commit to user 41
fungsi, hak, atau hal-hal lain dari sebuah lembaga negara maka UU harus dapat mengatur lebih lanjut agar kekuasaan, fungsi, dan hak
tersebut dalam dilaksanakan. Dari ketentuan tentang DPR dalam UUD 1945 dapat diketahui
bahwa lembaga ini memegang kekuasaan membentuk undang-undang serta memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi
pengawasan. Sedangkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan undang-undang. Sehubungan dengan itu,
seharusnya Undang-Undang yang menyelenggarakan pengaturan lebih lanjt tentang DPR harus dapat mengisi lembaga negara ini dengan
orang-orang yang mampu melaksanakan kekuasaan, fungsi, dan hak yang diberikan. Akan tetapi, dari persyaratan untuk menjadi calon
anggota DPR tidak satu pun yang dapat mematikan anggota DPR pasti mampu melaksanakan kekuasaan, fungsi, dan hak yang diberikan
UUD 1945. Kenyataan ini akan menyebabkan pemilihan umum hanya sebagai sarana legitimasi politik. Padahal dalam suatu negara
demokrasi semestinya pemilihan umum bukan sekedar sebagai sarana legitimasi politik melainkan juga sebagai sarana pendidikan politik
bagi rakyat.
4. Tinjauan Tentang Partai Politik dan Sistem Kepartaian a. Pengertian Partai Politik
Secara etimologis politik berasal dari kata polis bahasa Yunani yang artinya kota, sehingga politik dapat diartikan sebagai
hal ihwal mengatur penyelenggaraan suatu kota, atau jika diperluas penyelenggaraan suatu negara. Pengertian politik lebih sulit
didefinisikan dari berbagai pengertian sosiologi karena politik politics meliputi berbagai kegiatan dalam suatu sistem politik atau
negara yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Pengambilan
keputusan tentang tujuan sistem perlu skala prioritas dari berbagai
commit to user 42
alternatif, sedangkan untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan berbagai kebijakan umum public policies yang
menyangkut pengaturan dan pembagian distribution atau alokasi dari sumber-sumber yang ada resources allocation.
Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya
mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan
merebut kedudukan politik biasanya dengan cara konstitusionil untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka Miriam
Budiardjo, 2007:160. Dalam praktek kegiatan politik dilaksanakan oleh lembaga-
lembaga politik yang masing-masing memiliki kewenangan tertentu. Lembagalembaga itu adalah : negara, lembaga-lembaga perwakilan
rakyat, lembagalembaga peradilan, serta partai politik. Bagaimana praktek politik itu dilaksanakan tergantung pada sistem politik serta
filosofi yang dianut oleh masing-masing negara, mungkin demokratis dapat pula otoriter, theistik atau atheistik.
Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik memberi pengertian bahwa Partai
Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar
kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan
negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Partai politik didirikan dan dibentuk oleh sekurangkurangnya 50 orang warga negara Republik Indonesia
yang telah berusia 21 tahun dengan akta notaris. Akta notaris yang dimaksud adalah harus memuat anggaran dasar dan anggaran rumah
tangga disertai kepengurusan tingkat nasional. Partai politik di
commit to user 43
Indonesia harus mendaftarkan diri pada departemen kehakiman. Dalam pembentukannya partai politik harus memiliki asas yang tidak
boleh bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. dan setiap partai politik mempunyai ciri tertentu sesuai dengan kehendak dan
cita-citanya yang tidak bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945 dan Undang-Undang.
b. Fungsi Partai Politik
Konsep fungsi pada dasarnya merupakan suatu bentuk kerja, yang menurut Poerwadarminta adalah jabatan yang dilakukan dalam
pekerjaan yang dilakukan. Soejamto, 1972: 16 Lebih lanjut dikatakan bahwa fungsi adalah suatu yang menjadi pokok hal yang
besar pengaruhnya terhadap sesuatu, terutama dapat berlangsung dalam suatu organisasi besar maupun kecil, pemerintah maupun
swasta. The Liang Gie mengatakan bahwa bila dari jumlah
pekerjaan dalam suatu organisasi telah menjadi sangat banyak, maka dikelompokkan menjadi kesatuan bidang kerja cukup bulat, masing-
masing bidang kerja ini dapat disebut sebagai fungsi. A.H Soeharto, 1986: 5. Menurut Sarwoto fungsi dapat pula diwujudkan dalam
sekelompok kegiatan homogen dalam arti satu sama lain terdapat hubungan yang sangat erat.
