Pandangan Gender dalam Budaya Jawa Pandangan Gender dala am Budaya

14 Ideologi berkontribusi untuk memperlihatkan apa yang penting dan tidak penting Burton 2002:40. Artinya, dalam konsep teks budaya, ideologi digunakan untuk mengindikasikan bagaimana sebuah teks memperlihatkan citra sebuah realitas yang telah dipilah. Dengan kata lain, hampir tidak mungkin terjadi pembelokan antara apa yang direpresentasikan oleh media dengan realitas yang terjadi di luar media terhadap satu objek yang sama. Dengan demikian, proses identifikasi tokoh-tokoh dalam film ini serta peran yang muncul di dalamnya akan menunjukkan bagaimana sistem ideologis tersebut bekerja. Dengan melihat latar film ini yang bernuansa Jawa, maka representasi yang muncul melalui tokoh-tokoh di film ini akan memiliki hubungan yang kuat dengan representasi yang muncul di dalam masyarakat Jawa. Pembagian peran atas tokoh-tokoh yang ada di film ini dapat dilihat sebagai contoh bagaimana sistem representasi bekerja. Laki-laki di dalam film ini cenderung digambarkan sebagai sosok yang maskulin, bertanggungjawab atas kepemimpinan di dalam rumah tangga sedangkan tokoh perempuan cenderung untuk menjadi feminin serta bekerja di ranah domestik.

3. Pandangan Gender dalam Budaya Jawa

Koentjaraningrat 1994: 275-276 dan Frans-Magnis Magnis-Suseno 1988:83 melihat karakteristik masyarakat Jawa yang menggunakan padangan kosmik; di mana masyarakat Jawa memusatkan kehidupannya untuk bersatu dengan Tuhannya Manunggaling Kawula lan Gusti. Termasuk di dalam pandangan ini, posisi, peran, serta keberadaan perempuan dan laki-laki dibedakan mengindikasikan bagaiman ana sebuah teks memp mper er lihatkan citra sebuah realitas yang telah dipila a h h. Dengan kata lain, hampir tidak mung g ki k n terjadi pembelokan antara apa a y yang direpr p esen e tasika ka n n ol leh eh m med ed i ia d den en ga ga n realitas yan ang g terjadi di luar medi i a a terhadap ap satu ob ob jek yang sam a a. a. De De ng ng an an dem m ik ik i ian , proses ide nt ifikasi tok oh - to to ko k h da a la la m m film in ni i serta peran n ya ya ng n m m u un cul di d alamnya akan menunjukkan b agai ma ana n sis is te te m m ideolo ogi g s ters rs eb eb ut b b e ek erja. Dengan m elihat lat ar film in i yang bernu an n sa J J a awa, a, m m ak k a a re re pr p esen n ta si y an g muncul mel al ui tok oh -toko h di film ini akan m em il iliki hu hubu bung n an yang k k ua t dengan rep re se ntasi ya ng m un cu l di dalam m as yarakat Ja wa a . Pembagian peran atas tokoh-tokoh y an g ada di film ini d dapat d diliha at sebagai i co ntoh h b b ag ag ai aimana sistem m re r presen n ta tasi bekerja j . La La ki ki - - la la ki di dalam film m ini ni ce cenderung digambarkan sebagai soso so k k yang maskulin, bertanggungjawab ab a ata as ke ke pe pemi mi mp mp in in an an d d i i da da la la m m ru ru ma ma h h tangga sedan an gk gk an an t t ok ok oh oh pe pe re re mp mpuan c c en ende de ru rung un untu tuk k me m njadi fe fe mi mi ni ni n se e rt rt a a be be kerja a di di r ra anah d d om om es es ti t k. k

3. Pandangan Gender dala am Budaya

a Jawa Koentjaraningrat 1994: 275-276 6 dan Frans-Magnis Magnis-Suseno 1988:83 melihat karakteristik masy syar r ak at Jawa yang menggunakan padangan 15 secara tegas. Pembawaan sifat laki-laki yang ‘diharuskan’ maskulin berkontradiksi dengan pembawaan sifat perempuan yang diharapkan feminin. Pandangan patriarki ini kemudian berkembang lebih jauh dan terwujud melalui peran-peran normatif laki-laki sebagai kepala keluarga dan sumber nafkah serta perempuan sebagai ibu rumah tangga dan bertanggungjawab dalam sektor domestik. Relasi seorang ibu atau perempuan di dalam sektor domestik ini tidak jarang memunculkan metafora-metafora atau simbol yang merepresentasikan perempuan di dalam masyarakat Jawa. Dalam film Opera Jawa misalnya simbol yang erat muncul adalah hubungan antara Siti dan tanah. Dalam masyarakat Jawa, tanah adalah pemberi hasil bumi; tempat di mana padi ditanam dan hasilnya dapat digunakan manusia agar tidak kelaparan. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Jawa memandang perempuan sebagai sosok yang memelihara mereka dengan sifat mengayomi. Selain citra perempuan sebagai sosok yang mengayomi tersebut, Koentjaraningrat 1994:145 meringkaskan hubungan antara suami dan istri dalam ranah domestik. Penjelasan Koentjaraninrat dalam bukunya dengan jelas meletakkan posisi perempuan yang cenderung inferior dibandingkan dengan laki- laki. Seperti dicontohkan di dalam peran dan tanggung jawab suami. Suami memberi uang belanja kepada istrinya, dan sang istri harus mengusahakan agar uang tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selain itu dijelaskan pula permasalahan mengenai tanggung jawab perempuan sebagai ibu. Orang Jawa cenderung menganggap kemandulan terletak pada seorang istri. Karena itu, apabila dalam sebuah perkawinan tidak dihasilkan anak maka seringkali laki-laki Pandangan patriarki ini ke ke m mudian berkembang le le bi b h jauh dan terwujud melalui peran-peran norma matif laki-laki sebagai kepala keluarga da dan n sumber nafkah serta perempuan n sebagai ibu u ruma a h h ta ang ng ga ga d dan an b b er er tanggungjawa a b b dalam sektor dome e s stik. Rela la si seo o ra rang ibu atau pe pe re re mp p uan di dal al am am sek k to to r domest stik i ini tidak ja jarang m m em em un un culkan an m etafora-meta fo ra atau simb b ol ol yang me me re re presen n ta ta sikan peremp mpua uan di d d al am mas yarakat Jawa . Dalam film Op era Ja a wa w mi mi sa saln lnya simb mbol ya yang ng erat mu ncul adalah hu bungan a nt ara Si ti d an tanah. Da a la l m ma masy sy ar a akat at Ja Ja wa w , ta a na h ad alah pemberi h as il bum i; tempa t di mana padi di ta na m m dan n ha hasi si lnya dapat di gunakan manusi a agar tid ak k el ap ar an. H al ini menunju k kkan bah h wa wa m masya ar akat Jawa memandang perempuan seba ga i sosok yang memeli h hara m merek k a dengan s ifat m m en en ga ga yo y mi. Selain citra perempuan seb eb a agai sosok yang mengayomi te e r rseb eb u ut, Ko Koe e nt n ja ja ra ra ni ni ng ng ra ra t t 1 1 99 99 4: 4: 14 14 5 5 me me ringkaskan h h ub ub un un ga ga n n an an ta ta ra ra s s ua ua mi mi d dan i i st st ri ri d dal al am ra ra na ah h domestik k . P Pen n je je la la sa sa n n Ko oen en tj tj a araninra ra t t da da lam m bu bu ku k nya de de ng ng an n jelas meletakk k an p os isi perempuan yang ng cende e r rung inferior diband d i in k gkan dengan laki- laki. Seperti dicontohkan di da alam peran dan tanggung jawab suami. Suami memberi uang belanja kepada istr trinya, da dan sang istri harus mengusahakan agar uang tersebut cukup untuk memenuhi hi k k e ebutuhan sehari-hari. Selain itu dijelaskan 16 diperkenankan untuk menikah kembali, atau yang lazim terjadi adalah menikah dengan perempuan lain poligami. Kesenjangan antara posisi laki-laki dan perempuan dapat dilihat melaui pola bahasa