REPRESENTASI FEMINISME DALAM FILM “KU TUNGGU JANDAMU” (Studi Analisis Semiotika Representasi Feminisme melalui Tokoh Persik).

(1)

i

melalui Tokoh Persik)

SKRIPSI

Di ajukan Untuk memenuhi Sebagai Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pada Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur

Oleh :

ARGA FAJAR RIANTO

NPM. 0443010445

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL”VETERAN”JAWA TIMUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Oleh :

ARGA FAJAR RIANTO NPM.0443010445

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

SURABAYA 2010


(2)

ii

“KU TUNGGU JANDAMU”

(Studi Analisis Semiotika Representasi Feminisme Melalui Tokoh

Persik)

Oleh :

ARGA FAJAR RIANTO

NPM.0443010445

Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Pada Tanggal 9 Juni 2010

Menyetujui,

Pembimbing Utama Tim Penguji

1. Ketua

Dra. Dyva Claretta, M.Si Dra. Sumardjijati, M.Si NPT. 3 6601 94 0027 1 NIP. 19620323 199309 2001

2. Sekretaris

Dra. Herlina Suksmawati, M.Si NIP. 19641225 199309 2001

3. Anggota

Dra. Dyva Claretta, M.Si NPT. 3 6601 94 0027 1

Mengetahui, DEKAN


(3)

iii

Persik)

Disusun Oleh :

Arga Fajar Rianto

NPM 0443010445

Telah disetujui untuk mengikuti ujian skripsi :

Menyetujui, Pembimbing Utama

Dyva Claretta, MSi NPT 3 6601 94 00251

Mengetahui DEKAN

Dra.Hj.Suparwati, M.Si NIP 030 175 349


(4)

iv

hidup pada seluruh makhluk. Hanya kepadaNya-lah syukur dipanjatkan atas selesainya skripsi ini. Sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “REPRESENTASI FEMINISME DALAM FILM “KU TUNGGU JANDAMU” (Studi Analisis Semiotika Representasi Feminisme melalui Tokoh Persik)”, guna melengkapi syarat wajib tugas akhir dalam menempuh program Strata Satu jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur.

Dengan selesainya skripsi ini penulis tidak lupa “wajib” mengucapkan terima kasih kepada pihak atas segala bantuan, petunjuk serta bimbingannya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Ucapan terima kasih ini penulis sampaikan khususnya kepada :

1. Ibu Dra. Ec. Hj. Suparwati, Msi, selaku Dekan FISIP UPN “Veteran” Jawa Timur.

2. Ibu Dra. Dyva Claretta, Msi, selaku pembimbing utama yang memiliki empati terhadap kondisi penulis.

3. Bapak Drs. Koesnarto, Msi, selaku dosen wali yang bersedia ‘direpoti’ untuk masalah penulis selama kuliah di Jurusan Ikom.

4. Seluruh dosen di Jurusan IKOM : Pak Didik, Bu Mar, Bu Dyva, Bu Yuli, Bu Yudiana, Pak Juwito, Pak Udin, dan Pak Irwan atas bimbingan dan didikannya selama ini.


(5)

v seluruh keluarga besar.

6. Bapak dan Ibu dirumah terima kasih atas pengertiannya dan kerelaannya untuk selalu ‘direpoti’ baik waktu dan segalanya olehku.

7. Buat adekku Nanda dan Gizza dirumah, kalian udah bikin aku tertawa di kala aku stres.

8. My Man : Ubed, Indra, Acank (ayo lulus bareng..), Gayuh (aku akan menyusulmu dapat kerjaan..) , Afwan dan Supri (anak kost wiguna, cayo..), Hendra (suwun yo cak, wis ngancani tiap hari di kampus..), Nanda dan Yoyok (thank’s buat semua sarannya, you all the best..) anak-anak UKM Tenis (Angga, nina, p’ coach dan yang lainnya..) serta untuk semua temen-temen yang tidak bisa aku sebutkan satu-persatu. And finally, untuk mimiku tersayang (aku tidak akan bisa melewati ini semua tanpa kamu..)

Sungguh penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna dan penuh keterbatasan. Dengan harapan bahwa skripsi ini Insya Allah akan berguna bagi rekan-rekan di Jurusan Ilmu Komunikasi, maka saran serta kritik yang membangun sangatlah dibutuhkan untuk memperbaiki kekurangan yang ada.

Surabaya, Juni 2010


(6)

vi

Halaman Pengesahan Skripsi...ii

Kata Pengantar...iii

Daftar Isi...v

Daftar Gambar...ix

Daftar Lampiran...x

BAB I Pendahuluan...1

1.1. Latar Belakang Masalah...1

1.2. Perumusan Masalah...16

1.3. Tujuan Penelitian...16

1.4. Manfaat Penelitian...16

1.4.1.Manfaat Akademis...16

1.4.2.Manfaat Praktis...16

BAB II Kajian Pustaka...17

2.1. Landasan Teori ...17

2.1.1. Film Sebagai Media Komunikasi Massa...17

2.1.2. Teori Konstruksi Realitas Sosial...19

2.1.3. Perfilman Indonesia...22


(7)

vii

2.1.5.3. Feminisme Radikal...42

2.1.5.3.1. Feminisme Radikal-Kultural...45

2.1.5.4. Feminisme Sosialis...47

2.1.5.5. Feminisme Post Modern...51

2.1.5.6. Feminisme Eksistensialis...53

2.1.6. Analisis Semiotika...57

2.1.7. Model Semiotika Charles S. Pierce...59

2.1.8. Pendekatan Semiotik dalam Film...61

2.2. Respon Psikologi Warna...66

2.3. Film Ku Tunggu Jandamu...67

2.4. Kerangka Berfikir...69

BAB III Metode Penelitian...71

3.1. Metode Penelitian...71

3.2. Kerangka Konseptual...72

3.2.1. Corpus...72

3.2.2. Definisi Operasional Konsep...74

3.2.2.1. Representasi...74

3.2.2.2. Feminisme...75


(8)

viii

BAB IV Hasil Dan Pembahasan...81

4.1. Gambaran Umum Obyek dan Penyajian Data...81

4.1.1. Gambaran Umum Obyek...81

4.1.2. Penyajian Data...82

Karakter Tokoh Persik...84

4.2. Analisis Data...85

4.2.1. Level Realitas...86

4.2.1.1. Kostum dan Make Up...86

4.2.1.2. Setting...90

4.2.1.3. Dialog...90

1. Feminisme Liberal...91

2. Feminisme Marxis...96

3. Feminisme Radikal-Kultural...98

4. Feminisme Sosialis...101

5. Feminisme Post Modern...104

6. Feminisme Eksistensialis...107

4.2.2. Level Representasi...108

4.2.2.1. Teknik Kamera...108

4.2.2.2. Pencahayaan...112


(9)

ix


(10)

x

3. Gambar 4.2 : Make Up Persik...86

4. Gambar 4.3 : Di Ruang Keluarga...89

5. Gambar 4.4 : Persik memberi tips kepada dua perempuan...90

6. Gambar 4.5 : Persik sedang memberi tips kepada Tamtam...92

7. Gambar 4.6 : Persik sedang bermain kartu dengan Aldi, Sinyo dan Iwan...95

8. Gambar 4.7 : Persik sedang memberi keputusan kepada Rozak...97

9. Gambar 4.8 : Persik beradu mulut dengan Rozak...98

10. Gambar 4.9 : Persik sedang diperebutkan oleh para Tukang Ojek...101

11. Gambar 4.10 : Persik sedang dipandangi oleh beberapa laki-laki...103

12. Gambar 4.11 : Persik menolak pemikiran Rozak...104

13. Gambar 4.12 : Persik dalam bayangan Aldi, Sinyo dan Iwan...107

14. Gambar 4.13 : Persik sedang berjalan...109

15. Gambar 4.14 : Persik di depan Kantor Pengadilan...110

16. Gambar 4.15 : Persik sedang marah...111

17. Gambar 4.16 : Kondisi kompleks siang hari...112


(11)

xi

Scene 3 Scene 4(1)

Scene 5 Scene 8


(12)

xii

Scene 83 Scene 84(1)


(13)

xiii

Penelitian ini didasarkan pada sebuah fenomena mengenai feminisme yang sedang menuai pro dan kontra di masyarakat. Film “Ku Tunggu Jandamu” merupakan film yang berani merekam gerakan emansipasi wanita, dan memproyeksikan melalui tokoh utama perempuannya yaitu Persik. Feminisme yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, telah ada dalam berbagai sisi kehidupan, termasuk dalam bidang dosmetik perempuan itu sendiri. Film adalah media komunikasi massa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana feminisme direpresentasikan dalam film. Perempuan dalam media massa sering digambarkan sebagai korban laki-laki dan sebagai sosok yang pasif.

Feminisme menunjukkan bahwa perempuan dapat setara dengan laki-laki dan juga dapat memiliki kekuasaan terhadap laki-laki. Dimana perempuan yang memiliki kemampuan, keahlian, dan dapat menggali potensi diri dengan optimal, serta dapat menguasai dan tidak diremehkan oleh laki-laki dijadikan sebagai tolak ukur feminisme. Film sebagai komunikasi massa dan kontruksi realitas sosial, serta semiotika dalam film, kemudian konsep feminisme yang digunakan adalah feminisme liberal, feminisme marxis, feminisme radikal-kultural, feminisme sosialis, feminisme post modern, dan feminisme eksistensialis.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode semiotik. Pendekatan semiotik yang dikemukakan oleh Charles Sanders Pierce dengan Triangle Meaning dan analisis sinema televisi oleh John Fiske melalui level realitas, level representasi, dan level ideologi.

Data dibagi tiga level yaitu level realitas, level representasi dan level ideologi. Pada level realitas, dianalisis penandaan yang terdapat pada kostum, make up, setting, dan dialog. Sedangkan pada level representasi dianalisis penandaan yang terdapat pada kerja kamera, pencahayaan, dan penataan suara. Pada level ideologi dianalisis dengan menggunakan konsep yang melibatkan hubungan tanda (sign), obyek-obyek (object) dan interpretant, serta mengunakan ikon (icon), indeks (index) dan simbol (symbol) yang menjadi penandaan terhadap representasi melalui tokoh Persik.

Kesimpulan peneliti bahwa, terdapat enam representasi feminisme dalam penelitian antara lain feminisme liberal, feminisme marxis, feminisme radikal-kultural, feminisme sosialis, feminisme post modern, dan feminisme eksistensialis tercemin melalui sosok Persik. Pada feminisme liberal, Persik sebagai sosok yang punya otonomi, dan berusaha mengkonstruksi ulang peran yang bersifat gender di masyarakat. Pada feminisme marxis, Persik sebagai sosok yang menolak bahwa penindasan perempuan adalah bagian yang esensial dari sistem kapitalis, dan


(14)

xiv

menentukan keputusan. Pada feminisme sosialis, Persik sebagai sosok yang mengkritik asumsi umum, yaitu meningkatnya partisipasi perempuan dalam ekonomi lebih berakibat pada peran antagonism seksual ketimbang status. Pada feminisme post modern, Persik sebagai sosok yang menolak perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang harus diterima dan dipelihara, gender tidak bermakna identitas atau struktur sosial. Pada feminisme eksistensialis, Persik sebagai sosok yang menolak bahwa perempuan adalah makhluk yang tidak lengkap, dan tidak cukup kiranya perempuan dijadikan obyek laki-laki karena segi biologis yang selalu dianggap perempuan mempunyai keterbatasan biologis untuk bereksistensi sendiri. Konstruksi feminisme dalam film “Ku Tunggu Jandamu” ini adalah masih tergolong feminisme setengah jalan, karena pandangan feminismenya masih terangkai dalam bingkai pemikiran dan perspektif patriarkhi.


(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Film merupakan salah satu media komunikasi massa (mass communication) yaitu komunikasi melalui media massa modern. Film hadir sebagian kebudayaan massa yang muncul seiring dengan perkembangan masyarakat perkotaan dan industri, sebagai bagian dari budaya massa yang popular. Sebagai media, film tidak bersifat netral, pasti ada pihak-pihak yang mendominasi atau terwakili kepentingannya dalam film tersebut. Film adalah seni yang sering dikemas untuk dijadikan komiditi dagang, karena film adalah potret dari masyarakat dimana film itu dibuat.

Film merupakan salah satu media komunikasi massa. Menurut UU No. 8 th 1992 tentang Perfilman Nasional dijelaskan bahwa film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam padapita seluloid, pita video, yang ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik dan elektronik. (Dewan Film Nasional, 1994 : 15)

Film merupakan gambaran yang bergerak. Film dapat disebut juga sebagai transformasi kehidupan masyarakat, karena dalam film kita dapat melihat gambaran atau cerminan yang sebenarnya, dan bahkan kita terkadang tidak menyadari. Sebagai gambar yang bergerak, film adalah reproduksi dari kenyataan seperti apa adanya.


(16)

Film juga memiliki dualisme sebagai refleksi atau sebagai representasi masyarakat. Memang sebuah film bisa merupakan refleksi atau representasi kenyataan. Sebagai refleksi kenyataan, sebuah film hanya memindahkan kenyataan ke layar tanpa mengubah kenyataan tersebut, misalnya film dokumentasi, upacara kenegaraan atau film dokumentasi peristiwa perang. Sedangkan sebagai representasi kenyataan berarti film tersebut membentuk dan menghadirkan kembali kenyataan berdasarkan kode-kode, konvensi-konvensi dan ideologi dari kebudayaan. (Sobur, 2003 : 128)

Setiap film yang dibuat atau diproduksi pasti menawarkan suatu pesan kepada para penontonnya. Jika dikaitkan dengan kajian komunikasi, suatu film yang ditawarkan harusnya memiliki efek yang sesuai dan sinkron dengan pesan yang diharapkan, jangan sampai inti pesan tidak tersampaikan tapi sebaliknya efek negatif dari film tersebut justru secara mudah diserap oleh penontonnya.

(http:www.sinarharapan.co.id/hiburan/budaya/2002/03/4bud02.html)

Keberadaan film di tengah masyarakat mempunyai makna yang unik diantara media komunikasi lainnya. Selain dipandang sebagai media komunikasi yang efektif dalam penyebarluasan ide dan gagasan, film juga merupakan media ekspresi seni yang memberikan jalur pengungkapan kreatifitas, dan media budaya yang melukiskan kehidupan manusia dan kepribadian suatu bangsa. Perpaduan kedua hal tersebut menjadikan film sebagai media yang mempunyai peranan penting di masyarakat. Di satu sisi film dapat memperkaya kehidupan masyarakat dengan hal-hal yang baik dan


(17)

bermanfaat, namun di sisi lain film dapat membahayakan masyarakat. Film yang mempunyai pesan untuk menanamkan nilai pendidikan merupakan salah satu hal yang baik dan bermanfaat, sedangkan film yang menampilkan nilai-nilai yang cenderung dianggap negatif oleh masyarakat seperti kekerasan, rasialisme, diskriminasi dan sebagainya akan membahayakan jika diserap oleh audience dan diaplikasikan dalam kehidupannya.

Industri film Indonesia sering mengalami masa jatuh bangun. Terlepas dari masalah krisis ekonomi yang pernah terjadi di Indonesia, minat penonton terhadap film karya sineas negeri sendiri juga kurang di sukai. Banyaknya film negeri sendiri yang kurang mempertimbangkan isi film dan mutunya membuat penonton lebih tertarik pada film barat.

Perfilman Indonesia mulai bangun dari keterpurukannya sekitar tahun 2000 dengan munculnya film Petualangan Sherina, yang disambut antusias oleh masyarakat. Kemudian disusul dengan kemunculan film Ada Apa Dengan Cinta yang bergenre percintaan remaja mampu menyedot ribuan animo masyarakat. Sebagai tonggak kebangkitan perfilman Indonesia yang sedang lesu ini AADC mampu memberikan nafas baru pada insan film untuk membuat film yang lebih baik, terbukti dengan kemunculan film-film seperti : Andai Ia Tahu, Rumah Ketujuh, Jelangkung, Ca Bau Kan, Biola Tak Berdawai, Arisan, Berbagi Suami, dan lain-lain.

Kebanyakan alur cerita di dalam film, menampilkan kehidupan yang nyata dominasi simbolik atas perempuan itu juga tampak dalam penilaian bahwa wanita yang baik adalah yang berumah tangga, melahirkan, mendidik


(18)

anak, dan merawat rumah tangga. Tidak ada tempat bagi perempuan yang tak kawin. Karena itu, orang tua dengan segenap kekuasaan yang dibungkus sopan santun adat tradisi merasa berhak anak-anak perempuan mereka yang masih sangat muda untuk kawin (Subandy, 1998 : 29).

Perjuangan perempuan melawan keterkaitan pada hubungan kekuasaan yang menempatkannya pada kedudukan yang lebih rendah dibandingkan laki-laki, memang perjuangan sepanjang hidupnya. Dapat ditinjau bahwa pada dasarnya perempuan Indonesia mempunyai kesulitan dan pengalaman getir yang sama seperti saudara-saudara di negara-negara terbelakang yang masih mempertahankan patriarki atau struktur sosial yang menempatkan kekuasaan terpusat di tangan laki-laki juga bergantung dengan sistem budaya, ekonomi, sosial dan politik setempat.

Bila melihat karya sastra Indonesia, posisi perempuan sering muncul sebagai simbol kehalusan, sesuatu yang bergerak lamban, bahkan kadang berhenti. Perempuan begitu dekat dengan idiom-idiom seperti keterpurukan, ketertindasan, bahkan pada ‘konsep’ yang terlanjur diterima dalam kultur masyarakat kita bahwa mereka adalah ‘objek’ dan bahkan ‘subjek’ bagi kaum laki-laki. Seperti halnya dalam dunia seni kita seperti pada sinetron dan film, perempuan banyak dijadikan objek penderita oleh laki-laki. Perempuan digambarkan sebagai sosok yang lemah dan tertindas. Karena itu berbicara tentang perempuan merupakan topik yang sangat menarik. Sebab perempuan selalu menampakkan sisi-sisi yang dapat yang dijadikan objek untuk disimak.


(19)

Sehingga fenomena tentang perempuan sangat menarik untuk divisualisasikan dalm bentuk karya di film.

Seperti halnya dalam kesenian kita (Film dan Sinetron), selalu menunjukkan posisi perempuan sebagai subjek kehidupan yang mendudukan titik ordinat. Kelemahan ketertindasan, yang menjadi alur cerita yang selalu berkepanjangan, menjadikan perempuan layak untuk dijadikan obyek yang selalu mengeluarkan air mata, berpikir keras untuk melakukan sesuatu yang terindah untuk kaum laki-laki

Mencari tahu bagaimana wajah perempuan dalam perfilman Indonesia bukanlah sesuatu yang susah, karena perempuan merupakan faktor yang mempunyai kedudukan yang penting dalam setiap film. Hal ini seperti penggambaran posisi perempuan dalam perfilman Indonesia pada tahun 2000 sampai sekarang (data ini diambil berdasarkan kebangkitan perfilman indonesia).

Gambaran perempuan yang lemah yang banyak didapati para industri film Indonesia, diharapkan akan memperoleh simpati, cucuran air mata dari para penontonnya. Miskinnya gambaran perempuan dalam film Indonesia yang hanya menitik beratkan pada dua unsur yaitu lemah dan perkasa mungkin disebabkan karena miskinnya pola pikir para pembuat film, yang seolah-olah tidak mengenal realitas, tak mengenal konsep perubahan, dan hanya meneruskan pola pikir masyarakat Indonesia (Subandy, 1998:28). Berdasarkan hal tersebut dominasi simbolik laki-laki atas perempuan tampak sebagai penilaian bahwa wanita yang baik adalah yang berumah tangga,


(20)

monogamy, melahirkan, mendidik anak, dan merawat rumah tangganya. Perempuan dalam perspektif ini harus taat pada laki-laki. (Sobary, 1998:30). Oleh karenanya disadari atau tidak, selama ini perempuan telah dijadikan bahan konsumsi publik, perempuan dalam film sekiranya telah menjadi korban dalam kapitalisme global dari kaum industrialis yang sangat kuat ideologi patriarkinya. Hal tersebut sudah banyak ditemui, dari beragamnya produk media massa dengan memanfaatkan perempuan sebagai nilai jual produknya, ataupun demi mendapatkan rating tinggi. Penggunaan perempuan sebagai objek eksploitasi ini sangat terasa terutama ketika kita menyaksikan tayangan film. Terkait dengan hal tersebut, maka bisa dinilai superioritas laki-laki semakin ditekankan, dengan mempersuasi publik secara terus-menerus melalui konstruksi perempuan pada media tersebut. Hal tersebut menjadikan terbentuknya suatu persepsi tertentu mengenai perempuan dalam superstruktur masyarakat kita. Maka media perfilman selama ini telah sangat berperan terkait dengan pembentukan dana peningkatan image perempuan.

Mengingat selama ini dalam film menggambarkan perempuan dengan stereotype yang telah dibentuk dari sudut pandang mayoritas patriarkhi. Maka hampir bisa dipastikan segala yang digambarkan semata-mata adalah perwujudan dari keinginan tentang sosok perempuan yang diharapkan oleh laki-laki. Adapun dalam film ini, penggambaran peran melalui tokoh Persik (Dewi Persik) sebagai sosok perempuan yang lain dari harapan laki-laki terhadap perempuan dalam budaya patriarkhi yang masih kental. Penilaian atau penafsiran penonton terhadap pesan di film “Ku Tunggu Jandamu”


(21)

mungkin bersifat subjektif atau menjadi bisa, karena dalam menanggapi nilai pesan dari film dilihat dari tanda, yaitu adanya interaksi antara tokoh-tokoh lainnya yang digambarkan berbeda dengan tayangan pada umumnya, hal itu ditunjukkan melalui adegan yang harus dilakukan.

Adapun akar dari pemisahan kaum perempuan, telah menjadi isu dan topik perdebatan sejak lama. Maka berbagai permasalahan yang menimpa kaum perempuan saat ini, diyakini akibat hegemoni budaya patriarki yang mondominasi semua lini kehidupan tersebut. Sebagai upaya untuk melawannya, selama kurang lebih tiga dekade ini lahir suatu wacana perempuan yakni dapat diartikan sebagai gerakan pembelaan atas hak-hak perempuan serta pembelaan terhadap dominasi laki-laki dengan sistem patriarkhal, dimana perempuan dimarjinalkan perannya. Meskipun begitu, sebenarnya perjuangan perempuan untuk meraih hak-hak mereka yang selama ini terampas memiliki sejarah yang lebih panjang dari itu. Sejak awal, para feminis telah menyadari bahwa image perempuan dalam film, iklan majalah, lukisan atau gambar, merupakan target kritik mereka. Banyak yang beranggapan bahwa perempuan feminis adalah perempuan yang berusaha menentang kodratnya sendiri. Banyak juga yang menganggap feminisme sebagai sebuah turunan dari kapitalisme dan sekulerisme budaya barat, yang tidak sesuai untuk budaya orang timur. Menurut Ritzer dan Goodman sebenarnya teori feminis modern bertolak dari beberapa pertanyaan sederhana “Dan bagaimana dengan perempuan ?”, “Mengapa semuanya ini terjadi ?”, “Bagaimana kita dapat mengubah dan memperbaiki dunia sosial untuk


(22)

membuatnya menjadi tempat yang lebih adil bagi perempuan dan bagi semua orang ?”, serta “Dan bagaimana dengan perbedaan diantara perempuan ?” Perempuan hanya menginginkan agar pria dan wanita, suami dan istri, mempunyai tingkat kedudukan yang sama di dalam keluarga, tidak ada yang lebih superior, dan bersama-sama saling mengisi. Sehingga tidak ada lagi tindak kekerasan, pelecehan, dan ketimpangan hak serta kewajiban dalam rumah tangga. Perempuan tidak menuntut karier tinggi yang membuatnya merasa bebas dari tanggung jawab mengasuh anak. Perempuan hanya menginginkan sebuah kesempatan untuk mengaktualisasikan diri dan mengeluarkan potensi. Perempuan menginginkan adanya kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan, memilih pekerjaan yang ia sukai (termasuk pekerjaan yang masih dipandang sebelah mata jika dikerjakan wanita, seperti supir bis, petinju, dan sebagainya).

Dengan demikian tidak ada lagi anggapan bahwa wanita tidak pantas menjadi presiden, atau tidak pantas menjadi pembalap. Perempuan menginginkan akses yang sama pada segala hal, berdasarkan kapasitasnya masing-masing. Pada hakikatnya perempuan bukan ingin dipandang sama dengan laki-laki tetapi ingin dipandang sebagai sebuah individu yang setara dengan laki-laki, sebagai manusia. Bukan sama melainkan setara. Karena perempuan dan laki-laki memang telah dilahirkan berbeda, baik secara anatomi, maupun emosi, maka kesamaan adalah sesuatu yang mustahil diraih dalam sebuah kondisi dualitas. Tapi kesetaraan merupakan hal yang absolut,


(23)

yang akan terus diperjuangkan untuk menciptakan kehidupan yang egaliter. (www.lingkarpeduliperempuan.blogspot.com).

Dalam film “Ku Tunggu Jandamu” ini, adalah menampilkan sebuah realitas kehidupan perkotaan dengan berbagai masalah sehari-hari tetapi tetap dikemas dalam drama komedi. Diperkuat dengan penokohan-penokohan yang sering muncul di layar kaca, salah satunya peran janda sebagai sentral dan penompang dalam film tersebut. Penggambaran karakter pada tokoh Persik (Dewi Persik) yang sangat ditonjolkan dalam film ini, mengundang perhatian peneliti dan masyarakat pada umumnya, karena dianggap sebagai bentuk sindiran terhadap maraknya gerakan feminisme yang dilakukan perempuan-perempuan di jaman sekarang. Suatu sinema dinamakan feminis menurut seorang Aquarini adalah bahwa tokoh perempuan harus diberikan peran berbeda dari pada stereotipe di “dunia nyata” dalam hal ini, sinema atau film feminis diharapkan dapat menjadi perangkat untuk melakukan pemikiran serta penilaian ulang atas stereotipe peran tradisional berdasarkan jenis kelamin (Aquarini, 2006: 335).

