1
I. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang Perlunya Pembaruan Kebijakan Pembangunan Air
Minum dan Penyehatan Lingkungan
Beberapa hal yang mendasari perlunya pembaruan kebijakan pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan tidak terlepas dari permasalahan yang dihadapi dan peluang
yang ada dalam sektor air minum dan penyehatan lingkungan serta pengalaman lesson learned pelaksanaan pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan.
1.1.1. Permasalahan Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
Dari perkembangan pelaksanaan air minum dan penyehatan lingkungan selama ini, terdapat beberapa kemajuan yang diperoleh, misalnya peningkatan cakupan pelayanan
air minum dan penyehatan lingkungan dan secara tidak langsung meningkatkan derajat kesehatan. Namun, masih terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi pada
penyediaan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan yaitu:
a. Kurang efektif dan efisiennya investasi yang telah dilakukan pada pembangunan
prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan. Penggunaan terminologi air
bersih dalam pembangunan prasarana dan sarana air minum
di satu sisi memberikan dampak positif bagi peningkatan cakupan
pelayanan, namun di sisi lain mencerminkan ketidakefisienan
investasi karena masyarakat pengguna tidak dapat
memanfaatkannya sebagai air minum walaupun desain
prasarana dan sarananya telah memenuhi prasyarat air minum.
Dari segi kuantitas pelayanan, lingkup pembangunan air minum
dan penyehatan lingkungan masih terbatas. Selain itu
cakupan pelayanan juga masih terbatas sehingga tidak mampu
mengimbangi laju kebutuhan akibat pertambahan jumlah
penduduk. Hingga saat ini diperkirakan masih terdapat 100
juta penduduk Indonesia yang belum memiliki kemudahan
terhadap pelayanan air minum
Berdasar pada pelaksanaan pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan yang dilaksanakan sejak Pelita I 1969-1974 hingga saat ini,
maka secara ringkas dapat ditarik beberapa kesimpulan penting selengkapnya pada Lampiran A yaitu:
a. Era Tahun 1970 –1980
Pembangunan nasional diprioritaskan pada sektor pertanian dan irigasi untuk mencukupkan kebutuhan pangan, sedangkan pembangunan
prasarana dan sarana penunjang lainnya termasuk air minum dan penyehatan lingkungan belum menjadi prioritas sehingga lingkup
pembangunannya masih terbatas, cakupan pelayanan juga terbatas sehingga belum mampu mengimbangi laju kebutuhan akibat pertambahan
jumlah penduduk.
b. Era Tahun 1980 – 1990
Konsep-konsep pemberdayaan dan pendekatan tanggap kebutuhan mulai diperkenalkan. Pembangunan prasarana dan sarana air
minum dikaitkan dengan penentuan masyarakat sasaran yang lebih tepat dan pemanfaatan teknologi tepat guna, misal pompa tangan, hidran dan
pompa tali. Untuk mendorong keterlibatan pemerintah daerah, khususnya di kawasan perdesaan, diciptakan mekanisme pembiayaan baru yang
memungkinkan pemerintah daerah untuk mengelola anggaran yang berasal dari Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara APBN.
c. Era Tahun 1990 – 2000
Pemerintah pusat memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan penyediaan air minum dan penyehatan
lingkungan. Pemerintah pusat berperan sebagai pembina teknis.
Pelaksanaan Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Tahun 1970-2000
2 dan penyehatan lingkungan yang memadai. Sebagian besar masyarakat yang tidak
memiliki kemudahan tersebut adalah masyarakat miskin dan masyarakat yang bertempat di kawasan perdesaan. Kecenderungan ini terus meningkat setiap tahunnya.
Pengalaman masa lalu juga menunjukkan adanya prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan terbangun yang tidak dapat berfungsi secara optimal. Salah satu
penyebabnya adalah tidak dilibatkannya masyarakat sasaran, baik pada perencanaan, konstruksi ataupun pada kegiatan operasi dan pemeliharaan. Selain itu, pilihan teknologi
yang terbatas mempersulit masyarakat untuk dapat menentukan prasarana dan sarana yang hendak dibangun dan digunakan di daerahnya yang sesuai dengan kebutuhan,
budaya kultur setempat, kemampuan masyarakat untuk mengelola prasarana dan kondisi fisik daerah tersebut.
Kurangnya keterlibatan masyarakat juga menjadikan pelayanan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan yang terbangun menjadi tidak berkelanjutan,
tidak dapat berfungsi dengan baik, dan tidak adanya perhatian masyarakat untuk menjaga keberlanjutan pelayanan prasarana dan sarana. Hal ini mengakibatkan
prasarana dan sarana tersebut tidak memberikan manfaat bagi masyarakat pengguna secara berkelanjutan.
