Lampiran A - - 4 -
sarana pengolah limbah setempat on-site dan tempat mandi, cuci, kakus MCK. Pembangunan MCK banyak mengalami hambatan dan kegagalan serta sarana yang telah terbangun kurang dimanfaatkan
oleh masyarakat. Untuk kawasan padat penduduk di perkotaan dilaksanakan pembangunan prasarana dan sarana penyehatan lingkungan yang dilengkapi tangki septik. Kegiatan ini pada umumnya
dilaksanakan bersama antara pemerintah dengan masyarakat, pemerintah menyediakan dana stimulan dan dikembangkan oleh masyarakat melalui swadana. Program penyediaan jamban di perdesaan,
seluruh material pembangunannya ditentukan oleh pemerintah pusat, ternyata hasilnya kurang menggembirakan. Cakupan pelayanan di bidang ini meningkat secara signifikan, namun demikian,
kenyataan menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat perdesaan masih melakukan “buang air besar” BAB di tempat tradisional.
b. Penyehatan Lingkungan Permukiman Lainnya:
Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap lingkungan menyebabkan terabaikannya penanganan limbah padat, khususnya di perkotaan.
Pengelolaan limbah padat sampah baru dilakukan secara sistematis oleh pemerintah dimulai awal tahun 1980-an, namun demikian teknologi yang dipergunakan masih belum ramah lingkungan
sehingga seringkali menimbulkan persoalan baru pada lingkungan sekitarnya. Kesadaran untuk mempergunakan teknologi yang ramah lingkungan berbenturan dengan mahalnya konstruksi,
operasi, dan pemeliharaan yang harus dilaksanakan. Inovasi-inovasi baru dibidang pengelolaan limbah padat yang ramah lingkungan kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah.
Pembangunan saluran limbah yang terintegrasi dengan sistem penanggulangan banjir dan drainase air hujan belum dilaksanakan secara integratif dan sistematis. Pada saat itu, untuk memecahkan persoalan
genangan yang ada di permukiman, pemerintah cenderung untuk memecahkannya dengan pendekatan partial. Dampaknya adalah tidak adanya kesatuan sistem jaringan drainase dengan lingkup perkotaan
sehingga penanganan persoalan genangan pada satu kawasan menyebabkan genangan pada kawasan lain. Selain itu, lemahnya kapasitas dan tanggung jawab aparat di bidang jaringan drainase serta tidak
adanya anggaran untuk operasi dan pemeliharaan jaringan drainase merupakan permasalahan rutin yang menyebabkan tidak tertanganinya genangan yang ada di permukiman.
c. Era Tahun 1990-2000
• Gambaran Umum:
Pelita V 1989-1994 dan Pelita VI 1994-1999 merupakan era globalisasi terutama di bidang ekonomi. Meningkatnya tuntutan otonomi daerah dan kebijakan desentralisasi
menyebabkan kendali pemerintah pusat lebih dilonggarkan. Pada saat yang sama, prinsip Dublin-Rio Dublin-Rio Principles diterapkan secara internasional. Keterlibatan dunia swasta di semua sektor
meningkat pesat, demikian juga di bidang infrastruktur perkotaan. Pada Repelita VI, pembangunan prasarana dan sarana air minum direncanakan untuk melayani sekitar 60 penduduk perdesaan dan
80 penduduk perkotaan. Krisis ekonomi, yang terjadi sejak Agustus 1997 dan diikuti oleh krisis politik, mengakibatkan terjadinya kemandegan ekonomi, cadangan devisa pemerintah sangat
Lampiran A - - 5 -
terbatas sehingga anggaran pemerintah yang ada tidak mencukupi untuk membiayai pembangunan prasarana dan sarana.
• Penyediaan Air Minum di Perkotaan:
Investasi prasarana dan sarana air minum pada masa itu banyak berasal dari hutang lembaga keuangan bilateral maupun multilateral. Keberhasilan konsep
P3KT yang mengintegrasikan seluruh infrastruktur perkotaan kedalam satu paket pinjaman menarik perhatian lembaga keuangan bilateral dan multilateral. Pemeran utama pendekatan konsep tersebut
adalah Departemen Pekerjaan Umum yang kemudian mendelegasikan sebagian wewenangnya kepada tingkat propinsi dan kabupatenkota. Banyaknya paket pekerjaan yang harus diselesaikan dan
terbatasnya sumber daya manusia menjadi kendala dalam peningkatan kualitas prasarana dan sarana permukiman yang dibangun. Hal ini terjadi karena pembinaan teknis, supervisi, dan pengawasan
kualitas pekerjaan konstruksi menjadi sangat terbatas dan tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Secara bertahap pendekatan kegiatan IKK Ibu Kota Kecamatan bergeser ke kota-kota ukuran
menengah, namun standar pembangunan IKK masih tetap dijadikan acuan. Cakupan pelayanan masih merupakan tujuan pembangunan, sehingga konstruksi prasarana dan sarana baru menjadi kegiatan
utama, sedangkan kegiatan pemeliharaan dan rehabilitasi cenderung terabaikan. Pengelolaan PDAM belum dapat dilaksanakan sesuai standar perusahaan, kendala yang dihadapi adalah rendahnya
kemampuan mengelola suatu perusahaan masih terdapat PDAM yang dikelola oleh birokrat bukan profesional di bidangnya, tidak adanya kebebasan dalam menentukan tarif, mahalnya investasi baru,
dan terbatasnya sumber daya manusia. Selain kendala tersebut terdapat kendala alam yaitu semakin menipisnya air baku disebabkan oleh rusaknya lingkungan yang dapat dimanfaatkan dan ketiadaan
sumber air yang dapat dimanfaatkan. Kondisi ini menyebabkan sebagian besar PDAM masih bergantung kepada subsidi dari pemerintah pusat. Pada tahun 1988, disadari bahwa agar PDAM dapat
meningkatkan mutu pelayanan air minum kepada masyarakat maka kebijakan air minum perlu diubah dan pengelolaan PDAM perlu direformasi secara menyeluruh. Pelayanan air minum perlu melibatkan
dunia swasta dan dilakukan secara profesional, berorientasi kepada keuntungan tanpa meninggalkan beban sosial, dan menjauhkan campur tangan birokrasi dalam pengelolaan perusahaan.
• Penyediaan Air Minum di Perdesaan dan Kota Kecil:
Pelita IV merupakan titik awal dimulainya partisipasi masyarakat dan terlibatnya LSM di tingkat daerah dan nasional dalam
pelaksanaan proyek-proyek pemerintah yang didanai oleh lembaga keuangan internasional. Konsep kepemilikan masyarakat dan pendekatan yang didasarkan kepada kebutuhan
Demand Responsive Approach
2
mulai diterima secara luas, walaupun pelaksanaannya masih dilakukan secara terbatas. Proyek pembangunan prasarana dan sarana sosial PKT, P3DT, dan sebagainya, termasuk di dalamnya
prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan, diterima sebagai pendekatan pembangunan alternatif dengan hasil yang cukup bervariasi. Pada pendekatan ini dilakukan terobosan
2
Demand Responsive Approach diterjemahkan menjadi Pendekatan Tanggap Kebutuhan yang artinya: suatu pendekatan yang menempatkan kebutuhan masyarakat sebagai faktor yang menentukan dalam pengambilan keputusan termasuk di
dalamnya pendanaan
Lampiran A - - 6 -
baru dalam penyaluran anggaran pemerintah dengan memberi kesempatan kepada masyarakat untuk terlibat secara langsung dalam pembangunan prasarana dan sarana. Pemerintah daerah berperan
sebagai fasilitator dan pembina teknis. Namun demikian, cakupan pelayanan ternyata tidak sesuai dengan yang direncanakan. Persoalan lama selalu berulang dalam prasarana dan sarana air minum
yaitu kurang optimalnya pemanfaatan prasarana dan sarana air minum yang telah dibangun karena ketidakmampuan masyarakat untuk mengoperasikan dan memeliharanya.
• Penyehatan Lingkungan:
a. Limbah Cair Manusia:
Kesadaran masyarakat mengenai pentingnya pengelolaan limbah cair manusia masih belum setinggi kesadaran terhadap pentingnya air minum. Hal inilah yang
menyebabkan rendahnya tingkat sambungan rumah kedalam sistem sewerage yang telah dibangun. Sedikitnya sambungan rumah tersebut menyebabkan tingkat pendapatan tidak sesuai dengan yang
direncanakan sehingga tidak mampu menutup biaya operasi dan pemeliharaan serta mengembangkan jaringan pelayanan. Dampaknya, banyak institusi baik di pusat maupun di daerah
enggan untuk mengelola jaringan limbah cair manusia. Di beberapa kota, telah berhasil dibangun instalasi pengolah limbah berbasis masyarakat IPLBM.
Secara teknis biasanya merupakan pengaliran limbah cair dari rumah-rumah melalui saluran perpipaan dangkal shallow sewer yang dirangkai dengan tangki septik ukuran besar dan kolam
terbuka sebagai instalasi pengolah
3
. Selain pendekatan tersebut, pemanfaatan LSM untuk memotivasi dan meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya lingkungan yang sehat
khususnya dalam kaitannya dengan pemanfaatan jaringan pelayanan limbah cair manusia telah berhasil memotivasi masyarakat untuk melakukan penyambungan pada instalasi pengolah limbah
terpadu yang ada di Kota Cirebon
4
. Dalam pembangunan prasarana sosial P3DT dan lainnya konsep MCK masih sering dilakukan,
walaupun banyak yang tidak berfungsi setelah selesai dibangun. Begitu pula dalam setiap proyek sarana AMPL skala besar, komponen penyediaan jamban latrine selalu ada. Program stimulan dengan
pemberian bantuan material yang telah ditentukan oleh pemerintah pusat dan penerapan konsep satu teknologi masih tetap berlanjut. Hasil yang diperoleh tidak selalu memuaskan, namun demikian banyak
juga yang cukup berhasil. Program dapat berhasil dengan memuaskan bila masyarakat memanfaatkan prasarana dan sarana yang dibangun dan mereka mau memeliharanya agar prasarana dan sarana
tersebut dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.
Penyehatan Lingkungan Lainnya:
Badan Pengendali Dampak Lingkungan Bapedal, sebagai badan penanggung jawab dan pengendali masalah lingkungan hidup dibentuk, namun masih terfokus
3
Contoh Instalasi Pengolah Limbah Berbasis Masyarakat IPLBM yang sudah berjalan baik adalah di Kelurahan Tlogomas Kota Malang. Sistem direncanakan, dibangun, dan dioperasikan dengan pendanaan masyarakat sendiri.
4
Kota Cirebon memiliki sistem penyaluran dan pengolahan limbah terpusat, pemasaran sambungan ke rumah tangga dilakukan menggunakan jasa LSM
Lampiran A - - 7 -
pada masalah-masalah lingkungan skala besar belum menjangkau skala permukiman. Hal ini menyebabkan isu sektor penyehatan lingkungan, khususnya sampah dan drainase, tidak pernah
mendapat perhatian pada tingkat nasional. Persoalan sampah dan drainase masih dianggap sebagai persoalan teknis yang dapat dipecahkan oleh departemen teknis. Persoalan sampah dan drainase
pada dasarnya bukan persoalan teknis saja, namun menyangkut persoalan pengelolaan management, sumber daya manusia, dan administratif pemerintahan.
P3KT sebagai suatu konsep penanganan persoalan infrastruktur perkotaan cukup baik, tetapi anggaran yang tersedia melalui P3KT terbatas dan tidak mampu memenuhi kebutuhan seluruh sektor
infrastruktur yang ada di perkotaan. Kondisi ini menyebabkan penanganan persoalan infrastruktur di
perkotaan dilakukan secara parsial dan tidak sistematis. Kondisi di atas ditambah dengan kinerja departemen teknis yang berorientasi proyek project oriented bukan berorientasi kepada program
program oriented, menyebabkan pembangunan dan penyediaan prasarana dan sarana dilakukan tidak sesuai dengan kebutuhan nyata yang ada di masyarakat sehingga prasarana dan sarana yang
dibangun kurang dimanfaatkan oleh masyarakat. Dampaknya adalah persoalan infrastruktur tidak terpecahkan dan pemanfaatan anggaran yang sebagian dibiayai melalui hutang menjadi tidak efisien
dan efektif. Hal ini dapat dilihat pada sektor persampahan dan drainase, investasi untuk pembangunan prasarana dan sarana drainase serta persampahan telah menghabiskan anggaran
yang cukup besar, namun persoalan persampahan dan genangan di perkotaan setiap tahun hingga saat ini belum terselesaikan.
LAMPIRAN B
Pelajaran yang Dipetik dari Program Pembangunan Air Minum dan
Penyehatan Lingkungan
Lampiran B - - 1 -
LAMPIRAN B Pelajaran yang Dipetik dari Program Pembangunan
Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
Pelajaran-pelajaran berikut ini diambil dari berbagai sumber, terutama dari berbagai pihak yang terlibat secara langsung dalam pembangunan sarana air minum dan penyehatan lingkungan di Indonesia.