yang digunakan. Dalam buku yang sama, Koentjaraningrat 1994:45- 47 menjelaskan bahwa seorang suami menyapa istrinya dengan njangkar 1994:45 atau memanggil nama kecilnya. Namun sang istri tidak boleh melakukan hal yang sama, melainkan memanggil suaminya dengan sebutan yang lebih tinggi seperti mas, pak, atau njenengan 1994:46. Dari contoh ini dapat dilihat bagaimana penggunaan bahasa sangat berpengaruh dan menunjukkan posisi yang timpang antara perempuan dan laki-laki dalam kehidupan rumah tangga atau dengan kata lain pola yang muncul di dalam hubungan tersebut bersifat patriarki. Dari komunikasi yang terjalin antara suami dan istri di atas, Frans Magnis- Suseno juga berpendapat bahwa relasi gender antara laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat Jawa dapat ditemui dari etika seksual yang berlaku di dalamnya Magnis-Suseno, 1988:176. Yang dimaksud dengan etika seksual ini adalah bagaimana masyarakat Jawa memiliki sikap yang tegas dalam memandang isu seksualitas antara laki-laki dan perempuan. Contoh yang dapat ditemui misalnya kekhawatiran yang muncul apabila seorang laki-laki dan perempuan yang belum terikat dalam status pernikahan memperlihatkan diri di depan umum bagi beberapa kalangan di masyarakat Jawa akan menjadi bahan pembicaraan Magnis- Suseno, 1988:177. Pandangan lama ini, meskipun tidak lagi populer di dalam masyarakat saat ini, masih menjadi catatan penting tentang bagaimana masyarakat Kesenjangan antara ra posisi laki-laki dan pe pe rempuan dapat dilihat melaui pola bahasa yang g d d i igunakan. Dalam buku yang sama, Koe ent n jaraningrat 1994:45- 47 menj j el el as kan bahwa a seoran a g g su su am am i i me meny ny ap ap a istrinya d d en e gan njangkar 1994: 4:45 atau au mem man anggil nama ke ke ci ci lnya y . Nam m un u san an g istri ti tida d k boleh m melakuka ka n n ha ha l l yang g s s am a, melainkan m emanggil sua mi mi nya de e ng ng an an sebutan an yang lebih h ti ting nggi sep ep erti mas , pak, atau nj en engan 1994 : 46. D D ar a i co ont ntoh oh ini dap apat di ili li ha hat ba a g ga imana penggu na an bah as a sangat b er pengaruh d an an m m en enun un ju ju kkan n po pos sisi y ya ng t impa ng antara p er empu an dan l aki-laki dalam k eh i i du d pa a n n ru ru mah tangga a atau dengan ka ta lain po la yan g mu ncul d i da lam hubu ng gan terse e bu bu t be be rsifa at patriarki. Da ri k om om un un ik ikasi ya y ng g ter rja ja lin antara ra suami dan i i st st ri ri d d i i atas , Fr ans Magn gn i is- - Su Su seno juga berpendapat bahwa rela a si si gender antara laki-laki dan perempu puan an d di da da la la m m ma ma sy sy ar ar ak ak at at J J aw aw a a da da pa pa t t di di temui dari eti i ka ka s s ek ek su su al al y y an an g g be be rl rl ak aku di i d d al alam am n nya M Mag ag ni ni s-Suseno o , , 19 19 88 88:1 1 76 76 . Yang g d d im im ak su u d d de de ng ng an n e e ti ti ka k seksual al i in ni a adalah bagaimana masyarakat Jawa mem miliki s ik ikap yang tegas dala l m memandang isu seksualitas antara laki-laki dan p perempuan. Contoh yang dapat ditemui misalnya kekhawatiran yang muncul apabila la seorang ng laki-laki dan perempuan yang belum terikat dalam status pernikahan m mem mperlihatkan diri di depan umum bagi 17 Jawa mengontrol relasi antar gender. Begitu pula dengan pengawasan yang dilakukan oleh orang tua tentang jam malam yang berlaku bagi perempuan. Masyarakat Jawa masih menganggap bahwa tidak sopan jika seorang