5.2 Pembahasan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan data sekunder rekam medis di RSUP H. Adam Malik, Medan pada tahun 2016,
diperoleh data mengenai profil lipid dari sindroma koroner akut. Data-data tersebut akan digunakan sebagai dasar dari pembahasan hasil akhir penelitian ini
dan dijabarkan sebagai berikut.
Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh bahwa sampel pasien pada penelitian ini lebih banyak yang berjenis kelamin laki-laki daripada perempuan,
dimana jumlah pasien laki-laki sebanyak 73 pasien 79,3 dan perempuan 19 20,7 Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Erasta 2012 dengan
hasil penelitian yaitu, jumlah pasien pria yang didapatkan sebanyak 122 orang 79,7 dan pasien wanita sebanyak 31 orang 20,3. Dan hasil penelitian
serupa juga diapatkan oleh Eva dkk. 2015, menyimpulkan bahwa jumlah pasien berjenis kelamin laki-laki lebih banyak daripada perempuan, dengan persentase
masing-masing sebanyak 53 untuk pasien laki-laki dan 27 untuk pasien perempuan.
14
Pada penelitian ini diperoleh bahwa jumlah sampel pasien pada penelitian ini terbanyak adalah pada rentang usia 40-60 tahun, yakni sebanyak 58 pasien
63. Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Erasta 2012 yang mengkaji hubungan faktor risiko mayor penyakit jantung koroner dengan skor
pembuluh darah koroner dengan hasil penelitian yakni, jumlah umur yang berisiko terbanyak pada pria berusia 45 tahun dan pada wanita berusia 55 tahun
88,9. Selain itu, pada penelitian oleh Eva dkk. 2015 yang meneliti gambaran profil lipid pada penderita sindrom koroner akut juga menunjukkan prevalensi
tertinggi usia pasien dengan sindroma koroner akut adalah pada usia 55-65 tahun. Hal ini disebabkan karena perubahan usia adalah salah satu faktor risiko kuat
untuk penyakit sindrom koroner akut SKA tetapi faktor risiko lainnya dan kondisi komorbid juga memiliki pengaruh yang sangat besar, dimana perubahan
Universitas Sumatra Utara
gaya hidup juga mempengaruhi tingkat kejadian sindrom koroner akut pada usia yang semakin tua.
15
Pada penelitian ini diperoleh bahwa sampel pasien dengan sindrom koroner akut pada penelitian ini lebih banyak yang tidak memiliki riwayat
diabetes melitus, yakni sebanyak 55,4 dari total pasien. hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Erasta 2012 yang mengkaji hubungan faktor risiko
mayor penyakit jantung koroner dengan skor pembuluh darah koroner dengan hasil penelitian yakni, jumlah pasien dengan sindroma koroner akut yang
memiliki riwayat diabetes melitus lebih sedikit daripada yang memiliki riwayat diabetes melitus, dengan proporsi sebesar 40,5. Dan pada penelitian oleh Eva
dkk. 2015 yang meneliti gambaran profil lipid pada penderita sindrom koroner akut menunjukkan hasil yang berbeda, bahwa hanya sebesar 17,5 pasien dengan
sindroma koroner akut dalam penelitiannya yang memiliki riwayat diabetes melitus. Perbedaan ini mungkin karena adanya perbedaan sampel, waktu dan
tempat penelitian. Berdasarkan teori, individu dengan DM mudah terjadi penyakit yang berhubungan dengan aterosklerosis, dan diyakini bahwa lebih dari dua
pertiga kematian pasien DM akibat penyakit arterial. Pada satu penelitian Helsinki policeman study untuk setiap faktor risiko dan pada setiap tingkatan
risiko, angka kematian penyakit jantung koroner 3 kali lipat lebih tinggi pada pasien DM daripada individu normal. Mekanisme yang mungkin adalah
berhubungan dengan abnormalitas metabolisme lipid yang dapat meningkatkan aterogenesis, dan advanced glycation end products AGE yang menggambarkan
metabolisme abnormal pada DM yang berdampak pada kerusakan endotel.
14
Pada penelitian ini diperoleh bahwa sampel pasien dengan sindroma koroner akut pada penelitian ini lebih banyak yang tidak memiliki riwayat
hipertensi, yakni sebanyak 51,1 dari total pasien. Namun Hasil ini tidak sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Erasta 2012 yang mengkaji hubungan faktor
risiko mayor penyakit jantung koroner dengan skor pembuluh darah koroner dengan hasil penelitian yakni, jumlah pasien dengan sindroma koroner akut yang
memiliki riwayat hipertensi lebih banyak daripada yang tidak memiliki riwayat
Universitas Sumatra Utara
hipertensi, dengan proporsi sebesar 71,2. Namun pada penelitian oleh Eva dkk. 2015 yang meneliti gambaran profil lipid pada penderita sindrom koroner akut
menunjukkan hasil sebaliknya, bahwa hanya sebesar 16 pasien dengan sindroma koroner akut dalam penelitiannya yang memiliki riwayat hipertensi. Hal ini
disebabkan karena risiko terjadinya penyakit jantung koroner dua kali lipat pada pasien hipertensi. beberapa penelitian menunjukkan bahwa individu dengan
hipertensi memiliki banyak plak pada aorta dan arteri koronaria dibandingkan individu dengan tekanan darah normal pada semua usia dan kedua jenis kelamin.
Kerusakan endotelial secara langsung akibat kekuatan tekanan darah dimungkinkan sebagai penyebabnya.
14
Pada penelitian ini diperoleh bahwa sampel pasien dengan sindroma koroner akut pada penelitian ini lebih banyak yang memiliki riwayat merokok
yakni sebanyak 52,2 dari total pasien. Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Arief 2011 yang mendapatkan hasil sebanyak 42 pasien dari 72
pasien 58,3 adalah perokok.
14
Pada penelitian ini diperoleh bahwa sampel pasien dengan sindroma koroner akut pada penelitian ini yang memiliki riwayat keluarga sebanyak 35
pasien 38 dan sebanyak 57 pasien 62 yang tidak memiliki riwayat keluarga.
15
Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh bahwa rata-rata kadar kolesterol total sampel pasien penelitian ini adalah 202,99 mgdL. Hasil ini sesuai
dengan penelitian sebelumnya oleh Erasta 2012 yang mengkaji hubungan faktor risiko mayor penyakit jantung koroner dengan skor pembuluh darah koroner yang
menyimpulkan bahwa jumlah pasien yang mengalami dislipidemia lebih banyak daripada yang tidak mengalami dislipidemia, yakni sebesar 60,46. Namun hasil
ini kurang sesuai dengan penelitian oleh Eva dkk. 2015 yang meneliti gambaran profil lipid pada penderita sindrom koroner akut, yang mendapatkan hasil rata-rata
kolesterol total sampel pasiennya sebesar 199,55 mg dL, dan nilai ini masih termasuk nilai optimal. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh perbedaan
sampel, waktu, dan tempat penelitian. Selain itu pada penelitian ini semua sampel yang diambil kriteria inklusi adalah sampel dengan nilai kolesterol total diatas
Universitas Sumatra Utara
nilai normal. Menurut teori, semakin tinggi level kolesterol dalam darah, semakin besar risiko terjadinya PJK dan serangan jantung. Pada tahun 1976, Russel Ross
mengemukakan aterosklerosis bukan merupakan suatu proses degeneratif, tetapi merupakan proses inflamasi kronik yang diikuti oleh suatu proses nekrosis di
dinding arteri. Hal inilah yang mendasari hipotesis response to injury yang dikemukakan olehnya. Hipotesis ini menyatakan bahwa lesi aterosklerosis terjadi
sebagai respons
platelet karena
kerusakan sel
endothel oleh
hiperkolesterolemia.
15,16
Pada penelitian ini diperoleh bahwa rata-rata kadar trigliserida sampel pasien penelitian ini adalah 173,79 mgdL. Hasil ini sesuai dengan penelitian
sebelumnya oleh Erasta 2012 yang menyimpulkan bahwa jumlah pasien yang mengalami dislipidemia lebih banyak daripada yang tidak mengalami
dislipidemia, yakni sebesar 60,46. Namun hasil ini kurang sesuai dengan penelitian oleh Eva dkk. 2015 yang meneliti gambaran profil lipid pada
penderita sindrom koroner akut, yang mendapatkan hasil rata-rata trigliserida sampel pasiennya sebesar 140,05 mg dL, dan nilai ini masih termasuk nilai
optimal. Peneliti Eva menyebutkan bahwa kadar trigliserida yang didapatkan pada penderita SKA pada penelitian ini tidak menunjukkan peningkatan yang bermakna
mungkin disebabkan karena keterbatasan data pada penelitian ini, yaitu peneliti tidak menelusuri lebih lanjut penderita yang telah mendapatkan terapi sehingga
berdampak pada penurunan kadar trigliserida pada responden. Peran peningkatan konsentrasi trigliserida sebagai prediktor terhadap penyakit kardiovaskular masih
menjadi perdebatan. Konsentrasi trigliserida yang tinggi sering disertai dengan konsentrasi kolesterol HDL yang rendah dan konsentrasi small dense LDL tinggi
sehingga diperkirakan
pengaruh hipertrigliseridemia
terhadap risiko
kardiovaskular secara tidak langsung disebabkan oleh konsentrasi kolesterol HDL rendah dan konsentrasi small dense LDL tinggi.
18
Pada penelitian ini diperoleh bahwa rata-rata kadar kolesterol HDL sampel pasien penelitian ini adalah 37,36 mgdL. Hasil ini sesuai dengan
penelitian oleh Eva dkk. 2015 yang meneliti gambaran profil lipid pada penderita sindrom koroner akut, yang mendapatkan hasil rata-rata kolesterol HDL
Universitas Sumatra Utara
sampel pasiennya sebesar 39,42 mg dL. Kadar kolesterol HDL yang tinggi memberi pengaruh yang baik bagi tubuh. HDL merupakan jenis kolesterol yang
bersifat baik atau menguntungkan; berfungsi mengangkut kolesterol yang berlebih yang terdeposit didalam pembuluh darah maupun jaringan tubuh lainnya menuju
ke hati untuk di eliminasi melalui traktus gastrointestinal. Semakin tinggi kadar HDL, maka akan semakin besar maka kapasitas untuk memindahkan kolesterol
dan mencegah terjadinya aterosklerosis. Beberapa faktor seperti faktor genetik, diabetes melitus tipe 2, dan obat-obat tertentu dapat menurunkan kadar kolesterol
HDL, Merokok, obesitas, dan pola hidup yang buruk juga bisa mengakibatkan penurunan kadar kolesterol HDL.
15
Pada penelitian ini diperoleh bahwa rata-rata kadar kolesterol LDL sampel pasien penelitian ini adalah 131,77 mgdL. Hasil ini sesuai dengan
penelitian oleh Eva dkk. 2015 yang meneliti gambaran profil lipid pada penderita sindrom koroner akut, yang mendapatkan hasil rata-rata kolesterol LDL
sampel pasiennya sebesar 131,47 mg dL. Kadar kolesterol LDL yang tinggi sangat berbahaya. Peningkatan kolesterol LDL merupakan predisposisi terjadinya
aterosklerosis. LDL berperan dalam proses penimbunan kolesterol dalam makrofag, sel otot polos dalam pembuluh darah sehingga bersifat aterogenik. LDL
sangat erat hubungan dengan kejadian SKA dimana patofisiologinya adalah kerusakan pada lapisan endotel pembuluh darah koroner yang salah satu faktor
risikonya disebabkan oleh oksidasi dari LDL-C. Kematian sel endotel akibat terjadinya oksidasi LDL ini menghasilkan respons inflamasi. Dimana respons dari
angiotensin II, yang menyebabkan gangguan vasodilatasi, dan mencetuskan efek protrombik dengan melibatkan platelet dan faktor koagulasi. Hal ini menghasilkan
respons protektif dimana akan terbentuk lesi fibrofatty dan fibrous, plak atherosklerotik, yang dipicu oleh inflamasi. Plak yang terjadi dapat menjadi tidak
stabil vulnerable dan mengalami ruptur sehingga terjadi SKA.
30
Terdapat bukti kuat adanya hubungan antara kolesterol LDL dengan kejadian kardiovaskular
berdasarkan studi luaran klinis. Sehingga kolesterol LDL merupakan target utama dalam tatalaksana dislipidemia. Besarnya reduksi risiko kardiovaskular sesuai
dengan besarnya penurunan kolesterol LDL. Setiap penurunan 1 mmoL
Universitas Sumatra Utara
40mgdL kolesterol LDL berhubungan dengan reduksi 22 mortalitas dan morbiditas kardiovaskular.
18
Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan antara kadar kolesterol total dengan keparahan pembuluh
darah koroner sampel pasien pada penelitian ini, dengan nilai p = 0,853 p 0,05.. Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Penalva, dkk 2007 yang
meneliti tentang hubungan profil lipid dan keparahan penyakit aterosklerosis pada
sindrom koroner akut, yang menyimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kadar kolesterol total dengan keparahan penyakit aterosklerosis
pada sindrom koroner akut, dengan nilai p = 0,1 p0,05.
35
Hal ini dapat dijelaskan oleh fakta bahwa lesi yang lebih berpotensi tidak stabil dan rawan
pecah sering non-oklusif terhadap arteri koroner dan tidak dapat didiagnosis dengan angiografi. Di sisi lain, lesi ini memiliki inti lipid besar dengan tanda-
tanda peradangan aktif dan akumulasi makrofag di lokasi ruptur plak.