Investasi prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan pada saat itu yang berorientasi pada supply driven juga membawa dampak kepada rendahnya
efektivitas prasarana dan sarana yang dibangun. Tidak sedikit investasi prasarana dan sarana yang tidak dimanfaatkan oleh masyarakat karena mereka tidak membutuhkan,
sebaliknya banyak masyarakat yang membutuhkan pelayanan prasarana dan sarana namun tidak mendapatkan pelayanan.
b. Air hanya dipandang sebagai benda sosial
Paradigma lalu menyatakan bahwa air merupakan benda sosial yang dapat diperoleh secara gratis oleh masyarakat. Hal ini didasari rendahnya kepedulian dan pengetahuan
masyarakat terhadap ‘nilai kelangkaan’ air. Permasalahan tersebut menyulitkan pengelola air minum untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Peningkatan
pelayanan prasarana dan sarana air minum bagi masyarakat selalu memerlukan tambahan investasi, baik untuk pengadaan air baku, instalasi pengolahan, pengaliran air
sampai ke masyarakat pengguna, dan sebagainya. Di lain pihak masyarakat pengguna tidak peduli pada kesulitan tersebut. Prinsip user pay pengguna membayar tidak
dapat diterapkan pada masa itu.
Kondisi tersebut tercermin pada penetapan tarif air minum perpipaan oleh Perusahaan Daerah Air Minum-PDAM, yang selama ini ditentukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah DPRD yang kebanyakan tidak mencerminkan biaya produksi yang sebenarnya the real production cost. Konsekuensinya adalah pendapatan usaha tidak mampu
membiayai kegiatan operasional, termasuk untuk investasi pengembangan jaringan pelayanan.
Mulai tahun 1990-an kesadaran terhadap pentingnya air dan proses dalam penyediaan air minum dan penyehatan lingkungan mulai meningkat. Prinsip Dublin-Rio mengenai
air menjadi acuan di dunia. Walaupun demikian, kampanye mengenai pentingnya nilai
3 air ini masih perlu disosialisasi dan dilaksanakan kepada masyarakat, pemerintah, dan
badan legislatif. c. Keterbatasan
kemampuan pemerintah.
Pola pembiayaan sampai saat ini masih bertumpu pada anggaran pemerintah, khususnya anggaran pemerintah pusat. Kemampuan pemerintah pusat di masa yang
akan datang untuk menyediakan anggaran semakin berkurang. Untuk itu, diperlukan inovasi pola pembiayaan untuk menggali berbagai sumber pembiayaan yang belum
dimanfaatkan hidden potential, khususnya sumber pembiayaan yang berasal dari pemerintah daerah dan masyarakat pengguna. Untuk mengoptimalkan sumber
pembiayaan tersebut diperlukan sistem berkelanjutan sustainable system sehingga potensi tersebut dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.
d. Belum tersedianya kebijakan dan peraturan perundangan yang mengatur
pemanfaatan potensi tersembunyi hidden potential yang ada dalam masyarakat.
Kapasitas masyarakat dalam menyediakan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan saat ini belum dapat dioptimalkan karena belum adanya
kebijakan dan peraturan perundangan untuk menggerakkan potensi tersebut. Sebagai contoh belum adanya kebijakan dan peraturan perundangan mengenai pemindahan aset
transfer asset dari pemerintah kepada masyarakat.
e. Penyehatan lingkungan belum menjadi perhatian dan prioritas.
Rendahnya kepedulian masyarakat dan pemerintah terhadap peranan penyehatan lingkungan dalam mendukung kualitas lingkungan menyebabkan masih rendahnya
cakupan pelayanan penyehatan lingkungan.
Kondisi ini antara lain tercermin pada pelayanan air limbah terpusat di beberapa kota besar yang masih menghadapi kendala dalam pengelolaannya. Hal ini terkait dengan
rendahnya kesediaan membayar willingness to pay dari masyarakat terhadap pelayanan air limbah terpusat dan masih rendahnya kualitas pengelolaan prasarana dan
sarana air limbah terpusat. Kondisi yang sama juga terjadi pada jamban sanitasi dasar, khususnya bagi masyarakat perdesaan. Kebutuhan masyarakat terhadap jamban masih
rendah.
Hal ini disebabkan ketidaktahuan mereka terhadap pentingnya hidup bersih dan sehat, yang tercermin dari perilaku masyarakat yang hingga sekarang masih banyak yang
buang air besar di sungai, kebun, sawah bahkan dikantong plastik yang kemudian dibuang di sembarang tempat.
Permasalahan juga dihadapi dalam penanganan persampahan dan drainase. Pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi serta meningkatnya kawasan terbangun
membawa dampak kepada meningkatnya jumlah timbunan sampah, semakin terbatasnya lahan yang dapat dimanfaatkan untuk pengelolaan sampah serta belum
optimalnya pendekatan 3 R reduce, reuse and recycle
1
dalam pengelolaan sampah.
1
Prinsip 3R mencakup reduce yang berarti mengurangi pemakaian, reuse berarti menggunakan kembali, dan recycle berarti mendaur ulang.
4 Dampak berikutnya adalah semakin luasnya daerah genangan, berkurangnya lahan
resapan dan pemanfaatan saluran drainase sebagai tempat pembuangan sampah.
1.1.2 Pengalaman yang Menjadi Dasar Kebijakan
a. Pengalaman di Indonesia