Implementasi Kebijakan Publik. TINJAUN PUSTAKA

yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah Hartiwiningih, Catatan Kuliah: 22 Juli 2007. Berdasarkan uraian tersebut diatas maka, penulis mengartikan kebijakan publik menurut pendapat pertama sebagaimana yang dikemukakan oleh Thomas R Dye , bahwa kebijaksanaan publik sebaga is whatever government choose to do or not to do apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan, dalam tataran tingkatan lingkup wilayah yakni di Kota Surakarta dalam Mengimplementasikan Sanksi Administrasi Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 2 Tahun 2006 tentang Pengendalian Lingkungan Hidup pada Pengusaha Batik di Kota Surakarta.

C. Implementasi Kebijakan Publik.

Sebelum membahas implementasi, maka terlebih dahulu perlu penulis kemukakan beberapa model perumusan kebijakan negara, karena perumusan kebijakan publik tersebut tidak hanya ada satu model dengan kata lain ada berbagai macam model sesuai dengan kerangka berpikir pembuat model tersebut. Menurut Yahezkel Dror dalam Irfan Islami: 2002: 35 mengemukakan adanya tujuh macam model pembuatan keputusan, yaitu: a. Pore Rationality Model . Model ini memusatkan perhatiannya pada pengembangan suatu pola pembuatan keputusan yang ideal secara universal, dimana keputusan- keputusan tersebut harus dibuat setepat-tepatnya. b. Economicallly Rational Model . Model ini sama dengan model yang pertama tetapi lebih ditekankan pada pembuatan keputusan yang paling ekonomis dan paling efisien. c. Sequential-Decision Model . Model ini memusatkan perhatian pada pembuatan eksperimen dalam rangka menentukan pelbagai macam alternatif sehingga dapat dibuat suatu kebijakan yang paling efektif. d. Incremental Model . Model yang keempat ini bersala dari teorinya Charles E. Lindblom yang terkenal dengan sebutan “ muddling through” menjelaskan bagaimana kebijakan itu dibuat. Kebijakan dibuat atas dasar “perubahan yang sedikit” dari kebijakan-kebijakan yang telah ada sebelumnya. Jadi kebijaksanaan- kebijaksanaan yang lama dipakai sebagai dasarpedoman untuk membuat kebijaksanaan yang baru. e. Statisfying Model . Model ini dipusatkan pada proses pemilihan alternatif kebijaksanaan pertama yang paling memuaskan dengan tanpa bersusah payah menilai alternatif- alternatif yang lain. f. Extra-Rational Model . Model ini didasarkan atas proses pembuatan keputusan yang sangat rasional untuk menciptakan metode pembuatan kebijakan yang paling optimal. g. Optimal Model . Ini merupakan suatu model yang integratif gabungan yang memusatkan perhatiannya pada pengintegrasian nilai-nilai, kegunaan praktis dari pada kebijaksanaan dan masalah-masalahnya. Selanjutnya agar kebijakan dalam arti Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2006 tidak hanya akan menjadi catatan-catatan yang elit, maka perda tersebut harus diimplementasikan. Kegiatan implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian yang luas, merupakan tahap dari proses kebijakan segera setelah penetapan undang-undang. Menurut Lester dan Stewart, implementasai dipandang secara luas mempunyai makna pelaksanaan undang-undang dimana sebagai aktor, organisasi, prosedur dan teknik bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan dalam upaya meraih tujuan kebijakan atau tujuan program Budi Winarno: 2007: 144. Sementara Ripley dan Franklin berpendapat bahwa implementasi adalah apa yang terjadi setelah undang-undang ditetapkan yang memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan benefit, atau suatu jenis keluaran yang nyata tangible output. Oleh karenanya implementasi mencakup tindakan-tindakan tanpa tindakan-tindakan oleh berbagai aktor, khususnya para birokrat, yang dimaksudkan untuk membuat program berjalan Budi Winarno: 2007: 145. Lebih lanjut menurut mereka, implementasi mencakup banyak kegiatan. Pertama, badan-badan pelaksana yang ditugasi oleh undang-undang dengan tanggung jawab menjalankan program harus mendapatkan sumber-sumber personil, peralatan, lahan tanah, bahan mentah dan uang yang dibutuhkan agar implementasi berjalan lancar. Kedua, badan-badan pelaksana mengembangkan bahasa anggaran dasar menjadi arahan-arahan konkret, regulasi, serta rencana- rencana dan desain program. Ketiga, badan-badan pelaksana harus mengorganisasikan kegiatan-kegiatan mereka dengan menciptakan unit-unit birokrasi dan rutinitas untuk mengatasi beban kerja. Dan keempat, badan-badan pelaksana memberikan keuntungan atau pembatasan kepada para pelanggan atau kelompok-kelompok target. Sementara van Meter dan van Horn, membatasi implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu atau kelompok- kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan. Tindakan itu merubah keputusan menjadi tindakan opersional dalam korun waktu tertentu maupun dalam rangka mencapai perubahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan kebijakan Budi Winarno: 2007: 145. Selanjutnya bagaimana teori implementasi? Menurut George C. Edwards dalam Budi Winarno: 2007: 174-211 bahwa ada empat faktor yang berpengaruh terhadap implementasi kebijakan yakni a komunikasi kejelasan petunjuk pelaksanaan, b sumber-sumber staf dan dan uang, c kecenderungan- kecenderungan sikap pelaksana kebijakan, dan d struktur birokrasi organisasi pelaksana kebijakan. Keempat faktor tersebut bekerja secara simultan dan berinteraksi satu sama lain untuk membantu atau menghambat implementasi kebijakan. Lebih jelas dapat dilihat dalam gambar dibawah ini: Dari gambar tersebut diatas diperoleh penjelasan bahwa faktor-faktor komunikasi, sumber, kecenderungan dan struktur birokasi akan berpengaruh langsung terhadap implementasi kebijakan. Dengan kata lain bahwa, komunikasi akan mempengauruhi sumber-sumber, kencenderungan-kecenderungan dan struktur birokrasi dalam implementasi. Oleh karena itu implementasi kebijakan Komunikasi Struktur Birokrasi Kecenderungan- kecenderungan Sumber-sumber Implementasi Gambar 1 Teori Implementasi Model George C. Edwards merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan publik, karena dilaksanakan oleh badan-badan adminitrasi atau agen-agen pemerintah di tingkat bawah, dengan memobilisasi sumberdaya finansial dan manusia untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Menurut van Meter dan van Horn dalam Budi Winarno: 2007: 153, menggolongan kebijakan menurut dua karakteristik yang berbeda jumlah perubahan yang terjadi dan sejauh mana konsensus menyangkut tujuan antara pemeran serta dalam proses implementasi berlangsung. Unsur perubahan merupakan karakteristik yang paling penting setidaknya dalam dua hal. Pertama, implementasi akan dipengaruhi oleh sejauhmana kebijakan menyimpang dari kebijakan sebelumnya. Kedua, proses implementasi akan dipengaruhi oleh jumlah perubahan organisasi yang diperlukan. Sementara itu Gross dan kawan-kawan tentang perubahan organisasi yang terencana, mengindentifikasi beberapa faktor yang mempengaruhi tujuan, yang salah satu dari faktor-faktor itu adalah sejauh mana pejabat bawahan implementaors berperanserta dalam pembuatan keputusan kebijakan. Pendapat mereka itu didasarkan pada argument; 1 peran serta menimbulkan semangat staf yang tinggi dan samangat staf yang tinggi diperlukan bagi implementasi yang berhasil, 2 peran serta menimbulkan komitmen yang besar dan tingkat komitmen yang tinggi diperlukan untuk mempengaruhi perubahan, 3 peran serta menimbulkan kejelasan yang sangat besar tentang suatu pembaharuan dan kejelasan diperlukan untuk implementasi, 4 dengan menggunakan postulat resistensi dasar terhadap perubahan, argument yang dibangun kemudian adalah peran serta akan mengurangi resistensi awal dan dengan demikian akan memudahkan implementasi yang berhasil, dan 5 pera pejabat bawahan akan cenderung menentang suatu pembaharuan, jika prakarsa atas pelaksanaan kebijakan semata-mata dari pejabat yang menjadi atasan mereka. Dengan demikian peran serta menjadi faktor yang krusial bagi keberhasilan suatu proses implementasi kebijakan.

D. Teori Implementasi Hukum.