Pengalaman Internasional kebijakan nasional 2004 pembangunan air minum penyehatanlingkunganberbasismasyarakat

5 DRA atau Pendekatan Tanggap Kebutuhan PTK 3 . Berdasarkan beberapa pengalaman penerapan pendekatan tersebut kendala yang dihadapi adalah: • Tidak adanya kerangka kebijakan yang disepakati oleh semua pihak yang berkepentingan stakeholders, seperti pemerintah pusat, pemerintah daerah, negara dan lembaga keuangan pemberi bantuan dan pinjaman, serta Lembaga Swadaya Masyarakat LSM dalam menerapkan PTK. • Adanya penolakan, baik langsung maupun tidak langsung, dari pemerintah di berbagai tingkatan maupun lintas sektor, negara dan lembaga keuangan pemberi bantuan dan pinjaman, maupun masyarakat sendiri dalam menerapkan PTK. • Terbatasnya informasi, kemampuan teknis dan keuangan pada setiap stakeholder, khususnya pemerintah maupun LSM. • Lambatnya proses birokrasi serta kakunya prosedur pembiayaan dan pengadaan tenaga pendukung kegiatan PTK. • Membutuhkan waktu yang relatif lama dan dana fasilitasi yang cukup besar. Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka beberapa langkah yang perlu dilaksanakan dalam penerapan pendekatan tanggap kebutuhan adalah: • Aspek Kebijakan: Melembagakan PTK dalam mekanisme pembangunan daerah dan pembangunan masyarakat, serta meningkatkan kemampuan pemerintah kabupaten dan kota dalam melaksanakan PTK. • Aspek Pendanaan: Menyiapkan perangkat hukum yang mendorong partisipasi masyarakat dalam pembiayaan pembangunan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan, dan mengembangkan sistem pemberdayaan masyarakat untuk mengelola, mengontrol dan mengarahkan sumber-sumber keuangan yang mereka miliki sendiri. Pelajaran yang dipetik dari pelaksanaan pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan di Indonesia dapat dilihat dalam lampiran B.

b. Pengalaman Internasional

Keberlanjutan merupakan kata kunci dalam penyediaan air minum dan penyehatan lingkungan bagi masyarakat, khususnya masyarakat yang bertempat tinggal di kota menengah, kota kecil, dan kawasan perdesaan. Dalam upaya mencapai tujuan tersebut maka disepakati bahwa pengembangan pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan harus mengikuti prinsip Dublin-Rio. 3 Demand Responsive Approach diterjemahkan menjadi Pendekatan Tanggap Kebutuhan yang artinya: suatu pendekatan yang menempatkan kebutuhan masyarakat sebagai faktor yang menentukan dalam pengambilan keputusan termasuk di dalamnya pendanaan. Karakteristik utama pendekatan ini adalah i tersedianya pilihan yang terinformasikan; ii pemerintah berperan sebagai fasilitator; iii terbukanya akses seluas-luasnya bagi partisipasi dari seluruh pihak yang berkepentingan stakeholders; iv aliran informasi yang memadai bagi masyarakat. 6 Dalam konteks pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan, prinsip-prinsip Dublin Rio mengandung arti “jika ingin berhasil dalam pembangunan perlu mempertimbangkan berbagai aspek, seperti sosial, teknis, keuangan, kelembagaan, jender, dan lingkungan yang dikelola secara integratif; walaupun masing-masing aspek berbeda karakteristiknya, namun kesemuanya mempunyai tingkat kepentingan yang sama”. Penjabaran dari keempat prinsip Dublin-Rio tersebut adalah: • Air merupakan benda langka dan tidak bisa dipandang sebagai benda yang tidak memiliki nilai. Pelayanan yang berkelanjutan hanya bisa didapatkan jika nilai yang dibayar oleh pengguna sama dengan nilai air yang dimanfaatkan oleh pengguna. • Pengambilan keputusan akhir dalam pemanfaatan air harus melibatkan semua anggota masyarakat pengguna tanpa kecuali. Pendekatan pembangunan pelayanan air minum bagi masyarakat sasaran tidak lagi berdasarkan standar normatif dari pemerintah supply driven akan tetapi berdasarkan kebutuhan masyarakat demand driven. Pemerintah mempunyai kewajiban untuk menyebarluaskan informasi dan teknologi air minum kepada masyarakat agar mereka mempunyai pemahaman awareness terhadap pilihannya. • Berkaitan dengan pembangunan pelayanan air minum maka keikutsertaan perempuan dalam pengambilan keputusan memperbesar jaminan tercapainya keberlanjutan. Perempuan adalah pemeran utama di rumahtangga yang bertanggung jawab terhadap penyediaan air minum bagi keluarga, baik kebutuhan yang terkait dengan kebersihan maupun kebutuhan yang terkait dengan kesehatan. Pada dasarnya sumberdaya selalu terbatas, demikian juga sumberdaya keuangan yang dimiliki pemerintah. Di lain pihak, kebutuhan merupakan sesuatu yang tidak terbatas. Dengan demikian anggaran pemerintah tidak akan pernah cukup untuk menyediakan pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan bagi semua orang. Oleh sebab itu ada tiga isu penting yang perlu dikenali: Kerangka kelembagaan dan hukum dari sektor air minum dan penyehatan lingkungan harus mendukung prinsip-prinsip Dublin-Rio. Untuk itu perlu dilakukan perbaikan dan penyempurnaan terhadap sistem kelembagaan dan hukum yang ada mengikuti prinsip Dublin–Rio. Sumber dana yang diperlukan untuk membiayai pembangunan, operasi, pemeliharaan, dan pengembangan pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan harus dapat dipenuhi oleh masyarakat pengguna. Untuk mengatasi keterbatasan sumber dana maka keterlibatan dunia swasta dan masyarakat pengguna perlu ditingkatkan. Pemberdayaan kemampuan semua stakeholders pada semua tingkatan. Prinsip Dublin Rio • Pembangunan dan pengelolaan air harus berdasarkan pendekatan partisipatif, menyertakan pengguna, perencana, dan pembuat kebijakan pada semua tingkatan • Air adalah sumber terbatas dan rentan, penting untuk menyokong kehidupan, pembangunan, dan lingkungan. • Perempuan memainkan bagian penting dalam penyediaan, pengelolaan, dan perlindungan air • Air memiliki nilai ekonomi dalam seluruh penggunaannya, dan harus dianggap sebagai benda ekonomi 7 Berdasarkan pelaksanaan pembangunan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan selama ini terlihat beberapa potensi di masyarakat yang dapat dikembangkan, seperti di masa lalu terdapat sejumlah mitos yang menghambat keberhasilan pendekatan partisipatif dalam pengembangan air minum dan penyehatan lingkungan. Namun mitos-mitos tersebut telah diyakini tidak benar. Beberapa penemuan terakhir membuktikan bahwa: • Penghargaan masyarakat terhadap pelayanan air minum telah meningkat, hal ini ditunjukkan melalui: - Masyarakat miskin membayar pelayanan air minum sering kali dengan harga lebih mahal dari masyarakat yang lebih mampu; - Bila tingkat pelayanan air minum tidak memenuhi harapan masyarakat, maka masyarakat tidak akan menggunakan prasarana dan sarana yang disediakan dan tidak akan membayar biaya pelayanan yang diminta. • Kesediaan partisipasi masyarakat dalam pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan. Beberapa pelajaran yang berkaitan dengan partisipasi masyarakat adalah: - Standarisasi dan generalisasi prosedur pelaksanaan mengarah kepada kegagalan program. - Partisipasi masyarakat merupakan potensi internal masyarakat yang tidak dapat diintervansi oleh orang lain, namun dapat dibangkitkan. Proses partisipatif adalah menyerahkan kendali proses pengambilan keputusan kepada masyarakat. - Kegiatan yang berdasarkan kepada kebutuhan masyarakat akan mendapat dukungan masyarakat secara langsung melalui pembentukan institusi masyarakat setempat sesuai dengan tujuannya. - Pendekatan partisipatif merupakan pendekatan yang berakar kepada perilaku dasar masyarakat dalam pengambilan keputusan yang dapat direplikasi sesuai dengan kebutuhan. 