EFEKTIVITAS DEGRADASI CANGKANG UDANG MENGGUNAKAN CRUDE ENZIM KITINASE DAN INOKULUM BAKTERI KITINOLITIK INDIGENOUS ISOLAT A7

(1)

EFEKTIVITAS DEGRADASI CANGKANG UDANG MENGGUNAKAN CRUDEENZIM KITINASE DAN INOKULUM BAKTERI

KITINOLITIK INDIGENOUSISOLAT A7

SKRIPSI

Oleh Dini Ramadhani NIM 101810401005

JURUSAN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS JEMBER


(2)

EFEKTIVITAS DEGRADASI CANGKANG UDANG MENGGUNAKAN CRUDEENZIM KITINASE DAN INOKULUM BAKTERI

KITINOLITIK INDIGENOUSISOLAT A7

SKRIPSI

diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Studi Biologi (S1)

dan mencapai gelar Sarjana Sains

Oleh Dini Ramadhani NIM 101810401005

JURUSAN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS JEMBER


(3)

ii

PERSEMBAHAN Skripsi ini saya persembahkan untuk :

1. kedua orang tua tercinta, Bapak Edi Prayitno dan Ibu Nurhayani yang telah mengajarkan kesabaran, memberi kasih sayang, dan doa restu selama ini; 2. semua keluarga besar yang telah mendukung dan memberi motivasi dalam

menempuh pendidikan;

3. Almamater Fakultas MIPA Universitas Jember;

4. seluruh guru dan dosen yang telah mendidik dari TK. Aisyah 2, SDN 4 Singotrunan, SMPN 1 Banyuwangi, SMAN 1 Glagah, dan Universitas Jember.


(4)

MOTTO

“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan” (QS. Al-Insyirah ayat 7)*)

“...janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita...” (QS. At-Taubah ayat 40)*)

“Hai orang-orang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan sholat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”

(QS. Al-Baqarah ayat 153)*)

*) Kementerian Agama, Wakaf, Da`wah dan Bimbingan Islam Kerajaan Arab Saudi. 1971. Al Quran dan Terjemahannya. Kerajaan Saudi Arabia: Mujamma` Al Malik Fahd Li Thiba`at Al Mush-haf Asy-Syarif Medinah Munawwarah


(5)

iv

PERNYATAAN Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Dini Ramadhani NIM : 101810401005

menyatakan dengan sesungguhnya bahwa karya tulis ilmiah yang berjudul “Efektivitas Degradasi Cangkang Udang Menggunakan Crude Enzim Kitinase dan Inokulum Bakteri Kitinolitik Indigenous Isolat A7” adalah benar-benar hasil karya sendiri, kecuali jika disebutkan sumbernya dan belum pernah diajukan pada institusi manapun, serta bukan karya jiplakan. Penelitian ini dibiayai sepenuhnya oleh Esti Utarti, S.P., M.Si. dan merupakan bagian dari proyek penelitian Hibah Bersaing dengan judul “N-Acetyl-D-Glukosamin Hasil Produksi Bakteri Kitinolitik Indigenous

Pada Tepung Cangkang Udang : Peluang Pemanfaatan Limbah Udang Dalam Pengobatan Osteoarthritis”. Data yang diperoleh dari penelitian ini tidak dipublikasikan kecuali atas izin Esti Utarti, S.P., M.Si. Saya bertanggung jawab atas keabsahan dan kebenaran isinya sesuai dengan sikap ilmiah yang harus dijunjung tinggi.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, tanpa adanya tekanan dan paksaan dari pihak manapun serta bersedia mendapat sanksi akademik jika ternyata dikemudian hari pernyataan ini tidak benar.

Jember, 04 Mei 2015 Penulis

Dini Ramadhani NIM 101810401005


(6)

SKRIPSI

EFEKTIVITAS DEGRADASI CANGKANG UDANG MENGGUNAKAN CRUDEENZIM KITINASE DAN INOKULUM BAKTERI KITINOLITIK

INDIGENOUSISOLAT A7

Oleh Dini Ramadhani

101810401005

Pembimbing :

Dosen Pembimbing Utama : Drs. Rudju Winarsa, M.Kes Dosen Pembimbing Anggota : Dr. Kahar Muzakhar, S.Si


(7)

vi

PENGESAHAN

Skripsi berjudul “Efektivitas Degradasi Cangkang Udang Menggunakan Crude

Enzim Kitinase dan Inokulum Bakteri Kitinolitik Indigenous Isolat A7” telah diuji dan disahkan pada:

hari, tanggal :

tempat : Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Jember

Tim Penguji

Ketua, Sekretaris,

Drs. Rudju Winarsa, M.Kes Dr. Kahar Muzakhar, S.Si NIP 196008161989021001 NIP 196805031994011001

Anggota I, Anggota II,

Prof. Ir. Bambang Sugiharto MAgr.Sc.,D.Agr.Sc Drs. Siswanto, M.Si NIP 196012161993021001 NIP 196012161993021001

Mengesahkan Dekan,

Prof. Drs. Kusno, DEA., Ph.D. NIP 196101081986021001


(8)

RINGKASAN

Efektivitas Degradasi Cangkang Udang Menggunakan Crude Enzim Kitinase dan Inokulum Bakteri Kitinolitik Indigenous Isolat A7; Dini Ramadhani, 101810401005; 2014: 33 halaman; Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Jember.

Udang merupakan salah satu komoditas ekspor hasil perikanan Indonesia. Kulit udang merupakan limbah hasil perikanan yang besarnya mencapai 50-60% dari berat utuh dengan kandungan kitin sebesar 20-30%. Kitin merupakan polimer yang jumlahnya melimpah kedua setelah selulosa, komponen struktural utama dalam kerang dan kutikula arthropoda, crustaceae, serangga dan dinding jamur. Kitin tersusun atas monomer N-asetilglukosamin yang banyak digunakan dalam terapi kesehatan, kosmetik, benang jahit dalam operasi dan berperan dalam pengobatan osteoarthritis, rheumatoid arthritis dan kerusakan kartilago. Glukosamin yang disintesa secara kimiawi menghasilkan glukosamin yang terasa pahit. Oleh karena itu, diperlukan alternatif yaitu menghidrolisis kitin secara enzimatis dengan memanfaatkan aktivitas kitinase. Bakteri isolat A7 merupakan bakteri indegenous

limbah udang yang mempunyai aktivitas kitinolitik dan diharapkan dapat digunakan sebagai agen hayati penghasil N-asetilglukosamin dengan substrat limbah udang.

Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap yaitu uji klarifikasi kitinolitik isolat A7 secara semikuantitatif, pola pertumbuhan bakteri kitinolitik, daya degradasi kitin pada tepung cangkang udang menggunakan bakteri kitinolitik isolat A7, produksi enzim kitinase isolat A7 menggunakan media tepung cangkang udang pada beberapa waktu inkubasi, uji aktivitas enzim kitinase, daya degradasi kitin pada


(9)

viii

kitinolitik isolat A7. Kadar N-asetilglukosamin yang dihasilkan dari proses degradasi kitin pada tepung cangkang udang menggunakan bakteri kitinolitik isolat A7 maupun menggunakan enzim kitinase diukur dengan metode Schales.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada degradasi tepung cangkang udang menggunakan inokulum bakteri kitinolitik, kadar N-asetilglukosamin yang dihasilkan pada titik maksimal sebesar 121,5 µg/ml, sedangkan pada saat menggunakan crude

enzim, kadar N-asetilglukosamin yang dihasilkan pada titik maksimal sebesar 106,75 µg/ml. Inokulum bakteri kitinolitik yang digunakan adalah inokulum dengan kepadatan 6,57x107 sel/ml, sedangkan crude enzim yang digunakan adalah crude


(10)

PRAKATA

Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Efektivitas Degradasi Cangkang Udang Menggunakan Crude Enzim Kitinase dan Inokulum Bakteri Kitinolitik Indigenous Isolat A7”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk menyelesikan pendidikan strata satu (S1) pada Jurusan Biologi FMIPA Universitas Jember.

Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Drs. Rudju Winarsa, M.Kes., selaku Dosen Pembimbing Utama dan Dr. Kahar Muzakhar, S.Si., selaku Dosen Pembimbing Anggota yang telah meluangkan waktu, pikiran dan perhatian dalam penulisan skripsi ini;

2. Prof. Ir. Bambang Sugiharto MAgr.Sc.,D.Agr.Sc., selaku Dosen Penguji I sekaligus sebagai Dosen Pembimbing Akademik dan Drs. Siswanto, M.Si., selaku Dosen Penguji II yang telah memberikan banyak masukan dan saran untuk kesempurnaan penulisan skripsi ini;

3. Esti Utarti, S.P., M.Si., selaku Pemberi Dana Penelitian dan Dosen Pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam penulisan skripsi ini;

4. Ir. Endang Susetyaningsih yang telah banyak membantu dalam penelitian ini; 5. teman seperjuangan, Rion Faizah Muammaroh, Tifani Istiqomah, Laila

Karomah dan Rizki Bagus Setyabudi serta seluruh rekan kerja kelompok bidang ilmu mikrobiologi yang selalu berjuang bersama, memberi semangat, dan kebersamaan selama ini;


(11)

x

6. teman dekat, Nika, Tika, Eka, dan Hendra Setiawan yang selalu pengertian, memberi nasihat dan menghibur setiap waktu;

7. teman seangkatan BOLU (Biologi 2010) yang telah berjuang bersama kurang lebih 5 tahun;

8. seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu dan berpartisi dalam penulisan skripsi ini.

