Pelajaran bagi Pembangunan dan Pengelolaan AMPL

Lampiran B - - 5 - Dari kedua puluh proyek dengan tingkat efektivitas tinggi, dua diantaranya berada di Indonesia dan lainnya tersebar di beberapa negara seperti: Swaziland, Ethiopia, Panama, Ecuador, India, Kenya, Malawi, Togo, Mali, Haiti, Yemen Arab Republic, Rwanda, dan Peru.

2. Pelajaran Khusus dari Indonesia

Keberhasilan maupun kekurangan pelaksanaan program pembangunan prasarana dan sarana AMPL yang telah berjalan selama tiga dekade di Indonesia dapat dijadikan dasar pertimbangan bagi penyusunan kebijakan yang baru. Beberapa dari pengalaman tersebut diuraikan dibawah ini:

2.1 Pelajaran bagi Pembangunan dan Pengelolaan AMPL

Dua proyek pembangunan air minum di Indonesia, dari 20 puluh proyek di dunia, yang dinyatakan berhasil dengan tingkat efektivitas tinggi ditangani oleh sebuah LSM dengan cara melibatkan masyarakat pengguna pada setiap tahap pembangunan. Strategi yang digunakan adalah dengan membentuk lembaga yang melibatkan seluruh komponen masyarakat; menggunakan pendekatan partisipatori dalam memecahkan masalah; memberi pelatihan dalam aspek pengelolaan, disain, konstruksi, operasi dan pemeliharaan serta pelatihan PHBS. Hal ini membuktikan bahwa pendekatan pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan yang selama ini digunakan dalam program pemerintah perlu diubah. Pada hakekatnya pembangunan sarana adalah untuk masyarakat, tanpa upaya melibatkan mereka dalam tingkat yang cukup signifikan, maka akseptabilitas dan keberlanjutan hasil pembangunan akan sangat sulit dicapai. Indikator keberhasilan dari kedua proyek tersebut adalah: Desain sarana yang tepat guna, yang dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat termasuk perempuan, dengan sistem sederhana namun cukup handal. Proyek dapat diterima oleh masyarakat dan mampu memotivasi mereka berpartisipasi secara aktif termasuk dalam aspek keuangan. Masyarakat termotivasi dan mampu melaksanakan operasi dan pemeliharaan sarana Masyarakat membayar pelayanan air minum sesuai dengan tarif yang disepakati Perempuan terlibat dalam setiap tahapan proyek, namun masih sedikit pada tahap pengambilan keputusan Penghematan waktu bagi perempuan sehingga dapat melakukan kegiatan lain Perempuan aktif menjadi kelompok pengguna air Masyarakat membiayai pembangunan jamban secara mandiri, dan tingkat penggunaan jamban tinggi Perempuan aktif menjadi anggota kelompok kesehatan Studi mengenai hubungan antara pendekatan partisipatif, tanggap pada kebutuhan, jender dengan dampak dan keberlanjutan pembangunan sarana AMPL dalam pelaksanaan proyek WSSLIC Water Lampiran B - - 6 - Supply and Sanitation for Low Income Communities Project dan FLOWS Flores Water Supply Project 2 menyimpulkan bahwa: Pembangunan sarana air minum yang memenuhi kebutuhan masyarakat, memiliki efektivitas dan keberlanjutan pelayanan yang lebih baik. Penyediaan biaya operasi dan pemeliharaan yang lebih realistis menghasilkan keberlanjutan pelayanan yang lebih baik. Semakin terorganisasikannya pengelola operasi dan pemeliharaan sarana, semakin baik pembayaran oleh pengguna sehingga menciptakan keberlanjutan pelayanan yang lebih baik. Pengelolaan sarana yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat pengguna dalam kelembagaan dan dalam pengambilan keputusan menghasilkan partisipasi yang lebih tinggi dari mereka pada operasi dan pemeliharaan. Keterlibatan aktif dari perempuan dalam pengambilan keputusan, operasi dan pemeliharaan menghasilkan efektivitas penggunaan dan keberlanjutan pelayanan sarana yang lebih tinggi. Keterlibatan yang adil dari masyarakat miskin maupun kaya dalam pengambilan keputusan menghasilkan pelayanan yang lebih berkelanjutan. Semakin mudah penggunaan sarana umum air minum, semakin tinggi efektivitas penggunaan dan keberlanjutan pelayanan sarana. Tersedianya alternatif sumber air yang lain di suatu desa dan rumitnya penggunaan sarana umum yang dibangun melalui proyek, menyebabkan masyarakat beralih ke sumber lain. Pendekatan untuk melaksanakan program penyehatan lingkungan sebaiknya dibedakan dari pendekatan program penyediaan air minum. Aspek terpenting dari pelaksanaan program penyehatan lingkungan adalah bagaimana membuat masyarakat sadar bahwa buang air besar di tempat terbuka berdampak tidak hanya terhadap kesehatan pribadi dan keluarga, tetapi juga untuk kesehatan umum. Manfaat yang kurang dirasakan oleh pengguna dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan menyebabkan turunnya tingkat penggunaan sarana penyehatan lingkungan yang dibangun. Pelajaran yang dapat diambil dari proyek WSSLIC 3 yang bertujuan untuk menyediakan air minum dan penyehatan lingkungan yang aman, tersedia dalam jumlah yang cukup, dan mudah dicapai serta mendukung pendidikan higieniskesehatan bagi masyarakat miskin di perdesaan yang belum atau 2 Participation, Gender Demand Responsiveness: Making the Link with Impact and Sustainability of Water Supply Sanitation Investments, Institute for Research of University of Indonesia in partnership with UNDPWorld Bank Water and Sanitation Program and IRC-International Water and Sanitation Center, 1999. 3 Proyek ini diharapkan dapat melayani sekitar 2 juta orang yang tinggal di wilayah terpilih enam propinsi, yaitu: Jawa Tengah; Sulawesi Tenggara; Sulawesi Tengah; Sulawesi Utara; Maluku; dan Nusa Tenggara Timur, dimana tingkat kemiskinan masih dominan. Desa-desa proyek dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti tingkat kemiskinan, kejadian penyakit yang disebabkan oleh air, kelangkaan air, kualitas air, kematian bayi, dan kemauan untuk membayar biaya operasional dan perawatan. Proyek ini memiliki enam komponen yaitu: air bersih; penyehatan lingkungan; pendidikan perilaku hidup bersih dan sehat; pelatihan dan pengembangan masyarakat; bantuan teknis; serta manajemen proyek. Dengan adanya perbaikan penyehatan lingkungan dan perilaku hidup bersih dan sehat, proyek ini diharapkan dapat memberikan dampak positif yang langsung berpengaruh pada derajat kesehatan dan produktivitas masyarakat, terutama bagi perempuan dan anak-anak. Lampiran B - - 7 - tidak terlayani serta masyarakat di wilayah dengan kepadatan tinggi melalui keberlanjutan dan pengaturan berbasis masyarakat, adalah sebagai berikut: Keterlibatan masyarakat yang dapat mempengaruhi pelaksanaan program, efektivitas penggunaan, dan keberlanjutan akan tercapai jika pilihan pelayanan dan konsekuensi biaya ditentukan langsung oleh masyarakat di tingkat rumah tangga; kontribusi masyarakat untuk pembangunan sarana ditentukan berdasarkan jenis pelayanan yang ditawarkan; dan pembentukan unit pengelola sarana dilakukan secara demokratis. Masyarakat pengguna sebaiknya diberi kewenangan untuk mengontrol penggunaan dana yang berasal dari kontribusi masyarakat dan kualitas serta jadwal pelaksanaan pekerjaan konstruksi dilakukan oleh lembaga yang ditunjuk. Pengguna sarana AMPL sangat peduli pada kualitas prasarana dan sarana serta bersedia membayar lebih asalkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan mereka. Keputusan untuk membatasi opsi pelayanan berdasarkan biaya serta tingkat pelayanan minimal menghasilkan sarana dengan tingkat pelayanan yang tidak memuaskan, menyebabkan masyarakat pengguna tidak termotivasi untuk melestarikannya. Dengan upaya yang lebih tanggap terhadap kebutuhan masyarakat pengguna, proyek pembangunan prasarana dan sarana AMPL dapat meningkatkan kontribusi dalam pembiayaan, sehingga mampu menjamin pendanaan yang lebih efektif dan keberlanjutan investasi. Pelajaran yang dapat dipetik dari pengalaman pembangunan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan permukiman yang dilaksanakan oleh UNICEF 4 selama Pelita V di Indonesia adalah: Efektivitas penggunaan dan keberlanjutan prasarana dan sarana AMPL dapat dicapai dengan melibatkan masyarakat sedini dan seefektif mungkin, dengan demikian masyarakat mendapatkan pelayanan AMPL yang sesuai dengan kebutuhan. Semakin banyak opsi pelayanan yang ditawarkan dan semakin besar kesempatan yang diberikan pada masyarakat untuk berperan dalam pengambilan keputusan, maka semakin besar pula kemungkinan sarana memenuhi kebutuhan masyarakat. Dan, oleh sebab itu sarana digunakan secara efektif dan berkelanjutan. Efektivitas penggunaan dan keberlanjutan prasarana dan sarana AMPL tidak dapat tercapai hanya dengan mendorong keterlibatan masyarakat dalam operasi dan pemeliharaan. Jika pelayanan yang tanggap terhadap kebutuhan tidak dilaksanakan terlebih dahulu. Dalam situasi seperti itu, pengguna hanya akan memiliki sedikit motivasi untuk mengorganisir diri dalam mengelola sarana dan tidak merasa bertanggung jawab untuk melestarikannya. 4 Study of Community-based Approaches digunakan pada UNICEF’s Water and Environmental Sanitation WES Program in Indonesia, UNDP-World Bank Water and Sanitation Program, 1999. Lampiran B - - 8 - Uji coba lapangan WASPOLA-UNICEF tahap 2 5 merupakan studi komparatif yang bertujuan untuk memperlihatkan penerapan dan menguji dampak dari berbagai pendekatan dan metodologi yang berbeda yang dapat menghadirkan kemungkinan perubahan dalam kebijakan AMPL, menemukan bahwa: Kerelaan untuk berkontribusi harus dibangun; masyarakat yang motivasi untuk berkontribusinya telah terbangun sebelum pembangunan sarana dan prasarana mempunyai tingkat penyerapan bantuan yang lebih baik. Kerelaan untuk berkontribusi tidak bisa diukur langsung dari nilai nominal kontribusi, nilai nominal dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya ekonomi masyarakat. Proses fasilitasi menggunakan metode MPA membantu pencapaian tujuan program dan juga meningkatkan keberfungsian, penggunaan, pemeliharaan, dan kualitas teknik; dari temuan di lapangan rata-rata nilai keseluruhan parameter di desa intervensi lebih besar daripada di desa non-intervensi. Desa yang mendapatkan dukungan intensif dari fasilitator mempunyai pemahaman yang lebih baik terhadap program dan aktivitas program lebih tersosialisasi. Proses fasilitasi juga meningkatkan akses bagi masyarakat miskin, hasil lapangan menunjukkan proporsi pendistribusian bantuan kepada kelompok miskin di desa intervensi lebih tinggi. Tingkat kepuasan pengguna berkorelasi positif dengan pemahaman pengguna itu