Hubungan Prinsip FET dengan Standar Minimum Berdasarkan Hukum Kebiasaan Internasional

bentuk-bentuk perlindungan yang diberikan, yaitu perlindungan terhadap denial of justice, due process of law, dan abusive treatment.

C. Hubungan Prinsip FET dengan Standar Minimum Berdasarkan Hukum Kebiasaan Internasional

Isu apakah standar FET diakui sebagai prinsip dalam hukum kebiasaan internasional telah menjadi perdebatan di kalangan negara-negara serta di kalangan akademis. Terdapat lebih dari 2.900 perjanjian investasi yang dibuat oleh negara-negara di dunia, baik yang bersifat bilateral maupun multilateral, dan 223 sebagian besar perjanjian tersebut merumuskan standar tersebut dengan istilah yang serupa. Beberapa pengamat berpendapat bahwa akibat meluasnya 224 penggunaan standar ini dalam perjanjian internasional, ia dapat menjadi bagian dari hukum kebiasaan internasional. 225 Meskipun berlangsung dalam waktu yang lama dan sulit dipahami, proses dimana ketentuan perjanjian yang mengikat para pihak dapat meresap ke dalam hukum internasional dan oleh karenanya mengikat masyarakat internasional secara keseluruhan merupakan proses yang diakui dalam hukum internasional. Menurut sebuah survei yang dilakukan oleh UNCTAD, sekitar 2.281 dari 223 2.926 BITs telah ditandatangani dan berlaku di dunia.
 http:investmentpolicyhub.unctad.orgIIA, diakses pada 10 November 2015. Lihat misalnya Albania-France BIT 1996, Pasal 3; Belarus-Switzerland BIT 224 1994, Pasal 32. Christopher F. Dugan, Don Wallace Jr., Noah D. Rubins, Borzu Sabahi, 225 Investor-State Arbitration, Fair and Equitable Treatment and Full Protection and Security, Oxford: Oxford University Press, 2008, hlm. 493. 86 Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh United Nations International Law Commission: “Sebuah perjanjian internasional menetapkan sekumpulan aturan yang mengikat negara-negara yang menjadi pihak dalam perjanjian tersebut dengan berdasarkan asas resiprositas; tetapi harus diingat bahwa aturan-aturan ini dapat menjadi berlaku umum melalui penandatanganan perjanjian sejenis lainnya yang mengandung ketentuan yang sama ataupun serupa.” 226 “…Berlakunya lebih dari 2.000 BITs di dunia dapat menjadi contoh berlakunya perjanjian yang memiliki ketentuan yang serupa di seluruh dunia. Hasilnya adalah, ketika BITs menetapkan kewajiban untuk memberlakukan investor asing sesuai dengan hukum kebiasaan internasional, ketentuan tersebut haruslah dipahami sebagai standar hukum internasional yang terkandung dalam 2.000 BITs lainnya di dunia, yakni standar minimum internasional.” 227 Pengamat lainnya mempertahankan pendapat bahwa praktik negara-negara melalui dibuatnya perjanjian tidak menciptakan hukum kebiasaan internasional. 228 Diantara pengamat yang menerima perubahan pandangan akan hukum kebiasaan, beberapa berpendapat bahwa standar FET dapat menjadi suatu aturan yang berdiri Report of the International Law Commission Twelfth Session, Yearbook of the 226 International Law Commission 145, U.N. Doc. A4425 1960, hlm. 494. Schwebel, Stephen, The Influence of Bilateral Investment Treaties on 227 Customary International Law, 98 ASIL 2005, hlm. 29; Mondev v. US, op. cit., para. 125. ADF v. USA, op. cit., para. 187, dimana Mahkamah menyatakan bahwa “We 228 are not convinced that the Investor has shown the existence, in current customary international law, of a general and autonomous requirement to accord fair and equitable treatment and full protection and security to foreign investments. The investor, for instance, has not shown that such a requirement has been brought into the corpus of present day customary law.” 87 sendiri dalam hukum kebiasaan internasional. Lainnya berpendapat bahwa 229 standar FET hanya merupakan bentuk modern dari standar minimum perlakuan terhadap asing yang merupakan elemen dalam hukum kebiasaan internasional. 230 Secara historis, perumusan awal mengenai standar minimum internasional terdapat dalam putusan kasus Neer antara Amerika Serikat dengan Meksiko pada tahun 1926. Dalam kasus tersebut, Pauline Neer menggugat pemerintah Meksiko atas dugaan kelalaian otoritas Meksiko dalam melaksanakan due diligence dalam proses penyelidikan dan penyidikan atas kematian ayahnya. Komisi Gugatan Umum pada saat itu menolak gugatan, menerapkan batas yang tinggi dalam menguji tanggung jawab negara atas kelalaian melindungi orang asing. Komisi berpendapat bahwa kegagalan Meksiko untuk menangkap dan menghukum tersangka pembunuh seorang warga negara Amerika tidak serta merta merupakan pelanggaran standar minimum internasional terhadap orang asing. Dalam diktumnya, Komisi menjabarkan konsep standar minimum internasional sebagai berikut: Misalnya UNCTAD menyimpulkan bahwa konsep FET dapat menjadi 229 kebiasaan internasional sebagai suatu standar independen yang tidak berhubungan dengan standar minimum yang tradisional. “It is also possible, as a matter of theory, that the standard of fair and equitable treatment has become a part of customary international law. This possibility arises from the fact that where a treaty provision is norm-creating in character, this provision may pass into customary law once certain criteria are satisfied.” UNCTAD, Fair and Equitable Treatment, op. cit., hlm. 17; Pope Talbot v. Canada, op. cit., para. 110-113, dimana Mahkamah menyatakan bahwa “Fair and Equitable Treatment under Article 11051 of NAFTA was additive to the requirement of international law.” Saluka Investment v. Czech Republic, op. cit., hlm. 289; Tudor, Ioana, The 230 Fair and Equitable Treatment Standard in International Foreign Investment Law, Oxford: Oxford University Press, 2008, hlm. 77, berpendapat bahwa standar FET merupakan prinsip hukum umum. 88 “the propriety of governmental acts should be put to the test of international standards...the treatment of an alien, in order to constitute an international delinquency should amount to an outrage, to bad faith, to wilful neglect of duty, or to an insufficiency of governmental action so far short of international standards that every reasonable and impartial man would readily recognize its insufficiency. Whether the insufficiency proceeds from the deficient execution of a reasonable law or from the fact that the laws of the country do not empower the authorities to measure up to international standards is immaterial” 231 Perlu digarisbawahi bahwa kasus Neer tersebut adalah mengenai perlakuan terhadap natural person, dan berdasarkan dugaan adanya denial of justice. Beberapa sarjana menyatakan bahwa standar minimum internasional juga berlaku untuk perlindungan terhadap aset asing, akan tetapi sejauh apa 232 perlindungan yang diberikan serta standar pengujian apa yang diterapkan dalam kaitannya dengan standar FET belum dikembangkan secara utuh. Standar 233 minimum internasional tidak menyediakan suatu pola instan yang dapat digunakan sebagai rujukan dalam penyelesaian sengketa investasi modern, namun menyediakan suatu pengertian yang sangat luas yang justru dalam kenyataannya dapat digunakan oleh mahkamah arbitrase dan diskusi dalam komunitas investasi untuk menyempurnakan standar minimum internasional yang berlaku terhadap investor dan investasi asing. 234 L. F. H. Neer and Pauline Neer USA v. Mexico, General Claims Commission 231 United States and Mexico Docket No. 136, Award, 25 October 1926, hlm. 60-61. Roth, op. cit., hlm. 186; R. Jennings and A. Watts, Oppenheim’s International 232 Law, Peace Vol. I, 1996, Ninth Edtion, Oxford: Oxford University Press, hlm. 912. Sornarajah, op. cit., hlm. 347. 233 UNCTAD, Fair and Equitable Treatment, op. cit., hlm 47. 234 89 Beberapa negara yang menjadi Respondent dalam sengketa investasi kontemporer cenderung menganggap bahwa prinsip FET tidak membutuhkan bentuk perlakuan yang melebihi standar yang ditetapkan dalam kasus Neer. 235 Mahkamah arbitrase menerima bahwa klausa dalam beberapa perjanjian investasi membatasi perlindungan yang diberikan sejauh standar minimum tradisional, 236 namun perjanjian investasi lainnya harus diartikan untuk memberikan tingkat perlindungan yang lebih tinggi. Dalam mencapai kesimpulan ini, Mahkamah 237 merujuk kepada bahasa klausa FET dalam perjanjian, serta sumber pelengkap lainnya seperti NAFTA FTC Note beserta travaux preparatoires nya. Mahkamah menilai bahwa ketika klausa FET menghubungkan standar FET kepada hukum internasional maka perlindungan yang diberikan adalah terbatas pada hak-hak yang diatur oleh hukum kebiasaan internasional. Ketika klausa FET disebutkan 238 tanpa adanya rujukan tegas kepada hukum internasional, pandangan yang dominan diterima secara umum adalah bahwa perlindungan yang diberikan melebihi perlindungan berdasarkan standar minimum hukum kebiasaan internasional. Dalam hal apapun, sepertinya terdapat sebuah konsensus bahwa standar minimum perlakuan berdasarkan hukum kebiasaan internasional Lihat misalnya Canada dalam ADF v. US, op. cit., para. 121; Republik Ceko 235 dalam Saluka v. Czech Republic, op. cit., para. 290. Termasuk dalam kategori ini adalah Pasal 11051 NAFTA; Mondev v. US, 236 op. cit., para. 125. Lihat Saluka v. Czech Republic, op. cit., para. 499-450. 237 Azurix Corp. and others v. Argentina, ICSID Case No. ARB0112, Award, 14 238 Juli 2006, para. 358. 90 merupakan konsep yang terus berkembang dan tidak terbatas pada kondisi pada tahun 1926 dimana kasus Neer diputus. 239 Pada masa yang lebih modern, kontroversi ini kembali diuji dalam beberapa sengketa investasi internasional yang dibawa ke mahkamah arbitrase. Berikut ini akan dijabarkan 2 contoh kasus dimana mahkamah arbitrase memutus sengketa investasi yang berasal dari BITs, dan tanpa terikat pada interpretasi prinsip FET menurut NAFTA, yaitu: i kasus Saluka Investments v. Czech Republic, dan ii kasus Azurix v. Argentina. i. Saluka Investments BV v. Czech Republic Kasus Saluka Investments BV v. Czech Republic adalah mengenai privatisasi dunia perbankan yang terjadi di Republik Ceko pada tahun 1990an. Selama proses privatisasi tersebut, sebuah bank nasional dilebur menjadi empat bank negara — dikenal dengan sebutan ‘The Big Four’— yang memiliki fungsi vital terhadap ekonomi Republik Ceko. IPB merupakan bank pertama dari the Big Four yang diprivatisasi pada tahun 1998. Sebagian saham dijual kepada afiliasi 240 Japanese Nomura Financial Service Group, dan kemudian pada tahun 2000 dijual kembali kepada Saluka Investments, sebuah perusahaan swasta yang didirikan di Belanda. Akibat kebijakan kredit liberal, keempat bank tersebut mengalami kredit bermasalah Non Performing Loans yang berakibat pada diambilnya tindakan Mondev v. US, op. cit., para. 124. 239 Saluka Investments v. Czech Republic, op. cit., para. 33. 240 91 regulasi untuk melindungi stabilitas sektor perbankan. Akan tetapi, hanya tiga dari empat bank tersebut yang mendapatkan bantuan dana dari pemerintah melalui program revitalisasi. Akibatnya, IPB mengalami kesulitan yang luar biasa dan akhirnya diletakkan di bawah administrasi Czech National Bank pada Juni 2000. Beberapa hari setelahnya, CNB memindahkan kepemilikan IPB kepada salah satu bank the Big Four yang menerima bantuan dana dari pemerintah, yakni CSOB. Setelah berakhirnya administrasi CNB pada Juni 2002, Nomura kembali memegang kuasa atas IPB. Namun, pemerintah Ceko menuntut pengalihan 241 saham IPB kepada CSOB yang pada akhirnya terdaftar sebagai pemilik baru atas saham tersebut pada Februari 2004. Saluka sebagai Claimant dalam sengketa 242 ini menggugat pemerintah Ceko dengan alasan bahwa pemerintah Ceko telah bertindak tidak adil dan diskriminatif, dan karenanya melanggar kewajibannya dalam Pasal 3 dan Pasal 5 BIT antara Republik Ceko dan Belanda. 243 Dalam pertimbangannya terhadap gugatan Saluka mengenai pelanggaran kewajiban FET, Mahkamah terlebih dahulu memberikan kajian tentang pengertian standar FET sebelum menerapkannya dalam fakta kasus. Perlu diketahui bahwa Mahkamah menyadari adanya diskusi mengenai interpretasi NAFTA, namun sebaliknya, mempertanyakan relevansi antara FET dengan standar minimum sebagaimana dikutip berikut ini: Ibid., para. 160. 241 Ibid., para. 163. 242 Czech Republic-Netherlands BIT 1991, dapat diakses pada http: 243 www.italaw.comsitesdefaultfileslawsitalaw608028329.pdf 92 Whatever the merits of this controversy between the party may be, it appears that the difference between the Treaty standard laid down in Article 3.1 and the customary minimum standard, when applied to the specific facts of a case, may well be more apparent than real. To the extent that the case law reveals different formulations of the relevant thresholds, an in-depth analysis may well demonstrate that they could be explained by the contextual and factual differences of the cases to which the standards have been applied. 244 Mahkamah menjelaskan bahwa standar minimum merupakan hukum kebiasaan internasional dan oleh karenanya bersifat mengikat negara untuk memberikan jaminan minimum kepada investor asing, bahkan apabila negara menganut kebijakan yang pada prinsipnya bertentangan dengan investasi asing. Dalam konteks tersebut, standar minimum untuk FET hanya memberikan perlindungan yang sekadar ‘minimal protection’. Oleh karenanya, untuk menemukan adanya pelanggaran terhadap standar tersebut, tindakan negara haruslah menunjukkan ‘a relatively higher degree of inapproriateness’. 245 Sedangkan di sisi lain, BITs dirancang untuk mempromosikan investasi asing langsung. Dalam konteks ini, perlindungan terhadap investor berdasarkan FET haruslah menjadi jaminan yang memberikan insentif positif bagi investor asing. Oleh karenanya, untuk menemukan adanya pelanggaran terhadap standar tersebut, tindakan negara cukup menunjukkan adanya ‘a relatively lower degree of inappropriateness’. 246 Saluka Investments v. Czech Republic, op. cit., para. 291. 244 Ibid., para. 292. 245 Ibid., para. 293. 246 93 Terlepas dari adanya perbedaan antara standar menurut hukum kebiasaan dan menurut BIT, Mahkamah membatasi diri hanya kepada interpretasi FET menurut Pasal 3.1 BIT yang berbunyi sebagai berikut: Article 3 1. Each Contracting Party shall ensure fair and equitable treatment to the investments of investors of the other Contracting Party and shall not impair, by unreasonable or discriminatory measures, the operation, management, maintenance, use, enjoyment or disposal thereof by those investors. Bunyi pasal tersebut tidak menunjukkan adanya rujukan terhadap standar minimum hukum kebiasaan internasional. Oleh karena itu, interpretasi terhadap Pasal 3.1 mungkin tidak sesulit interpretasi terhadap perjanjian lainnya yang secara tegas mengandung standar hukum kebiasaan internasional seperti NAFTA. Mahkamah arbitrase pada kasus ini menginterpretasikan Pasal 3.1 247 dari BIT mengenai klausa FET sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 “Konvensi Wina”. Ketentuan 248 ini bersifat mengikat para pihak dalam perjanjian, serta juga mewakili hukum 249 kebiasaan internasional. Pasal 31 Ayat 1 dari Konvensi Wina mewajibkan suatu perjanjian agar diinterpretasikan “dengan itikad baik sesuai dengan makna sebagaimana seharusnya dalam konteks suatu perjanjian dan sesuai dengan objek G. Sacerdoti, Bilateral Treaties and Multilateral Instruments on Investment 247 Protection,The Hague: Nijhoff, 1997, hlm. 341. Vienna Convention on the Law of Treaties, 23 Mei 1969, 1155 UNTS 331. 248 BIT ditandatangani antara Belanda dan Republik Federal Ceko dan Slovakia 249 serta mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 1992. 94 dan tujuan perjanjian.” Mahkamah dalam kasus ini kemudian 250 mengkonstruksikan karakter otonom yang melekat pada FET dalam Pasal 3.1 BIT dan bahwa standar FET dalam kasus ini telah terlanggar. 251 ii. Azurix Corp. and others v. Argentina Contoh lain dalam konteks ini terdapat dalam kasus Azurix Corp. and others v. Argentina. Kasus ini mengilustrasikan pendekatan interpretatif akan FET sebagaimana terkodifikasi dalam US-Argentina BIT. Pada tahun 1999, Azurix Corporation, sebuah perusahaan Amerika Serikat, melalui anak perusahaannya yaitu AAS dan OBA, berpartisipasi dalam lelang untuk menjalankan AGOSBA yaitu suatu perusahaan yang dimiliki oleh pemerintah provinsi Buenos Aires yang bergerak di bidang penyediaan air minum dan pembuangan di provinsi tersebut. Anak perusahaan Azurix menggabungkan Azurix Buenos Aires ABA dengan membayar sekitar 450 juta peso Argentina kepada pemerintah provinsi. Kemudian ABA, AGOSBA, dan pemerintah provinsi menandatangani suatu perjanjian yang memberikan izin kepada ABA untuk mendistribusikan air dan perawatan saluran pembuangan selama 30 tahun. Segera setelah ABA mengambilalih perusahaan, hubungan para pihak menjadi memburuk. Salah satu alasan utamanya adaah kegagalan pemerintah provinsi untuk menyelesaikan proyek pembersihan bendungan dari jenis algae tertentu, sementara bendungan tersebut berfungsi Pasal 31 Ayat 1 Konvensi Wina tepatnya berbunyi “A treaty shall be 250 interpreted in good faith in accordance with the ordinary meaning to be given to the terms of the treaty in their context and in the light of its object and purpose.” Saluka Investment v. Czech Republic, op. cit., para. 294, 309. 251 95 sebagai sumber air utama bagi kota Buenos Aires. Akibatnya, air yang dialirkan menjadi keruh dan berbau. Hal ini berujung pada protes masyarakat dan ditanggapi oleh pemerintah dengan cara membebaskan pelanggan dari tagihan mereka. Menurut Azurix, pihak otoritas telah menghalanginya dalam menerapkan rezim tarif tertentu dengan cara menyebabkan kepanikan publik untuk alasan- alasan politis. Pada September 2001, Azurix mendaftarkan kasus ini kepada mahkamah arbitrase ICSID dan menggugat bahwa telah terjadi pelanggaran FET berdasarkan US-Argentina BIT. 252 Argumentasi dari pihak Claimant dan Respondent berkutat seputar isu apakah standar FET merupakan standar yang mewajibkan para pihak dalam BIT untuk memberikan perlindungan sebagai tambahan terhadap yang dibutuhkan oleh standar minimum internasional berdasarkan hukum kebiasaan internasional. 253 Dalam mempertimbangkan isu ini, mahkamah menerapkan kajian yang sama dengan yang digunakan dalam kasus Saluka di atas, yaitu dengan menimbang bahwa BIT merupakan perjanjian internasional, dan oleh karena itu harus diinterpretasikan berdasarkan peraturan dan norma dalam Konvensi Wina. Klausa FET terdapat dalam Pasal II 2 dari US-Argentine BIT tahun 1991 yang berbunyi sebagai berikut: “Investment shall at all times be accorded fair and equitable treatment, shall enjoy full protection and security and shall in no case be accorded treatment less than that required by international law.” US-Argentine BIT 1991, dapat diakses pada http:www.state.gov 252 documentsorganization43475.pdf Azurix v. Argentina, op. cit., para. 358. 253 96 Dalam menganalisis klausa FET dalam kasus ini, mahkamah mendapati adanya kemungkinan untuk mengartikannya dengan cara yang lebih luas daripada yang diwajibkan oleh hukum internasional. Meskipun demikian, mahkamah 254 mempertanyakan perbedaan antara kedua bentuk pendekatan, dan merespon interpretasi FET oleh mahkamah arbitrase lainnya yang menerapkan NAFTA. 255 Dalam putusannya, mahkamah berpendapat bahwa politisasi tarif yang dilakukan oleh pemerintah Argentina merupakan pelanggaran terhadap standar FET yang terdapat dalam Pasal II 2 US-Argentina BIT. Putusan kasus ini 256 menjadi menarik karena berhubungan dengan klausa FET yang mirip dengan yang diatur oleh Pasal 1105 1 NAFTA, serta menunjukkan keinginan mahkamah untuk membangun konstruksi FET yang berbeda dari standar yang telah ada menurut hukum kebiasaan internasional. Meskipun demikian, mahkamah dalam kasus Azurix juga menunjukkan pandangan skeptis dalam memutuskan perbedaan antara standar minimum dengan standar FET, sehingga pertimbangannya harus didasarkan pada fakta dalam kasus tertentu. Ibid., para. 361. 254 Ibid., para 364. 255 Ibid., para. 374, 377. 256 97 BAB IV PENERAPAN PRINSIP FAIR AND EQUITABLE TREATMENT DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INVESTASI ANTARA INVESTOR DENGAN NEGARA MELALUI ARBITRASE

A. Penyelesaian Sengketa Investasi antara Investor dengan Negara

Dokumen yang terkait

PENYELESAIAN SENGKETA INVESTASI MELALUI ARBITRASE DALAM MASYARAKAT EKONOMI ASEAN

1 8 20

PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL E COMMERCE MELALUI ARBITRASE

5 39 113

PENERAPAN PRINSIP KONSENSUS DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL MELALUI WTO.

0 0 9

TINJAUAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA PULAU MIANGAS MELALUI ARBITRASE INTERNASIONAL.

0 1 8

Analisis Yuridis Terhadap Penerapan Prinsip Fair And Equitable Treatment Dalam Penyelesaian Sengketa Investasi Melalui Arbitrase Internasional Yang Berasal Dari Bilateral Investment Treaties

1 1 16

Analisis Yuridis Terhadap Penerapan Prinsip Fair And Equitable Treatment Dalam Penyelesaian Sengketa Investasi Melalui Arbitrase Internasional Yang Berasal Dari Bilateral Investment Treaties

0 0 2

Analisis Yuridis Terhadap Penerapan Prinsip Fair And Equitable Treatment Dalam Penyelesaian Sengketa Investasi Melalui Arbitrase Internasional Yang Berasal Dari Bilateral Investment Treaties

0 0 23

Analisis Yuridis Terhadap Penerapan Prinsip Fair And Equitable Treatment Dalam Penyelesaian Sengketa Investasi Melalui Arbitrase Internasional Yang Berasal Dari Bilateral Investment Treaties

2 7 41

Analisis Yuridis Terhadap Penerapan Prinsip Fair And Equitable Treatment Dalam Penyelesaian Sengketa Investasi Melalui Arbitrase Internasional Yang Berasal Dari Bilateral Investment Treaties

0 0 17

RELASI KLAUSULA FAIR AND EQUITABLE TREATMENT DALAM BILATERAL INVESTMENT TREATY DENGAN KEDAULATAN NEGARA ATAS SUMBER DAYA ALAM Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 13