Tujuan dan Pokok Bahasan

23 Kekerasan tidak hanya digunakan untuk menindas perbedaan politik. Program pembangunan, terutama komersialisasi pertanian, pengembangan sektor perkebunan, kehutanan dan pertambangan sering kali dijalankan dengan mengusir penduduk secara paksa. Sementara itu untuk menciptakan angkatan kerja yang disiplin, pemerintah Orde Baru mengekang semua kegiatan politik dan berulang-ulang menindas gejolak dengan tindak kekerasan. Para pemimpin serikat buruh dan aktivitas LSM yang mendampinginya menjadi sasaran intimidasi, dan beberapa diantaranya terbunuh atau dijatuhi hukum penjara karena kegiatannya. Di beberapa tempat kekerasan menimpa penduduk yang sama berulang-ulang. Setelah menjadi korban dalam gelombang kekerasan 1965-66, penduduk kemudian diusir dari tanah mereka karena program pembangunan. anggota keluarga yang memprotes tindakan pemerintah dan berusaha membela hak-hak dasar dalam protes petani atau buruh kemudian kembali menjadi korban kekerasan. Pemerintah sendiri kerap menggunakan slogan “bahaya laten PKI” atau “GPK” Gerakan Pengacau Keamanan untuk membenarkan tindak kekerasan yang berulang-ulang terhadap komunitas yang sama. [...] 2. Laporan Pemantauan Komnas Perempuan: Kejahatan terhadap Kemanusiaan Berbasis Jender Temuan Farid dan Simarmata pun kemudian dikuatkan oleh temuan Komnas Perempuan pada 2007 dimana dalam laporan resminya tentang Peristiwa 1965, lembaga negara tersebut menyebutkan bahwa kejahatan hak asasi manusia di masa rezim tersebut merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan karena bentuk dan pola kekerasan sangat sistematis dan meluas. [...] Kebenaran tentang rangkaian peristiwa September 1965 masih terselubung, dan berada di luar jangkauan laporan ini. Namun Komnas Perempuan dapat menyatakan bahwa versi resmi dari kejadian 1965 tidak menggambarkan gelombang kekerasan yang dikerahkan oleh aparat negara sesudah pembunuhan tujuh perwira tinggi TNI pada 30 September 1965. Kebisuan ini, yang terus berlanjut sampai sekarang, merupakan sebuah penyangkalan resmi yang menjadi akar masalah dari diskriminasi dan persekusi yang berlanjut terhadap korban.[...] [...] pada masa Peristiwa 1965, anggota Gerwani dan perempuan-perempuan lainnya yang dianggap berafiliasi dengan PKI, menjadi sasaran kejahatan sistematis, antara lain, pembunuhan, penghilangan paksa, penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, dan kekerasan seksual. Komnas Perempuan percaya bahwa Gerwani menjadi target sebuah propaganda hitam yang dibuat untuk menghancurkan secara total kelompok politik ini.[...] [...] Meskipun ada laporan otopsi resmi yang menyimpulkan bahwa penyebab kematian para perwira adalah tembakan peluru, pemukulan dengan benda tumpul, dan bahwa jenazah dalam keadaan utuh, beberapa media massa mulai menyebarkan laporan palsu mengenai kondisi jenazah korban. Dinyatakan bahwa jenazah dalam keadaan mata dicongkel dan kemaluan dipotong. Koran Angkatan Bersenjata melaporkan, pada 11 Oktober 1966 “...sukarelawan-sukarelawan Gerwani telah bermain- main dengan para Jenderal, dengan menggosok-gosokan kemaluan mereka ke kemaluan sendiri.” Keesokan harinya Duta Masyarakat, sebuah koran miliki Nahdatul Ulama melaporkan “...menurut sumber yang dapat dipercaya, orang-orang Gerwani menari-nari telanjang di depan korban-korban mereka.” Laporan-laporan yang tidak terverifikasi ini menyebar ke media massa lainnya, yang