sendiri, walaupun kualitas jamban lebih baik tetapi tingkat kepuasan di desa intervensi justru lebih rendah, hal ini mungkin diakibatkan karena sebagian besar masyarakat di desa intervensi telah mendapatkan penjelasan mengenai adanya rentang pilihan jamban serta mengetahui fungsi utama jamban dalam memutuskan jalur penularan penyakit. Peningkatan kemampuan fasilitator melalui pelatihan berkorelasi positif dengan aspek keberlanjutan dan penggunaan efektif, hasil lapangan menunjukkan desa intervensi pada umumnya memiliki total nilai indikator keberlanjutan dan penggunaan efektif lebih tinggi. Hasil yang didapat dari studi kasus komparatif 6 terhadap dua pendekatan evaluasi metode konvensional dan metode partisipatif di Wonosobo adalah sebagai berikut: Studi kasus ini menunjukkan bahwa kedua pendekatan tersebut menghasilkan keluaran yang serupa maupun yang berbeda. Namun demikian, jelas bahwa kedua pendekatan tersebut dapat menghasilkan keluaran yang sebanding jika perencanaan dan proses pelaksanaannya diperhatikan dengan sungguh-sungguh, terutama yang menyangkut pemilihan sampel dan pembuatan daftar pertanyaan. Proses pemilihan sampel merupakan sebab utama perbedaan dalam hasil penelitian. Metoda partisipatif sangat peka terhadap keterwakilan kaum lelaki-kaum perempuan dan kelompok 5 Pada uji coba tahap 2 ini terdapat 3 topik yang diujicobakan WASPOLA di desa intervensi yaitu i pilihan sanitasi, ii kemauan untuk membayar, iii pelatihan fasilitator tingkat desa; sebagai pembanding dipilih beberapa desa yang mendapat program serupa dari UNICEF tetapi tidak mendapat intervensi dari WASPOLA dan disebut sebagai desa non- intervensi. 6 Sanitasi di Wonosobo: Membandingkan Dua Pendekatan Evaluasi Program, Field Note Water and Sanitation Program for East Asia and the Pacific, April 2002. Lampiran B - - 9 - miskin-kelompok kaya dari masing-masing masyarakat. Metoda konvensional peka terhadap jumlah responden agar dapat mewakili kondisi desa sebaik-baiknya. Oleh sebab itu, jika selama proses perencanaan sampel telah terjadi penyingkiran atas variasi-variasi yang terdapat tingkat desa, ada kemungkinan hasil penelitian akan bias sehingga menjadi condong kearah kelompok tertentu saja. Metode partisipatif mendorong warga desa untuk menyuarakan pendapat, pandangan, masalah mereka, dan menyumbangkan pengetahuan setempat kedalam kategori jawaban, sehingga menghasilkan gambaran yang lebih luas mengenai keadaan sanitasi di desa mereka. Metoda konvensional mencakup serangkaian kategori jawaban yang telah ditentukan sehingga pilihan responden menjadi terbatas. Secara teori, masalah yang terdapat dalam teknik survai konvensional ini dapat diatasi dengan mengadakan pengujian lapangan atas kuisioner survai. Akan tetapi dalam prakteknya, tidak cukup tersedia waktu untuk melakukannya sehingga hasilnya memberikan gambaran keadaan desa yang kurang akurat. Jumlah keseluruhan biaya metode partisipatif sebanding dengan biaya survai konvensional. Metode konvensional mempekerjakan lebih banyak tenaga pencacah enumerator yang gajinya lebih rendah, sedangkan metode partisipatif menggunakan tenaga fasilitator yang lebih terlatih, namun jumlahnya lebih sedikit. Metode partisipatif memerlukan waktu pelaksanaan yang lebih singkat dan lebih mudah dikelola karena dilaksanakan hanya sekali untuk menilai keadaan desa sebelum maupun sesudah masuknya proyek, sedangkan pendekatan konvensional memerlukan dua kali survai dasar dan penilaian untuk mengukur dan mengkaji keadaan sebelum dan sesudah adanya proyek. Studi Flores yang dilakukan untuk memperoleh pemahaman mengenai kondisi sarana air minum dan sanitasi lingkungan termasuk mengetahui perspektif dari pengguna sarana, mendapatkan hasil sebagai berikut: Kesetaraan perlu diangkat sebagai isu spesifik di semua tingkatan pembangunan kesetaraan bukanlah kesamaan; menyamakan kontribusi seringkali tidak menguntungkan kaum miskin. Pendekatan yang sensitif gender dan sosial adalah kunci untuk untuk pelayanan yang berkelanjutan. Semua aspek keberlanjutan teknis, biaya, sosial, lembaga, lingkungan berhubungan satu sama lain dan sama pentingnya. Semua proyek Flores telah menerapkan prinsip-prinsip yang dimuat dalam kebijakan tetapi prakteknya seringkali penerapannya tidak sesuai, ketika penerapannya sesuai biasanya hasilnya lebih baik hasil berkolerasi secara statistik. Penerima manfaat biasanya tidak termasuk dalam monitoring maupun laporan, sehingga pengelola dan institusi terkait tidak mendapatkan informasi tentang mereka. Pelaksana pembangunan harus mengerti dan mempunyai prinsip dasar kebijakan, dapat menerapkannya secara fleksibel, serta meletakkan pengambil keputusan di tangan pemilik yang utama masyarakat. Lampiran B - - 10 - Adopsi kebijakan ke dalam hal praktis membutuhkan lebih dari sekedar arahan, yang lebih dibutuhkan adalah perubahan paradigma. Secara historis, komunikasi dan koordinasi antar proyek pembangunan selalu berada di titik yang paling rendah. Oleh karena itu, uji coba dengan tema koordinasi 7 antar proyek dilakukan dengan tujuan untuk mengenali dan mendemonstrasikan ‘metode koordinasi’ yang memungkinkan proyek untuk meningkatkan fungsi dan pelayanan, pelajaran yang diperoleh adalah sebagai berikut: Mitos menyatakan bahwa koordinasi antar proyek sulit dilakukan, realita membuktikan bahwa koordinasi antar proyek bisa dilakukan. Mitos menyatakan bahwa jika tidak ada dana, koordinasi tidak akan berjalan, realita membuktikan bahwa dana bukan penghalang untuk berkoordinasi, sebagai contoh, hasil dari uji coba ini para pelaku proyek sepakat untuk menjadi tuan rumah pertemuan ‘forum’ koordinasi secara bergiliran untuk menyiasati keterbatasan dana. Mitos menyatakan bahwa ‘formalitas’ legalisasi, birokrasi, dan lainnya adalah penentu keberhasilan, realita membuktikan bahwa ‘formalitas’ bukan penentu utama bahkan bisa menjadi penghambat. Mitos menyatakan bahwa perbedaan skema proyek aturan, sumber dana, sektor, dan lain- lain menghambat koordinasi, realita membuktikan bahwa perbedaan tidak menutup peluang untuk berkoordinasi. Mitos menyatakan bahwa selama ini terdapat ‘kultur’ yang menghambat kerja sama antar proyek, realita membuktikan bahwa dengan koordinasi tumbuh ‘keinginan’ untuk berkolaborasi integrasi perencanaanpelaksanaan. Mitos menyatakan bahwa penggagas koordinasi lintas proyek terpatok pada instansi tertentu, realita membuktikan bahwa penggagas koordinasi bisa dari unsur mana saja, bahkan LSM. Mitos menyatakan bahwa biasanya proyek berakhir maka program akan terhenti, realita membuktikan bahwa dengan koordinasi program dapat ‘ditransfer’ ke proyek lain. Mitos menyatakan bahwa sumber daya manusia daerah terbataslemah, realita membuktikan bahwa dengan koordinasi potensi sumber daya manusia lokal termanfaatkan secara optimal.

2.2 Pelajaran bagi Penyusunan Kebijakan