Lampiran B ini dibagi dalam dua kelompok besar; bagian pertama, berupa pengalaman internasional yang relevan, sedangkan bagian kedua adalah pelajaran-pelajaran yang berlaku khusus di Indonesia.
1. Pelajaran Internasional yang Sesuai untuk Indonesia
Keberlanjutan pelayanan serta penyediaan prasarana dan sarana AMPL yang dapat memberikan manfaat besar bagi pengguna menjadi perhatian utama. Pengalaman menunjukan bahwa investasi yang sangat
besar untuk pembangunan sarana AMPL telah ditanamkan, namun hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Berdasarkan pengalaman tersebut, perlu adanya perubahan dalam fokus pembangunan yang
memiliki implikasi pada semua aspek, mulai dari penetapan tujuan pembangunan sampai dengan bagaimana mengevaluasi hasil akhir, khususnya dalam pengembangan pendekatan pelaksanaan yang
dapat mendorong terwujudnya keberlanjutan pelayanan AMPL permukiman. Konferensi internasional di Rio de Janeiro pada tahun 1992
1
yang dihadiri oleh para pakar air minum telah menghasilkan kesepakatan untuk menerapkan prinsip Dublin dalam upaya pembangunan sektor air minum, yang
kemudian dikenal dengan Prinsip Dublin-Rio. Prinsip Dublin-Rio yang dihasilkan dari konferensi internasional di dua kota tersebut memiliki komponen
sebagai berikut: •
Air adalah sumber daya yang terbatas dan rentan, penting untuk menyokong kehidupan, pembangunan, dan lingkungan
• Pembangunan dan pengelolaan air harus berdasarkan pendekatan partisipatif, menyertakan pengguna,
perencana, dan pembuat kebijakan pada semua tingkatan •
Perempuan memainkan peran utama dalam penyediaan, pengelolaan, dan perlindungan air
1
Rangkaian konperensi internasional dalam bidang air bersih dan sanitasi telah dilakukan sejak dekade 70an. Dimulai dengan First UN Water Conference di Mar del Plata 1977, kemudian beberapa konperensi, sampai akhirnya
diselenggarakan International Conference on Water and Environment di Dublin 1992 yang menghasilkan 4 prinsip dalam manajemen sumber daya air. Konferensi ini ditindaklanjuti dengan konferensi lain di Rio de Janiero oleh United Nation
Conference on Environment and Development UNCED juga tahun 1992 yang mempromosikan pengelolaan sumber daya air terintegrasi berdasar persepsi air sebagai bagian integral dari ekosistem, sumber daya alam, dan barang sosial
ekonomi. Dari dua konperensi terakhir lahirlah prinsip Dublin-Rio yang telah disepakati secara internasional sebagai prinsip untuk mencapai keberlanjutan pelayanan air bersih.
Lampiran B - - 2 -
• Air memiliki nilai ekonomi dalam seluruh penggunaannya, dan harus dianggap sebagai benda ekonomi
Dalam kaitannya dengan pembangunan sarana air minum dan penyehatan lingkungan di Indonesia, makna dari prinsip-prinsip tersebut adalah:
• Perlu adanya penekanan bahwa penyehatan lingkungan sangat penting bagi manusia. Disamping
itu, perlu ditekankan pula bahwa aspek teknis dan sosial perangkat keras dan lunak adalah sama pentingnya.
• Air tidak boleh dipandang hanya sebagai barang “cuma-cuma” atau barang yang tuna nilai. Air
mempunyai nilai, untuk memilikinya orang harus menyumbangkan sesuatu. •
Perencanaan, konstruksi, operasi dan pengelolaan air memiliki implikasi yang luas. Oleh karena itu, keputusan akhir sebaiknya dibuat oleh para pengguna secara partisipatif.