1.1.3. Perlunya Pembaruan Kebijakan. Dari uraian sebelumnya tercermin bahwa pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan di Indonesia masih banyak menghadapi kendala. Namun demikian, ada beberapa potensi yang dapat dimanfaatkan untuk mengatasi kendala tersebut. Untuk dapat menggerakkan dan memanfaatkan potensi yang dimiliki serta untuk mengatasi kendala yang dihadapi diperlukan beberapa perubahan, khususnya yang terkait dengan mengenai kebijakan, kelembagaan dan mekanismenya. Dokumen ini merupakan paradigma baru dalam kebijakan nasional pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan, yang berbasis pada dinamika kelompok masyarakat yang bertumpu pada kemandirian, desentralisasi, otonomi serta demokrasi. 8 1.2. Tujuan Penyusunan Kebijakan Tujuan dari penyusunan dokumen kebijakan ini adalah: 1. Menghasilkan kebijakan nasional air minum dan penyehatan lingkungan yang merupakan kesepakatan seluruh instansisektor pusat dan daerah, masyarakat, akademisi, LSM, serta lembaga keuangan bilateralmultilateral pemberi bantuan dan pinjaman. 2. Mengidentifikasi strategi dan langkah-langkah pelaksanaan kebijakan dalam sektor air minum dan penyehatan lingkungan. 3. Sebagai masukan untuk menyusun program jangka panjang, menengah dan tahunan sektor air minum dan penyehatan lingkungan, baik yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat maupun oleh pemerintah daerah sesuai dengan agenda desentralisasi dan reformasi. 1.3. Ruang Lingkup Berdasarkan analisis terhadap pelaksanaan pengelolaan air minum dan penyehatan lingkungan selama ini, terdapat tiga pendekatan pengelolaan, yaitu pengelolaan berbasis lembaga tipe A, pengelolaan berbasis masya-rakat tipe C dan kombinasi dari keduanya tipe B. Dokumen ini tidak secara khusus mengatur tipe pengelolaan berbasis lembaga tipe A. Fokus dari kebijakan yang diketengahkan dokumen ini adalah prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan yang dikelola oleh masyarakat tipe C. Walaupun demikian, ruang lingkup kebijakan tersebut juga mencakup sebagian tipe B yaitu pengelolaan bersama antara lembaga dan masyarakat dengan tujuan untuk mendapatkan pengakuan atas pengaturan dan hubungan antara pihak penyedia dan masyarakat pengguna. Perspektif lain dari pengelolaan AMPL dapat dilihat pada lampiran C. Gambar 1: Tipologi pengelolaan penyediaan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan MASYARAKAT LEMBAGA DARI BAWAH KE ATAS DARI ATAS KE BAWAH TIPE B PENGELOLAAN BERSAMA TIPE A PENGELOLAAN BERBASIS LEMBAGA TIPE C PENGELOLAAN BERBASIS MASYARAKAT 9 Tipe A: Pengelolaan Berbasis Lembaga Pengambil keputusan dalam manajemen tipe ini adalah lembaga. Lembaga ini memegang kekuasaan tertinggi dalam perumusan rencana, rancangan, operasi dan pemeliharaan prasarana dan sarana serta pengelolaan pelayanannya. Mungkin ada lembaga lain yang melakukan satu atau dua dari aspek-aspek tersebut. Lembaga ini dapat berkonsultasi dapat pula tidak dengan para pelanggan penggunanya, dan hubungan dengan mereka semata-mata bersifat komersial: pelanggan membayar uang sebagai biaya penyambungan dan selanjutnya secara periodik diwajibkan membayar biaya pelayanan. Contoh lembaga Tipe A ini adalah Perusahaan Daerah Air Minum, Perusahaan Daerah Kebersihan, dan Perusahaan Daerah Air Limbah di beberapa kota Indonesia Tipe C: Pengelolaan Berbasis Masyarakat Karakteristik yang paling menonjol dari pengelolaan tipe ini adalah bahwa kekuasaan tertinggi dalam pengambilan keputusan atas seluruh aspek yang menyangkut air minum dan atau penyehatan lingkungan berada di tangan anggota masyarakat, mulai dari tahap awal identifikasi kebutuhan pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan, perencanaan tingkat pelayanan yang diinginkan, perencanaan teknis, pelaksanaan pembangunan, hingga ke pengelolaan operasional. Dalam fase-fase tertentu selama proses perkembangan mereka dapat memperoleh fasilitasi dari pihak luar, misalnya informasi tentang berbagai alternatif teknologi