a. Kajian Dari Prespektif Implementasi Kebijakan Publik.
Kebijakan pengendalian lingkungan hidup di kota Surakarta, telah diformulasikan kedalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2006. Perda
tersebut merupakan dasar hukum atas pilihan tindakan yang akan dilakukan oleh Pemerintah Kota Surakarta dalam pengelolaan dan pengendalian
lingkungan hidup termasuk di dalamnya pengaturan pembuangan limbah oleh para pengusaha batik Laweyan. Formulasi kebijakan itu akan
bermakna dan tidak hanya menjadi catatan elit, bila Perda Nomor 2 Tahun 2006 diimplementasikan sehingga dapat menjadi alat pengatur masyarakat
dalam pengendalian lingkungan hidup di Surakarta. Menurut George C. Edwards ada empat faktor yang berpengaruh
terhadap implementasi kebijakan yakni: a komunikasi kejelasan petunjuk pelaksanaan, b sumber-sumber staf dan dan uang, c kecenderungan-
kecenderungan sikap pelaksana kebijakan, dan d struktur birokrasi organisasi pelaksana kebijakan.
Dari teori implementasi George C. Edwards tersebut, akan bisa penulis jadikan pisau analisis atas tidak jalannya sebuah kebijakan
pengaturan pembuangan limbah industri batik di Laweyan berdasarkan Perda Nomor 2 Tahun 2006. Bila kita korelasikan dengan keempat faktor
tersebut, maka kebijakan pengaturan limbah industri harus didukung oleh kejelasan petunjuk pelaksanaan, dukungan staf dan anggaran, sikap
pelaksana kebijakan, dan organisasi pelaksana kebijakan.
Pemaknaannya adalah implementasi sanksi administrasi Perda Nomor 2 Tahun 2006 agar dapat dilaksanakan maka harus didukung oleh
kejelasan petunjuk pelaksanaan dalam arti apakah pemberian sanksi adminitrasi bagi pengusaha batik laweyan telah menjadi agenda prioritas
Walikota Surakarta. Dari hasil penelitian, sebagaimana dikatakan Kepala Kantor Lingkungan kepada peneliti bahwa pemberian sanksi administrasi
bagi pengusaha batik yang membuang limbah tidak sesuai ketentuan Perda Nomor 2 Tahun 2006 belum sesuai dengan jawaban Kepala Kantor
Lingkungan Hidup Kota Surakarta, Supono, S.Sos dinyatakan belum menjadi agenda penting Walikota Surakarta. Oleh karenanya, Kantor
Lingkungan Hidup Kota Surakarta sebagai pelaksana belum bisa mengimplementasi sanksi adminitrasi berupa pencabutan ijin kepada para
pengusaha batik Laweyan. Tidak dimasukkan prioritas agenda kebijakan implementasi sanksi
adminitrasi tersebut,
juga dikarenakan
pengalokasian anggaran
penangangan kasus limbah industri batik Laweyan belum memadahi. Hal ini bisa dilihat dari hasil penelitian, bahwa untuk penanganan kasus
pencemaran limbah di Laweyan, untuk dua tahun terakhir yakni tahun 2007 dan 2008, Walikota Surakarta hanya mengalokasikan anggaran untuk
penanganan pencemaran limbah industri batik Laweyan sebesar Rp. 15.117.000,- sebagaimana tercantum pada tebel 12.
Jumlah dana yang retaif sangat kecil, tentu tidak akan berarti dalam mengimplementasikan sebuah kebijakan. Apalagi kebijakan penindakan
pencemaran lingkungan akibat limbah industri batik, sangat membutuhkan dana yang cukup besar karena selain tindak pelanggaran lingkungan adalah
permasalahan yang komplek juga membutuhkan penyelesaian yang kontinyu dan komprehensip.
Sebagai pembanding dapat peneliti kemukakan bahwa keberhasilan Pemerintah Kota dalam mengimplementasi Perda PKL Nomor 8 Tahun
1995, selain karena dimasukkannya penertiban PKL pada prioritas agenda kebijakan Walikota Surakarta, juga diberikan dukungan dana yang cukup
besar. Keberhasilan kebijakan Pemerintah Kota Surakarta dalam penertiban PKL sebagaimana amanat dari Perda PKL untuk dua tahun terakhir yakni
tahun 2007 dan 2008, karena Walikota Surakarta memberikan dukungan dana yang cukup besar yakni tidak kurang dari 9,76 milyar rupiah. Jumlah
yang kontradiktif dan sangat jauh bila disebandingkan dengan jumlah dana yang disediakan oleh Walikota Surakarta untuk mengimplementasikan
Perda Nomor 2 Tahun 2006 yang hanya sebesar 15,1 juta rupiah. Akibat ketidak-jelasan petunjuk pelaksanaan dan ketersediaan dana
yang memadahi, maka berdampak pula atas sikap pelaksana Kantor Lingkungan Hidup Kota Surakarta sebagai organisasi pelaksana kebijakan.
Artinya, Kantor Lingkungan Hidup Kota Surakarta sebagai organisasi kebijakan dalam pemberian sanksi adminitrasi, menjadi gamang dalam
bersikap dan melakukan “pembiaran” tindak pencemaran terus terjadi. Sanksi adminitrasi yang seharusnya diberikan kepada pengusaha batik
yang tetap membandel, justru tidak dilaksanakan karena tidak adanya perintah yang jelas dari Walikota Surakarta sebagai atasan. Dalam posisi
yang demikian, Kantor Lingkungan Hidup Kota Surakarta menjadi tidak “berdaya” menghadapi para pengusaha batik yang mencemari lingkungan.
Dari kajian tersebut diperoleh kesimpulan bahwa mengapa sanksi administrasi tidak diberikan kepada pengusaha batik yang tetap membuang
limbah industri ke slokan dan sungai, dilihat dari prespektif implementasi kebijakan publik, karena tidak sinerginya empat faktor yang dipersyaratkan
oleh George C. Edwards yakni: komunikasi kejelasan petunjuk pelaksanaan, sumber-sumber staf dan dan uang, kecenderungan-
kecenderungan sikap pelaksana kebijakan, dan struktur birokrasi organisasi pelaksana kebijakan.
Kesimpulan tersebut memberikan jastifikasi atas teori George C. Edwards, yang dalam bagan telah penulis kemukakan bahwa keempat
faktor tersebut saling mempengaruhi dan menentukan keberhasilan sebuah implementasi kebijakan.
b. Kajian Dari Prespektif Implementasi Hukum.