Berdasarkan pandangan diatas dapat disimpulkan bahwa fungsi merupakan tugas pokok organisasi seperti partai politik dalam
rangka legislasi, anggaran dan pengawasan. Hal ini dipertegas oleh Rudini bahwa fungsi itu sesungguhnya telah melekat pada tugas dan
wewenang. Ibrahim Ambong dan Miriam Budiharjo, 1993: 109. Moekijat mengatakan bahwa “Kecakapan-kecakapan
manusia menunjukkan kenyataan bahwa pelaksanaan daripada fungsi-fungsi harus diserahkan baik langsung maupun tidak langsung
commit to user 44
kepada manusia”. Hari Cahyono, 1991: 97. Selanjutnya Moekijat juga mengatakan ”Fungsi-fungsi pada pekerjaan yang diusulkan
untuk mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan”. Hari Cahyono, 1991: 98
Dalam kaitan dengan itu, partai politik mempunyai fungsi sebagai berikut:
1 Sarana komukasi politik yakni sebagai jembatan arus informasi
antara orang yang memerintah pemerintah dan orang yang diperintah rakyat;
2 Sebagai sarana sosialisasi politik yaitu proses dimana seseorang
memperoleh pandangan, orientasi, dan nilai-nilai kemasyarakatan dimana dia berada dan juga mewariskan nilai-nilai sosial tadi ke
generasi berikutnya;
3 Sarana rekruitmen politik, yaitu proses pencarian anggota baru
dan mengajak orang untuk ikut dalam proses politik; 4
Sarana pengatur konflik conflict management, yakni mengatasi konflik yang disebabkan perbedaan sosial dan budaya di
masyarakat agar dampak negatif dapat diminimalisir sekecil mungkin;
5 Sebagai pembinaan dan pengembangan intregitas nasional yaitu
sebagai perekat dari berbagai corak daerah, golongan dan budaya agar mempunyai pandangan hidup menjadi satu bangsa.
Haricahyono, 1991: 99
Sedangkan menurut George H. Sabin mengatakan: “Fungsi Partai Politik diwujudkan secara konstitusional. Karena itu
konsepsi demokrasilah yang memberikan landasan dan mekanisme kekuasaan berdasarkan prinsip persamaan dan kesederajatan
manusia. Demokrasi menempatkan manusia sebagai pemilik kedaulatan yang kemudian dikenal dengan prinsip kedaulatan
rakyat. Berdasarkan pada teori kontrak sosial, untuk memenuhi hak- hak tiap manusia tidak mungkin dicapai oleh masing-masing orang
secara individual, tetapi harus bersama-sama. Maka dibuatlah perjanjian sosial yang berisi tentang apa yang menjadi tujuan
bersama, batas-batas hak individual, dan siapa yang bertanggungjawab untuk pencapaian tujuan tersebut dan
menjalankan perjanjian yang telah dibuat dengan batas-batasnya. Perjanjian tersebut diwujudkan dalam bentuk konstitusi sebagai
hukum tertinggi di suatu negara the supreme law of the land, yang kemudian dielaborasi secara konsisten dalam hukum dan kebijakan
negara. Proses demokrasi juga terwujud melalui prosedur pemilihan
commit to user 45
umum untuk memilih wakil rakyat dan pejabat publik lainnya”. George H. Sabine, 1961: 517-596
Fungsi Patai Politik menurut Miriam Budiarjo adalah sebagai berikut :
a Sebagai Sarana Komunikasi Politik
Salah satu tugas partai politik adalah menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyrakat yang
mengaturnya sedemikian rupa sehingga kesimpangsiuran pendapat dalam masyarakat berkurang. Perlu adanya suatu
proses dalam masyarakat untuk menghindari hilangnya aspirasi dari kelompok minoritas atas dominasi kelompok yang lebih
kuat. Proses ini dinamakan “penggabungan kepentinga”interest aggretion. Sesudah digabung, pendapat dan aspirasi ini diolah
dan dirumuskan dalam bentuk yang teratur. Proses ini dinamakan “perumusan kepentingan” interest articulatiaom.
b Sebagai Sarana Sosialisasi Politik
Partai politik juga memainkan peranan sebagai sarana sosialisasi politk instrument of political socialisation. Di
dalam ilmu politik, sosialisasi politik diartikan sebagai proses penemuan sikap dan orientasi pribadi terhadap fenomena politik
yang umumnya ditemukan yang umumnya berlaku dalam masyarakat diamana ia berada. Proses sosialisasi politik
diartikan juga sebagai pembelajaran atau internalisasi nilai-nilai politik. Dalam proses ini partai politik menegaskan visi dan
misi partai terhadap simpatisan dan partisannya sehngga memperoleh keyakinan dari masyarakat. Proses sosialisasi
politik merupakan proses yang panjang dalam masyarakat.
commit to user 46
c Sebagai Sarana Rekrumen Politik
Partai politik dalam hal ini bergfungsi untuk mencari dan mengajak orang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan
politik sebagai anggota partai political recruitment. Dengan demikian partai turut memperluas partisipasi politiknya.
Caranya ialah melalui kontak pribadi, persuasi dan lain-lain. Juga diusahakan untuk menarik golongan muda untuk dididik
menjadi kader yang di masa mendatang akan mengganti pimpinan yang lama selection of leadership. Kader-kader
tersebut nantinya diseleksi untuk menempati jabatan-jabatan politik yang tersedia.
d Sebagai Sarana Pengatur Konflik Conflict Management
Dalam sarana demokrasi, persaingan dan perbedaan pendapat dalam masyarakat merupakan persoalan yang wajar.
Jika sampai terjadi konflik, partai politik harus turut campur menyelesaikannya. Dalam hal ini partai politik memposisikan
dirinya sebagai sarana agregasi kepentingan aggregation of interest, sekaligus yang mengintegrasikan kepentingan-
kepentingan yang muncul di masyarakat untuk selanjutnya mengarahkan kepentingan-kepentingan yang ada untuk secara
efektif mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik kenegaraan semata-mata untuk menghindari hal-hal yang bersifat destruktif
ataupun anarki. Fungsi Partai Politik menurut ketentuan Pasal 11
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik adalah:
1 Pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar
menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara;
commit to user 47
2 Penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan
kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat;
3 Penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik
masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara;
4 Partisipasi politik warga negara Indonesia; dan
5 Rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik
melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender
Pada tataran yang lebih teknis, sekiranya perlu untuk memperhatikan pendapat Yves Meny dan Andrew Knapp
mengenai fungsi Partai Politik, sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie sebagai berikut Jimly Asshiddiqie, 2006:159
1 Fungsi mobilisasi dan integrasi;
2 Sarana pembentukan terhadap perilaku memilih voting
pattem; 3
Sarana rekrutmen politik; 4
Sarana elaborasi pilihan-pilihan kebijakan e Klasifikasi Partai Politik
Ichlasus Amal seperti yang dikutip Mukhtie Fadjar mengklasifikasikan partai politik dalam lima jenis, yaitu:
1 Partai Proto, adalaha tipe awal partai politik sebelum
mencapai perkembangan seperti dewasa ini yang muncul di Eropa Barat sekitar abad tengah sampai akhir abad ke 19. Ciri
paling menonjol partai proto adalah perbedaan antara kelompok anggota ins dengan non-anggota outs. Masih
belum nampak sebagai partai politik modern, tetapi hanya merupakan faksi-faksi yang dibentuk berdasarkan
pengelompokan ideologi dalam masyarakat.
2 Partai kader, merupakan perkembangan lebih lanjut partai
proto, muncul sebelum diterapkan hak pilih secara luas bagi rakyat, sehingga sangat tergantung masyarakat kelas
menengah ke atas memiliki hak pilih, keanggotaan yang terbatas, kepemimpinan, serta pemberi dana. Tingkat
organisasi dan ideologi masih rendah. Ideologi yang dianut
commit to user 48
konservatisme ekstrim atau reformisme moderat, partai kader tidak perlu organisasi besar yang memobilisasi massa.
Contoh PSI di Indonesia 1950-1960an.
3 Partai massa, muncul setelah terjadi perluasan hak pilih
rakyat, sehingga dianggap sebagai suatu respon politik dan organisasional bagi perluasan hak pilih. Kalau partai peoto
dan partai kader muncul dalam lingkungan parlemen intra- parlemen dan memiliki basis pendukung kelas menengah ke
atas dengan tingkat organisasi dan ideologi rendah. Partai massa terbentuk di luar parlemen extra-parlemen dengan
basis massa luas, seperti buruh, tani, kelompok agama dan lain-lain dengan ideologi yang kuat untuk memobilisasi
massa dengan organisasi yang rapi. Tujuan utamanya bukan hanya memperoleh kemenangan dalam pemilihan umum
tetapi juga memberikan pendidikan politik bagi rakyat atau anggota. Contoh: partai-partai politik di Indonesia 1950-
1960an, sepeti PNI, Masyumi, PKI, dan lain-lain.
4 Partai diktatorial, merupakan suatu tipe partai massa tetapi
memiliki ideologi yang lebih kaku dan radikal. Kontrol terhadap anggota dan rekrutmen anggota sangat ketat
selektif, karena dituntut kesetiaan dan komitmen terhadap ideologi. Contoh : PKI dan umumnya partai komuni.
5 Partai catch-all, merupakan gabungan partai kader dan partai
massa. Istilah “catch-all” pertama kali dikemukakan oleh Otto Kircheimer untuk memberikan tipologi pada
kecenderungan partai politik di Eropa Barat pasca Perang Dunia II. Catch-all artinya “menampung kelompok-
kelompok sosial sebanyak mungkin untuk di jadikan anggotanya”. Tujuan utama partai ini adalah memenangkan
pemilihan umum dengan menawarkan program dan keuntungan bagi anggotanya sebagai ganti ideologi yang
kaku. Aktivitas Partai ini erat kaitannya dengan kelompok kepentingan dan kelompok penekan. Contoh : Golkar di
Indonesia 1971-1998 Mukhtie Fadjar,2008:17-19.
c. Sistem Kepartaian
Dalam demokrasi, partai berada dan beroperasi pada suatu sistem kepartaian tertentu. Setiap partai merupakan bagian dari
sitem kepartaian yang diterapkan disuatu negara. Dalam suatu sistem tertentu, partai berinteraksi dengan sekurang-kurangnya satu
partai lain atau lebih sesuai dengan konstruksi relasi regulasi yang diberlakukan. Sistem pkepartaian memberikan gambaran tentang
commit to user 49
struktur persaingan diantara sesama partai politik dalam upaya meraih kekuasaan dalam pemerintahan.
Untuk melihat sistem kepartaian suatu negara, ada dua pendekatan yang dikenal secara umum. Pertama, melihat partai
sebagai unit-unti dan sebagai satu kesatuan yang terlepas dari kesatuan-kesatuan lain. Pendekatan numerik ini pernah
dikembangkan Maurice Duverger 1950-an, ilmuwan politik kebangsaan Prancis. Menurut Duverger, sistem kepartaian dapat
dilihat dari pola perilaku dan interaksi anatar sejumlah partai dalam sistem politik, yang dapat digolongkan menjadi tiga unit, yakni
sistem partai tunggal, sistem dwi partai, sistem multipartai Agun Gunandjar Sudarso, 2008: 4.
Dengan kehidupan politik ketatanegaraan suatu negara, pada prinsipnya dikenal adanya tiga sistem kepartaian, yaitu:
1 Sistem partai tunggal the single party system. Istilah ini
dipergunakan untuk partai politik yang benar-benar merupakan satu-satunya partai politik dalam suatu negara, maupun untuk
partai politik yang mempunyai kedudukan dominan di antara beberapa partai politik lainnya. Kecenderuangan untuk
menerapkan sistem partai tunggal disebabkan pimpinan negara- negara baru sering dihadapkan maslah mengintegrasikan
berbagai golongan, daerah, suku bangsa yang berbeda corak sosial dan pandangan hidupnya. Karena dikhawatirkan bila
keanekaragaman ini diniarkan berkembang akan menimbulkan gejolak-gejolak sosial yang menghambat usaha-usaha
pembangunan dan menimbulkan disentegrasi.
2 Sistem dua partai two party system. Menurut Maurice
Duverger, sistem ini adalah khas Anglo Saxon. Dalam sistem ini partai politik dengan jelas dibagi kedalam partai politik yang
berkuasa karena menang dalam pemilu dan partai oposisi karena kalah dalam pemilu.
3 Sistem banyak partai multy party system pada umumnya
sistem kepartaian semua ini muncul karena keanekaragaman sosial budaya dan politik yang terdapat di dalam suatu Negara
Zainal Abidin Saleh, 2008: 73.
commit to user 50
Di Indonesia, meskipun sistem kepartaian yang dianut adalah multy-party, namun yang terjadi ternyata tidak seperti yang diteorikan
dikonsepsikan oleh Anderson tersebut. Sampai dengan pelaksanaan pemilihan umum tahun 1997 periode setelah itu, terutama setelah
reformasi berhasil merestrukturisasi sistem kepartaian dalam pemilu 1999 tidak termasuk dalam analisis ini jumlah partai politik yang ada
memang sama dengan yang dicirikan dalam sistem multy-party, tetapi peran partai dalam proses pembuatan kebijakan publik
cenderung sama dengan yang ada di negara dengan sistem satu- partai. Dalam kenyataannya, terutama setelah masa Dekrit Presiden
untuk membubarkan Konstituante dan setelah terbentuknya Demokrasi Terpimpin, pada dasarnya partai politik telah mengalami
reproduksi. Dalam pandangan Fachry Ali “partai politik sebagai kekuatan di luar birokrasi negara telah dikocok sedemikian rupa
sehingga memproduksikan kekuatan-kekuatan politik yang mudah dicetak”. Fahri Ali, 1985: 9
Bahkan ketika kekuasaan rejim jatuh ke tangan orde baru, kebijakan memproduksi parpol itu terus berlangsung. Ini terjadi
karena birokrasi dan negara telah tumbuh menjadi sangat dominan dan sangat kuat, sehingga seakan-akan birokrasi itu sendiri adalah
partai, partai birokrasi. Dalam pandangan Mc Vey, “gerakan reproduksi itu bahkan tidak hanya terjadi pada organisasi-organisasi
politik, melainkan juga terjadi pada elite pimpinan politik dan organisasi massa”. Ruth T. Mc Vey dalam The Army, The Parties
and Elections, in Indonesia, No.11, Edisi April 1971 Puncak dari gerakan reproduksi itu adalah “dilakukannya
fusi parpol pada tahun 1975. Tragisnya, berbarengan dengan gerakan reproduksi partai-partai politik, seleksi kepemimpinan partai pun
dilangsungkan”. Fachry Ali, 1985: 73. Dalam proses seleksi inilah diproduksi pula para pimpinan partai dengan disain dan rekayasa
yang menguntungkan rejim, dengan harapan tidak akan
commit to user 51
menggoyahkan pemerintah yang memang sudah establish. Dengan demikian partai politik praktis menjadi organ pemerintah di luar
birokrasi. Oleh karena parpol sudah menjadi organ pemerintah maka parpol kehilangan legitimasi di hadapan publik. Apalagi setelah
lahirnya kebijakan asas tunggal dimana parpol sudah meninggalkan simbol-simbol yang tadinya mudah dikenali konstituen-nya.
Perkembangan ini akhirnya mempengaruhi penampilan parpol itu sendiri, terutama dalam hal aksesnya terhadap policy making. Fungsi
parpol sebagai penyalur aspirasi publik untuk mempengaruhi proses pembuatan kebijakan publik dengan sendirinya terkikis oleh peran
barunya sebagai organ pemerintah. Karena adanya peranan parpol yang tidak menguntungkan
itu maka tampillah kelompok-kelompok kepentingan interest groups; LSM serta kelompok-kelompok lain dalam masyarakat,
sebagai bentuk baru dari wadah aspirasi publik yang memang masih aktif. Inilah konsekwensinya, masyarakat lebih mempercayai LSM
dan LSM tumbuh subur bak jamur di musim hujan. Sayangnya masih sangat sedikit LSM yang berkualitas dan benar-benar lahir untuk
pemberdayaan masyarakat. Jadi munculnya LSM-LSM di masa terakhir kepemimpinan rejim orde baru adalah indikasi dari kerdilnya
peran parpol waktu itu. Inilah agaknya yang diramalkan oleh Anderson sebagai, “… parties have a broader range of policy
concerns than the interest groups”. Joko Purwono, 1989: 88. . Dan ini adalah konsekuensi yang positif. Adapun konsekuensi lainnya,
yang cenderung bersifat negatif, adalah munculnya partisipasi negative dari masyarakat, yang dalam istilah Arbi Sanit disebut
sebagai kegiatan Non Konvensional, yang dalam banyak kasus cenderung merugikan masyarakat itu sendiri. Arbi Sanit, 1987: 14
Dengan berbagai resening kita jelas tidak menghendaki kejadian-kejadian itu terulang lagi. Meskipun demikian kita tetap
tidak boleh mencegah fenomena masyarakat yang mengambil sikap
commit to user 52
dan perilaku negatif, karena hal itu adalah realistis. Yang paling bisa kita lakukan adalah membangun iklim dimana partai politik benar-
benar menjadi pemain dan berperan sesuai dengan fungsinya dalam mempengaruhi proses perumusan kebijakan publik.
d. Infrastruktur dan Suprastruktur Partai Politik 1 Pengertian Infrastruktur dan Suprastruktur
Infrastruktur dan suprastruktur adalah konsep digunakan oleh Marx dengan Marxisme untuk membedakan dasar-dasar
perunbahan tatanan sosial yang penting. Dalam pengertian Karl Marx bahwa superstruktur berarti semua produksi yang bersifat
non-materia yang berasal dari ide masyarakat antara lain. Lembaga-lemabaga Politik, Hukum atau Undang-undang, agama,
pemikiran, filsafat dan etika sedangkan infrastruktur bagi Karl Marx bersifat mengacu pada sumber daya antara lain: kondisi
produksi iklim, sumber daya alam, alat-alat produksi alat, mesin dan hubungan produksi kelas sosial, dominasi, keterasingan dan
sebagainya. Gunawan Suryatmaja, 2008: 29 Korelasi antara Infrastruktur sebagai sebab yang dapat
mengatur kegiatan produksi sedangkan peran suprastruktur lembaga-lembaga politik, hukum, agama, pikiran, filsafat,
moralitas yang menjadi akibat dalam kegiatan produksi dalam hal ini Marxis bermaksud untuk menjelaskan adanya perubahan sosial
akibat dari dorongan oleh perubahan-perubahan dalam produksi sistem. Sebaliknya pada struktur yang akan tetap menjaga sistim
produksi, Marx menjelaskan ini berdasarkan teori dari Filsafat Hegel dan idialisme Jerman pada umumnya dalam pergerakan ide-
ide yang membahas borjuis konvervatif dengan kapitalis produksi. Ada perbedaan antara suprastruktur dan infrastruktur Politik.
Infrastruktur politik adalah suatu set struktur yang menggabungkan antara satu dengan yang lain, lalu membentuk satu rangkaian yang
commit to user 53
membantu berdirinya keseluruhan struktur tertentu. Infrastruktur politik terdiri dari: Gunawan Suryatmaja, 2008: 52
a Partai Politik; b Interest Group kelompok kepentingan;
cPresure Group Kelompok penekan; d Media of Political Communication Media Komunikasi Politik;
e Journalism Group Kelompok jurnalis; f Student Group Kelompok Pelajar;
g Political Figure Figure-figure politik. Suprastruktur politik, yaitu suasana kehidupan politik di dalam
pemerintahan dan berhubungan dengan peran fungsi lembaga- lemba pemerintahan. Suprastruktur politik terdiri dari: Gunawan
Suryatmaja, 2008: 52 1 Lembaga eksekutif pemerintahanpresiden
2 Lembaga legislatif parlemen, DPR 3 Lembaga Yudikatif peradilan , MA;
Supra dan infra saling mempengaruhi, dimana supra sebagai pembuat keputusan akan mendapat masukan berupa tuntutan dan
aspiasi dari infra. Dan sebaliknya, infra akan melaksanakan yang ada dalam supra. Gunawan Suryatmaja, 2008: 53
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Suprastrauktur berarti semua produksi yang bersifat non-materi yang berasal dari
ide masyarakat antara lain, lembaga-lembaga politik, hukum atau undang-undang, agama, pemikiran, filsafat dan etika. Sedangkan
infrastruktur bagi Karl Marx bersifat yang mengacu pada sumber daya antara lain: kondisi produksi iklim, sumber daya alam, alat-
alat produksi alat, mesin dan hubungan produksi kelas sosial, dominasi, keterasingan dan sebagainya.
Korelasi antara Infrastruktur sebagai sebab yang dapat mengatur kegiatan produksi sedangkan peran suprastruktur
lembaga-lembaga politik, hukum, agama, pikiran, filsafat, moralitas yang menjadi akibat dalam kegiatan produksi dalam hal
ini Marxis bermaksud untuk menjelaskan adanya perubahan sosial
commit to user 54
akibat dari dorongan oleh perubahan-perubahan dalam produksi sistem. Sebaliknya pada struktur yang akan tetap menjaga sistim
produksi, Marx menjelaskan ini berdasarkan teori dari Filsafat Hegel dan idialisme Jerman pada umumnya dalam pergerakan ide-
ide yang membahas borjuis konvervatif dengan kapitalis produksi. Sedangkan Suprastruktur merupakan Fisik dan sosial
adalah dapat didefinisikan sebagai kebutuhan dasar fisik pengorganisasian sistim struktur yang diperlukan untuk jaminan
ekonomi sektor publik, dan sektor privat, sebagai layanan dan fasilitas yang diperlukan, agar perekonomian dapat berfungsi
dengan baik, istilah ini umumnya merujuk kepada hal infrastruktur teknis atau fisik yang mendukng jaringan struktur seperti fasilitas
antara lain dapat berupa jalan, kereta api, air bersih, kanal, waduk, tanggul, pengelolahan limbah, perlistikan. Telekomunikasi,
infrastruktur selain fasilitas akan tetapi sebagai contoh bahwa jalan dapat melancarkan transportasi pengiriman bahan baku sampai ke
pabrik kemudian untuk distribusi ke pasar hingga sampai kepada masyarakat. Dalam beberapa pengertian, istilah infrastruktur
termasuk pula infrastruktur sosial kebutuhan dasar seperti antara lain termasuk sekolah dan rumah sakit, bila dalam militer, istilah
ini dapt pula merujuk kepada bangunan permanen dan instalasi yang diperlukan untuk mendukun operasi dan pemindahan.
2 Peranan Infrastruktur Politik dalam Pemilu
Tidak terdapat definisi rinci tentang infrastuktur politik, kecuali dipertentangkan dengan suprastruktur politik. Namun
demikian sudah merupakan kesepakatan umum menganggap bahwa partai politik termasuk dalam kelomp[ok inti infrastruktur
politik, kemudian diikuti oleh ormas sebagai pelengkap kelompok inti yang kehadirannya juga dipandang sebagai keharusan. Karena
dalam konteks Indonesia tanpa ormas infrastruktur politik tidak
commit to user 55
bermakna sama sekali. Di lain pihak, hubungan komplementer antara supra dan infrastruktur mengindikasikan pula betapa urgen
yang tersebut terakhir ini dalam proses institusionalisasi politik. Dalam hubungannya dengan pemilihan umum, patut dicatat
terlebih dahulu pengertian yang diajukan teoritisi klasik sejak Tocqueville sampai ke Jefferson percaya bahwa partisipasi politik,
lebih-lebih melalui pemberian suara dalam pemilihan umum, merupakan kunci bagi pemerintahan demokratis, yaitu suatu
mekanisme, yang dengannya kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan diletakkan. Gunawan Suryatmaja, 2008: 29
Pemilihan umum merupakan salah satu partisipasi politik masyarakat. Marger seperti dikutip Sherman dan Kolker dalam
Gunawan Suryatmaja, membagi dua bentuk partisipasi. Pertama melembaga, yairu metode-metode tindakan warga
negara yang sengaja diadakan dan dapat diterima yang dipandang sah oleh sistem politik yang berlaku. Yang termasuk dalam
kategori ini adalah pemberian suara dalam pemilu, menulis surat untuk pejabat politik, berkarya untuk suatu partai politik tertentu,
berdemonstrasi secara damai dan lain-lain. Kedua, bentuk partisipasi massa yang tidak melembaga yang tidak sah, yaitu
tingkah laku warga negara yang menyimpang dari tuntutan suatu jabatan, berupa ketidakpatuhan rakyat, konfrontasi dengan
kekerasan terhadap kekuasaan pemerintah dan tindakan sengaja untuk menjatuhkan sistem yang sedang berlaku. Gunawan
Suryatmaja, 2008: 60
Ahli lainnya, Milbrath, membagi empat bentuk partisipasi politik, yaitu kegiatan spektator, kegiatan transisi dan kegiatan
gladiator, serta bermasa bodoh, berjenjang dari bawah sampai pada yang paling tinggi, yakni memegang jabatan publik dan partai.
Dengan pendekatan ini maka pemberian suara dalam pemilu menduduki ranking nomor dua terbawah dari 14 macam kegiatan
yang disebut sebagai partisipasi politik. Cara pandang lain, seperti dikemukakan Lipset dalam
Gunawan Suryatmaja, tidak melihat keikutsertaan warganegara di
commit to user 56
dalam pemilihan umum sebagai sesuatu yang penting, terutama di dalam membicarakan partisipasi politik. Karena partisipasi tidak
diperlukan dan bukan pula merupakan syarat yang harus ada untuk mempengaruhi organisasi dan kebijakan pemerintah. Gunawan
Suryatmaja, 2008: 29. Dalam kenyataannya bisa terjadi para anggota masyarakat menunjukkan suatu tingkat partisipasi yang
rendah di dalam organisasi atau masyarakat, tetapi tetap dapat mempengaruhi kebijakan dengan kemampuan mereka menarik atau
memberikan dukungan pemilu kepada salah satu penguasa birokrasi yang berbeda yang bersaing merebut kekuasaan. Di
pihak lain, para anggota organisasi atau warga negara dapat selalu aktif mengikuti rapat-rapat, memasuki berbagai organisasi politik,
dan bahkan memiliki tingkat pemberian suara yang tinggi, tetapi memiliki sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali pengaruh
terhadap pengambilan kebijakan politik. Kecuali cara pandang di atas, arti pemilihan umum bagi
suatu sistem politik dapat pula dirujuk pada pandangan yang dikemukakan aliran pluralis, yang tidak sekedar menganggap
pemberian suara dalam pemilu itu penting, tetapi menekankan pula arti penting kegiatan kelompok kepentingan. Sementara teori
konflik, sebagaimana tercermin dalam pendapat Lipset diatas, menganggap kebanyakan bentuk partisipasi nonelite sebagai ritual
simbolik dan bukan tindakan rasional pilihan serta merupakan tingkah laku yang tidak efektif untuk mengontrol para elite.
Terlepas dari berbagai pandangan tentang esensi pemilu diatas sepanjang pengetahuan saya pemilu merupakan suatu
mekanisme untuk merealisasikan salah satu fungsi sistem politik, yaitu rekrutmen politik. Secara rinci, seperti dikemukkan oleh
Nohlen, di negara-negara demokrasi liberal barat kegunaan pemilihan umum meliputi: Gunawan Suryatmaja, 2008: 31
commit to user 57
a Membentuk basis konsep demokrasi liberal.
b Memberikan legitimasi bagi sistem politik.
c Memberikan legitimasi bagi kepemimpinan politik.
d Merupakan unsur penting partisipasi demokratis.
Dengan demikian jelasa bahwa pemilu bukan sekedar ritual seremonik. Salah satu pertanyaan pokok adalah: seberapa jauh
pemilu dapat memenuhi keempat fungsinya itu di dalam suatu sistem politik tertentu? Banyak faktor yang mempengaruhi
berfungsi atau tidaknya pemilu dalam menegakkan tatanan politik demokratis.
3 Keberadaan Infrastruktur dalam Pemilu
Dalam hal ini harus dibedakan antara partai politik dan ormas dalam keikutsertaan mereka di dalam pemilu. Keikutsertaan
partai politik di dalam pemilu jelas merupakan salah satu cara aktualisasi fungsi parpol untuk didudukkan di dalam suprastruktur
politik. Dengan kata lain dibandingkan dengan unsur infrastruktur lainnya, parpol sebagai kelompok kepentingan memiliki kaitan
langsung dengan pemilu guna mempertahankan statusquonya. Fungsi-fungsi partai lainnya juga dapat dilaksanakan manakala
partai dapat mendominasi kekuasaan melalui pemilu. Markovic mencatata delapan fungsi partai sebagai berikut: M Rusli Karim.
1991: 53 a
Artikulasi kebutuhan, kepentingan dan aspirasi berbagai kelompok sosial.
b Menggariskan alternatif jangka panjang dan menengah untuk
tujuan-tujuan sosial. c
Perumusan program untuk mencapai tujuan. d
Mengintegrasikan sebagian besar penduduk ke arah tujuan bersama.
commit to user 58
e Mencarikan pemecahan kompromis konflik antar kebangsaan,
ras, agama dan kelas. f
Rekrutmen dan pemilihan pemimpin dan fungsionaris politik yang berbakat
g Pengorganisasian kampanye pemilu untuk mewakili kelompok
sosial yang ada. h
Kontrol dan kritik terhadap pemerintah.
Partai sangat berkepentingan untuk ikut ambil bagian. Keterlibatan individu di dalam partai menurut Robert H Blank
dalam M Rusli Karim, menjelaskan bahwa memiliki enam jenjang dari sebagai ikut-ikutan, pendukung umum, pemilih primer,
menjadi anggota, pekerja partai sampai ke jenjang tertinggi, sebagai pemimpin partai. M Rusli Karim, 1991: 52
Dengan demikian partai sangat berkepentingan untuk terlibat secara intens di dalam pemilu. Melalui suara yang
didapatnya di dalam pemilu. Melalui suara yang di dapatnya di dalam pemilu suatu partai terwakili di dalam suprastuktur politik.
Persoalannya adalah apakah sistem pemilu memungkinkan adanya kompetisi politik yang sehat atau tidak di antara masing-masing
kekuatan politik. Manakala pemilu benar-benar berfungsi sebagai sarana persaingan memperebutkan pengaruh massa maka pemilu
akan mencapai sasarannya, dalam arti keikutsertaan rakyat dalam pemberian suara akan tinggi. Kendatipun dalam kenyataannya
tidak semua warga negara yang memenuhi syarat menggunakan hak mereka untuk memilih tetapi partai sangat berkepentingan
terhadap semua pemilih. Aksebilitas partai politik sangat ditentukan oleh seberapa besar dukungan suara yang diberikan
rakyat kepadanya pada masing-masing pemilu. Pada bagian lain uraiannya kedua penulis ini menyatakan
bahwa keputusan seseorang untuk memberikan suara dalam pemilu
commit to user 59
tersebut ditentukan oleh pertimbangan singkat tentang situasi tertentu yang dikaitkan dengan berbagai pertimbangan jangka
panjang lainnya. Dilihat dari identifikasi partainya serta pengaruh- pengaruh sosial lainnya seperti kelamin, identitas etnis, pendidikan,
status ekonomi sosial dan tekanan dari kelompok primernya. Sedangkan dilihat dari aspek sosial Lipser mengajukan empat
faktor yang mempengaruhi tingkat pemberian suara dalam pemilu: M Rusli Karim, 1991: 54
1 Signifikansi kebijakan pemerintah terhadap individu.
2 Akses kepada informasi.
3 Tekanan kelompok untuk memberikan suara.
4 Tekanan-tekanan yang saling berbenturan.
Di negara kita pemilu ditandai oleh tiadanya kompetisi ketiga kekuatan politik. Sesuai dengan tujuan menciptakan
stabilitas politik maka sejak awal orde baru pemerintah menaruh kepentingan bagi adanya satu kekuatan politik yang sangat
dominan. Untuk itu diciptakanlah berbagai aturan main dalam pemilu yang sengaja dirancang agar terjadi pemusatan kekuasaan
pada kekuatan politik yang di dukung oleh birokrasi. Sistem pemilu, sebagai bagian integral dari rekayasa politik orde baru
tidak memberi peluang bagi kedua partai politik untuk dapat meraih suara yang memadai. Dimulai dengan Pemilu 1971 sampai
Pemilu 1987 perolehan kedua parpol inii tidak mencapai 40 persen suara. Parpol mengidap penyakit internal berupa rapuhnya
kohesivitas partai, yang bermulai dari berbagai sumber konflik internal di satu pihak, sementara sistem Pemilu, di pihak lain, tidak
mendukung bagi berperannya partai secara leluasa untuk memperebutkan pengaruh melalui Pemilu. Terputsnya komunikasi
partai dengan massa di tingkat kecamatan ke bawah menyebabkan kedua parpol tidak lagi mengakar di dalam masyarakat.
commit to user 60
Terputusnya hubungan itu ditandai pula oleh makin langkanya rakyat yang bersedia menjadi aktivis partai di tingkat
kecamatan dan desa. Phobi parpol merupakan akibat logis dari kebijakan “menganakemaskan” GOLKAR dengan kebijakan
monoloyalitas sehingga semua aparat pemerintah dan pegawai negeri hanya mendukung partai pemerintah. Partai benar-benar
mengalami kelumpuhan total. Faktor inilah penyebab utama kekalahan parpol di dua jenjang pemerintahan terbawah tersebut.
5. Tinjauan Tentang Kebebasan Berserikat dan Berorganisasi a. Pengertian kebebasan berserikat