dan bantuan teknis misalnya kontraktor, pengusaha, atau tenaga profesional, namun keputusan terakhir tetap berada di tangan masyarakat itu sendiri. Tipe B: Pengelolaan Bersama Lembaga dan Masyarakat Kategori tipe B terjadi karena tumpang tindihnya cakupan wilayah masing-masing pengelolaan lembaga dan pengelolaan oleh masyarakat. Pendekatan tipe B membuka peluang hibrida antara keduanya, dimana beberapa elemen dikelola oleh lembaga sedang elemen-elemen lain oleh masyarakat pengguna. Kerjasama pengelolaan didasarkan kepada kesepakatan kedua belah pihak dengan tetap mempertimbangkan aspek komersial, namun segala urusan didalamnya sepenuhnya terserah kepada anggota masyarakat yang bersangkutan. Contoh pengelolaan tipe B ini terdapat dalam praktek pelayanan air minum di kawasan perkotaan padat penduduk, misalnya kelompok pengguna air minum yang mengoperasikan kran air dengan membayar biaya langganan ke Perusahaan Air Minum. Tipologi Pengelolaan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan 10

II. Kebijakan Pembangunan Air Minum dan

Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat Bagian ini menguraikan tujuan umum 4 , tujuan khusus, dasar hukum kebijakan, dan kebijakan umum pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan yang berbasis masyarakat. Sedangkan strategi pelaksanaan akan dibahas pada bab selanjutnya. Secara visual struktur kebijakan ditampilkan dalam gambar 2. Gambar 2: Struktur Kebijakan Nasional Air Minum dan Penyehatan Lingkungan 2.1 Tujuan Umum Tujuan umum pembangunan sektor air minum dan penyehatan lingkungan adalah terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui pengelolaan pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan yang berkelanjutan. 2.2 Tujuan Khusus Secara khusus pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan bertujuan: a meningkatkan pembangunan, penyediaan, pemeliharaan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan, b meningkatkan kehandalan dan keberlanjutan pelayanan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka faktor-faktor yang harus menjadi pijakan dalam menyusun kebijakan umum adalah sebagai berikut: 4 Tujuan umum diartikan sebagai kondisi yang ingin dicapai dalam kurun waktu relatif panjang, sehingga lebih merupakan kondisi ideal yang ingin dicapai. Tujuan khusus merupakan kondisi yang ingin dicapai dalam kurun waktu relatif singkat dan dapat dengan mudah diukur pencapaiannya. Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana atas pelaksanaan suatu pembangunan. KESEPAKATAN INTERNASIONAL TUJUAN UMUM DASAR HUKUM Prinsip Dublin-Rio PENGALAMAN INTERNASIONAL DAN NASIONAL STRATEGI PELAKSANAAN KEBIJAKAN UMUM TUJUAN KHUSUS 11 a. Keberlanjutan Dalam konteks air minum dan penyehatan lingkungan, keberlanjutan dapat diartikan sebagai upaya dan kegiatan penyediaan air minum dan penyehatan lingkungan yang dilakukan untuk dapat memberikan manfaat dan pelayanan kepada masyarakat pengguna secara terus menerus. Keberlanjutan pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan harus dilihat sebagai suatu sistem yang terdiri dari pembangunan prasarana dan sarana, operasi, pemeliharaan, pengelolaan, dan pengembangan pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan kepada masyarakat. Mengingat pemberdayaan masyarakat merupakan alat untuk mencapai tujuan pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan maka perubahan perilaku masyarakat menuju budaya hidup yang lebih sehat serta mendukung keberlanjutan pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan merupakan tolok ukur keberhasilan pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan. Beberapa aspek yang perlu diperhatikan untuk menuju pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan yang berkelanjutan adalah: • keberlanjutan aspek pembiayaan • keberlanjutan