19
Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kadar trigliserida dengan keparahan pembuluh
darah koroner sampel pasien pada penelitian ini, dengan nilai p = 0,748 p 0,05.Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Penalva, dkk 2007
yang meneliti tentang hubungan profil lipid dan keparahan penyakit aterosklerosis
pada sindrom koroner akut, yang menyimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kadar trigliserida dengan keparahan penyakit aterosklerosis
pada sindrom koroner akut, dengan nilai p = 0,4 p 0,05.
Namun bukti baru menunjukkan bahwa kenaikan ringan pada kadar trigliserida menyebabkan
peningkatan risiko kejadian koroner dan perkembangan penyakit arteri koroner, serta pembentukan lesi yang baru.
2 3
Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kadar kolesterol HDL
dengan keparahan pembuluh darah koroner sampel pasien pada penelitian ini, dengan nilai p = 0,412 p 0,05.Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya
oleh Penalva, dkk 2007 yang meneliti tentang hubungan profil lipid dan
keparahan penyakit aterosklerosis pada sindrom koroner akut, yang menyimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kadar
Universitas Sumatra Utara
kolesterol HDL dengan keparahan penyakit aterosklerosis pada sindrom koroner akut, dengan nilai p = 0,9
p 0,05. Namun sebuah temuan oleh Libby, dkk.
2002 memperkuat pentingnya pengukuran rasio kolesterol total HDL sebagai faktor risiko individu untuk sindrom koroner akut, serta indikator tingkat dan
beratnya penyakit, bahkan jika kadar kolesterol dianggap normal, dengan demikian menunjukkan bahwa ketidakseimbangan antara kolesterol dan tingkat
HDL memainkan peran yang lebih penting dalam patofisiologi aterogenesis. Hal ini penting untuk mempertimbangkan bahwa fungsi atheroprotective HDL tidak
terbatas untuk membalikkan transportasi kolesterol, tetapi juga dapat mengangkut enzim antioksidan, memecah fraksi lipid teroksidasi. Perlu dicatat bahwa 38,8
dari populasi kita memiliki HDL 40mgdL, dan hanya 21,5 yang dianggap atheroprotective.
Berdasarkan teori rendahnya konsentrasi high-density
lipoprotein HDL-C telah menunjukkan sebagai salah satu faktor risiko independen terkuat untuk penyakit aterosklerosis koroner.
18
Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kadar kolesterol LDL dengan keparahan
pembuluh darah koroner sampel pasien pada penelitian ini, dengan nilai p = 0,296 p 0,05. Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Penalva, dkk
2007 yang meneliti tentang hubungan profil lipid dan keparahan penyakit
aterosklerosis pada sindrom koroner akut, yang menyimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kadar kolesterol LDL dengan keparahan
penyakit aterosklerosis pada sindrom koroner akut, dengan nilai p = 0,1 p 0,05.
Namun beberapa studi setuju bahwa tingginya konsentrasi low-density lipoprotein LDL-C dalam plasma secara langsung berkorelasi dengan perkembangan
penyakit arteri koroner, dan semakin meningkatnya jumlah pembuluh darah yang mengalami obstruksi.
18
Universitas Sumatra Utara
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Tidak adanya hubungan yang signifikan antara kadar kolesterol total kadar trigliserida, kolesterol HDL, dan kolesterol LDL dengan keparahan pembuluh
darah koroner pada pasien SKA 2.
Faktor risiko DM, merokok, dan Usia memiliki jumlah tertinggi pada kejadian ACS
6.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang didapat pada penelitian ini, maka peneliti menyampaikan beberapa saran sebagai berikut :
1. Diharapkan adanya penelitian-penelitian lebih lanjut yang mengkaji
tentang hubungan profil lipid dengan keparahan pembuluh darah koroner secara lebih detail, mengingat masih kurangnya penelitian ini di Indonesia.
2. Karena dari penelitian ini terdapat bukti bahwa tingginya kadar kolesterol total berhubungan dengan keparahan pembuluh darah koroner, maka diharapkan
kepada pasien dan pembaca agar dapat menerapkan tindakan pencegahan pola hidup yang sehat sejak dini.
3. Bagi instalasi rekam medik agar memberikan dokumentasi data perjalanan penyakit lebih lengkap dan terstruktur agar proses penelitian kedepannya berjalan
dengan baik.
Universitas Sumatra Utara