Dalam penelitian tentang feminis, maka peneliti memberikan beberapa konsep yang dipakai sebagai acuan untuk meneliti adegan yang dianggap sesuai dengan penelitian. Konsep yang dipakai peneliti antara lain konsep feminisme liberal, feminisme marxis, feminisme radikal kultural, feminisme sosialis, feminisme post modern dan feminisme eksistensialis. Pada feminis liberal konsep yang digunakan peneliti antara lain seperti :


(24)

1. Perempuan sebagai feminis menginginkan adanya kesetaraan kesempatan, dalam pendidikan, hak politik, dan ekonomi.

2. Perempuan sebagai feminis menjadi pembuat keputusan yang otonom. 3. Perempuan sebagai feminis mengkonstruksi ulang peran gender secara

sosial.

4. Perempuan sebagai feminis tidak dapat membenarkan hukum atau tabu yang melarang semua perempuan untuk melakukan hal yang dapat dilakukan laki-laki rata-rata dan dianggap tidak dapat dilakukan perempuan rata-rata, dan juga sebaliknya.

5. Menyangkal adanya perbedaan intelektual atau moral antara laki-laki dan perempuan.

6. Membebaskan perempuan dari peran gender yang opresif, yaitu peran-peran yang digunakan sebagai alasan atau pembenaran untuk memberikan tempat yang lebih rendah, atau tidak memberikan tempat sama sekali, bagi perempuan.

Untuk konsep feminisme marxis, konsep yang diambil dan digunakan untuk meneliti antara lain :

1. Perempuan sebagai feminis memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme.

2. Perempuan sebagai feminis berasumsi penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi.

3. Membebaskan perempuan dari keperluan pertukaran (exchange), yaitu Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai


(25)

konsekuensinya mereka mondiminasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari property.

Untuk konsep feminisme radikal kultural, konsep yang diambil dan digunakan untuk meneliti antara lain :

1. Perempuan sebagai feminis menolak adanya sistem masyarakat patriarkhi, dimana laki-laki lebih berkuasa dan mendominasi atas perempuan.

2. Perempuan sebagai feminis menyadari bahwa perempuan tidak ditakdirkan untuk menjadi pasif, seperti juga laki-laki tidak ditakdirkan untuk menjadi aktif, dan kemudian mengembangkan kombinasi apapun dari sifat feminin dan maskulin yang paling baik merefleksikan kepribadian unik mereka masing-masing.

3. Perempuan sebagai feminis dapat memutuskan siapa, bagaimana, kapan, dan dimana akan menjadi ibu atau menjalankan fungsi ibu.

4. Feminis merekonstruksi perempuan dengan menolak apa yang tampaknya merupakan aspek “baik” dari feminitas, dan juga menolak aspek yang sudah jelas-jelas “buruk” karena semua itu merupakan “konstruksi yang dibuat laki-laki”.

5. Perempuan sebagai feminis menjaga karakter femininnya dari tambahan-tambahan sifat maskulin.

Untuk konsep feminisme sosialis, konsep yang diambil dan digunakan untuk meneliti antara lain :

1. Perempuan sebagai feminis berusaha menggabungkan teori feminisme marxis dan feminisme radikal.


(26)

2. Perempuan sebagai feminis mengkritik asumsi umum, yaitu meningkatnya partisipasi perempuan dalam ekonomi lebih berakibat pada peran antagonism seksual ketimbang status.

Untuk konsep feminisme post modern, konsep yang diambil dan digunakan untuk meneliti antara lain :

1. Perempuan sebagai feminis menolak cara berfikir laki-laki yang diproduksi melalui bahasa laki-laki dan cara berfikir feminis yang fanatik / tradisional.

2. Perempuan sebagai feminis menolak perbedaan antara laki-laki dan perempuan harus diterima dan dipelihara. Gender tidak bermakna identitas atau struktur sosial.

Untuk konsep feminisme eksistensialis, konsep yang diambil dan digunakan untuk meneliti antara lain :

1. Perempuan sebagai feminis mengkritik psikoanalisa yang mengatakan bahwa perempuan adalah makhluk yang tidak lengkap, dan tidak cukup kiranya perempuan dijadikan obyek laki-laki karena segi biologis. Dianggap perempuan mempunyai keterbatasan biologis untuk bereksistensi sendiri.

2. Perempuan sebagai feminis melihat bahwa institusi pernikahan merupakan institusi yang merenggut kebebasan perempuan.

Dari uraian dan dengan mengacu pada konsep di atas maka, peneliti ingin mengetahui lebih jauh bagaimana penggambaran feminis pada film “Ku Tunggu Jandamu” mengingat film tersebut disukai karena unsur komedinya


(27)

yang sangat menghibur. Penulis ingin melakukan penelitian dengan mensemiotikkan film tersebut melalui representasi feminis yang mewujud dalam tokoh ini janda yaitu Persik (Dewi Persik). Terdapatnya banyak tanda dan lambang di dalam film drama komedi “Ku Tunggu Jandamu” tersebut adalah faktor yang menarik perhatian untuk diteliti dan mengkaji lebih jauh tentang kekuatan perempuan melalui tokoh Persik (Dewi Persik) sebagai penguat cerita.

Dalam isi cerita pada film ini memang menampilkan karakter-karakter yang berbeda-beda, dan semuanya memiliki kemampuan masing-masing. Film garapan Findo Purnowo HW ini memang memunculkan spoiler. Antara lain terdapat suami-suami yang begitu mengidolakan tokoh utama dalam film ini, namun terpaksa harus rela kena marah oleh para istri-istrinya. Ada seorang satpam yang seringkali mencuri pakaian dalam wanita serta mengkoleksinya. Ada seorang pembantu rumah tangga perempuan yang sangat mudah ditipu oleh lelaki. Ada seorang janda seksi yang sangat disukai oleh seorang perjaka. Ada seorang istri yang berkuasa atas suami dan kedua putranya, serta sangat mendikte sesuai dengan keinginannya. Ada tiga pemuda yang sangat terobsesi oleh perempuan dan membayangkan hal-hal yang berbau porno. Ada suami yang sangat terobsesi oleh kecantikan model-model dalam majalah sampai melakukan orgasme sendiri sehingga sang istri sangat tersiksa oleh tingkah laku suaminya. Dan terdapat tokoh Persik (Dewi Persik) yang sebelumnya telah bercerai dengan suaminya dan akhirnya menjadi janda.


(28)

Film kedua Findo Purnowo HW, setelah film Tulalit (Komedi Salah Sambung) ini merupakan road movie yang jalan ceritanya berawal dari perceraian antara tokoh utama dalam film ini yaitu Persik (Dewi Persik) dan Rozak. Pada saat itu juga, Rozak kembali mempersulit persik dengan kembali mengajak rujuk akan tetapi persik menolaknya. Perjuangan Persik diawali dengan pengusiran. Sebuah lingkungan apartemen ribut, ibu-ibu menuntut seorang janda muda, Persik, agar minggat karena dia dianggap sebagai biang kekacauan rumah tangga mereka. Suami-suami mereka terobsesi dengan Persik tetapi Persik cuek saja menanggapinya.

Kehadiran Persik mampu ‘memanaskan’ kondisi kompleks baru di tempat Persik tinggal, di kompleks baru tersebut Persik juga menjadi idola bagi laki-laki dan remaja. Selama berjalannya waktu, beberapa perempuan dan laki-laki-laki-laki mengerti akan seorang Persik. Mereka akhirnya meminta bantuan kepada Persik untuk memberikan solusi dan tips agar menarik perhatian para suami mereka. Persik (Dewi Persik) dengan bakat dan kecantikan yang dimilikinya membantu para perempuan agar tampak lebih cantik luar dan dalam di depan para suami mereka dan di setiap laki-laki. Sedangkan kepada para laki-laki, Persik memberikan saran agar dapat menunjukkan keberaniannya dalam menyelesaikan berbagai masalah. Kebiasaan dari tokoh Persik (Dewi Persik) ini memiliki perilaku yang sangat jauh dari gambaran perempuan dalam masyarakat patrialkal pada umumnya, dan sikap menentang terhadap dominasi laki-laki atas perempuan ini dijadikan kekuatan oleh tokoh Persik (Dewi Persik) untuk mendominasi atas laki-laki.


(29)

Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif, serta dengan menggunakan pendekatan semiotika yang dikemukakan oleh Charles Sanders Pierce. Terdiri dari tiga term, yaitu tanda (sign), objek (object), dan interpretan (interpretant) yang membentuk sebuah hubungan segitiga. Masing-masing term tersebut akan membentuk sebuah hubungan yang sangat dekat, sehingga salah satu term akan dapat dipahami apabila kita memahami term yang lain. Model elemen Pierce yang berbentuk segitiga tersebut antaar sign, interpretasi dan realitas eksternal sebagai hal yang sangat penting dalam mempelajari suatu tanda (Sobur, 2004: 41-42). Serta mempresentasikan film “Ku Tunggu Jandamu” dengan menggunakan ikon (icon), indeks (index) dan simbol (symbol). Peneliti memilih model semiotik milik Pierce karena memiliki kelebihan yaitu dapat diterapkan untuk segala macam tanda dan tidak mengkhususkan analisisnya pada studi linguistic. Selain itu pemilihan model semiotik ini menanggapi kritik yang dilontarkan oleh beberapa ahli, bahwa model milik Pierce lebih tepat digunakan untuk menganalisis media, seperti film ataupun sinetron. Hal ini sangat relevan dengan pendekatan semiotik dalam analisis film. Dikarenakan penelitian ini adalah film yang ditayangkan di televisi maka analisis setara dengan dengan kode-kode televisi pada sinema yang diutarakan oleh John Fiske yaitu dibagi berdasarkan level realitas, representasi, dan ideologi. Maka film terdiri dari kode-kode yang beraneka ragam, serta meliputi verbal dan non verbal. Analisis semiotik pada film yang ditayangkan di televisi, akhirnya penelitian ini mengambil judul “Representasi Feminisme Dalam Film “Ku


(30)

Tunggu Jandamu” (Studi Analisis Semiotika Representasi Feminisme melalui Tokoh Persik)”.

1.2. Perumusan Masalah

Dari uraian latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas dapat dikemukakan suatu perumusan masalah sebagai berikut :

“Bagaimana Representasi Feminisme dalam film Ku Tunggu Jandamu Melalui Tokoh Persik ?”

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui bagaimana representasi feminisme melalui tokoh Persik dalam film “Ku Tunggu Jandamu”.

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Akademis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah kajian ilmu komunikasi, khususnya yang berkaitan dengan pengembangan studi analisis semiotika film dalam kajian media massa.

1.4.2. Manfaat Praktis

Diharapkan dari penelitian ini dapat menumbuhkan kesadaran tentang wanita dalam media televisi, khususnya tentang posisi perempuan dalam usahanya untuk menyetarakan kedudukannya dalam gender.


(31)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.1. Film Sebagai Media Komunikasi Massa

Film dalam penelitian ini adalah film teatrikal, jenis film cerita yaitu film menyajikan suatu cerita dan diproduksi secara khusus untuk dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop atau cinema. Film ini didistribusikan sebagai barang perdagangan dan dipertunjukkan bagi masyarakat dimana saja (Onong, 2000 : 211). Film jenis ini berbeda dengan film televisi (TV Film) atau sinetron (Cinema Elektronik). Film teatrikal dibuat secara mekanik, sedangkan film televisi dibuat secara elektronik (Effendy, 1993 : 201). Namun film dan film televisi memiliki bahasa sendiri dengan sintaksis dan tata bahasa yang berbeda (Sardar dan Loon, 2001 : 156 dalam Sobur). Tata bahasa itu sendiri terdiri atas semacam unsur yang akrab, seperti pemotongan (cut), pemotretan jarak dekat (close up), pemotretan dua (two-shot), pemotretan jarak jauh (long shot), pembesaran gambar (zoom in), pengecilan gambar (zoom out), slow motion dan spesial effect.

Film berperan sebagai sarana baru yang dipergunakan untuk menyebarkan hiburan yang telah menjadi kebiasaan terdahulu, serta menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama. Lawak dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat umum (Mc. Quail, 1994 : 13).


(32)

Banyak perspektif yang dikemukakan oleh para ahli saat memandang sebuah film sebagai media massa. Perspektif yang pertama memandang bahwa bila dilihat dari isi pesannya, film sesungguhnya merupakan pencerminan atau refleksi dari sebuah masyarakat, yaitu masyarakat tempat membuat film itu sendiri, dalam arti tempat sineas, pendukung dan para kru produksi yang ada di dalamnya. Kedua, film dianggap sebagai refleksi atau pencerminan dari masyarakat karena di dorong oleh sifat komersialnya agar menyajikan isi yang dapat menyedot animo khalayak yang sebanyak-banyaknya.

Terdapat beberapa perspektif yang dikemukakan oleh para ahli saat memandang sebuah film sebagai media massa. Perspektif yang pertama, memandang bahwa apabila dilihat dari isi pesannya, film sesungguhnya merupakan pencerminan (refleksi) dari sebuah masyarakat, yaitu masyarakat tempat membuat film itu sendiri, dalam arti tempat sineas, pendukung, dan awak produksi didalamnya (Jowet, 1971 : 74).

Media massa sudah lama dianggap sebagai media pembentuk masyarakat, demikian halnya dengan film. Film selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan (message) dibaliknya, tanpa pernah berlaku sebaliknya. Kritik yang muncul terhadap perspektif ini didasarkan atas argumen bahwa film adalah potret dari masyarakat dimana film itu dibuat. Karena film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan kemudian memproyeksikannya keatas layar. (Irawanto, 1999 dalam Sobur, 2003 : 127)


(33)

2.1.2. Teori Konstruksi Realitas Sosial

Film adalah potret dari masyarakat dimana film itu dibuat. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan memproyeksikannya ke dalam layar (Irawanto, 1999 : 13 dalam Alex Sobur, 2004 : 127).

Film adalah dokumen kehidupan sosial sebuah komunitas. Film mewakili realitas kelompok masyarakat pendukungnya itu. Baik realitas dalam bentuk imajinasi maupun realitas kelompok dalam arti sebenarnya. Film menunjukkan pada kita jejak-jejak yang ditinggalkan pada masa yang akan datang. Sehingga dalam perkembangannya film bukan lagi sekedar usaha menampilkan citra bergerak (moving images) namun juga telah diikuti oleh kepentingan tentang politik, kapitalisme, hak asasi manusia atau gaya hidup. Film juga sudah dianggap bisa mewakili citra atau identitas komunikasi tertentu. Bahkan bisa membentuk komunitas sendiri, komunikasi yang sifatnya universal. Meskipun demikian, film juga bukan tidak menimbulkan dampak negatif. (Victor C. Mambor)

(http:f/situskunci.tripod.com/teks/victor1.html).

Teori konstruksi realitas sosial diperkenalkan oleh Peter L. Berger, seorang sosiologi interpretatif. Bersama Thomas Luckman, ia menulis sebuah risalat teoritis utamanya, The Social Construction of Reality (1966). Menurut Berger, realitas sosial eksis dengan sendirinya dan dalam mode strukturalitas, dunia sosial secara obyektif memang ada, tapi maknanya berasal oleh hubungan subyektif (individu) dengan dunia obyektif (Poloma, 2000 : 299).


(34)

Tesis utama dari Berger adalah manusia dan masyarakat adalah produk yang dialektis, dinamis dan plural secara terus-menerus. Masyarakat tidak lain adalah produk manusia, namun secara terus-menerus mempunyai aksi kembali terhadap penghasilannya. Sebaliknya, manusia adalah hasil atau produk dari masyarakat (Eriyanto, 2002 : 13).

Berger dan Luckman meringkas teori mereka dengan menyatakan realitas terbentuk secara sosial. Mereka mengakui realitas obyektif, dengan membatasi realitas sebagai kualitas yang berkaitan dengan fenomena yang kita anggap berada diluar kemampuan kita. Menurut Berger, kita semua mencari pengetahuan atau kepastian bahwa fenomena adalah riil adanya dan memiliki karakteristik yang khusus dalam kehidupan kita sehari-hari. Berger setuju dengan peryataan fenomologis bahwa terdapat realitas ganda dari pada hanya realitas tunggal. Berger bersama Garfinkel berpendapat bahwa ada realitas kehidupan sehari-hari yang diabaikan, yang sebenarnya merupakan realitas yang lebih penting. Realitas ini dianggap sebagai realitas yang teratur dan terpola, biasanya diterima begitu saja dan non-problematis, sebab dalam interaksi-interaksi yang terpola (typified) realitas sama-sama dimiliki dengan orang lain. Akan tetapi, bebeda dengan Garfinkel, Berger menegaskan bahwa realitas kehidupan sehari-hari memiliki dimensi-dimensi subyektif dan obyektif manusia merupakan instrumen dalam menciptakan realitas sosial yang obyektif melalui proses eksternalisasi (yang mencerminkan realitas subyektif). Dalam model yang dialektis, Berger melihat masyarakat sebagai produk manusia dan manusia sebagai produk masyarakat (Poloma, 2000:301).


(35)

Bagi Berger, proses dialektis dalam konstruksi realitas sosial mempunyai tiga tahap : pertama eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan, ekspeksi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam Negara, mental maupun fisik. Kedua, obyektifikasi, yaitu hasil yang telah dicapai baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia. Hasil itu menghasilkan realitas obyektif yang bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai faktisitas yang berada diluar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya. Ketiga, Internalisasi yaitu penyerapan kembali dunia obyektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subyektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dunia yang telah terobyektifkan tersebut akan ditangkap sebagai gejala internal bagi kesadaran melalui internalisasi, manusia menjadi hasil masyarakat (Eriyanto, 2002 : 14).

Dalam sejarah umat manusia, obyektifitas, internalisasi, dan eksternalisasi merupakan tiga proses yang berjalan terus. Proses ini, merupakan perubahan dialektis yang berjalan lambat, diluar sana tetap dunia sosial obyektif yang membentuk individu-individu; dalam arti manusia dalam produk dari masyarakatnya. Beberapa dari dunia sosial ini eksis dalam bentuk hukum-hukum yang mencerminkan norma-norma sosial. Aspek lain dari realitas obyektif bukan sebagai realitas yang langsung dapat diketahui, tapi bisa mempengaruhi nilai-nilai sosial. Realitas obyektif ini diinternalisir oleh anak-anak melalui proses sosialisasi dan disaat dewasa merekapun tetap menginternalisir situasi-situasi baru yang mereka temui dalam dunia sosialnya. Akan tetapi, manusia tidak seluruhnya ditentukan oleh lingkungan.


(36)

Dengan kata lain, proses sosialisasi bukan merupakan suatu keberhasilan yang tuntas. Manusia memiliki peluang untuk mengekspresikan atau secara kolektif membentuk dunia sosial mereka. Eksternalisasi mengakibatkan terjadinya perubahan aturan sosial. Dengan demikian, masyarakat adalah produk manusia yang tidak hanya dibentuk oleh masyarakat, tapi secara sadar atau tidak telah mencoba mengubah masyarakat itu (Poloma, 2000 : 316).