aspek teknik • keberlanjutan aspek lingkungan hidup • keberlanjutan aspek kelembagaan • keberlanjutan aspek sosial b. Penggunaan Efektif 5 Penggunaan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan dikatakan efektif apabila prasarana dan sarana yang tersedia tepat tujuan, tepat sasaran, dan layak dimanfaatkan. Selain itu, prasarana dan sarana yang tersedia tersebut memenuhi kaidahstandar teknis, kesehatan, dan kelembagaan pengelolaan, serta memperhatikan perubahan perilaku masyarakat serta kapasitas masyarakat untuk mengelola prasarana dan sarana. Efektivitas penggunaan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan dapat dilihat dari dua hal yaitu: Kemudahan Penggunaan Kemudahan penggunaan berkaitan erat dengan tingkat kemudahan masyarakat dalam memanfaatkan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan. Dengan demikian, prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan yang dibangun dan dimanfaatkan oleh kelompok masyarakat dan atau oleh perseorangankeluarga diharapkan berteknologi tepat guna, mudah dioperasikan 5 Penggunaan efektif dipandang lebih penting dari cakupan, walaupun demikian data mengenai cakupan tetap dicatat sebagai bagian dari efektivitas penggunaan. Cakupan biasanya diartikan sebagai suatu angka yang mewakili jumlah penduduk yang dilayani prasarana dan sarana air minum danatau penyehatan lingkungan yang berfungsi dalam area tertentu desa, kota, propinsi, negara, dan dinyatakan dalam angka atau proporsi dari total penduduk yang lebih kuantitatif tanpa mempertimbangkan aspek kualitatif, seperti misalnya apakah sarana berfungsi atau tidak. Dilain pihak, penggunaan efektif telah mempertimbangkan aspek kualitatif sehingga atas dasar itulah cakupan tidak lagi dijadikan sasaran antara dalam kebijakan pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan. 12 dan dipelihara, mudah dimanfaatkan, serta berlokasi dekat dengan lokasi aktivitas sehari-hari. Kesetaraan Kesetaraan equity berkaitan dengan suatu kondisi bahwa prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan yang dibangun bermanfaat bagi setiap anggota masyarakat tanpa membedakan tingkat strata sosial, jenis kelamin, suku, agama, dan ras. Melalui kesetaraan tersebut diharapkan masyarakat mempunyai pandangan yang sama untuk meningkatkan peranan masyarakat yang kurang beruntung serta perempuan dalam proses pembangunan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan. Selain itu, peningkatan peranan masyarakat yang kurang beruntung dan perempuan dalam proses pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan merupakan upaya untuk mengubah perilaku mereka dari obyek pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan menjadi subyek pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan. 2.3 Dasar Penetapan Kebijakan Kebijakan pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan di Indonesia disusun berdasarkan kebijakan nasional sebagai berikut: a. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 Ayat 3: ‘Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat’. b. GBHN 1999-2004 Tap No. IVMPR1999 Butir B. Ekonomi, Ayat 17: ‘Meningkatkan pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana publik, termasuk transportasi, telekomunikasi, energi dan listrik, dan air bersih guna mendorong pemerataan pembangunan, melayani kebutuhan masyarakat dengan harga terjangkau, serta membuka keterisolasian wilayah pedalaman dan terpencil’. Butir F. Sosial Budaya, Ayat 1.a: ‘Meningkatkan mutu sumber daya manusia dan lingkungan yang saling mendukung dengan pendekatan paradigma sehat, yang memberikan prioritas pada upaya peningkatan kesehatan, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, dan rehabilitasi sejak pembuahan dalam kandungan sampai usia lanjut’.

c. Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan