Riset Peristiwa 65 di Solo
73 merekomendasikan saya untuk mewawancarai narasumber lain, atau saya yang minta
informasirekomendasi. Ada korban-korban atau saksi dan pelaku yang baru mau percaya kalau kita diperkenalkan oleh penghubung yang tepat.
Kami memilih metode sejarah lisan untuk melakukan riset tentang kekerasan terhadap perempuan di Solo karena ketiadaan arsip, terutama arsip yang andal dan memuat kesaksian korban.Secara
ringkas, metode sejarah lisan bertumpu pada penggalian secara sistematis dan terarah ingatan narasumber. Artinya, jauh hari sebelum wawancara, saya sudah membekali diri dengan berbagai
referensi untuk mengumpulkan informasi awal dan merumuskan pertanyaan. Bukan hal mudah bagi korban untuk mengingat peristiwa yang telah berlalu puluhan tahun, apalagi
peristiwa itu traumatis. Ingatan yang sampai pada saya adalah ingatan yang berhasil dipertahankan setelah melalui periode pembungkaman. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang harus saya
persiapkan, diantaranya saya harus tahu tonggak-tonggak peristiwa penting yang mudah dijadikan patokan oleh korban, baik peristiwa nasional, lokal, maupun pribadi. Dalam wawancara sejarah lisan
yang dilakukan ISSI, kami tidak membatasi pada tema kekerasan 65 saja, tapi untuk keseluruhan sejarah hidupnya. Ada beberapa alasan: pertama karena dengan wawancara sejarah hidup kami bisa
mendapatkan pengetahuan yang lebih luas, dengan demikian menyediakan informasi untuk riset di masa depan; kedua, untuk memperoleh gambaran tentang lintas perjalanan orang yang
diwawancarai satu tahap dalam kehidupan seseorang dipengaruhi oleh tahap sebelumnya; dengan kata lain menghindari kesimpulan dangkal; ketiga, kami adalah peneliti-aktivis dengan pilihan politik
sejak awal berpihak pada korban, karena itu kami butuh membangun empati yang lebih mendalam dan mencegah wawancara diartikan sebagai kegiatan sederhana untuk mencari data saja. Rata-rata
wawancara saya dengan korban, perempuan maupun laki-laki, berlangsung selama dua-empat jam. Waktu yang saya habiskan dengan satu korban antar tiga-lima jam, kadang kala sampai menginap.
Beberapa korban yang saya anggap keterangannya sangat penting dan memang artikulatif saya wawancarai sampai empat atau lima kali pertemuan. Pulang dari anjangsana, saya harus membuat
jurnal penelitian, laporan penelitian, menyerahkan kasetrekaman untuk diberi label, dikonversi, ditranskrip dan dibuatkan ringkasannya, kemudian dikatalogisasi termasuk diberi nama samaran.
Kembali lagi ke Solo, kami selalu membawa oleh-oleh catatan untuk dibagikan pada anggota Pakorba. Ini penting sebagai sebuah bentuk pertanggungjawaban. Biasanya yang kami bawa adalah
laporan proses kegiatan sebelumnyalaporan pandangan mata, notulensi pertemuan, transkrip wawancara, esai kalau ada, dan buku-buku, serta informasi terbaru dari Jakarta. Sebaliknya,
mereka juga berbagai informasi tentang situasi korban dan politik lokal.Setelah tutur perempuan pertama, kami menyelenggarakan tutur perempuan yang lebih luas, yaitu se-Jawa Tengah, kali ini
melibatkan juga Syarikat dan jaringannya. Pertemuan itu tidak lagi menjadi forum berbagi pengalaman kekerasan, tapi forum untuk
merumuskan harapan dan tuntutan korban, serta untuk berbagi tugas antara generasi muda dan korban. Ada empat tuntutan korban yang muncul dari hasil pertemuan itu, yaitu pengungkapan
kebenaran, penegakan keadilan, pemulihan, dan pencegahan keberulangan. Ini menegaskan hasil temu korban pada 2003 dengan tambahan perspektif gender di dalamnya. Sementara untuk
pembagian tugas sendiri, ibu-ibu memutuskan akan mengambil bagian pengorganisasian di tingkat
74 lokal bagian putri Pakorba Solo sudah merambah sampai ke Boyolali dan Klaten, sementara yang
muda bertugas menangani advokasi. Berdasarkan rekomendasi tutur perempuan kedua tersebut- lah kami kemudian mengatur audiensi dengan Komnas Perempuan, sementara Syarikat dengan
Komisi III DPR, KH, dan Gus Dur yang saat itu masih mengurus PBNU. Pertemuan kami dengan perempuan korban biasanya selalu berlangsung dua hari. Begitu juga saat
persiapan audiensi. Beberapa hari sebelumnya saya sudah membuatkan draft naskah berdasarkan hasil wawancara, notulensi, laporan, dan jurnal Rini dan saya juga menagih hasil dokumentasi
Syarikat ketika harus audiensi ke Komisi III. Draft naskah itu kemudian dibahas dan diperbaiki sama- sama oleh korban. Penyuntingannya dilakukan bersama-sama oleh kami dari LTP. Kami juga
menyepakati bersama alur audiensi dan pembagian tugas. Dari hasil audiensi dengan Komnas Perempuan KP, KP kemudian membuat Pokja Masa Lalu yang