• Semakin besar keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan, semakin terjamin kelestarian
pelayanan air. Sumberdaya yang dimiliki oleh pemerintah, baik sumberdaya air maupun sumberdaya lainnya, tidak akan
cukup untuk membangun prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan. Sehubungan dengan itu terdapat dua isu penting yang perlu disadari bersama, yaitu:
• Sumber dana, perlunya diciptakan mekanisme alternatif untuk memenuhi kebutuhan biaya
konstruksi, biaya operasional dan pemeliharaan, serta •
Sumberdaya manusia, perlunya pemberdayaan kemampuan di semua tingkatan. Selain itu, perlu diusahakan agar masyarakat atau keluarga mampu bertanggung jawab dalam upaya
peningkatan pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan. Di kalangan mereka harus dibangkitkan adanya kebutuhan akan perubahan untuk mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya dari perbaikan
pelayanan AMPL demi peningkatan kesehatan. Perlu adanya perubahan perilaku hidup minum dan sehat PHBS di tingkat perorangan maupun tingkat keluarga karena motivasi untuk mendapatkan sarana
penyehatan lingkungan sangat berbeda dan kompleks daripada motivasi untuk mendapatkan air minum. Tidak ada satu cara pun yang dapat menjamin keberhasilan untuk semua keadaan. Masalah yang ada di
setiap kasus bersifat kompleks, pemecahannya perlu menggunakan sebuah pendekatan “belajar sambil berjalan” learning approach dimana semua pelajaran yang didapat perlu dikaji dan menjadi bahan
perbaikan dalam proses pelaksanaan. Selain dari konperensi internasional diatas, hasil studi Bank Dunia terhadap 121 proyek air minum
perdesaan di seluruh dunia yang dilaksanakan oleh berbagai lembaga dan organisasi menyimpulkan bahwa peran aktif masyarakat dalam membuat keputusan dan menangani proyek secara langsung
menghasilkan proyek air minum dan penyehatan lingkungan yang efektif dan berkelanjutan. Pengalaman dari studi tersebut sekalgius mengoreksi beberapa mitos yang selama ini diyakini dalam pelaksanaan
proyek air minum:
Lampiran B - - 3 -
Mitos menyatakan bahwa masyarakat miskin tidak mau dan tidak mampu membayar pelayan air
minum; karena itu, pemerintah harus menyediakan air bagi mereka. Realita
membuktikan bahwa masyarakat miskin membayar pelayanan air minum, bahkan sering lebih mahal daripada
masyarakat yang lebih mampu; masyarakat miskin akan membayar jika mendapatkan pelayanan yang baik.
Mitos menyatakan bahwa masyarakat miskin tidak mampu memecahkan atau mengelola masalah
teknis; mereka tidak mengetahui apa yang terbaik bagi mereka. Realita
membuktikan bahwa masyarakat miskin memiliki kreatifitas, mereka mampu membentuk sistem dan aturan dalam
mengelola sumber daya alam. Mitos
menyatakan bahwa untuk memberikan pelayanan secara adil cukup dengan menyediakan tingkat pelayanan minimal agar sumber air yang terbatas dapat didistribusikan sebanyak
mungkin kepada masyarakat yang membutuhkan. Realita
membuktikan bahwa jika tingkat pelayanan air minum tidak memenuhi harapan masyarakat, maka masyarakat tidak akan
menggunakan sarana yang disediakan dan tidak mau membayar biaya pelayanan yang diminta. Mitos
menyatakan bahwa jika masyarakat sudah dilibatkan dalam membuat keputusan, maka kepentingan perempuan sebagai pengelola utama penggunaan air minum rumah tangga sudah
terpenuhi. Realita
membuktikan bahwa karena faktor sosial-budaya sebagian besar kepentingan perempuan tidak pernah terpenuhi, kecuali bila perempuan secara khusus ditargetkan untuk
dilibatkan dan ada strategi yang disusun untuk memberdayakan perempuan. Mitos
menyatakan bahwa lembaga teknis dan sektoral harus menjadi pelaksana penyediaan sarana AMPL, karena tugas utamanya adalah membangun sarana dan indikator keberhasilannya
adalah sarana yang terbangun. Realita
membuktikan bahwa lembaga teknis dapat mencapai keberhasilan dengan memonitor dan memberikan bantuan teknis pada pihak lain LSM, sektor
swasta dan lembaga non-teknis lainnya. Tugas utamanya adalah membangun kemampuan masyarakat dalam mengelola sarana terbangun untuk mencapai keberlanjutan pelayanan.
Mitos menyatakan bahwa dibutuhkan rencana umum yang disusun berdasarkan pengumpulan
data yang lengkap sebelum program dilaksanakan agar ada keseragaman pendekatan. Realita
membuktikan bahwa pembakuan dokumen rencana umum menghambat pengembangan program partisipatif; tidak diperlukan pengumpulan data yang lengkap sebelum pelaksanaan
program, hanya data spesifik yang betul-betul diperlukan untuk dikumpulkan secara menerus sepanjang pelaksanaan program. Standarisasi yang terlalu dini pada prosedur pelaksanaan
mengarah pada kegagalan program. Mitos
menyatakan bahwa pengambilan keputusan oleh masyarakat pengguna merupakan hal penting; namun kendali atas pelaksanaan program harus tetap berada pada manajer proyek.