Penulis juga menerima kritik dan saran dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap, semoga tulisan ini dapat bermanfaat.

Jember, Mei 2015


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSEMBAHAN ... ii

HALAMAN MOTO ... iii

HALAMAN PERNYATAAN ... iv

HALAMAN PEMBIMBINGAN ... v

HALAMAN PENGESAHAN ... vi

RINGKASAN ... vii

PRAKATA ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan ... 2

1.4 Manfaat ... 3

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Udang ... 4

2.2 Kitin ... 5

2.3 Bakteri Kitinolitik ... 7

2.4 Bakteri Kitinolitik Isolat A7 ... 9

BAB 3. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu ... 11


(13)

xii

3.2 Rancangan Penelitian ... 11 3.3 Alat dan Bahan ... 11 3.4 Prosedur Kerja

3.4.1 Uji Klarifikasi Kitinolitik Isolat A7 Secara

Semikuantitatif ... 12 3.4.2 Degradasi Tepung Cangkang Udang oleh Bakteri

Kitinolitik Isolat A7

a. Pembuatan Tepung Cangkang Udang ... 12 b. Inokulum Bakteri Kitinolitik

b.1 Pola Pertumbuhan Bakteri Kitinolitik ... 12 b.2 Pembuataan Inokulum ... 13 c. Daya Degradasi Kitin pada Tepung

Cangkang Udang Menggunakan Bakteri Kitinolitik Isolat A7 pada Berbagai

Konsentrasi Inokulum ... 13 3.4.3 Degradasi Tepung Cangkang Udang oleh Crude

Enzim Kitinase Produksi Bakteri Isolat A7 a. Produksi Enzim Kitinase Isolat A7

Menggunakan Media Tepung Cangkang

Udang pada Beberapa Waktu Inkubasi ... 14 b. Uji Aktivitas Enzim Kitinase ... 14 c. Daya Degradasi Kitin pada Tepung

Cangkang Udang Menggunakan Crude

Enzim Kitinase Hasil Produksi Bakteri Kitinolitik Isolat A7 pada Berbagai


(14)

BAB 4. PEMBAHASAN

4.1 Uji Klarifikasi Kitinolitik Isolat A7 Secara

Semikuantitatif ... 16

4.2 Pola Pertumbuhan Bakteri Kitinolitik ... 17

4.3 Produksi Enzim Kitinase Isolat A7 Menggunakan Media Tepung Cangkang Udang Pada Berbagai waktu Inkubasi ... 18

4.4 Daya Degradasi Kitin Pada Tepung Cangkang Udang Menggunakan CrudeEnzim Kitinase ... 20

4.5 Daya Degradasi Kitin Pada Tepung Cangkang Udang Menggunakan Bakteri Kitinolitik Isolat A7 ... 22

BAB 5. PENUTUP 5.1 Kesimpulan ... 25

5.2 Saran ... 25

DAFTAR PUSTAKA ... 26


(15)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1 Struktur morfologi udang ... 4 Gambar 2.2 Struktur selulosa dan kitin ... 6 Gambar 2.3 Reaksi pemutusan unit-unit penyusun kitin oleh enzim

kitinase ... 8 Gambar 2.4 Lintasan degradasi kitin menjadi turunannya ... 8 Gambar 4.1 Hasil analisis aktivitas kitinolitik bakteri isolat A7

pada media agar kitin ... 16 Gambar 4.2 Pola pertumbuhan bakteri kitinolitik isolat A7 ... 17 Gambar 4.3 Aktivitas enzim kitinase isolat A7 ... 18 Gambar 4.4 Degradasi tepung cangkang udang oleh crudeenzim

kitinase ... 20 Gambar 4.5 Degradasi tepung cangkang udang oleh bakteri


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

A. Komposisi dan cara pembuatan media nutrient agar ... 31

B. Komposisi dan cara pembuatan media agar kitin ... 31

C. Komposisi dan cara pembuatan media LB ... 32

D. Reagen Schales ... 32


(17)

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Udang merupakan salah satu komoditas ekspor hasil perikanan Indonesia. Pada umumnya udang diekspor dalam bentuk beku tanpa kepala dan kulit udang. Industri pengolahan hasil udang semakin meningkat dari tahun ke tahun yang disertai dengan peningkatan limbah yang dihasilkan. Volume produksi udang mengalami peningkatan yaitu 338,060 ton (2009), 380,972 ton (2010), 400,385 ton (2011) dan 415,703 ton (2012) (www.kiara.or.id, 2015). Limbah tersebut meliputi kulit udang dan kepala udang. Menurut Purwanti dan Yusuf (2013) kulit udang merupakan limbah hasil perikanan yang besarnya mencapai 50-60% dari berat utuh dengan kandungan kitin sebesar 20-30%.

Kitin merupakan polimer yang jumlahnya melimpah kedua setelah selulosa karena kitin merupakan komponen struktural utama dalam kerang dan kutikula arthropoda, crustaceae, serangga dan dinding jamur. Kitin tersusun atas monomer N-asetilglukosamin (Sudhakar dan Nagarajan, 2010). N-N-asetilglukosamin berbentuk kristal berwarna putih, larut dalam air dan rasanya manis.

N-asetilglukosamin banyak digunakan dalam terapi kesehatan, kosmetik, benang jahit dalam operasi dan berperan dalam pengobatan osteoarthritis, rheumatoid arthritis dan kerusakan kartilago (Abdel-Aziz, 2013). N-asetilglukosamin biasanya didapatkan dari hidrolisis kitin secara kimiawi menggunakan asam kuat (HCl) pada suhu tinggi, namun proses hidrolisis secara kimiawi ini menghasilkan N-asetilglukosamin yang terasa pahit. Ini diakibatkan karena adanya O-asetilasi dan di-asetilasi pada produk N-asetilglukosamin (Chen, et al., 2010). Oleh karena itu, diperlukan alternatif untuk mengatasi hal tersebut, yaitu dengan menghidrolisis kitin secara enzimatis dengan memanfaatkan aktivitas kitinase.


(18)

Bakteri isolat A7 merupakan bakteri indegenous limbah udang yang mempunyai aktivitas kitinolitik. Bakteri isolat A7 tersebut mempunyai aktivitas kitinolitik pada media agar kitin dengan indeks aktivitas sebesar 4,65 (Utarti dan Winarsa, 2013). Kemampuan kitinolitik dari bakteri isolat A7 tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai agen hayati penghasil N-asetilglukosamin dengan substrat limbah udang. Penggunaan bakteri indigenous asal limbah udang diharapkan dapat meningkatkan adaptasinya pada tepung cangkang udang.

1.2 Rumusan Masalah

Udang merupakan salah satu komoditi ekspor Indonesia, terutama dalam produk udang beku. Kandungan kitin sebesar 20-30% pada cangkang udang diharapkan dapat digunakan sebagai sumber N-asetilglukosamin. N-asetilglukosamin banyak digunakan dalam terapi kesehatan, kosmetik, benang jahit dalam operasi dan berperan dalam pengobatan osteoarthritis, rheumatoid arthritis dan kerusakan kartilago. N-asetilglukosamin dapat diproduksi secara alami menggunakan bakteri kitinolitik indigenous isolat A7 yang diisolasi dari limbah cangkang udang yang diambil dari tambak udang PT. Delta Guna Sukses, Desa Kalimalang, Kecamatan Gumukmas. Kajian efektifitas degradasi cangkang udang meliputi penggunaan crude

enzim kitinase dan inokulum bakteri kitinolitik isolat A7.

1.3 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas degradasi cangkang udang oleh crudeenzim kitinase dan bakteri kitinolitik indigenous isolat A7.


(19)

1.4 Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan alternatif sintesis N-asetilglukosamin secara enzimatis yang berperan dalam terapi kesehatan, kosmetik, benang jahit dalam operasi dan dalam pengobatan osteoarthritis, rheumatoid arthritis


(20)

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Udang

Udang merupakan crustaceae yang berhabitat di dasar perairan (sungai atau laut) dan jumlahnya mencapai lebih dari 2.000 spesies yang berbeda di seluruh dunia. Udang adalah hewan invertebrata dan memiliki eksoskeleton keras (cangkang udang) yang transparan (a-z-animals, 2014). Eksoskeleton atau cangkang udang mengalami

moulting secara berkala selama proses pertumbuhan. Selain itu, bagian tubuh udang terdiri atas kepala, dan abdomen dengan 6 ruas dan ekor (telson) (Gambar 2.1). Pada bagian kepala yang terlindungi oleh karapas tedapat rostrum, sepasang mata, 2 pasang antenna, maxilipeds dan 5 pasang kaki jalan. Udang menggunakan pleopoda untuk berenang ke arah depan dan menggunakan telson untuk berenang ke arah belakang dengan bantuan pleopoda (Edwards, 2014).

Gambar 2.1 Struktur morfologi udang (http://www.enchantedlearning.com)

Udang sebagai salah satu komoditi ekspor terbagi atas tiga macam, yaitu produk yang terdiri dari bagian badan dan kepala secara utuh, badan tanpa kepala dan


(21)

tersebut, menyebabkan terdapat bagian-bagian udang yang terbuang seperti kepala, ekor dan kulitnya. Bagian tersebut merupakan limbah industri pengolahan udang beku yang disebut limbah udang (Abun, 2009). Limbah utama dari udang adalah

cephalothorax, cangkang abdominal and bagian ekor. Adanya sisa daging udang pada bagian cephalothorax dapat dihilangkan dengan cara dicuci dengan air bersih kemudian dikeringkan (Ushakumari dan Ramanujan, 2012).

Limbah udang merupakan sisa produksi pengolahan udang yang keberadaannya mencapai sekitar 30% dari berat udang (Purwanti dan Yusuf, 2013). Sampai saat ini limbah tersebut tidak diolah dan dimanfaatkan secara maksimal sehingga berdampak negatif terhadap lingkungan (Kurniasih dan Kartika, 2011), sehingga diperlukan upaya pemanfaatan limbah udang sebagai sumber bahan mentah penghasil kitin, kitosan dan turunan keduanya (Purwanti dan Yusuf, 2013). Cangkang udang memiliki kandungan protein (25-40%), kalsium karbonat (45-50%), dan kitin (15-20%) bergantung pada jenis udang dan tempat hidupnya (Kurniasih dan Kartika, 2011).

2.2 Kitin

Kitin merupakan suatu polisakarida yang tersusun atas monomer N-asetilglukosamin. Kitin merupakan polimer yang jumlahnya melimpah kedua setelah selulosa, membentuk komponen struktural utama dalam kerang dan kutikula arthropoda, crustaceae, serangga dan dinding jamur (Sudhakar dan Nagarajan, 2010). Kadar kitin pada crustaceae sebesar 20-60% dan merupakan struktur yang rigid pada eksoskeleton karena pada polimer N-asetilglukosamin terdapat ikatan hidrogen antar molekul membentuk mikrofibril (Haliza dan Suhartono, 2012). Rantai kitin satu dengan lainnya berasosiasi dengan ikatan hidrogen yang sangat kuat antara gugus N-H dari satu rantai dan gugus C=O dari rantai yang berdekatan. Adanya ikatan


(22)

hidrogen menyebabkan kitin tidak dapat larut dalam air dan membentuk formasi serabut (fibril).

Kitin (C6H9O4. NHCOCH3)n merupakan zat padat yang larut dalam

asam-asam mineral pekat, tetapi tidak larut dalam air, pelarut organik, alkali pekat, dan asam mineral lemah. Struktur kimia yang dimiliki kitin hampir sama dengan struktur kimia selulosa (Gambar 2.2). Perbedaan antara kitin dan selulosa terletak pada gugus 2-asetil amino pada glukosa. Struktur kitin tersusun atas 2000-3000 satuan monomer N-asetilglukosamin yang saling berikatan melalui 1,4-glikosidik (Rakhmawati, 2007)

Gambar 2.2 Struktur selulosa dan kitin (Rakhmawati, 2007)

N-asetilglukosamin merupakan struktur monomer dari kitin, berbentuk kristal berwarna putih, larut dalam air dan rasanya manis. Karena mudah larut dalam air, senyawa ini mudah diaplikasikan dalam bidang farmasi. Senyawa N-asetilglukosamin banyak digunakan untuk terapi kesehatan, kosmetik, benang jahit dalam operasi dan dalam pengobatan osteoarthritis, rheumatoid arthritis dan kerusakan kartilago (Widhyastuti, 2010).

N-asetilglukosamin biasanya disintesis secara kimiawi dengan menghidrolisis kitin menggunakan asam kuat (HCl) pada suhu tinggi. Metode ini menghasilkan produk yang rendah dan menghasilkan limbah yang mencemari lingkungan. Oleh


(23)

karena itu, diperlukan alternatif untuk mengatasi hal tersebut, yaitu dengan menghidrolisis kitin secara enzimatis dengan memanfaatkan aktivitas kitinase.

2.3 Bakteri Kitinolitik

Bakteri kitinolitik merupakan bakteri yang mempunyai kemampuan memproduksi enzim kitinase dan memanfaatkan kitinase untuk asimilasi kitin sebagai sumber karbon dan nitrogen. Bakteri kitinolitik memproduksi enzim kitinase yang mampu menghidrolisis ikatan glikosida diantara N-asetilglukosamin (Narayanan et al., 2013), dengan berat molekul kitinase 60.000-110.000 KDA (Dewi, 2008). Bakteri kitinolitik dapat diisolasi dari lingkungan air seperti laut, danau, kolam atau limbah udang. Selain lingkungan mesofil, bakteri kitinolitik juga dapat diisolasi dari lingkungan termofilik seperti sumber air panas dan daerah geotermal (Haliza dan Suhartono, 2012).

Enzim kitinase dapat diperoleh dari berbagai organisme termasuk virus, bakteri, jamur, serangga, tumbuhan tingkat tinggi dan hewan yang mampu menghidrolisis kitin (Haliza dan Suhartono, 2012). Bakteri menghasilkan enzim kitinase untuk mendapatkan nutrisi (Faramarzi et al., 2009). Endokitinase, eksokitinase dan β-N-asetil heksomidase adalah enzim kitinase utama dan biasanya beberapa enzim hidrolitik bekerja secara sinergis dalam mendegredasi kitin secara efisien (Galante et al., 2012).

Suryanto (2005) membagi kitinase menjadi 3 tipe yaitu endokitinase, eksokitinase, dan β-1,4-N-asetilglukosaminidase. Endokitinase adalah kitinase yang memotong ikatan β-1,4 bagian dalam mikrofibril kitin secara acak, produk akhirnya adalah oligomer pendek N-aetilglukosamin. Eksokitinase adalah enzim yang membebaskan unit-unit diasetilkitobiose tanpa ada monosakarida atau polisakarida yang terbentuk. Pemotongan yang dilakukan oleh eksokitinase terjadi pada ujung non reduksi dan tidak terjadi secara acak. β-1,4-N-asetilglukosaminidase adalah kitinase


(24)

yang berperan dalam pemutusan diasetilkitobiose, kitotriose, dan kitotetratose dan menghasilkan monomer N-asetilglukosamin.

Gambar 2.4 Reaksi pemutusan unit-unit penyusun kitin oleh enzim kitinase (http://www.sigmaaldrich.com)

Melalui reaksi enzimatis, kitin dapat diubah menjadi berbagai turunannya, seperti yang terlihat pada Gambar 2.5


(25)

Biosintesis enzim kitinase diatur oleh sistem represor dan induser. Kitin dan produk hasil degradasinya berperan sebagai induser, sedangkan selulosa, xilan, pektin dan lignin sebagai substrat tidak dapat menginduksi kitinase. Sintesis kitinase juga dipengaruhi oleh produk akhir seperti N-asetilglukosamin dan glukosa. Kedua jenis gula ini merupakan represor pada sintesis kitinase. Kemampuan untuk menginduksi sintesis kitinase juga dipengaruhi oleh kemampuan suatu mikroorganisme dalam mengenali struktur fisik suatu kitin (Dewi, 2008). Menurut Mubarik (2010) enzim kitinase dapat mendegradasi eksoskeleton serangga Bemisia tabaci. Kerusakan pada eksoskeleton ditandai dengan perubahan warna dari gelap menjadi lebih transparan.

2.4 Bakteri Kitinoltik Isolat A7

Pada umumnya mikroba yang dapat menghasilkan kitinase, menghidrolisis substrat secara ekstraseluler, sehingga untuk mengisolasi mikroba tersebut diperlukan substrat yang mampu menginduksi enzim tersebut. (Haliza dan Suhartono, 2012). Bakteri kitinolitik akan membentuk zona bening yang terbentuk di sekitar koloni bakteri kitinolitik pada media, yang menandakan adanya aktivitas kitinolitik pada media pertumbuhan. Aktivitas kitinase dapat menguraikan kitin yang ada pada media agar kitin, sehingga media yang berada di sekitar koloni bakteri berwarna bening. Besarnya zona bening yang dihasilkan dipengaruhi oleh jumlah monomer N-asetilglukosamin yang dihasilkan dari proses hidrolisis kitin. Semakin besar jumlah monomer N-asetilglukosamin yang dihasilkan maka zona bening yang terbentuk di sekitar koloni juga semakin besar (Wijaya, 2002), yang dinyatakan sebagai indeks aktivitas kitinase. Besarnya indeks aktivitas kitinase ditunjukkan dengan besarnya nilai rasio diameter zona bening dengan diameter koloni.

Bakteri kitinolitik isolat A7 merupakan isolat yang didapat dari penelitian sebelumnya. Isolat A7 disolasi pada tahun 2013 dari limbah cangkang udang yang diambil dari tambak udang PT. Delta Guna Sukses, Desa Kalimalang, Kecamatan


(26)

Gumukmas. Berdasarkan hasil identifikasi makroskopis, koloni isolat A7 berbentuk bulat, elevasi cembung, tepi koloni rata dan permukaannya licin, sedangkan hasil identifikasi mikroskopis dengan pewarnaan Gram menunjukkan bahwa isolat A7 merupakan bakteri Gram negatif berbentuk coccobacil. Berdasarkan hasil skrining bakteri kitinolitik, isolat A7 menunjukkan nilai indeks kitinolitik sebesar 4,65. Nilai indeks kitinolitik tersebut merupakan nilai indeks paling besar dibandingkan dengan 21 isolat lain yang didapatkan (Utarti dan Winarsa, 2013).


(27)

BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Jember yang dimulai pada bulan Juni 2014 sampai Februari 2015.

3.2 Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian eksperimental. Sampel dianalisis di laboratorium, data yang diperoleh adalah data kuantitatif dan kualitatif yang disajikan dalam bentuk tabel dan gambar.

3.3 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah petridish, laminar, tabung reaksi, incubator 30oC, penggaris, pipet tetes, oven 60oC, timbangan, blender, erlenmeyer, mesin shaker, vortex, mikropipet, tip, autoklaf, spektrofotometer, waterbath, pipet volum, tabung falcon, ependorf, lemari pendingin, kompor, jarum ose, bunsen, korek api, tisu, kapas dan kertas dorslag.

Bahan yang dibutuhkan adalah bakteri kitinolitik isolat A7, media agar kitin, larutan iodin, tepung cangkang udang, Luria Broth (LB), garam fisiologis, Nutrient Agar (NA), colony counter, media produksi kitinase (tepung udang; 0,1% K2HPO4;

0,01 % MgSO4.7H2O; 0,05% Ekstrak yeast; 0,1 % Trypton), koloidal kitin 1%, buffer


(28)

3.4 Prosedur Kerja

3.4.1 Uji klarifikasi kitinolitik isolat A7 secara semikuantitatif

Bakteri kitinolitik isolat A7 diinokulasikan pada media agar kitin. Kemudian diinkubasi pada suhu 30oC selama 24 jam. Zona bening yang terbentuk diamati dengan cara ditetesi dengan larutan iodine. Indeks aktivitas enzim merupakan rasio diameter zona bening yang terbentuk dengan diameter koloni.

3.4.2 Degradasi tepung cangkang udang oleh bakteri kitinolitik isolat A7 a. Pembuatan Tepung Cangkang Udang

Cangkang udang dicuci dengan air sampai bersih kemudian dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu 60oC sampai beratnya konstan. Setelah kering, cangkang udang dihaluskan sampai menjadi serbuk menggunakan blender. Serbuk tersebut merupakan tepung cangkang udang yang digunakan sebagai media produksi N-asetilglukosamin.

b. Inokulum Bakteri Kitinolitik

b.1 Pola Pertumbuhan Bakteri Kitinolitik

Isolat bakteri A7 diinokulasikan pada 50 ml LB dan diinkubasi pada suhu 30oC diatas shaker dengan kecepatan 150 rpm selama 24 jam. Pengukuran pertumbuhan dilakukan setiap selang waktu 4 jam selama 24 jam. Pengukuran pertumbuhan diawali dengan seri pengenceran kultur sampai dengan 10-8 menggunakan garam fisiologis steril (NaCl 0,85%). Sebanyak 5 µl kultur dari masing-masing pengenceran diinokulasikan secara drop plate pada media NA dan diinkubasi selama 24 jam. Jumlah koloni dihitung sebagai jumlah sel/ml yang ditentukan berdasarkan rumus sebagai berikut:


(29)

b.2 Pembuataan Inokulum

Inokulum yang digunakan adalah inokulum yang berada pada fase eksponensial. Sebanyak 1 ose isolat A7 diinokulasikan ke dalam media LB kemudian diinkubasi sampai fase eksponensial. Selanjutnya dilakukan subkultur dengan menginokulasikan 10% inokulum dari kultur pada LB kemudian diinkubasi kembali sesuai dengan fase eksponensialnya.

c. Daya Degradasi Kitin pada Tepung Cangkang Udang Menggunakan Bakteri Kitinolitik Isolat A7 pada Berbagai Konsentrasi Inokulum

Tepung cangkang udang sebanyak 500 mg disuspensikan ke dalam 20 ml akuades. Sebanyak 2 ml suspensi tersebut dimasukkan ke dalam 10 tabung reaksi terpisah. Suspensi tersebut kemudian disterilisasi (121oC, 15 menit). Setelah didinginkan pada suhu ruang, diinokulasikan isolat bakteri kitinolitik (1 ml, 2 ml, 3 ml, 4 ml, 5 ml). Inokulum tersebut kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 6 jam. Setelah waktu inkubasi berakhir, disentrifugasi pada 4000 rpm selama 15 menit. Supernatan hasil sentrifugasi diukur kadar N-asetilglukosamin dengan metode

Schales.

Sebanyak 0,5 ml supernatan ditambah dengan 0,5 ml akuades steril kemudian direaksikan dengan 1 ml reagen Schales dan selanjutnya diinkubasi pada air mendidih selama 10 menit. Setelah diinkubasi, selanjutnya diukur absorbansinya pada panjang gelombang 420 nm menggunakan spektrofotometer. Selanjutnya dibuat kurva regresi hubungan antara konsentrasi N-asetilglukosamin dan absorbansinya dengan persamaan y=a+bx.


(30)

3.4.3 Degradasi Tepung Cangkang Udang oleh Crude Enzim Kitinase Produksi Bakteri Isolat A7

a. Produksi Enzim Kitinase Isolat A7 Menggunakan Media Tepung Cangkang Udang pada Beberapa Waktu Inkubasi

Sebanyak 2,5 ml inokulum dari isolat A7 diinokulasikan ke dalam 22,5 ml media produksi kitinase (tepung udang; 0,1 % K2HPO4; 0,01 % MgSO4.7H2O; 0,05%

Ekstrak yeast; 0,1 % Trypton). Selanjutnya diinkubasi pada suhu 30ºC dengan waktu inkubasi selama 24 jam. Ekstraksi enzim dilakukan dengan cara sentrifugasi pada 8000 rpm selama 10 menit. Supernatan yang dihasilkan merupakan kitinase ekstrak kasar.

b. Uji Aktivitas Enzim Kitinase

Pada uji aktivitas enzim digunakan koloidal kitin 1% sebagai substrat. Koloidal kitin dibuat dengan cara melarutkan 1 gram koloidal kitin dalam 100 ml akuades steril, lalu disimpan dalam botol gelap kemudian disimpan dalam lemari pendingin. Untuk sampel, 600 µl koloidal kitin 1% ditambahkan dengan 300 µl buffer fosfat pH 7 dan 300 µl enzim. Untuk kontrol, 600 µl koloidal kitin 1% ditambahkan dengan 300 µl buffer pH 7. Kedua suspensi tersebut kemudian diinkubasi di dalam waterbath (40oC, 30 menit). Pada kontrol ditambahkan 300 µl enzim, lalu didihkan bersamaan dengan sampel pada suhu 100oC selama 5 menit. Setelah didihkan, suspensi dibiarkan dingin terlebih dahulu dengan cara direndam dengan air. Setelah dingin, masing-masing suspensi (sampel dan kontrol) diendapkan sampai muncul endapan di dasar tabung reaksi lalu diambil sebanyak 500 µl. Kemudian keduanya ditambahkan 500 µl akuades steril dan 1000 µl reagen Schales. Sebagai blanko, dibuat suspensi yang terdiri atas 1000 µl akuades steril dan 1000 µl reagen Schales. Ketiga suspensi tersebut (sampel, kontrol, dan blanko) didihkan pada suhu 100oC selama 10 menit kemudian didinginkan. Setelah dingin, diukur absorbansinya dengan spektrofotometer menggunakan panjang gelombang 420 nm.


(31)

Aktivitas kitinase dihitung berdasarkan selisih antara kadar N-asetilglukosamin yang dibebaskan pada saat perlakuan dengan kadar N-asetilglukosamin yang terdapatpada kontrol. Aktivitas kitinase dihitung berdasarkan N-asetilglukosamin yang terbentuk dari hidrolisis kitin. Satu unit aktivitas kitinase didefinisikan sebagai jumlah enzim yang membebaskan 1 μmol N-asetilglukosamin/menit (Singh et al., 1999).

c. Daya Degradasi Kitin pada Tepung Cangkang Udang Menggunakan Crude Enzim Kitinase Hasil Produksi Bakteri Kitinolitik Isolat A7 pada Berbagai Konsentrasi Enzim

Tepung cangkang udang sebanyak 500 mg disuspensikan ke dalam 20 ml akuades. Sebanyak 2 ml suspensi tersebut dimasukkan ke dalam 10 tabung reaksi terpisah. Suspensi tersebut kemudian disterilisasi (121oC, 15 menit). Setelah didinginkan pada suhu ruang, diinokulasikan isolat bakteri kitinolitik (1 ml, 2 ml, 3 ml, 4 ml, 5 ml). Setelah didinginkan pada suhu ruang, diinokulasikan isolat bakteri kitinolitik (1 ml, 2 ml, 3 ml, 4 ml, 5 ml) dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 6 jam. Setelah waktu inkubasi berakhir, disentrifugasi pada 4000 rpm selama 15 menit. Supernatan hasil sentrifugasi diukur kadar N-asetilglukosamin dengan metode

Schales. Sebanyak 0,5 ml supernatan ditambahkan 0,5 ml akuades steril kemudian direaksikan dengan 1 ml reagen Schales dan selanjutnya diinkubasi pada air mendidih selama 10 menit. Setelah diinkubasi, selanjutnya diukur absorbansinya pada panjang gelombang 420 nm menggunakan spektrofotometer. Selanjutnya dibuat kurva regresi hubungan antara konsentrasi N-asetilglukosamin dan absorbansinya dengan persamaan y=a+bx.


(32)

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Uji Klarifikasi Kitinolitik Isolat A7 secara Semikuantitatif

Uji klarifikasi dilakukan untuk memastikan kembali aktivitas kitinolitik bakteri isolat A7. Aktivitas kitinase isolat A7 secara semikuantitatif ditentukan berdasarkan Indeks Aktivitas Enzim (IAE). IAE merupakan hasil perbandingan antara diameter zona bening yang terbentuk dan diameter koloni. Hasil uji aktivitas kitinolitik secara semikuantitatif menunjukkan bahwa bakteri isolat A7 memiliki IAE sebesar 4.29 saat diinokulasikan pada media kitin (Gambar 4.1). Zona bening yang terbentuk di sekitar koloni menunjukkan bahwa isolat A7 mampu mensekresikan kitinase yang mendegradasi senyawa kitin yang terkandung di dalam media agar kitin. Kitinase merupakan kelompok enzim yang mengkatalis reaksi hidrolisis kitin menjadi senyawa yang memiliki berat molekul yang lebih rendah (Jholapara et al., 2013). Menurut Apriani (2008), enzim kitinase yang disekresikan menyebabkan kandungan kitin pada media agar kitin berkurang. Hal ini disebabkan karena partikel kitin berikatan dengan enzim kitinase kemudian didegradasi menjadi senyawa yang lebih sederhana dan terbentuk zona bening di sekitar koloni.


(33)

4.2 Pola Pertumbuhan Bakteri Kitinolitik

Pola pertumbuhan dilakukan untuk mengetahui fase-fase pertumbuhan bakteri kitinolitik isolat A7, terutama fase logaritmik yang akan digunakan sebagai inokulum untuk produksi kitinase. Pada fase logaritmik terjadi pembelahan sel bakteri dan metabolisme bakteri paling aktif (Apriani, 2008). Hasil pembuatan pola pertumbuhan berdasarkan perhitungan jumlah koloni selama rentang waktu 24 jam dapat dilihat pada grafik di bawah ini (Gambar 4.2).

Gambar 4.2 Pola pertumbuhan bakteri kitinolitik isolat A7

Pertumbuhan bakteri kitinolitik isolat A7 menunjukkan fase lag pada jam ke-0 sampai jam ke-4. Pada fase ini, bakteri kitinolitik menyesuaikan dengan kondisi medium dan kondisi lingkungan di sekitarnya. Menurut Fardiaz (1992), pada fase lag belum terjadi pembelahan sel karena beberapa enzim belum disintesis. Jumlah sel pada fase ini tetap atau mengalami penurunan. Fase logaritmik terjadi pada jam ke-4 sampai jam ke-8, pada fase ini terjadi peningkatan massa dan volume sel akibat nutrisi yang tercukupi sehingga dapat tumbuh secara optimal. Fase stasioner terjadi pada jam ke-8 sampai jam ke-24, pada fase ini tidak terjadi peningkatan dan penurunan jumlah koloni bakteri. Ini terjadi karena jumlah sel yang hidup sama dengan sel yang mati akibat kesediaan nutrisi yang semakin berkurang dan peningkatan produk limbah.


(34)

Berdasarkan Gambar 4.2, fase logaritmik terjadi setelah inkubasi selama 4 jam sampai jam ke-8. Inokulum untuk produksi enzim diambil pada pertengahan atas fase logaritmik yaitu pada waktu inkubasi 7 jam. Pembuatan sumber inokulum biasanya dilakukan pada saat fase logaritimik karena pada fase ini sel-sel bakteri kitinolitik mengalami aktivitas metabolisme paling tinggi sehingga dapat mensintesis enzim kitinase secara optimal dan cocok digunakan sebagai inokulum dalam proses produksi enzim (Purkan et al., 2014). Pada fase logaritmik sel-sel bakteri sudah beradaptasi dengan medium yang ada sehingga terjadi pembelahan sel maksimum secara konstan (Schegel dan Karin, 1994). Fase logaritmik merupakan pola pertumbuhan yang seimbang karena semua sel membelah secara teratur dengan pembelahan biner. Sel-sel membelah dengan laju yang konstan tergantung pada komposisi media pertumbuhan dan kondisi inkubasi (www.textbookofbacteriology.net,2015).

4.3 Produksi Enzim Kitinase Isolat A7 Menggunakan Media Tepung Cangkang Udang pada Beberapa Waktu Inkubasi

Hasil produksi kitinase ditentukan berdasarkan penghitungan aktivitas enzim, yang disajikan pada gambar 4.3


(35)

Berdasarkan grafik aktivitas enzim kitinase isolat A7 (Gambar 4.3), waktu inkubasi optimal untuk produksi kitinase adalah 14 jam dan diperoleh aktivitas kitinase tertinggi yaitu sebesar 0,125 U/ml. Pada jam ke-7 aktivitas kitinase masih menunjukkan nilai yang rendah yaitu sebesar 0,121 U/ml. Pada jam ke-14, metabolisme bakteri kitinolitik dalam kondisi optimal, sehingga produksi enzim mengalami peningkatan dan mencapai titik optimal yaitu 0,125. Pada jam ke-21 sampai 35 terjadi penurunan produksi enzim. Penurunan terjadi karena nutrisi yang tersedia semakin berkurang sehingga jumlah bakteri kitinase semakin berkurang juga dan berdampak pada proses produksi enzim kitinase. Selain itu, produk hasil hidrolisis yang terlalu banyak dapat menghambat proses produksi enzim (Apriani, 2008). N-asetilglukosamin yang dihasilkan selama proses produksi jumlahnya akan semakin meningkat dan akan menghambat proses produksi enzim kitinase. Menurut Noviendri (2008), aktivitas enzim kitinase isolat T5a1 mengalami penurunan seiring dengan pertambahan waktu inkubasi. Hal ini menunjukkan bahwa enzim kitinase mengalami kerusakan atau denaturasi yang semakin meningkat seiring dengan bertambahnya waktu inkubasi.

Kitin merupakan sumber karbon dan nitrogen serta substrat atau penginduksi kuat dalam produksi enzim kitinase (Apriani, 2008). Endokitinase, eksokitinase dan β-N-asetil heksomidase adalah enzim kitinase utama dan biasanya beberapa enzim hidrolitik bekerja secara sinergis dalam mendegredasi kitin secara efisien (Galante et al., 2012). Nilai aktivitas kitinase dalam menghasilkan N-asetilglukosamin merupakan suatu hasil reaksi antara substrat kitin terhadap enzim kitinase yang terukur dari nilai absorbansi. Semakin tinggi N-asetilglukosamin yang dihasilkan maka semakin banyak gugus asetil yang dilepaskan, sehingga menujukkan aktivitas yang semakin tinggi (Hendarsyah, 2006).


(36)

4.4 Daya Degradasi Kitin pada Tepung Cangkang Udang Menggunakan CrudeEnzim Kitinase

Prinsip dari uji daya degradasi tepung cangkang udang menggunakan enzim kitinase adalah menambahkan enzim kitinase ke dalam substrat (tepung cangkang udang) kemudian diukur kadar N-asetilglukosamin pada supernatan hasil degradasi. Hasil pengukuran kadar N-asetilglukosamin (Gambar 4.4) menunjukkan kenaikan kadar N-asetilglukosamin selama perlakuan dan kadar N-asetilglukosamin tertinggi dihasilkan oleh penambahan enzim kitinase sebanyak 5 ml.

Gambar 4.4 Degradasi tepung cangkang udang olehcrudeenzim kitinase

Enzim adalah golongan protein yang berfungsi sebagai katalis untuk proses biokimia yang terjadi di dalam sel maupun di luar enzim. Dengan adanya enzim dalam suatu reaksi, energi aktivasi akan diperkecil atau diturunkan, sehingga akan dapat mempermudahkan atau mempercepat terjadinya suatu reaksi (Poedjiadi dan Supriyanti, 2009). Pada Gambar 4.4 dapat dilihat bahwa semakin banyak jumlah enzim yang ditambahkan maka semakin tinggi kadar N-asetilglukosamin yang dihasilkan. Hal ini berkaitan dengan kompleks enzim-substrat, semakin tinggi konsentrasi enzim semakin banyak kompleks enzim-substrat yang terbentuk dan ini berlangsung sampai semua enzim berikatan dengan substrat.


(37)

Menurut Poedjiadi dan Supriyanti (2009), hubungan antar substrat dan enzim hanya terjadi pada bagian tertentu yaitu bagian aktif (active site). Semakin banyak substrat yang berikatan dengan sisi aktif enzim maka kompleks enzim-substrat akan semakin meningkat sehingga produk yang dihasilkan juga tinggi. Sisi aktif enzim kitinase akan berikatan dengan kitin yang terkandung dalam tepung cangkang udang membentuk kompleks enzim substrat sehingga terbentuk produk N-asetilglukosamin. Oleh karena itu pada Gambar 4.4, peningkatan kadar N-asetilglukosamin terjadi seiring dengan peningkatan jumlah enzim yang ditambahkan.

