hingga 300 juta. Begitu juga dengan “pelereman” atas limbah yang akan di buang ke IPAL komunal, pengusaha harus membuat bak atau skah di
lokasi industri sendiri, yang sudah tentu membutuhkan pengeluaran biaya.
Pertimbangan ekonomi tersebut diperkuat lagi konsep pemikiran
pengusaha yang
selalu mempertimbangkan
dan mengedepankan pembiayaan yang sekecil-kecilnya untuk mendapatkan
keuntungan yang sebesar-besarnya orientasi keuntungan. Dan pembuatan IPAL dalan konsep pemikiran pedagangpengusaha batik
adalah tidak menguntungkan secara ekonomi karena akan membebani biaya produksi.
Padahal sesuai dengan Perda Nomor 2 Tahun 2006 Pasal 34 dinyatakan bahwa setiap orang yang akan melakukan suatu usaha
danatau kegiatan, diperkirakan menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup wajib menyusun AMDAL danatau menyusun
UKL-UPL sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan Dokumen AMDAL , UPL-UKL yang telah ditetapkan menjadi
persyaratan untuk pengajuan dan penerbitan ijin mendirikan bangunan, ijin gangguan dan ijin usahaoperasional.
b. Sikap dan perilaku pengusaha batik.
Faktor tersebut bisa dilihat dari jawaban responden dari masyarakat, yang menyatakan bahwa ketidak-taatan para pengusaha batik
atas ketentuan pembuangan limbah sebagaimana diatur dalam Perda Nomor 2 Tahun 2006, lebih dikarenakan sikap egois dan tidak peduli
dengan lingkungan. Kesimpulan itu didasarkan pada hasil jawaban yang diberikan oleh pengusaha H. Bambang. S yang menyatakan keheranan
atas keluhan masyarakat RW 04I yang merasa tercemar sumurnya akibat limbah industri batik.
Jawaban responden tersebut menunjukkan sikap apriori atas realitas lingkungan di sekitar, karena berdasarkan pengamatan peneliti
bahwa di Laweyan khususnya di Rt 04I sumur penduduk telah berubah warna dan berbau kecing bila didiamkan dalam beberapa jam.
Sikap ketidak-pedulian atas kesehatan dan kualitas lingkungan juga diperkuat dari hasil jawaban 4 responden yakni: 1 Susanto, warga
Rt 04I Laweyan, 2 Warno, warga Rt 04I Laweyan, 3 Widiarso, Koordinator Lapangan Forum Pengambangan “Kampoeng” Batik dan 4
Kepala Kelurahan Laweyan, Sukaryono, SH. Dari jawaban keempat responden tersebut, yang merupakan represtasi dari elemen masyarakat
Laweyan semua sependapat atas sikap egoisme dari pengusaha batik sebagai bukti tidak memberikan apresiasi positip atas segala keluhan
yang disampaikan oleh masyarakat dan justru sebaliknya malah mencari kambing hitam lihat hasil wawancara dengan Susanto dan Widiarso.
Ketidak pedulian pada lingkungan juga bisa dikorelasikan dengan bentuk bangunan rumah. Berdasarkan pengamatan di lokasi
penelitian, bahwa semua rumah pengusaha batik semuanya berbentuk tertutup dengan tembok dan pagar yang tinggi sehingga tidak bisa diakses
oleh pihak luar. Bentuk bangunan yang demikian menunjukkan bahwa para penghuninya tidak komunikatif dengan pihak luar sehingga timbul
masalah komunikasi dalam setiap penyelesaian tindak pelanggaran lingkungan sebagaimana yang terjadi antara Warga Rt 04I Laweyan
dengan Pengusaha Batik Merak Manis, H. Bambang Slameto. Dari hasil penelitian juga diperoleh jawaban atas ketidak taatan
para pengusaha batik terhadap Perda Nomor 2 Tahun 2006 khususnya dalam hal pemilikan Dokumen Lingkungan UPL-UK dan ketentuan
pembuangan limbah, karena disebabkan faktor kebiasaan budaya. Kesimpulan ini didasarkan atas jawaban yang diberikan oleh
seluruh responen baik dari pengusaha batik, Ketua RTRW, Pengurus Forum Pengembangan “Kampoeng” Batik Laweyan dan Kepala
Kelurahan Laweyan. Dari seluruh responden menyatakan kepada peneliti bahwa pembuangan limbah telah terjadi bertahun-tahun sejak pabrik
batik berdiri. Sejak dulu para pengusaha batik tidak pernah memikirkan apalagi membuat unit pengolahan limbah agar limbah yang dibuang ke
drainase umum atau sungai sudah memenuhi ketentuan batas mutu yang dipersyaratkan oleh ketentuan perundangan. Kebiasaan itu, kini terus
berlangsung padahal daya dukung lingkungan kian terbatas sehingga
pada akhirnya menimbulkan problema lingkungan seperti yang terjadi di Laweyan saat ini.
c. Faktor teknis.