jika tidak, faktor-faktor apa yang membuat mereka jarangtidak pernah

11 1. Agung Putri: Mengadili Masa Lampau dan Kompleksitas yang Melingkupinya [...] Penyelesaian tindak pelanggaran HAM masa lampau senantiasa menjadi salah satu titik ketegangan baik antara pemerintah dengan rakyat, pemerintah dengan kelompok-kelompok oposisi, kekuatan internasional, penanam modal dan lainnya. Melupakan masa lampau serta berkonsentrasi pada masa kini dan mendatang merupakan penyelesaian yang paling sederhana untuk ditempuh. Namun cara itu tidak akan memuaskan rakyat. Di Indonesia, ide semacam itu sudah muncul dari satu dua jenderal dan pimpinan politik. Hal ini memunculkan kekhawatiran tidak diselesaikannya tindak pelanggaran HAM masa lampau. Ide ini jelas menunjukkan tetap dipertahankannya impunity ~ “kebal hukum” yang merupakan penyakit utama rezim politik terdahulu. Sebaliknya, rakyat mengharapkan semua pelaku tindak pelanggaran HAM dan kejahatan politik yang menimpanya segera dibawa ke pengadilan dan pelakunya dihukum.[...] [...] Dalam beberapa peristiwa politik, rakyat secara langsung dapat menjadi hakim politik dalam “pengadilan rakyat”. Peristiwa revolusi Prancis menunjukkan, anggota keluarga kerajaan Loius XIV dan banyak pejabatnya tewas dipenggal alat Guillotine. Menjelang akhir Abad 20, pengadilan rakyat terjadi lagi atas keluarga Presiden Nicolae Ceausescu di Rumania. [...] [...] Selain pengadilan rakyat, terjadi pula apa yang disebut dengan pengadilan “para pemenang”. Pengadilan terhadap pelaku kejahatan dilakukan oleh penguasa yang legitimate atas nama rakyat atau kemanusiaan. Sebut saja sebagai misal, Barisan Revolusioner Fidel Castro dan Ernesto “Che” Guevara yang mengadili pejabat pemerintahan Fulgencio Batista di Havana, Kuba, tahun 1960-an. Contoh pengadilan “pemenang” yang terkenal adalah pengadilan internasional terhadap pimpinan Nasional-Sosialis Jerman NAZI dan pimpinan militer Jepang. Proses pengadilan tersebut berlangsung di Nuremberg dan Tokyo. Pengadilan ini mengadili perbuatan tindak kejahatan kemanusiaan, genosida, dan kejahatan perang yang paling besar dan paling lama. Hasil dari proses peradilan telah mempengaruhi pembentukan hukum kriminal internasional, instrumen HAM, dan pembentukan pengadilan kriminal internasional tahun 1998. [...] [...] sekalipun pengadilan Nuremberg dan Tokyo dapat dikatakan sebagai pengadilan penyelesaian secara tuntas pertanggungjawaban tindak kejahatan kemanusiaan, tetapi pengadilan tersebut tidak serta merta memenuhi rasa keadilan korban. [...] Padahal mereka adalah korban Perang Dunia II; perang yang telah meninggalkan masalh berupa ratusan juta manusia tercerabut dari kampung halamannya. Pergeseran demografi massal terjadi, belum lagi jutaan korban tewas, korban luka atau menderita trauma. Dari identitas mereka, 90 warga sipil biasa yang tidak ikut berperang menjadi korban. Tidak terdapat strategi global mengatasi dampak perang dunia pada masyarakat di Eropa maupun di Asia. Target pengadilan ini adalah penghukuman demi kepentingan si Pemenang. [...] Pengadilan rakyat maupun pengadilan pemenang merupakan harapan terselubung dalam tiap gerakan demokrasi di mana pun. Slogan-slogan seperti “gantung”, “seret”, yang terpampang di spanduk-spanduk demonstrasi jalanan merupakan sebuah ceminan. Sayangnya harapan sederhana dan murni ini dengan mudah dimanipulasi elite politik. Terlebih lagi bila proses nyata transisi tidak dihitung secara cermat, seperti yang terjadi di Rumania. [...] Selain ciri transisi politik dan sistem hukumnnya yang sedikit digagas di atas, ternyata ciri pelanggaran masa lampau itu sendiri juga merupakan persoalan. Pelanggaran masa lampau yang hendak diadili begitu rumit. Pemberlakuan sebuah hukum nyata-nyata tidak mampu mencakup bentuk kejahatan yang dilakukan secara kolektif, sistematis, terorganisir dan disponsori negara. Ia