Semakin banyak enzim yang digunakan maka kadar N-asetilglukosamin yang dihasilkan juga semakin meningkat. Proses degradasi cangkang udang oleh Roy (2003) menunjukkan bahwa peningkatan unit aktivitas enzim kitinase yang ditambahkan pada cangkang udang menyebabkan kenaikan kadar N-asetilglukosamin yang dihasilkan. Sashiwa (2002) menjelaskan bahwa proses degradasi kitin dengan enzim kitinase diawali dengan pemecahan substrat kitin oleh endokitinase menjadi oligosakarida. Kemudian oligosakarida yang terbentuk dipecah menjadi N-asetilglukosamin oleh eksokitinase. Park (2000) menyatakan bahwa kitin akan dihidrolisis menjadi oligomer dan dihidrolisi lebih lanjut oleh β -N-acetylglucosaminidase dalam bentuk monomer yaitu N-asetilglukosamin.

Kadar N-asetilglukosamin dapat diukur dengan spektrofotometer menggunakan metode Schales. Terjadinya reaksi reduksi pada oksidan anorganik yaitu ferisianida disebabkan oleh gugus aldehid atau hemiasetal dari N-asetilglukosamin. Reaksi reduksi ini dapat diketahui dari perubahan warna pada larutan yang diukur menggunakan spektrofotometer. Reagen Schales berwarna kuning dan reaksi dengan N-asetilglukosamin menghasilkan perubahan warna menjadi lebih memudar dan dapat diukur pada 420 nm (Ferrari, et al., 2014). Semakin tinggi kadar N-asetilglukosamin yang dihasilkan maka semakin memudar larutan yang akan diukur absorbannya. Hal ini disebabkan semakin banyaknya ferisianida yang teroksidasi bersama N-asetilglukosamin.


(38)

4.5 Daya Degradasi Kitin pada Tepung Cangkang Udang Menggunakan Bakteri Kitinolitik Isolat A7

Kitin merupakan makromolekul berbentuk padatan amorf atau kristal, berwarna putih dan dapat didegradasi secara hayati terutama oleh bakteri penghasil enzim kitinase. Degradasi cangkang udang dapat dilakukan menggunakan enzim yang ditambahkan langsung maupun enzim hasil metabolik sekunder dari proses kultivasi mikroba (Yang et al., 2000). Penggunaan bakteri secara langsung pada proses degradasi tepung cangkang udang bersifat lebih kompleks. Inokulum bakteri akan mensintesis enzim sebagai respon adaptasi terhadap substrat. N-asetilglukosamin yang terbentuk kemudian digunakan untuk proses pertumbuhannya. Pada penggunaan crudeenzim yang ditambahkan langsung, N-asetilglukosamin yang terbentuk merupakan murni hasil proses degradasi tepung cangkang udang karena tidak ada monomer N-asetilglukosamin yang digunakan pada proses pertumbuhan.

Prinsip dari uji daya degradasi tepung cangkang udang adalah menginokulasikan inokulum bakteri kitinolitik ke dalam substrat (tepung cangkang udang) kemudian diukur kadar N-asetilglukosamin pada supernatan hasil degradasi. Hasil pengukuran kadar N-asetilglukosamin (Gambar 4.3) menunjukkan kenaikan kadar N-asetilglukosamin selama perlakuan dan kadar N-asetilglukosamin tertinggi dihasilkan oleh penambahan inokulum bakteri sebanyak 5 ml dengan kepadatan bakteri sebesar 6,57x107sel/ml.


(39)

Pada Gambar 4.3 dapat dilihat bahwa semakin banyak jumlah inokulum yang ditambahkan maka semakin tinggi kadar N-asetilglukosamin yang dihasilkan. Hal ini terjadi karena peningkatan jumlah inokulum disertai dengan peningkatan enzim kitinase yang diproduksi sehingga banyak kitin yang didegradasi membentuk N-asetilglukosamin. Menurut Abun (2006), penggunaan dosis inokulum berpengaruh terhadap enzim yang dihasilkan mikroba tersebut. Dosis inokulum Bacillus licheniformis 5% menghasilkan enzim kitinase yang lebih banyak daripada penggunaan Bacillus licheniformis3 %. Pada penggunaan Bacillus licheniformis3 % terjadi penurunan jumlah enzim karena jumlah mikroba yang kurang optimum menghasilkan enzim kitinase.

N-asetilglukosamin merupakan monomer penyusun kitin dan dapat diperoleh dari proses hidrolisis. Semakin tinggi jumlah inokulum yang digunakan pada degradasi cangkang udang maka semakin tinggi pula cangkang udang yang terdegradasi. Hasil penelitian Hoang (2011) menyebutkan bahwa pada berat kering inokulum sebesar 40 mg, jumlah cangkang udang yang tersisa sebesar 80%, sedangkan pada berat kering inokulum sebesar 50 mg, jumlah cangkang udang yang tersisa sebesar 60%. Semakin menurunnya jumlah cangkang udang yang tersisa membuktikan bahwa terjadi proses degradasi kitin pada cangkang udang menjadi bentuk yang lebih sederhana atau monomer-monomernya. Ilangumaran (2014) menyatakan bahwa pada waktu inkubasi 24 jam, Pseudomonas fluorescens

menghasilkan N-asetilglukosamin sebesar 19 µg/ml, S224 (2 µg/ml), S223 (18 µg/ml), dan S23 (10 µg/ml). Semakin tinggi konsentrasi inokulum mengakibatkan semakin tinggi pula kadar N-asetilglukosamin yang dihasilkan. Pada S223 dan S224 peningkatan kadar N-asetilglukosamin seiring dengan peningkatan konsentrasi inokulum (1%, 5%, dan 10%).

Pada uji degradasi tepung cangkang udang digunakan perlakuan waktu inkubasi, banyak tepung cangkang udang yang digunakan dan banyak inokulum serta


(40)

dengan inokulum bakteri kitinolitik isolat A7 menghasilkan kadar N-asetilglukosamin sebesar 121,5 µg/ml, sedangkan kadar N-asetilglukosamin hasil dari proses degradasi oleh crude enzim isolat A7 sebesar 106,75 µg/ml. Enzim yang digunakan dalam proses degradasi merupakan enzim hasil produksi selama 14 jam (waktu produksi optimal), sedangkan inokulum yang digunakan merupakan inokulum dengan umur 7 jam pada media LB (fase eksponensial). Rendahnya kadar N-asetilglukosamin yang dihasilkan dari proses degradasi menggunakan crude enzim diduga karena pengaruh stabilitas enzim yang digunakan. Enzim dalam melakukan aktivitasnya dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan ini berkaitan dengan stabilitas enzim. Stabilitas enzim adalah kemampuan enzim untuk menjaga struktur dan konformasinya pada kondisi lingkungan tertentu sehingga aktivitasnya tetap tinggi. Pada industri, suatu reaksi enzimatik sering dilakukan pada kondisi pH dan suhu yang cukup ekstrim dalam waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, di samping pH dan suhu optimum, faktor penting yang menentukan kualitas enzim industri adalah stabilitas enzim terhadap pH dan suhu (Montenecourt et al., 1985). Perlakuan terhadap penggunaan enzim berkaitan dengan stabilitas sedangkan inokulum berkaitan dengan fase pertumbuhan. Penggunaan crude enzim yang disesuaikan dengan hasil stabilitasnya akan menunjukkan aktivitas yang optimal.


(41)

BAB 5. PENUTUP 5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa degradasi tepung cangkang udang menggunakan inokulum bakteri kitinolitik, kadar N-asetilglukosamin yang dihasilkan pada titik maksimal sebesar 121,5 µg/ml, sedangkan pada saat menggunakan crude enzim, kadar N-asetilglukosamin yang dihasilkan pada titik maksimal sebesar 106,75 µg/ml. Inokulum bakteri kitinolitik yang digunakan adalah inokulum dengan kepadatan 6,57x107 sel/ml, sedangkan

crude enzim yang digunakan adalah crude enzim dengan aktivitas kitinase sebesar 0,125 U/ml.

5.2 Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai karakterisasi dan stabilitas enzim sehingga mendapatkan kadar N-asetilglukosamin maksimal. Selain itu juga diperlukan uji degradasi dengan menggunakan enzim kitinase yang sudah mengalami pemurnian mengingat enzim kitinase yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstrak kasar (crudeenzim).


(42)

DAFTAR PUSTAKA

Abdel-Aziz, S. M. 2013. Extracellular Metabolites Produced by a Novel Strain,

Bacillus alvei NRC-14: 5. Multiple Plant-Growth Promoting Properties. J. Basic. Appl. Sci. Res., 3(1)670-682, 2013.

Abun, 2006. Bioproses Limbah Udang Windu Melalui Tahapan Deproteinasi dan Demineralisasi Terhadap Protein dan Mineral Terlarut. Skripsi. Jatinangor: Universitas Padjdjaran.

Abun, 2009. Pengolahan Limbah Udang Windu Secara Kimiawi dengan NaOH dan H2SO4Terhadap Protein dan Mineral Terlarut. Makalah Ilmiah. Jatinangor:

Universitas Padjajaran.

Apriani, L. 2008. Seleksi Bakteri Penghasil Enzim Kitinolitik serta Pengujian Beberapa Variasi Suhu dan pH Untuk Produksi Enzim. Skripsi. Depok: Universitas Indonesia.

a-z-animals. 2014. Shrimp. (online) www.a-z-animals.com [22 Mei 2014].

Park, S.H., Lee, J.H, and Lee, H.K. 2000. Purification and characterization of chitinase from a marine bacterium, Vibrio sp. 98CJ11027. J. Microbiol. 38(4): 224–229.

Chen, et al. 2010. N-Acetylglucosamine: Production and Applications. Mar Drugs. 2010; 8(9): 2493–2516.

Dewi, I.M. 2008. Isolasi bakteri dan Uji Aktivitas Kitinase Termofilik Kasar dari Sumber Air Panas Tinggi Raja, Simalangun Sumatera Utara. Skripsi.

Medan: Universitas Sumatera Utara.

Edwards, H.M. 2014. Indian white prawn - Penaeus indicus. www.fao.org (diakses 22 Mei 2014).


(43)

Enchantedlearning. 2000. Shrimp. (online) http://www.enchantedlearning.com/ subjects/invertebrates/crustacean/Shrimp.shtml. [10 April 2015].

Faramarzi, M.A., et al. 2009. Optimization of Cultural Conditions for Production of Chitinase by a Soil Isolate of Massilia timonae. Biotechnology 8(1): 93-99, 2009. Asian Network for Scientific Information.ISSN 1682-296X.

Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan1. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Ferrari, A.R., Gaber, Y., Fraaije, M.W., 2014. A fast, sensitive and easy colorimetric

assay for chitinase and cellulase activity detection. Biotechnology for Biofuels 2014, 7:37.

Galante, R.S., et al. 2012. Purification, Characterization and Structural Determination of Chitinases Produced by Moniliophthora perniciosa. An Acad Bras Cienc (2012) 84 (2). ISSN 1678-2690.

Gooday, G. W. 1990. The Ecology of Chitin Degradation. Advantages in Microbial Ecology.

Haliza, W dan Suhartono, M.T. 2012. Karakteristik Kitinase dari Mikrobia. Buletin Teknologi Pascananen Pertanian Vol 8 (1), 2012.

Hendarsyah, D. 2006. Karakterisasi Kitin Deasetilase Termostabil Isolat Bakteri Asal Pancuran Tujuh, Baturaden, Jawa Tengah. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Hoang, K.C., et al. 2011. The Chitinolytic Activities of Streptomyces sp. TH-11. Int. J. Mol. Sci. 2011, 12, 56-65.

Ilangumaran, G. 2014. Microbial Degradation of Lobster Shells to Extract Chitin Derivatives for Plant Disease Management. Thesis. Nova Scotia: Dalhousie University.

Jholapara, R.J., et al. 2013. Exploring and Optimizing The Potential of Chitinase Production by Isolated Bacillus spp. Int J Pharm Pharm Sci, Vol 5, Suppl 4, 412-418.


(44)

Kurnia, D. R. D. 2010. Studi Aktivitas Enzim Lipase Dari Aspergillus Niger Sebagai Biokatalis Pada Proses Gliserolisis Untuk Menghasilkan Monoasilgliserol.

Thesis. Universitas Diponegoro.

Kurniasih, M dan Kartika, D. 2011. Sintesis dan Karakterisasi Fisika-Kimia Kitosan. Jurnal Inovasi Vol. 5 No. 1, Januari 2011: 42-48.

Mubarik, et al. 2010. Chitinolytic Bacteria Isolated from Chili Rhizosphere: Chitinase Characterization and Its Application as Biocontrol for Whitefly (Bemisia tabaci Genn.). American Journal of Agricultural and Biological Sciences 5 (4): 430-435, 2010 ISSN 1557-4989.

Narayanan, K., et al. 2013. Fungal Chitinase Production and Its Aplication in Biowaste Management. Journal of Scientific & Industrial Research. Vol. 72, June 2013, pp. 393-399.

Noviendri, D., et al. 2008. Karakteristik dan Sifat Kinetika Enzim Kitinase dari Isolat Bakteri T5a1 Asal Terasi. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Vol. 3 No. 2, Desember 2008.

Park, S.H., Lee, J.H, and Lee, H.K. 2000. Purification and Characterization of Chitinase From A Marine Bacterium, Vibrio sp. 98CJ11027. J. Microbiol. 38(4): 224–229.

Poedjiadi, A dan Supriyanti, F.M.T. 2009. Dasar- Dasar Biokimia. Jakarta: Penerbit Univeritas Indonesia (UI-Press).

Purkan, et al. 2014. Eksplorasi Bakteri Kitinolitik dari Sampah Organik : Isolasi Dan Karaktrisasi Enzim Kitinase. Molekul, Vol. 9. No. 2. November, 2014: 128 – 135.

Purwanti, A dan Yusuf, M. 2013. Upaya Peningkatan Kelarutan Kitosan dalam Asam Asetat dengan Melakukan Perlakuan Awal Pada Pengolahan Limbah Kulit Udang Menjadi Kitosan. Seminar Nasional ke 8 Tahun 2013: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi.


(45)

Rakhmawati, E. 2007. Pemanfaatan Kitosan Hasil Deasetilasi Kitin Cangkang BekicotSebagai Adsorben Zat Warna Remazol Yellow. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Roy, I., et al. 2003. Accelerating Enzymatic Hydrolysis of Chitin by Microwave Pretreatment. Biotechnol. Prog. 2003, 19, 1648-1653.

Sashiwa, H., et al. 2002. Production of N-acetyl-D-glucosamine from α-chitin by crude enzymes from Aeromonas hydrophila H-2330. Carbohydrate Research 337 (2002) 761–763.

Schlegel, H dan Karin, S. 1994. Mikrobiologi Umum. Diterjemahkan oleh Tedjo Baskoro. Yogyakarta: UGM Press.

Singh, G., Sharma, J. R., dan Hoondal, G.S. 1999. Chitinase Production by Serratia marcescens GG5. Turk J Biol 32 (2008) 231-236.

Sudhakar, P dan Nagarajan P. 2010. Production of Chitinase by Solid State Fermentation from Rice Bran. International Journal of Environmental Science and Development, Vol.1, No.5, December 2010. ISSN: 2010-0264.

Suryanto, D., Munir, E. dan Yunarliza. 2005. Eksplorasi Bakteri Kitinolitik: Keragaman Gen Penyandi Kitinse pada Berbagai Jenis Bakteri dan Pemanfaatannya. Laporan Hasil Penelitian Hibah Bersaing Perguruan Tinggi. Universitas Sumatra Utara.

Todar, K. 2008. Bacteral Growth (online) http://textbookofbacteriology.net/ growth.html [30 Maret 2014].

Ushakumari, U.N dan Ramanujan, R. 2012. Astaxanthin From Shrimp Shell Waste. International Journal of Pharmaceutical Chemistry Research. Volume 1 Issue 3 2012.

Utami, P.H. 2014. Penetapan Waktu Inkubasi Optimum Degradasi Kitin oleh Kitinase Dari Actinomycetes Anl-4 Secara Spektrofotometri Uv-Vis.

Skripsi. Bandar Lampung: Universitas Lampung.

Utarti dan Winarsa. 2013. N-Acetyl-D-Glukosamin Hasil Produksi Bakteri Kitinolitik


(46)

Udang Dalam Pengobatan Osteoarthritis. Penelitian Hibah Bersaing. Jember: Universitas Jember.

Widhyastuti, N. 2010. Purifikasi N-Asetil-D-Glukosamina Hasil Sintesa Secara Enzimatis Untuk Bahan Obat dan Pangan Fungsional. Laporan Akhir Program Intensif Peneliti dan Perekayasa LIPI Tahun 2010.

Wijaya, S. 2002. Isolasi Kitinase dari Scleroderma columnare dan Trichoderma harzianum. Jurnal ILMU DASAR, Vol.3 No.1, 2002:30-35.

Kiara. 2014. Petambak dan Perdagangan Bebas Komoditas Udang. (online) http://www.kiara.co.id. [31 Maret 2015].

Yang, J-K., et al. 2000. Production and Purification of Protease from a Bacillus subtilis that Deproteinize Crustacean Waste. Enzyme and Microbial Technology (26): 406-413.


(47)

LAMPIRAN

Lampiran A. Komposisi dan cara pembuatan media nutrient agar

Bahan Jumlah

Pepton 5 gr

Beef extract 3 gr

Agar 15 gr

Akuades 1000 ml

Pembuatan media nutrien agar

Bahan yang telah tersedia dilarutkan dalam 1000 ml akuades dan direbus hingga mendidih. pH dari media yang digunakan adalah 7. Selanjutnya dituang sebanyak 10 ml dalam tiap tabungdan disterilkan pada suhu 121ºC selama 15-20 menit dengan tekanan 15 lbs.

Lampiran B. Komposisi dan cara pembuatan media agar kitin

Bahan Jumlah

Koloidal kitin 5 gr

MgSO4.7H2O 1 gr

K2HPO4 0,2 gr

Yeast extract 1 gr

Agar 15 gr

Akuades 1000 ml

Pembuatan media agar kitin

5 gram koloidal kitin dilarutkan terlebih dahulu dalam 10 ml akuades. Setelah itu ditambahkan 0,1% MgSO4.7H2O, 0,02% K2HPO4, 0,1% ekstrak yeast, 1.5 % agar dan 990 ml akuades. pH dari media yang digunakan adalah 7. Semua bahan yang telah dicampur kemudian dididihkan. Media dituang sebanyak 10 ml dalam tiap tabung dan disterilkan pada suhu 121ºC selama 15-20 menit dengan tekanan 15 lbs.