perempuan pulang malam, bahkan hingga dini hari. Hal ini merupakan sebuah kekhawatiran karena perempuan rentan untuk diganggu dan mereka sulit untuk menjaga diri mereka sendiri. Tentang isu yang terkait dengan seksualitas, masyarakat Jawa cenderung untuk menanggapinya dengan diam-diam Magnis-Suseno, 1988:177. Hal ini dikarenakan informasi terkait seksualitas cukup sensitif dan keluarga tidak banyak membicarakan isu ini. Karenanya ketika seorang perempuan telah mengalami menstruasi pertama kali, seorang ibu biasanya akan memandu anak perempuannya bagaimana merawat tubuhnya pada saat menstruasi, namun jarang menjelaskan apa yang disebut dengan edukasi seks atau bagaimana mereka dapat mengenali tubuhnya sendiri. Karena itu, yang terjadi kemudian adalah batas ruang yang kecil pada saat etika yang terkait dengan seksualitas dibicarakan dalam masyarakat Jawa. Etika seksual yang dipaparkan oleh Frans Magnis Magnis-Suseno 1977:178 memperlihatkan bahwa masyarakat Jawa menempatkan hubungan seksual di dalam sebuah perkawinan dan karenanya jika hal ini terjadi diluar perkawinan, maka akan bertentangan dari norma masyarakat. Dalam konteks era modern ini, pembagian peran yang timpang ini cenderung berhubungan pada aspek ekonomi dalam rumah tangga. Seperti artikel yang ditulis oleh Sigiro 2012:9 laki-laki lebih banyak dikemukakan sebagai Masyarakat Jawa masih me menganggap bahwa tid d ak ak sopan jika seorang perempuan pulang malam, ba a h hkan hingga dini hari. Hal ini merupak k an an sebuah kekhawatiran karena per r e empuan renta a n n untu k k di d ga ga ng ng gu gu d dan an m m er e eka sulit un n tu tu k menjaga diri mere e ka ka sendiri i. . Te Te nt nt an ang g isu ya ya ng terkait dengan seksualita s, m mas a yaraka ka t t Ja Jawa cen n de d rung untuk k me me nang g g gapinya de ngan diam- di am Magnis -S useno, 1 1 988: 8:17 177 7 . Hal ini di ika kare r naka a n informasi terk ai t seksuali ta s cukup se ns itif dan kelua rg rga ti tida dak k ba ba nyak k me me mbic car ak an i su ini. Kar en an ya k et ika se or ang peremp ua n tela ah h me me ng ng al a ami menstr r ua si pertama k ali, seorang ibu bia sa ny a akan m em an du anak pe r rempuann nya a ba ba gaim m ana merawat tubuhnya pada saat menst ruasi, namun jarang m menjel elaska n n apa yang dis eb eb ut ut d denga g n edukas s i i seks ata ta u u baga g imana me me re re ka k d ap at menge e na nali i tu tubuhnya sendiri. Ka Ka re re na na i i tu tu, ya ya ng ng t t er er ja ja di di kemudian ad d al al ah ah b b at at as as r r ua ua ng ng y y an an g g k keci i l l pa pada da s saat et et ik ka a ya ya ng terka a it it d d en enga ga n n se se ks ks ualita tas s di dibi bicara a ka ka n n da da lam m ma masy sy arakat J J aw aw a. a. Etika seksual yang dipaparkan oleh Frans Magnis Magnis-S S useno 1977:178 memperlihatkan bahwa masyar rakat Jawa menempatkan hubungan seksual di dalam sebuah perkawinan dan ka arenanya a jika hal ini terjadi diluar perkawinan, maka akan bertentangan dari norma m mas syarakat. 18 pencari nafkah utama male breadwinner sedangkan perempuan sebagai istri adalah tertanggung dependant pada suami. Tidak terkecuali Indonesia, kritik Sigiro yang disadur dari pemikiran Esping Andersen melihat bahwa peran negara terhadap konsep negara kesejahteraan welfare state salah satunya memberikan ruang bagi perempuan untuk bekerja di dalam atau di luar sektor domestik.

4. Beberapa Isu Perempuan di Dalam Kajian Film: Sebuah Kritik Gender