a. Faktor ekonomi.
Dari hasil penelelitian diperoleh kesimpulan jawaban bahwa, ketidak taatan para pengusaha batik sesuai dengan ketentuan ambang
batas mutu dikarenakan mahalnya biaya pembuatan Instalasi Pembuangan Limbah IPAL. Jawaban mahalnya biaya pembuatan IPAL
seperti yang dikatakan oleh H. Bambang. S pemilik batik Merak Manis di Jl. Sidoluhur
Laweyan Surakarta dan Alfa Febella, Pemilik Industri Batik dan Show Room Batik Abstrak di
Sayangan Kulon Nomor 9 Laweyan.
Akibatnya, ketentuan atas pemilikan Dokumen Lingkungan termasuk di dalamnya pembuatan Instalasi Pengolahan Limbah IPAL
bagi pengusaha batik di Laweyan masih rendah. Kenyataan itu didukung atas data peneltian bahwa dari 40 perusahaan batik di Laweyan yang
menghasilkan limbah industri semuanya atau 100 tidak memiliki Dokumen Lingkungan Unit Pemantauan Lingkungan dan Upaya
Pengelolaan Lingkungan sebagaimana tersaji dalam Tabel 7. Sajian data tersebut juga diperkuat dari hasil peneliti atas
kepemilikan Instalasi Pengolahan Limbah IPAL, bahwa diperoleh data sebanyak 14 perusahaan atau 56 yang tidak memiliki Instalasi Limbah
dan sisanya 11 perusahaan atau 44 yang memiliki limbah komunal berkat bantuan dari Kementerian Lingkungan Hidup Jakarta. Kemudian
dari kesebelas industri batik tersebut, ternyata hanya ada sebanyak 2
industri batik atau 18 yang mentaati ketentuan prosedur pembuatan limbah dan sisanya 9 industri batik atau 81 yang tidak mau mentaati
ketentuan atas pembaungan limbah ke IPAL komunal. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara yang diperoleh peneliti dengan Widiarso,
Koordinator Lapangan Forum Pengusaha Batik Laweyan. Ketentuan yang disepakati dalam pengelolaan IPAL komunal
adalah setiap industri batik yang akan dibuang ke IPAL komunal harus “dileremkan” pada bak-bak atau skah-skah sendiri dalam satu malam
sebelum dibuang ke IPAL Komunal. Namun hasil penelitian menunjukkan bahwa kendati para pengusaha telah diberikan bantuan oleh
pemerintah namun mereka juga tetap tidak mau mentaati atas kesepakatan yang telah mereka buat sendiri. Akibatnya, uji mutu air pada
IPAL yang akan dibuang ke sungai tetap masih melampai batas toleransi yang pada gilirannya melanggar Perda Nomor 2 Tahun 2006 dan Perda
Jawa Tengah Nomor 10 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Kualitas Air. Sajian data tersebut, menurut analisis peniliti ada korelasinya
dengan tidak dimilikinya Dokumen Lingkungan UPL-UKL, termasuk Instalasi Pengolahan Limbah dan ketidak taatan atas kesepakatan
pembuangan limbah pada IPAL komunal oleh para pengusaha batik dengan pemikiran atau alasan ekonomi. Karena pembuatan IPAL yang
memenuhi standar sebagaimana yang dicontohkan oleh Kementrian Lingkungan Jakarta, pengusaha harus menyediakan dana sebesar 200 juta
hingga 300 juta. Begitu juga dengan “pelereman” atas limbah yang akan di buang ke IPAL komunal, pengusaha harus membuat bak atau skah di
lokasi industri sendiri, yang sudah tentu membutuhkan pengeluaran biaya.
Pertimbangan ekonomi tersebut diperkuat lagi konsep pemikiran
pengusaha yang
selalu mempertimbangkan
dan mengedepankan pembiayaan yang sekecil-kecilnya untuk mendapatkan
keuntungan yang sebesar-besarnya orientasi keuntungan. Dan pembuatan IPAL dalan konsep pemikiran pedagangpengusaha batik
adalah tidak menguntungkan secara ekonomi karena akan membebani biaya produksi.
Padahal sesuai dengan Perda Nomor 2 Tahun 2006 Pasal 34 dinyatakan bahwa setiap orang yang akan melakukan suatu usaha
danatau kegiatan, diperkirakan menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup wajib menyusun AMDAL danatau menyusun
UKL-UPL sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan Dokumen AMDAL , UPL-UKL yang telah ditetapkan menjadi
persyaratan untuk pengajuan dan penerbitan ijin mendirikan bangunan, ijin gangguan dan ijin usahaoperasional.
b. Sikap dan perilaku pengusaha batik.