(48)

Lampiran C. Komposisi dan cara pembuatan media LB

Bahan Jumlah

Tripton 10 gr

Yeast extract 10 gr

NaCl 0,1 gr

Akuades 1000 ml

Pembuatan media luria broth

Bahan yang telah tersedia dilarutkan dalam 1000 ml akuades dan dididihkan. pH yang digunakan pada media adalah 7. Selanjutnya dituang sebanyak 10 ml dalam tiap tabung dan disterilkan pada suhu 121ºC selama 15-20 menit dengan tekanan 15 lbs.

Lampiran D. Reagen Schales

Komposisi Jumlah

Kalium Ferrisianida 0, 125 Natrium Karbonat 250 ml 0,5 M

Pembuatan Reagen Schales

Natrium karbonat dilarutkan dalam 250 ml aquadest steril, kemudian ditambahkan 0,125 gr K. ferrisianida sambil diaduk sampai larutan homogen. Larutan disimpan pada botol gelap.

Lampiran E. Kurva standar N-asetil glukosamin

Konsentrasi N-asetil glukosamin (µg/ml) Absorbansi 420 nm

0 0

50 0,078

100 0,234

150 0,328

200 0,497


(49)

(1)

Kurnia, D. R. D. 2010. Studi Aktivitas Enzim Lipase Dari Aspergillus Niger Sebagai Biokatalis Pada Proses Gliserolisis Untuk Menghasilkan Monoasilgliserol.

Thesis. Universitas Diponegoro.

Kurniasih, M dan Kartika, D. 2011. Sintesis dan Karakterisasi Fisika-Kimia Kitosan. Jurnal Inovasi Vol. 5 No. 1, Januari 2011: 42-48.

Mubarik, et al. 2010. Chitinolytic Bacteria Isolated from Chili Rhizosphere: Chitinase Characterization and Its Application as Biocontrol for Whitefly (Bemisia tabaci Genn.). American Journal of Agricultural and Biological Sciences 5 (4): 430-435, 2010 ISSN 1557-4989.

Narayanan, K., et al. 2013. Fungal Chitinase Production and Its Aplication in Biowaste Management. Journal of Scientific & Industrial Research. Vol. 72, June 2013, pp. 393-399.

Noviendri, D., et al. 2008. Karakteristik dan Sifat Kinetika Enzim Kitinase dari Isolat Bakteri T5a1 Asal Terasi. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Vol. 3 No. 2, Desember 2008.

Park, S.H., Lee, J.H, and Lee, H.K. 2000. Purification and Characterization of Chitinase From A Marine Bacterium, Vibrio sp. 98CJ11027. J. Microbiol. 38(4): 224–229.

Poedjiadi, A dan Supriyanti, F.M.T. 2009. Dasar- Dasar Biokimia. Jakarta: Penerbit Univeritas Indonesia (UI-Press).

Purkan, et al. 2014. Eksplorasi Bakteri Kitinolitik dari Sampah Organik : Isolasi Dan Karaktrisasi Enzim Kitinase. Molekul, Vol. 9. No. 2. November, 2014: 128 – 135.

Purwanti, A dan Yusuf, M. 2013. Upaya Peningkatan Kelarutan Kitosan dalam Asam Asetat dengan Melakukan Perlakuan Awal Pada Pengolahan Limbah Kulit Udang Menjadi Kitosan. Seminar Nasional ke 8 Tahun 2013: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi.


(2)

Rakhmawati, E. 2007. Pemanfaatan Kitosan Hasil Deasetilasi Kitin Cangkang BekicotSebagai Adsorben Zat Warna Remazol Yellow. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Roy, I., et al. 2003. Accelerating Enzymatic Hydrolysis of Chitin by Microwave Pretreatment. Biotechnol. Prog. 2003, 19, 1648-1653.

Sashiwa, H., et al. 2002. Production of N-acetyl-D-glucosamine from α-chitin by crude enzymes from Aeromonas hydrophila H-2330. Carbohydrate Research 337 (2002) 761–763.

Schlegel, H dan Karin, S. 1994. Mikrobiologi Umum. Diterjemahkan oleh Tedjo Baskoro. Yogyakarta: UGM Press.

Singh, G., Sharma, J. R., dan Hoondal, G.S. 1999. Chitinase Production by Serratia marcescens GG5. Turk J Biol 32 (2008) 231-236.

Sudhakar, P dan Nagarajan P. 2010. Production of Chitinase by Solid State Fermentation from Rice Bran. International Journal of Environmental Science and Development, Vol.1, No.5, December 2010. ISSN: 2010-0264.

Suryanto, D., Munir, E. dan Yunarliza. 2005. Eksplorasi Bakteri Kitinolitik: Keragaman Gen Penyandi Kitinse pada Berbagai Jenis Bakteri dan Pemanfaatannya. Laporan Hasil Penelitian Hibah Bersaing Perguruan Tinggi. Universitas Sumatra Utara.

Todar, K. 2008. Bacteral Growth (online) http://textbookofbacteriology.net/ growth.html [30 Maret 2014].

Ushakumari, U.N dan Ramanujan, R. 2012. Astaxanthin From Shrimp Shell Waste. International Journal of Pharmaceutical Chemistry Research. Volume 1 Issue 3 2012.

Utami, P.H. 2014. Penetapan Waktu Inkubasi Optimum Degradasi Kitin oleh Kitinase Dari Actinomycetes Anl-4 Secara Spektrofotometri Uv-Vis.

Skripsi. Bandar Lampung: Universitas Lampung.

Utarti dan Winarsa. 2013. N-Acetyl-D-Glukosamin Hasil Produksi Bakteri Kitinolitik


(3)

Udang Dalam Pengobatan Osteoarthritis. Penelitian Hibah Bersaing. Jember: Universitas Jember.

Widhyastuti, N. 2010. Purifikasi N-Asetil-D-Glukosamina Hasil Sintesa Secara Enzimatis Untuk Bahan Obat dan Pangan Fungsional. Laporan Akhir Program Intensif Peneliti dan Perekayasa LIPI Tahun 2010.

Wijaya, S. 2002. Isolasi Kitinase dari Scleroderma columnare dan Trichoderma harzianum. Jurnal ILMU DASAR, Vol.3 No.1, 2002:30-35.

Kiara. 2014. Petambak dan Perdagangan Bebas Komoditas Udang. (online) http://www.kiara.co.id. [31 Maret 2015].

Yang, J-K., et al. 2000. Production and Purification of Protease from a Bacillus subtilis that Deproteinize Crustacean Waste. Enzyme and Microbial Technology (26): 406-413.


(4)

LAMPIRAN

Lampiran A. Komposisi dan cara pembuatan media nutrient agar

Bahan Jumlah

Pepton 5 gr

Beef extract 3 gr

Agar 15 gr

Akuades 1000 ml

Pembuatan media nutrien agar

Bahan yang telah tersedia dilarutkan dalam 1000 ml akuades dan direbus hingga mendidih. pH dari media yang digunakan adalah 7. Selanjutnya dituang sebanyak 10 ml dalam tiap tabungdan disterilkan pada suhu 121ºC selama 15-20 menit dengan tekanan 15 lbs.

Lampiran B. Komposisi dan cara pembuatan media agar kitin

Bahan Jumlah

Koloidal kitin 5 gr

MgSO4.7H2O 1 gr

K2HPO4 0,2 gr

Yeast extract 1 gr

Agar 15 gr

Akuades 1000 ml

Pembuatan media agar kitin

5 gram koloidal kitin dilarutkan terlebih dahulu dalam 10 ml akuades. Setelah itu ditambahkan 0,1% MgSO4.7H2O, 0,02% K2HPO4, 0,1% ekstrak yeast, 1.5 % agar dan 990 ml akuades. pH dari media yang digunakan adalah 7. Semua bahan yang telah dicampur kemudian dididihkan. Media dituang sebanyak 10 ml dalam tiap tabung dan disterilkan pada suhu 121ºC selama 15-20 menit dengan tekanan 15 lbs.


(5)

Lampiran C. Komposisi dan cara pembuatan media LB

Bahan Jumlah

Tripton 10 gr

Yeast extract 10 gr

NaCl 0,1 gr

Akuades 1000 ml

Pembuatan media luria broth

Bahan yang telah tersedia dilarutkan dalam 1000 ml akuades dan dididihkan. pH yang digunakan pada media adalah 7. Selanjutnya dituang sebanyak 10 ml dalam tiap tabung dan disterilkan pada suhu 121ºC selama 15-20 menit dengan tekanan 15 lbs.

Lampiran D. Reagen Schales

Komposisi Jumlah

Kalium Ferrisianida 0, 125

Natrium Karbonat 250 ml 0,5 M

Pembuatan Reagen Schales

Natrium karbonat dilarutkan dalam 250 ml aquadest steril, kemudian ditambahkan 0,125 gr K. ferrisianida sambil diaduk sampai larutan homogen. Larutan disimpan pada botol gelap.

Lampiran E. Kurva standar N-asetil glukosamin

Konsentrasi N-asetil glukosamin (µg/ml) Absorbansi 420 nm

0 0

50 0,078

100 0,234

150 0,328

200 0,497


(6)