mereka ketahui berasal dari buku-buku. Keangkuhan inilah yang menghalangi mereka untuk mengajukan pertanyaan yang tepat dan mendengarkan cerita-cerita dari orang biasa. Hal terpenting dalam wawancara lisan adalah pemahaman yang baik mengenai hubungan antarmanusia. Semua orang yang terlibat dalam pekerjaan ini, termasuk koordinator, bekerja secara sukarela. Kami tidak mulai bekerja karena ada dana, tapi karena kami yakin bahwa penelitian ini memang penting untuk dilakukan. Penelitian kami, karena itu, mewakili pikiran generasi pasca-1965 yang ingin memahami sejarah masyarakat mereka sendiri dan meninggalkan penyederhanaan dan kepalsuan propaganda negara. Baru belakangan, setelah bekerja selama kurang setahun, bantuan mulai berdatangan dari beberapa lembaga dan teman yang memilki kepedulian yang sama. Selama dua bulan kami mengadakan pelatihan sejarah lisan bagi sepuluh orang relawan. Kami bertemu sekurangnya sekali seminggu, membaca sejumlah artikel dan buku pilihan, menyusun agenda penelitian, membahas teknik wawancara, dan menentukan jenis-jenis pertanyaan yang harus diajukan. Pelatihan ini sangat penting untuk memperkenalkan para peneliti awal kepada literatur sejarah tentang 1965, terutama tulisan-tulisan yang diterbitkan di luar negeri dan dilarang, atau sulit diperoleh di Indonesia. beberapa diantaranya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia kecuali seorang sejarawan yang juga terlibat dalam kelompok peneliti muda ini, semua relawan sebelumnya hanya tahu sejarah menurut versi rezim Soeharto. Mereka semua lahir setelah 1965 dan dibesarkan di sekolah-sekolah Orde Baru. Mereka menyaksikan jatuhnya kediktatoran Soeharto dan