Realita membuktikan bahwa hakikat proses partisipatif adalah memberi pilihan dan kesempatan
menyampaikan aspirasi pada masyarakat. Partisipasi masyarakat tidak dapat dihidup-matikan oleh pihak luar; proses partisipatif adalah memberikan kendali pada masyarakat.
Lampiran B - - 4 -
Mitos menyatakan bahwa pendekatan partisipatif memerlukan waktu lama.
Realita membuktikan
bahwa ketika proyek tanggap terhadap kebutuhan, masyarakat dapat bertindak dan mengorganisir diri dengan cepat.
Mitos menyatakan bahwa pendekatan partisipatori sulit direplikasi dalam skala besar karena
membutuhkan pemimpin yang karismatik, LSM dan orang yang berbakat melaksanakannya. Realita
membuktikan bahwa partisipasi masyarakat dapat direplikasi. Pemimpin karismatik berperan untuk memulai proses, namum kepemimpinan dalam arti luas dapat menjaga
kelangsungan proses. LSM sering berhasil menerapkan strategi pemberdayaan masyarakat dan merupakan mediator yang efektif. Seperti ketrampilan teknis lainnya, kemampuan dalam
mendisain dan melaksanakan program partisipatif merupakan proses bekerja sambil belajar. Mitos
menyatakan bahwa partisipasi merupakan proses yang tidak pasti sehingga sulit untuk ditentukan batasannya dan diukur. Sasaran peningkatan sumber daya manusia melalui
pengambilan keputusan yang partisipatif adalah penting tapi tidak praktis. Realita
membuktikan bahwa konsep partisipatori dapat dilaksanakan dan diukur dengan mudah. Mengukur, memonitor
dan mengevaluasi partisipasi masyarakat mempermudah lembaga terkait dalam mempertanggungjawabkan upayanya mendukung peningkatan sumber daya manusia.
Analisis terhadap hasil pelaksanaan seluruh proyek air minum tersebut menyimpulkan bahwa dari 121 proyek, 20 diantaranya merupakan proyek yang sangat efektif. Indikator keberhasilan dari setiap proyek
bervariasi, namun secara umum dapat dikelompokkan sebagai berikut:
•
Masyarakat merasa puas dengan kualitas dan kuantitas air minum dari sarana yang dibangun.
•
Tidak ada sarana yang diabaikan, tidak ada disain dan kualitas konstruksi yang tidak memenuhi kebutuhan masyarakat.
•
Sebagian besar sistem berfungsi secara efektif 10 tahun sejak pekerjaan konstruksi selesai.
•
Sarana dioperasikan dan dipelihara dengan baik secara berkelanjutan oleh masyarakat.
•
Masyarakat memperlihatkan rasa memiliki dan tanggung jawab yang besar terhadap sarana serta mampu untuk melestarikannya.
•
Perempuan mendapat manfaat langsung dari pelayanan sarana berupa kemudahan dan penghematan waktu dalam mendapatkan air minum yang selanjutnya menghasilkan beberapa
keuntungan ekonomis seperti tersedianya lebih banyak waktu untuk mengurus anak, kebun dan juga kegiatan yang bersifat kerajinan tangan.
•
Berkurangnya penyakit yang disebabkan oleh air.
•
Meningkatnya penggunaan jamban.
•
Masyarakat memberikan konstribusi untuk biaya konstruksi.
•
Lebih berdayanya lembaga masyarakat dalam pengelolaan sarana termasuk berperannya perempuan dalam kegiatan, walaupun masih sedikit dalam pengambilan keputusan.
•
Terbentuknya kerjasama yang sangat baik dengan pemerintah daerah setempat.
Lampiran B - - 5 -
Dari kedua puluh proyek dengan tingkat efektivitas tinggi, dua diantaranya berada di Indonesia dan lainnya tersebar di beberapa negara seperti: Swaziland, Ethiopia, Panama, Ecuador, India, Kenya, Malawi,
Togo, Mali, Haiti, Yemen Arab Republic, Rwanda, dan Peru.
2. Pelajaran Khusus dari Indonesia
Keberhasilan maupun kekurangan pelaksanaan program pembangunan prasarana dan sarana AMPL yang telah berjalan selama tiga dekade di Indonesia dapat dijadikan dasar pertimbangan bagi penyusunan
kebijakan yang baru. Beberapa dari pengalaman tersebut diuraikan dibawah ini:
2.1 Pelajaran bagi Pembangunan dan Pengelolaan AMPL