sumber daya manusia menjadi penyebab tidak bisa dilaksnakan sanksi admintrasi bagi pengusaha batik di Laweyan.
2. Ketertersedian anggaran kurang memadahi.
Kurang memadahinya
ketersedian anggaran
dalam implementasi Perda Nomor 2 Tahun 2006 khususnya dalam
penanganan limbah industri batik di Laweyan, bisa di lihat dalam Dokumen Prioritas Anggaran Kantor Lingkungan Hidup Kota
Surakarta dalam 2 tahun terakhir yakni Tahun Anggaran 2007 dan Tahun 2008 sebagaimana tercantum dalam tebel 12 dan 13.
Dari Dokumen Prioritas Angaran tersebut ternyata untuk kegiatan yang terkait langsung dengan penanganan limbah industri
batik di Laweyan hanya tersedia dalam tahun 2007 yakni sebesar Rp. 15.177.000,- yang digunakan untuk kegiatan Fasilitas Penerapan
Produksi Bersih dan Pengendalian Pencemaran Air UKM Batik Laweyan.
Anggaran tersebut jelas sangat tidak memadahi untuk melakukan pemantauan lingkungan dan penindakan hukum bagi para
pencemar. Jumlah itu relatif kecil bila dibandingkan dengan pos kegiatan lain misalnya kegiatan koordinasi penyusunan Amdal Tahun
2008 Kantor Lingkungan Hidup Kota Surakarta mengalokasikan anggaran sebesar Rp. 123.441.500,-.
Oleh karenanya jawaban keterbatasan dana oleh Kepala Kantor Lingkungan Hidup Kota Surakarta, Supono, S.Sos, yang menyatakan
keterbatasan anggaran untuk melakukan penegakkan Perda Nomor 2 Tahun 2006 bagi pengusaha batik Laweyan ada benarnya. Bila
Pemerintah konsisten bahwa “Kampoeng Batik” Laweyan dijadikan lokasi wisata batik dan budaya, maka program produksi bersih yang
mengandeng kerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup RI, GTZ Pro LH Jerman, Bapedalda Propinsi Jawa Tengah, dan Forum
Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan, selayaknya diberikan dukungan dana dari APBD yang memadahi.
Setidaknya Pemerintah Kota Surakarta bisa mengacu pada penegakan Perda Pedagang Kaki Lima, bahwa untuk menertibkan PKL
dari tempat-tempat yang dilarang sebagaimana di atur dalam Perda PKL Nomor 8 Tahun 1995, dalam dua tahun terakhir yakni Tahun
Anggaran 2007 dan 2008, Kantor Pengelolaan Pedagang Kaki Lima Kota Surakarta di berikan dukungan dana tidak kurang dari 9,67
milyar. Sehingga hasilnya bisa dilihat, bila Kota Surakarta dulu menjadi lautan PKL kini telah bersih karena PKL telah direlokasi pada
pasar tradisonal Pasar Harjodaksino dan shelter-shelter di berbagai sudut jalan di kota Surakarta seperti di seputar Lapangan Mahanahn, Jl.
Katamso dan Jalan Hasanudin serta sebelah timur Solo Squer.
BAB V P E N U T U P
A. Kesimpulan.
Berdasarkan pembahasan tersebut di atas maka, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pengusaha batik Laweyan tidak mentaati ketentuan sanksi administrasi dalam
Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 2 Tahun 2006 tentang Pengendalian Lingkungan Hidup disebabkan oleh faktor ekonomi, sikap dan perilaku
pengusaha batik yang tidak peduli terhadap lingkungan dan faktor teknis dalam arti keterbatasan ketersediaan lahan untuk pembuatan instalasi pengolahan
limbah industri. 2.
Sanksi administrasi tidak diberikan kepada pengusaha batik yang tindak mentaati ketentuan Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 2 Tahun 2006,
dari prespektif implementasi kebijakan publik karena tidak didukung faktor sumber daya manusia kompenten, dukungan anggaran operasional yang
memadahi dan tidak dimasukkannya program penanganan pencemaran industri batik Laweyan pada agenda prioritas yang pada akhirnya mengakibatkan
aparat dan organisasi pelaksana kebijakan impelementasi pencegahan tindak pencemaran limbah industri tidak bisa dapat tercapai dengan baik. Sedangkan
dari kajian prespektif implementasi hukum, disebabkan karena: