Prinsip Substantif i. Kedaulatan

B. Prinsip - Prinsip Perlindungan dalam Fair and Equitable Treatment

Berikut ini adalah upaya lebih jauh untuk menganalisis prinsip-prinsip FET dan bagaimana mahkamah arbitrase menerapkannya dalam sengketa investasi. Prinsip perlindungan berdasarkan FET dapat dibedakan menjadi dua, yaitu i prinsip yang berhubungan dengan substansi perlindungan FET; dan ii prinsip yang berhubungan dengan aspek prosedural dalam sistem hukum host state. 76

1. Prinsip Substantif i. Kedaulatan

Sebagaimana diketahui, kedaulatan negara merupakan prinsip utama hukum internasional publik yang mengabadikan independensi dan otonomi 77 negara sebagai subjek hukum internasional. Prinsip ini dibahas oleh Penulis dengan pertimbangan pentingnya prinsip kedaulatan dalam hukum internasional dan fakta bahwa sebagian besar prinsip-prinsip FET biasanya bertentangan dengan kedaulatan negara. Pada bagian ini, Penulis tidak akan memberikan pembahasan menyeluruh mengenai konsep kedaulatan, tetapi hanya akan membahas aspek-aspek kedaulatan yang berhubungan dengan prinsip FET. Roland Kläger, Fair and Equitable Treatment in International Investment Law, 76 New York: Cambridge University Press, 2011, hlm. 154. Lihat Pasal 2 Ayat 1 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang menyebutkan 77 prinsip kesetaraan negara-negara di dunia. 32 Secara umum diterima bahwa kedaulatan menjelaskan status hukum suatu negara dalam tapi tidak di atas hukum internasional. Hal itu menandakan subjektivitas langsung negara terhadap hukum internasional dan perlindungan terhadap kesatuan teritorial, yurisdiksi eksklusif personal dan teritorial, identitas budaya, dan kebebasan menentukan nasib sendiri dalam urusan politik serta sosial ekonomi. Dalam hukum investasi internasional, bentuk kedaulatan yang dianut 78 negara-negara di dunia, terutama pasca dekolonisasi, adalah konsep ‘permanent sovereignty over natural resources’ atau kedaulatan tetap atas sumber daya alam yang dapat ditemukan dalam Pasal 2 Ayat 1 Charter of Economic Rights and Duties of States tahun 1974. Pemakaian konsep kedaulatan ini tidak lepas dari 79 tujuan negara-negara baru untuk menasionalisasi ekonomi dan mengurangi ketergantungan negara terhadap asing. Sebagai bentuk ekspresi kedaulatan, negara-negara menandatangani ratusan perjanjian investasi internasional dan dengan demikian menyetujui pembatasan terhadap kedaulatan negara mereka sendiri dalam hal regulasi investasi. Tidak jarang, pelaksanaan perjanjian investasi tersebut memengaruhi kebebasan host state dalam meregulasi. Secara khusus, 80 pengaruh tersebut tidak hanya terbatas pada sebagian kecil tindakan pemerintah, tetapi dalam setiap cabang kewenangan pemerintah — legislatif, eksekutif, dan H. Steinberger, Sovereignty, dalam R. Bernhardt ed., Encyclopedia of Public 78 International Law 1987, Vol. 1012, hlm. 408-410. Pasal 21 Charter of Economic Rights and Duties of States 1974 berisi:
 79 “Every state has and shall freely exercise full permanent sovereignty, including possession, use and disposal, over all is wealth, natural resources and economic activities.” Sornarajah, op. cit., hlm. 265-266. 80 33 yudikatif. Namun demikian, karena rezim perjanjian investasi sebagaimana hukum perjanjian internasional pada umumnya, pembatasan tersebut dibuat berdasarkan persetujuan para pihak mutual consent of states. Dengan demikian, secara a contrario, kelangsungan rezim tersebut tergantung pada persistent acceptance dari negara-negara yang menjadi pihak dalam suatu perjanjian. 81 Meskipun demikian, kedaulatan negara untuk mengatur masalah dalam negeri nya serta untuk menerapkan prosedur tertentu, baik administratif maupun yudisial, kerap kali menjadi sumber sengketa investasi karena dianggap merugikan kepentingan investor asing. Salah satu contoh yang menarik mengenai hal ini adalah kasus Pope Talbot Inc. v. Canada, dimana Kanada 82 memberlakukan serangkaian peraturan yang rumit dalam penerapan Softwood Lumber Agreement SLA antara Kanada dan Amerika. Claimant merasa bahwa peraturan yang dibuat pemerintah Kanada telah merugikan bisnisnya. Putusan Mahkamah menyatakan bahwa peraturan yang dibuat pemerintah tersebut tidak melanggar prinsip FET karena peraturan tersebut sesuai dengan spesifikasi internasional sebagaimana diatur dalam SLA, tidak mendiskriminasi investor asing, berupaya untuk mengurangi dampak akibat adanya perubahan hukum, dan oleh karenanya, merupakan ‘respon yang wajar’ terhadap kondisi hukum dan Acceptance dalam hal ini berarti penerimaan rezim perjanjian investasi secara 81 umum. Oleh karena itu, penolakan negara terhadap putusan mahkamah arbitrase investasi tertentu yang mewajibkan negara untuk membayar ganti rugi kepada investor, tidak dianggap sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan negara. Hal tersebut dikarenakan resiko atas suatu putusan dianggap telah disetujui sejak dibuatnya perjanjian investasi yang bersangkutan. Pope Talbot Inc. v. Canada, UNCITRAL, Final Merits Award, 10 April 2001. 82 34 ekonomi. Sebaliknya, Mahkamah menemukan adanya pelanggaran FET terkait 83 perlakuan terhadap investor dalam hal audit setelah adanya sengketa ini. 84 Mahkamah berpendapat bahwa sikap tidak kooperatif pejabat pemerintahan Kanada ketika melakukan audit telah memberatkan investor, dan tidak dapat dibenarkan. 85 Contoh lain yang berkaitan dengan right to regulate pemerintah adalah kasus ADC Affliliate Ltd and others v. Hungary. Kasus ini menyangkut adanya 86 peraturan yang menyebabkan hilangnya laba investor asing akibat pembangunan bandar udara di Hungaria. Meskipun Mahkamah mengakui right to regulate yang dimiliki host state, namun terdapat limitasi terhadap hak tersebut, dan dalam kasus ini, Mahkamah menolak argumentasi Hungaria sebagai berikut: “It is the tribunal’s understanding of the basic international law principles that while a sovereign state possesses the inherent right to regulate its domestic affairs, the exercise of such right is not unlimited and must have its boundaries. As rightly pointed out by the claimants, the rule of law, which includes treaty obligations, provides such boundaries. Therefore, when a state enters into a bilateral investment treaty like the one in this case, it becomes bound by it and the investment-protection obligations it undertook therein must be honoured rather than be ignored by a later argument of the state’s right to regulate.” 87 Ibid., para. 119. 83 Ibid., para. 155. 84 Ibid., para. 172, 173, 181. 85 ADC Affiliate Ltd and ADC ADMC Management Ltd. v. Hungary, ICSID 86 Case No. ARB0316, Award, 2 Oktober 2006, para. 79. Ibid., para. 423. Mahkamah merujuk kepada right to regulate dalam konteks 87 nya terhadap gugatan ekspropriasi, namun kemudian menyatakan bahwa pendekatan ini dapat berlaku juga terhadap pelanggaran FET secara umum; lihat para. 445. 35 Mengenai resiko kerugian yang dialami investor terkait dengan perubahan peraturan hukum di host state, Mahkamah berpendapat bahwa resiko kerugian tidak dapat dihubungkan dengan rezim pengaturan negara. Investor harus melaksanakan bisnis nya sesuai dengan hukum domestik host state. Namun, tidak berarti investor harus siap menerima apapun perubahan yang diwajibkan host state. Mahkamah berpendapat bahwa ketika melakukan investasi, investor telah mengambil resiko tersebut dengan ekspektasi bahwa investor akan menerima perlakuan yang adil serta kompensasi yang sewajarnya apabila ada, dan bukan sebaliknya. 88 Mahkamah dalam kasus ADC tersebut telah secara utuh membedakan antara fleksibilitas right to regulate negara dengan hak absolut negara yang digunakan untuk membenarkan tindakan tidak adil terhadap invesotr asing. Selain itu, Mahkamah berpendapat bahwa meskipun investor asing wajib patuh terhadap hukum domestik host state, bukan berarti investor harus menanggung seluruh kerugian yang disebabkan oleh tindakan negara yang melanggar prinsip FET. Kasus-kasus tersebut di atas telah menunjukkan bahwa hak regulasi negara bukanlah tak terbatas, tetapi harus berada dalam batasan-batasan yang telah disetujui dalam hukum investasi internasional. Negara harus memastikan bahwa 89 dalam mengambil kebijakan maupun dalam membuat peraturan harus diberlakukan sedemikian rupa sehingga tidak akan berakibat kepada perlakuan Ibid., para. 424. 88 Roland Kläger op. cit., hlm. 163. 89 36 yang tidak adil terhadap investor. Dengan demikian, dalam melaksanakan kedaulatan negaranya, host state harus menghormati prinsip-prinsip FET lain sebagaimana akan dijabarkan di bawah ini. ii. Legitimate Expectations Konsep legitimate expectations, atau biasa juga disebut dengan basic expectations atau reasonable and justifiable expectations, merupakan komponen 90 utama dalam prinsip standar FET. Konsep ini berkembang pesat dalam proses 91 penyelesaian sengketa investasi melalui mahkamah arbitrase internasional seperti ICSID. Hal ini dibuktikan oleh banyaknya putusan ICSID yang menekankan konsep legitimate expectations investor asing pada saat awal investasi dilakukan. Alasan di balik perlindungan terhadap legitimate expectations tidak 92 Enron and Ponderosa Assets v. Argentina, ICSID Case No. ARB013, Award, 90 22 Mei 2007, para. 262. Saluka Investment BV v. Czech Republic, Permanent Court of Arbitration, 91 Partial Award, 17 Maret 2006, para. 302; Rudolf Dolzer dan Christoph Schreuer, Principles of International Investment Law Oxford University Press, 2008, hlm. 135; Abhijit PG Pandya dan Andy Moody, Legitimate Expectations in Investment Treaty Arbitration: An Unclear Future, 2010 15 Tilburg Law Review 93, hlm. 105. Beberapa putusan mahkamah arbitrase yang mengatur masalah legitimate 92 expectations antara lain: Metalclad v. Mexico 2000; Tecmed v. Mexico 2006; Occidental v. Ecuador 2004; CMS Gas Transmission Co. v. Argentina 2003; Waste Management v. Mexico 2001; International Thunderbird Gaming Corporation v. Mexico 2006; Saluka Investments v. Czech Republic 2006; LGE Energy Corporation v. Argentina 2007; Enron Corporation v. Argentina 2007; Sempra Energy International v. Argentina 2007; Bayinder Insaat Turizm Ticaret ve Sanayi v. Pakistan 2005; Parkerings-Compagniet AS v. Lithuania 2007. 37 lain adalah untuk mendorong investor asing untuk mengambil keputusan bisnis berdasarkan kondisi dan rezim hukum yang ditawarkan oleh host state. 93 Konsep ini berhubungan erat dengan fenomena ‘perubahan’. Investasi bukan merupakan transaksi yang berlangsung satu kali, melainkan melibatkan suatu proses ekonomi dengan jangka waktu yang signifikan, seperti kontrak bisnis, dan banyak diantaranya tidak mencantumkan jangka waktu berlakunya perjanjian, misalnya perusahaan asing di bidang manufaktur dan penyedia jasa. Akibat lamanya jangka waktu proyek bisnis yang dilakukan maka terdapat resiko akan perubahan dalam kondisi investasi sehingga dapat berdampak buruk pada investasi. 94 Perubahan lingkungan bisnis dapat diakibatkan oleh banyak hal: faktor ekonomi yang buruk seperti lambatnya perkembangan teknologi, naik turunnya harga, dan daya jual kompetitor bisnis. Alasan lainnya adalah akibat tindakan pemerintah host state, baik tindakan tertentu maupun umum, komisi maupun omisi. Standar FET paling banyak berkaitan dengan tindakan omisi pemerintah terkait. Sebagaimana bisnis yang lain, investasi asing juga tunduk kepada peraturan pemerintah. Terkadang, dalam proyek bisnis skala besar, terdapat hubungan kontraktual langsung antara investor dengan pemerintah host state, Christoph Schreuer dan Ursula Kriebaum, At What Time Must Legitimate 93 Expectations Exist?, sebagaimana dikutip dalam Jacques Werner dan Arif Hyder Ali, A Liber Amicorum: Thomas Walde—Law Beyond Conventional Thoughts, London: Cameron May, 2009, hlm. 265. UNCTAD, Fair and Equitable Treatment, op. cit., hlm. 63. 94 38 yang melingkupi campur tangan pemerintah dengan hak kontraktual. Perubahan kebijakan host state kerap kali mengikuti perubahan kondisi politik negaranya. 95 Gugatan terkait pelanggaran legitimate expectations muncul ketika investor menderita kerugian karena perubahan akibat tindakan tertentu yang diambil pemerintah. Dengan kata lain, ketika tindakan host state memberikan dampak yang merugikan bagi investasi, yakni yang berdampak pada turunnya nilai investasi maka investor dapat melakukan gugatan dengan dugaan pelanggaran legitimate expectations oleh pemerintah host state. Namun, mahkamah internasional dalam menguji tindakan pemerintah untuk mengetahui 96 apakah telah terjadi pelanggaran terhadap legitimate expectations, harus dilakukan secara seimbang dan menyeluruh, mengingat bahwa BITs dapat diinterpretasikan secara luas sehingga dapat menciptakan ekspektasi yang tidak terbatas oleh investor. Oleh karena itu, penting untuk menetapkan syarat dan ketentuan bagi 97 investor untuk dapat mengajukan gugatan atas perlindungan legitimate expectations di mahkamah investasi internasional. 98 Mahkamah internasional dan para sarjana setuju bahwa legitimate expectations investor dipengaruhi oleh stabilitas, prediktabilitas, dan konsistensi Ibid. 95 Thomas W Walde, International Investment Law: an Overview of Key 96 Concepts and Methodology, 2007 4 Transnational Dispute Management 80 http: www.transnational-dispute-management.comarticle.asp?key=1025 diakses pada 25 September 2015. Pandya dan Moody, Legitimate Expectations in Investment Treaty Arbitration, 97 op. cit., hlm. 93. Schreuer dan Kriebaum, op. cit., hlm. 265. 98 39 kerangka hukum dan kerangka bisnis host state. Kerangka ini meliputi peraturan 99 perundang-undangan, tindakan atau pernyataan yang dilakukan secara eksplisit maupun implisit oleh pemerintah host state, ataupun gabungan dari faktor-faktor tersebut. Selain itu, perlu dicatat bahwa legitimate expectations investor juga 100 dapat dipengaruhi oleh kerangka hukum pada saat diambilnya keputusan untuk pembangunan, perluasan, perkembangan, atau perubahan investasi. 101 Hukum setempat juga turut serta dalam merawat dan menumbuhkan legitimate expectations karena investasi biasanya dilakukan pada daerah tertentu dalam teritori host state. Oleh karena itu, menurut hukum investasi 102 internasional, di satu sisi investor memiliki ekspektasi bahwa host state tidak akan mengubah kondisi hukum dan bisnis danatau praktik administrasi negaranya 103 setelah investasi dilakukan. Namun di sisi lain, investor juga mengharapkan 104 agar host state mengupayakan dan menerapkan kebijakannya secara bona fide melalui tindakan yang, selama memengaruhi investor, dapat dibenarkan secara hukum. 105 Untuk memunculkan legitimate expectations dalam hukum investasi internasional, tatanan hukum di host state, sebagai jaminan oleh pemerintah, secara umum cenderung harus menguntungkan investor. Dengan kata lain, adalah Kenneth J Vandevelde, A Unified Theory of Fair and Equitable Treatment, 99 2011, 43 New York Univ J Intl L Pol 43, hlm. 66. Dolzer dan Schreuer, op. cit., hlm. 134. 100 Schreuer dan Kriebaum, op. cit., hlm. 276. 101 Dolzer dan Schreuer, op. cit., hlm. 135. 102 Bayindir v. Pakistan, op. cit., para. 240. 103 Occidental v. Ecuador, op. cit., para. 191 104 Saluka v. Czech Republic, op. cit., para. 307 105 40 penting bagi sebuah tindakan hukum yang dapat menimbulkan legitimate expectations untuk memiliki efek menguntungkan bagi investor, karena tidak mungkin investor akan mengharapkan keuntungan dari sistem regulasi yang negatif. 106 Esensi dari legitimate expectations investor adalah kewajaran dan kepantasan dari ekspektasi tersebut, baik secara objektif maupun subjektif. 107 Apabila dilihat dari perspektif objektif, mahkamah harus mempertimbangkan apakah ekspektasi tersebut datang dari investor yang pantas, yaitu investor yang 108 telah memperhitungkan semua keadaan sekitar investasi, termasuk kondisi politik, sosial ekonomi, budaya dan sejarah yang berlaku di host state. Dalam kasus 109 Saluka Investments BV v. Czech Republic, Mahmakah arbitrase UNCITRAL memutuskan bahwa Claimant tidak dapat hanya mengandalkan jaminan yang diberikan oleh Menteri Keuangan dengan pertimbangan bahwa jaminan tersebut tidak dapat mengikat pemerintah baru yang akan datang. 110 Sebaliknya, suatu ekspektasi dianggap tidak wajar secara subjektif apabila ekspektasi tersebut bertentangan dengan pengetahuan seorang individu akan hukum danatau pernyataan yang dibuat oleh host state. Oleh karena itu, 111 Elizabeth Snodgrass, Protecting Investors’ Legitimate Expectations: 106 Recognizing and Delimiting a General Principle, 2006 21 ICSID Rev—FILJ 1, hlm. 36. Ibid., lihat juga Duke Energy Electroquil Partners Electroquil SA v. 107 Republic of Ecuador, ICSID Case No. ARB0419, Award, 18 Agustus 2008, para. 351-354. Snodgrass, op. cit., hlm. 41. 108 Duke v. Ecuador Award, op. cit., para. 340, 347. 109 Saluka v. Czech Republic Award, op. cit., para. 351. 110 Snodgrass, op. cit., hlm. 41; Schreuer dan Kriebaum, op. cit., hlm. 273. 111 41 investor tidak dapat berargumentasi bahwa investasinya gagal akibat hukum, kebijakan atau tindakan negara pada saat investasi dilakukan, terutama apabila kondisi hukum mana telah diketahui olehnya sebelum investasi dilakukan. 112 Mahkamah arbitrase ICSID dalam kasus International Thunderbird Gaming Corporation v. The United Mexican States menyimpulkan bahwa Claimant tidak dapat bergantung pada sebuah pendapat hukum legal opinion yang dikeluarkan oleh pemerintah. Hal ini tidak hanya karena pendapat hukum tersebut didasarkan pada kesalahan penafsiran oleh Claimant mengenai karakter permainan yang ia kembangkan, tetapi juga karena Claimant mengetahui fakta bahwa perjudian merupakan aktivitas yang dianggap ilegal di Meksiko. 113 Dari pertimbangan-pertimbangan tersebut, dapat disimpulkan sebagai berikut ini: i ekspektasi adalah sah apabila bertumpu pada hukum danatau jaminan tertentu yang diberikan oleh host state; ii dalam tujuan untuk 114 menimbulkan ekspektasi yang sah, kerangka hukum dan bisnis pada host state, termasuk pernyataan apapun yang diberikan oleh pemerintah, harus cenderung menguntungkan investor; iii hanya ekspektasi yang wajar dan pantas secara 115 objektif dan subjektif yang dianggap sah; dan iv berdasarkan doktrin 116 legitimate expectations, hukum investasi internasional melindungi investor dari Campbell McLachlan QC, Laurence Shore dan Matthew Weiniger, 112 International Investment Arbitration Substantive Principles, Oxford University Press 2007, hlm. 236. International Thunderbird Gaming Corporation v. The United Mexican States, 113 UNCITRAL, Award, 26 Januari 2006, para. 148, 164. Snodgrass, op. cit., hlm. 44. 114 Ibid., hlm. 35. 115 Ibid., hlm. 57. 116 42 perubahan tatanan hukum danatau perubahan atas jaminan pemerintah yang menjadi tumpuan investasi. 117 Meskipun demikian, apabila perubahan hukum danatau komitmen atau pernyataan yang diberikan oleh pemerintah malah menguntungkan investor asing, maka legitimate expectations investor tidak terlanggar, melainkan semakin dilindungi dan diperkuat. Selain itu, perubahan apapun yang bersifat menguntungkan dalam kerangka hukum selama jangka waktu investasi akan menciptakan legitimate expectation yang tunduk pada perlindungan hukum investasi internasional dan akan mengikat investor asing dalam putusan bisnis berikutnya. 118 iii. Non Diskriminasi Prinsip non-diskriminasi merupakan elemen penting lainnya yang berkaitan dengan konsep fair and equitable treatment. Meskipun beberapa putusan pengadilan arbitrase menggunakan istilah perlindungan terhadap “arbitrariness”, “unjustified measures”, atau “unreasonable measures”, perlu diketahui bahwa istilah-istilah tersebut dapat digunakan secara bergantian dan dapat dikategorikan sebagai perlindungan di bawah prinsip non-diskriminasi. 119 Dalam sejumlah BITs umumnya terdapat klausa yang melindungi investor dari Dolzer dan Schreuer, op. cit., hlm. 134. 117 Schreuer dan Kriebaum, op. cit., hlm. 273-274. 118 Roland Kläger, op. cit., hlm.187. 119 43 tindakan diskriminasi maupun kesewenang-wenangan. Contohnya, Pasal II2 120 b dalam BIT antara Argentina dan Amerika Serikat menyatakan bahwa: “neither Party shall in any way impair by arbitrary or discriminatory measures the management, operation, maintenance, use, enjoyment, acquisition, expansion, or disposal of investments.” Terdapat kontroversi dalam definisi non-diskriminasi menurut hukum internasional, dan oleh karenanya telah lahir beberapa pendapat. Sebagai titik awal, referensi dari kamus dapat mengungkapkan adanya afinitas linguistik antara non-diskriminasi dengan kewajiban FET, tetapi tidak mampu memberikan pencerahan tentang arti harfiah dari non-diskriminasi. Dalam menentukan ordinary meaning dari satu atau beberapa terminologi, mahkamah arbitrase ICSID sering menggunakan kamus bahasa seperti Black’s Law Dictionary dan Oxford English Dictionary sebagai langkah awal untuk mencari definisi suatu terminologi. Menurut Black’s Law Dictionary, kata ‘discrimination’ diartikan 121 sebagai ‘differential treatment; especially a failure to treat all persons equally when no reasonable distinction can be found’. Sementara Oxford Dictionary of 122 Law mengartikannya sebagai ‘treating a person less favourably than others on grounds unrelated to merit’. Sementara, kata ‘arbitrary’ diartikan sebagai 123 V. Heiskanen, Arbitrary and Unreasonable Measures, dalam A. Reinisch, 120 Standards of Investment Protection, Oxford: Oxford University Press, 2008, hlm. 87. Alpha Projektholding GmbH v. Ukraine, ICSID Case No. ARB0716, 121 Decision on Respondent’s Proposal to Disqualify Arbitrator Dr. Yoram Turbowicz, 19 Maret 2010. B. A. Garner ed., Black’s Law Dictionary, 8th Edition 2004 122 E. A. Martin dan J. Law ed., Oxford Dictionary of Law, 6th Edition 2006. 123 44 ‘depending on individual discretion, founded on prejudice or preference rather than on reason or fact.’ Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa 124 ‘diskriminasi’ memiliki konotasi negatif, yang berarti secara tidak adil, sewenang- wenang, atau pembedaan yang tidak beralasan. Definisi inilah yang paling 125 banyak digunakan dalam hukum internasional. 126 Prinsip non-diskriminasi dalam kaitannya dengan FET telah diakui dalam beberapa sengketa investasi internasional, salah satunya adalah S. D. Myers Inc. v. Canada. Dalam kasus tersebut, pemerintah Kanada melarang ekspor bahan kimia beracun untuk melindungi industri pembuangan domestik. Mahkamah beranggapan bahwa pelanggaran FET terjadi apabila ‘terbukti bahwa investor telah diperlakukan secara tidak adil dan sewenang-wenang dan perlakuan tersebut dalam derajat yang tidak dapat diterima menurut perspektif internasional. 127 Kemudian, Mahkamah menegaskan bahwa pelanggaran tersebut didasarkan pada alasan yang sama dengan pelanggaran atas kewajiban national treatment, 128 dimana Mahkamah menimbang apakah tindakan negara telah secara prima facie membedakan antara warga negara nya dengan warga negara asing, dan apakah perlakuan tersebut menimbulkan perbedaan yang lebih menguntungkan warga Garner, op. cit. 124 W. A. McKean, The Meaning of Discrimination in International and 125 Municipal Law, BYIL 44 1970, hlm. 177. E. W. Vierdag, The Concept of Discrimination in International Law, 1973, 126 hlm. 48,49,60; Ian Brownlie, Principles of Public International Law, 7th Edition Oxford: Oxford University Press, 2008, hlm. 573. S. D. Myers v. Canada, op. cit., para. 263. 127 Ibid., para. 266. 128 45 negara nya dibandingkan asing. Selain itu, Mahkamah juga memutus bahwa 129 adanya niat untuk mendiskriminasi merupakan faktor yang penting, tetapi tidak serta merta menentukan adanya pelanggaran. Mahkamah berpendapat bahwa 130 adanya niat untuk melindungi industri domestik dalam rangka untuk memelihara kemampuan pemeliharaan bahan kimia di Kanada memang merupakan sebuah tujuan yang sah. Namun, masih terdapat cara lain yang lebih ramah investor untuk mencapai hasil tersebut daripada tindakan pelarangan ekspor. Oleh karena itu, 131 Mahkamah memutuskan bahwa adanya suatu tujuan yang sah dapat membenarkan tindakan pembedaan, tetapi juga harus mempertimbangkan efeknya terhadap investor. 132 Dugaan pelanggaran terhadap FET melalui tindakan diskriminasi juga terjadi dalam kasus Saluka Investment v. Czech Republic, sebuah sengketa 133 investasi berdasarkan BIT antara Belanda dengan Republik Ceko. Dalam kasus tersebut, empat bank di Republik Ceko berada dalam proses privatisasi. Pemerintah Ceko memberikan bantuan finansial kepada tiga dari bank tersebut yang dimiliki oleh pemerintah setempat, tetapi tidak kepada satu bank lainnya, yang juga merupakan tempat Claimant menanamkan investasinya. Mahkamah berpendapat bahwa tidak terdapat alasan yang wajar atas tindakan diskriminasi tersebut, dan oleh karena nya telah melanggar standar FET. Ibid., para 252. 129 Ibid., para. 254. 130 Ibid., para. 255. 131 Putusan lain yang serupa yaitu Alex Genin v. Estonia, op. cit., para. 363. 132 Saluka Investment v. Czech Republic, op. cit. 133 46 Dalam Parkerings-Compagniet v. Lithuania, Mahkamah berpendapat 134 bahwa tindakan diskriminasi melanggar standar FET apabila baik Claimant maupun investasinya berada dalam situasi yang serupa dengan pihak investor lain. Namun dalam kasus ini, tidak terdapat investor lain yang dapat dijadikan pembanding. Mahkamah kemudian memutus bahwa tidak terjadi pelanggaran, dan bahwa gugatan diskriminasi berdasarkan kewarganegaraan merupakan ranah klausa MFN dan akan dianalisis dengan menggunakan doktrin MFN. 135 Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa mahkamah arbitrase secara umum mendukung non-diskriminasi sebagai salah satu elemen FET. Hal ini juga dikonfirmasi dalam tulisan beberapa sarjana yang sejak awal telah menganggap non-diskriminasi sebagai satu bagian integral dari konsep FET. Tetapi, bukan 136 berarti bahwa FET mewajibkan host state untuk memperlakukan investor asing selayaknya investor domestik dalam hal apapun. Hal ini karena hukum 137 internasional diterima secara luas tidak memberlakukan suatu aturan selama negara-negara belum menyepakati kewajiban yang akan diberikan kepadanya dalam hal ini adalah kewajian untuk memperlakukan asing sebagaimana warga negara sendiri dalam sebuah perjanjian internasional. 138 Parkerings-Compagniet AS v. Republic of Lithuania, ICSID Case No. ARB 134 058, Award, 11 September 2007. Ibid., para. 291 dimana disebutkan bahwa apabila telah terdapat klausa MFN 135 dalam BIT maka analisis FET tidak diperlukan lagi. G. Schwarzenberger, The Abs Shawcross Draft Convention on Investments 136 Abroad, Current Legal Problems 14 1961, hlm. 221. Oscar Schachter, International Law in Theory and Practice, New York: 137 Springer, 1991, hlm. 315-316. Dolzer dan Stevens, op. cit., hlm. 58. 138 47 Singkatnya, tindakan diskriminasi melanggar standar FET apabila diskriminasi tersebut dilakukan tanpa alasan yang sah. Isu kewarganegaraan bukan merupakan alasan yang sah untuk menjustifikasi diskriminasi. Diskriminasi dapat dibenarkan, hanya apabila dilakukan untuk tujuan yang sah dan non- diskriminatif. iv. Pembangunan Berkelanjutan Sebagai suatu klausa umum, FET cenderung bertindak sebagai pintu gerbang untuk integrasi prinsip-prinsip eksternal lain dalam proses investasi. Kemampuan ini mengungkapkan adanya hubungan konseptual antara FET dengan pembangunan berkelanjutan, karena kedua konsep tersebut sama-sama bertujuan untuk mempertemukan dua tujuan yang saling bertolak belakang. Dalam hal pembangunan berkelanjutan, tujuan ini meliputi perlindungan terhadap lingkungan serta perlindungan terhadap pembangunan ekonomi. Beberapa 139 prinsip dalam pembangunan berkelanjutan dapat digunakan dan diintegrasikan ke dalam konsep FET. Secara khusus, aspek kesetaraan dalam pembangunan berkelanjutan terkait dengan pemberantasan kemiskinan dan kesetaraan antargenerasi mewakili suatu elemen dalam wacana FET. Prinsip kesetaraan ini membawa perubahan — redistribusi kekayaan dan sumber daya agar generasi sekarang dan yang akan datang dapat mendapatkan akses ke sumber daya ini secara adil dan merata. Roland Kläger, op. cit., hlm.203. 139 48 Kedaulatan negara dalam menentukan kebijakan ekonomi, sosial, dan lingkungan nya sendiri, yang juga merupakan konsep dalam pembangunan berkelanjutan, mewujudkan kesetaraan dalam investasi. Prinsip-prinsip tersebut menjadi kewajiban negara untuk mengambil tindakan pencegahan, untuk memastikan adanya transparansi, keikutsertaan publik dalam proses pengambilan keputusan, dan due process of law sebagaimana tertuang dalam konsep good governance. Seluruh aspek ini menjamin legitimasi tindakan negara dalam mencapai pembangunan berkelanjutan. Begitu pula dengan FET yang menuntut legitimasi 140 tindakan negara dengan cara meminta perlindungan terhadap legitimate expectations, non-diskriminasi, keadilan prosedural dan transparansi. Dengan demikian, FET juga mencakup dimensi tata kelola pemerintahan yang baik. 141 Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa konsep FET memerlukan keseimbangan yang komprehensif antara seluruh faktor dan kepentingan. Artinya, selain tindakan host state dan kebijakan publiknya, tindakan investor asing tertentu juga dapat menjadi faktor yang relevan. Gagasan ini diungkapkan lebih 142 jelas oleh maksim ekuitas maxims of equity yang berasal dari hukum domestik Ibid., hlm. 204. 140 Lihat Thomas Walde, op. cit., hlm. 385; Dolzer, op. cit., hlm. 72. 141 Peter Muchlinski, dalam The Relevance of the Conduct of the Investor under 142 the Fair and Equitable Treatment Standard, International and Comparative Law Quarterly, 55 2006, mengidentifikasi tiga kewajiban utama investor asing: i untuk menahan diri dari tindakan yang tidak etis, ii untuk ikut serta dalam investasi dengan pengetahuan yang memadai tentang resiko, dan iii untuk melakukan bisnis dengan cara yang wajar. Menurut Muchlinski, tiga kewajiban ini relevan dalam setiap tahap; mempengaruhi adanya dugaan pelanggaran FET, hubungan sebab akibat antara tiap tindakan, dugaan besaran kerugian yang diderita, dan besarnya kompensasi yang harus dibayarkan. Sementara kewajiban yang pertama cenderung terlihat seperti membatasi hak investor untuk melakukan gugatan, kewajiban yang lainnya bersifat lebih ringan dan oleh karenanya dapat berujung pada pengurangan jumlah kompensasi yang diberikan. 49 dalam tradisi hukum Anglo-Amerika, yang terkenal dengan dalil: ‘one who seeks equity must do equity’. 143 Oleh karena itu, integrasi konsep FET dan equity menuntut adanya pertimbangan akan implikasi sosial dan lingkungan dari satu kasus yang muncul akibat tindakan investor asing dan instrumen hukum yang berlaku. Misalnya, dalam kasus Ogoniland yang diputus oleh African Commission on Human and 144 Peoples’ Rights. Dalam kasus tersebut, konsorsium yang terdiri atas investor asing dan perusahaan minyak negara Nigeria mengeksploitasi cadangan minyak di wilayah Ogoniland dan mengakibatkan kerusakan terhadap masyarakat dan lingkungan dengan membuang limbah beracun di dekat desa. Pasukan keamanan Nigeria yang meneror wilayah tersebut dengan membunuh warga dan menghancurkan desa, rumah, dan lahan pertanian, semakin memperburuk dampak tumpahan minyak. Komisi menyatakan Nigeria bertanggungjawab atas pelanggaran hak asasi manusia, yaitu hak atas hidup dan hak atas lingkungan hidup yang sehat. Dalam hal ini, apabila diasumsikan bahwa Nigeria 145 menghentikan tindakan melanggar hukum yang dilakukan oleh perusahaan minyak tersebut, dan bahwa investor asing mendapat perlindungan di bawah BIT, pendekatan tersebut akan mengubah kondisi sehingga investor akan kehilangan Ibid., hlm 532. 143 The Social and Economic Rights Action Center and The Center for Economic 144 and Social Rights v. Nigeria Ogoniland Case, African Commission on Human and Peoples’ Rights Comunication No. 15596 2001, Decision of 13 October 2001. Ibid., para. 69. Perusahaan minyak Shell akhirnya setuju untuk membayar 145 kompensasi sebesar 15,5 juta kepada masyarakat Ogoni. http:www.theguardian.com world2009jun08nigeria-usa, diakses 5 Oktober 2015. 50 haknya untuk menggugat adanya pelanggaran FET dengan alasan tindakan yang dilakukan host state untuk memenuhi kewajiban hak asasi manusia atau kewajiban hukum lingkungan internasional. Salah satu contoh lainnya adalah prinsip kehati-hatian precautionary principle sebagai salah satu aspek dalam pembangunan berkelanjutan, dalam hubungannya dengan hukum investasi internasional. Kasus Emilio Augustin Maffezini v. Spain menggambarkan dimana seorang investor berkebangsaan 146 Argentina mendirikan sebuah perusahaan yang memproduksi produk-produk kimia berbahaya. Salah satu perusahaan negara Spanyol juga terlibat dengan menyumbangkan 30 persen dari modal perusahaan tersebut. Perusahaan tersebut mengalami kesulitan finansial yang berujung pada gagalnya proyek tersebut. Investor menduga bahwa syarat dan prosedur yang harus dipenuhi untuk AMDAL meningkatkan biaya produksi proyek sehingga menyebabkan runtuhnya perusahaan dan merupakan pelanggaran terhadap BIT. 147 Mahkamah menolak pandangan investor dan menyatakan tidak terjadi pelanggaran BIT dengan diterapkannya AMDAL. Mahkamah merujuk pada beberapa peraturan mengenai perlindungan lingkungan dalam konstitusi Spanyol dan hukum Uni Eropa, dan malah menegaskan pentingnya AMDAL: “the environmental impact assessment procedure is basic for the adequate protection of the environment and the application of appropriate preventive measures. This is true, not only under Emilio Augustín Maffezini v. Spain, ICSID Case No. ARB977, Award, 13 146 November 2000, para. 39. Ibid., para. 65. 147 51 Spanish and EEC law, but also increasingly so under international law.” 148 Mahkamah kemudian memutuskan bahwa tindakan Spanyol adalah tidak lebih bertujuan untuk memenuhi kewajiban hukumnya dan oleh karena itu tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya dalam hal ini. 149 Sengketa lainnya mengenai pertentangan perlindungan lingkungan dan perlindungan investasi adalah kasus Methanex Corp. v. United States. Kasus ini 150 menyangkut UU di California yang melarang zat aditif bahan bakar MTBE karena alasan lingkungan. Investor asing yang merupakan produsen komponen MTBE metanol mengeluh bahwa larangan tersebut diberlakukan untuk memihak produsen etanol, karena etanol adalah bahan pengganti MTBE yang lebih ramah lingkungan. Dalam putusannya, Mahkamah menolak seluruh gugatan investor tersebut. Hal ini dianggap sebagai satu kemenangan besar bagi komunitas lingkungan, dan disorot sebagai langkah menuju arbitrase investasi internasional yang lebih seimbang. Dalam pertimbangannya, Mahkamah menyatakan bahwa 151 UU California tersebut dicapai dengan melalui proses hukum, untuk kepentingan Ibid., para. 67. 148 Ibid., para. 71. 149 Methanex Corporation. v. United States of America, UNCITRAL, Final 150 Award, 3 Agustus 2005. J. C. Lawrence, Chicken Little Revisited: NAFTA Regulatory Expropriations 151 after Methanex, 41 Georgia Law Review 261 2006, hlm. 261; Alvarez Jimenez, The Methanex Final Award, Journal of International Arbitration 23 2006, hlm. 427. 52 umum, bersifat non-diskriminatif, dan didukung oleh alasan ilmiah yang 152 wajar. 153 Kesimpulannya, prinsip pembangunan berkelanjutan dapat menjadi salah satu aspek penyeimbang dalam prinsip FET. Oleh karena itu, hubungan konseptual antara FET dan pembangunan berkelanjutan dapat digunakan sebagai panduan dalam substansi maupun metode untuk menyeimbangkan kepentingan dalam kasus tertentu. Dalam hal ini, fleksibilitas FET dapat dijadikan alat yang berguna bagi arbitrator untuk mengambil pendekatan yang komprehensif dalam menentukan kepentingan investor maupun host state dalam kaitannya dengan pembangunan berkelanjutan.

2. Prinsip Prosedural

Dokumen yang terkait

PENYELESAIAN SENGKETA INVESTASI MELALUI ARBITRASE DALAM MASYARAKAT EKONOMI ASEAN

1 8 20

PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL E COMMERCE MELALUI ARBITRASE

5 39 113

PENERAPAN PRINSIP KONSENSUS DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL MELALUI WTO.

0 0 9

TINJAUAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA PULAU MIANGAS MELALUI ARBITRASE INTERNASIONAL.

0 1 8

Analisis Yuridis Terhadap Penerapan Prinsip Fair And Equitable Treatment Dalam Penyelesaian Sengketa Investasi Melalui Arbitrase Internasional Yang Berasal Dari Bilateral Investment Treaties

1 1 16

Analisis Yuridis Terhadap Penerapan Prinsip Fair And Equitable Treatment Dalam Penyelesaian Sengketa Investasi Melalui Arbitrase Internasional Yang Berasal Dari Bilateral Investment Treaties

0 0 2

Analisis Yuridis Terhadap Penerapan Prinsip Fair And Equitable Treatment Dalam Penyelesaian Sengketa Investasi Melalui Arbitrase Internasional Yang Berasal Dari Bilateral Investment Treaties

0 0 23

Analisis Yuridis Terhadap Penerapan Prinsip Fair And Equitable Treatment Dalam Penyelesaian Sengketa Investasi Melalui Arbitrase Internasional Yang Berasal Dari Bilateral Investment Treaties

2 7 41

Analisis Yuridis Terhadap Penerapan Prinsip Fair And Equitable Treatment Dalam Penyelesaian Sengketa Investasi Melalui Arbitrase Internasional Yang Berasal Dari Bilateral Investment Treaties

0 0 17

RELASI KLAUSULA FAIR AND EQUITABLE TREATMENT DALAM BILATERAL INVESTMENT TREATY DENGAN KEDAULATAN NEGARA ATAS SUMBER DAYA ALAM Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 13