bertugas mengorganisir serangkaian program, di bawah pimpinan Ita Nadia dan Kamala Chandrakirana, bekerja sama dengan, khususnya LTP dan Syarikat. Pokja Masa Lalu kemudian
melakukan sejumlah kegiatan, diantaranya adalah menyelenggarakan dialog dengan berbagai kelompok perempuan mainstream yang ada di bawah payung Kowani, yang juga menjadi
konstituennya, untuk meminta mereka membuka diri untuk berdialog dengan para perempuan korban, khususnya mantan aktivis Gerwani. Dasar pemikiran KP adalah: Gerwani, sebelum 65, adalah
anggota aktif Kowani dan bekerja sama dengan baik dengan organisasi-organisasi anggota lainnya. Peristiwa 65 yang memecah belah mereka. Oleh karena itu, dialog untuk pemulihan hubungan di
antara mereka adalah landasan penting sebelum kita mendorong upaya pengungkapan kebenaran oleh negara. Untuk mencapai dialog itu saja dibutuhkan proses lobi yang alot. KP mengandalkan
dukungan para pinituanya, Ibu Saparinah Sadli dan Ibu Lies Marcoes diantaranya, untuk melakukan itu. Itupun Kowani tetap menolak. Suatu saat, ketika mewawancarai Dewi Motik, ketua Kowani,
untuk satu proyek lain, ia menyinggung dengan agak kesal upaya lobi Bu Sap. Penolakan Kowani toh tidak menghalangi sejumlah petinggi organisasi perempuan untuk hadir, diantaranya dari Aisyiyah,
Nasyatul Aisyiyah, WKRI, dll. Yang paling mengharukan adalah Ibu Nani Nurachman, anak Jend. Soetojo, mengirimkan surat persahabatan dalam acara itu ia tidak bisa hadir karena di Vietnam –
perempuan korban berharap bisa mengklarifikasi propaganda hitam Orba. Dalam sebuah pertemuan lintas generasi, KP memfasilitasi pembangunan dialog antar-tiga generasi aktivis
perempuan pembela HAM. Dengan cerdas KP memaknai pengalaman kekerasan para perempuan korban dalam Peristiwa 65 sebagai bagian dari pengalaman kekerasan perempuan pembela HAM.
Dalam hal ini dengan strategis KP menggabungkan pengalaman LTP dengan tutur perempuannya dan Syarikat dengan rekonsiliasi kulturalnya.
Program lain Pokja Masa Lalu adalah menyusun laporan pelanggaran ham terhadap perempuan dalam Peristiwa 65. Belajar dari perkosaan Mei 1998, KP menilai bahwa tidak tepat jika KP harus
terjun langsung mewawancarai para korban. Itu sama saja dengan mengorbankan korban berkali- kali. Oleh karena itu, KP memutuskan untuk mengadopsi kebenaran yang dihasilkan oleh LTP dan
Syarikat. Bersama-sama KP, kedua organisasi ini menyusun laporan yang sebisa mungkin telah kami kembalikan pada korban di Solo dan di wilayah-wilayah lain. Tahun lalu, dalam rangka sepuluh tahun
KP dan menandai berakhirnya masa tugas Kamala Ch., ISSI dilibatkan dalam menyusun integrasi atas berbagai laporan hasil studi kekerasan terhadap perempuan sejak 1945 sampai saat ini, mulai dari
75 Aceh sampai Papua. Hasilnya adalah buku Kita Bersikap. Itupun segera kami sampaikan pada ibu-ibu
di Solo. Di luar kerja sama dengan KP, riset kami berjalan terus. Pertanyaan riset saya kemudian berkembang
menjadi apa yang terjadi dalam Peristiwa 65 di Solo. Metode sejarah lisan memiliki metode verifikasi standar yang sesuai untuk karakternya. Artinya, saya sudah bisa menyusun esai sejarah lisan tentang
dinamika kekerasan di Solo yang sudah saya presentasikan dalam sebuah konferensi tentang 65 pada dua tiga? tahun lalu. Saat ini saya sedang dalam proses merevisinya untuk memenuhi standar
penerbitan. Akan tetapi, untuk penulisan pelaporan HAM punya karakter dan standar tersendiri, yang oleh karenanya membutuhkan metode verifikasi tersendiri.Oleh karena itu kami
mengembangkan metode baru, yaitu workshop pemetaan kekerasan. Dalam workshop tersebut, kami memaparkan temuan dalam bentuk kronik hari per hari sejak beberapa hari sebelum 1 Oktober
65, berdasarkan hasil wawancara dan arsip-arsip lain. Setelah itu, korban dipersilakan untuk mengomentari, mengoreksi, melengkapi dengan informasi lain. Kronik tersebut menjadi semacam
laporan pandangan mata dari berbagai sudut pandang. Kami juga melakukan penyelidikan ke kamp- kamp tahanan dan interogasi di kota Solo, LP Bulu Semarang, dan LP Plantungan. Hasilnya saya
tuangkan dalam bentuk lembar fakta factsheet.Sementara itu, Rini yang lebih kenal geografi Solo membantu dengan menandai lokasi tiap kamp di dalam peta. [...]
PERTANYAAN-PERTANYAAN DISKUSI: 1
Silahkan anda tentukan fokus data atau topik yang ingin anda gali dalam sebuah wawancara atau pengumpulan data kejahatan HAM skala besar di masa lalu?
2 Tolong anda rancang alur tahapan kerja wawancara atau pengumpulan data yang
meliputi: sebelum, pada saat wawancara, dan setelahnya? 3
Silahkan anda tentukan prinsip dan prosedur operasional wawancara yang harus anda dan anggota tim lainnya taati dan ikuti?
76