2.1.3. Perfilman Indonesia

Menurut sejarah perfilman di Indonesia, film pertama di negeri ini berjudul ”Lely van Java” yang diproduksi di Bandung pada tahun 1926 oleh seorang yang bernama David. Ini disusun oleh ”Eulis Ajih” produksi Krueger Corporation pada tahun 1927/1928. Dan sampai dengan tahun 1930 masyarakat pada waktu itu telah dihidangi film-film berikutnya, yaitu ”Lutung Kasarung”, ”Si Conat”, dan ”Pareh”. Sampai tahun itu, film yang disajikan masih merupakan film bisu, dan yang mengusahakannya adalah orang-orang Belanda dan Cina.

Film bicara yang pertama berjudul ”Terang Bulan” yang dibintangi Roekiah dan R. Mochtar berdasarkan naskah seorang penulis Indonesia Saerun.

Di penghujung tahun 1941 Perang Asia Timur Raya pecah, dunia film pun berubah wajah. Perusahaan-perusahaan film, seperti Wong Brothers, South Pacific, dan Multi Film diambil alih Jepang, ketika pemerintah Belanda sebagai pengusaha di Indonesia menyerah kalah kepada bala tentara Jepang.


(37)

NV Multi Film diambil alih oleh pemerintah nippon dan diganti nama menjadi ”Nippon Eiga Sha” dibawah pengawasan Sandenbu, yakni Barisan Propaganda bala tentara Jepang. Sudah tentu yang menjadi kepalanya Jepang, tetapi wakilnya adalah R.M. Soetarto, seorang Indonesia yang memang banyak pengalaman sebelumnya.

Yang di produsir Nippon Eiga Sha adalah film-film berita yang diberi judul ”Djawa Baharu”, kemudian diganti menjadi ”Nampo Hado”, lalu film-film dokumenter, film-film feature, dan lain-lain.

Pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Maka dunia perfilman pun ikut berubah, Nippon Eiga Sha diserahkan secara resmi pada tanggal 6 Oktober 1945 kepada Pemerintah Republik Indonesia yang dalam serah terimanya dilakukan Ishimoto dari pihak Pemerintah Militer Jepang kepada R.M. Soetarto yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia. Sejak tanggal 6 Oktober 1945 itu lahirlah Berita Film Indonesia atau B.F.I.

Sementara revolusi, B.F.I. terpaksa memindahkan kegiataannya ke Surakarta dan berjalan dengan baik, meskipun segalanya serba sederhana. Sementara itu, ketika Pemerintah RI meninggalkan Jakarta dan berpusat di Yogyakarta, maka gedung, studio dan laboratorium BF3 diduduki tentara Nica. Sejak itu prasarana tersebut dipergunakan oleh Reegerings Film Bedrijf untuk juga membuat film dokumenter, film berita dan film cerita, bersama-sama dengan South Pacific Film Co.


(38)

Pada tahun 1950, setelah kedaulatan diserahkan oleh Pemerintah Belanda kepada Pemerintah RI maka Reegerings Film Bedrijf diserahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) yang kemudian diberi nama Perusahaan Pilem Negara (PPN) dalam lingkungan Kementrian Penerangan pada waktu itu.

Bersamaan dengan pindahnya Pemerintah RI dari Yogyakarta ke Jakarta, berpindah pula B.F.I. kembali ke ibukota Negara untuk bergabung dengan PPN. Namanya pun menjadi Perusahaan Film Negara (P.F.N).

Dengan menginjak dekade lima puluhan itu, dunia perfilman di Indonesia memasuki alam yang cerah. Tampaklah kegiatan yang dilakukan para sineas film nasional dalam bentuk perusahaan-perusahaan film. Dengan dipelopori ”Sticoting Hiburan Mataram” yang sudah berdiri sejak jaman revolusi, mulai dekade itu diikuti oleh Perusahaan Film Nasional (Perfini) dibawah pimpinan Usmar Ismail dan Persatuan Artis Republik Indonesia (Persari) yang dipimpin Djamaludin Malik. Ini diikuti pula oleh Surya Film Trading, Java Industrial Film, Bintang Surabaya, Tan & Wong Brothers Film Corp., Golden Arrow, Ksatrya Dharma Film dan Benteng Film.

2.1.4. Representasi

Representasi berasal dari kata ”Represent” yang bermakna stand for

artinya berarti atau juga ”act as delegate for” yang bertindak sebagai perlambang atas sesuatu (Kerbs, 2001 : 456). Representasi juga dapat berarti sebagai suatu tindakan yang menghadirkan atau merepresentasikan sesuatu


(39)

lewat sesuatu yang lain diluar dirinya, biasanya berupa tanda atau simbol (Piliang, 2003 : 21).

Representasi adalah konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan yang tersedia : dialog, tulisan, video, film, fotografi, dan sebagainya. Secara ringkas, representasi adalah produksi makna melalui bahasa. Lewat bahasa (simbol-simbol dan tanda tertulis, lisan atau gambar) tersebut itulah seseorang dapat mengungkapkan pikiran, konsep dan ide-ide tentang sesuatu (Juliastuti, 2000).

Konsep representasi bisa berubah-ubah. Selalu ada pemaknaan baru dan pandangn baru dalam konsep representasi yang sudah pernah ada. Karena makna sendiri juga tidak pernah tetap, ia selalu berada dalam proses negoisasi dan disesuaikan dengan situasi yang baru. Intinya adalah : makna akan inheren dalam suatu dunia ini, ia selalu dikonstruksikan, diproduksi, lewat proses representasi. Ia adalah hasil dari praktek penandaan. Praktek yang membuat sesuatu hal bermakna sesuatu (Juliastuti, 2000 : 1).

Menurut Stuart Hall, ada dua proses representasi. Pertama, representasi mental, yaitu konsep tentang ”sesuatu” yang ada di kepala kita masing-masing (peta konseptual). Representasi mental ini masih berbentuk sesuatu yang abstrak. Kedua, adalah bahasa, yang berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada di dalam kepala kita harus diterjemahkan dalam bahasa yang ”lazim”, supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan tanda dan simbol-simbol tertentu.


(40)

Proses pertama memungkinkan untuk memaknai dunia dengan mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan sistem ”peta konseptual” kita. Dalam proses kedua, kita mengkonstruksi seperangkat rantai koresponden antara ”peta konseptual” dengan bahasa atau simbol yang berfungsi merepresentasikan konsep-konsep kita tentang sesuatu. Relasi antara ”sesuatu”, ”peta konseptual”, dan ”bahasa atau simbol” adalah jantung dari produksi makna lewat bahasa. Proses yang menghubungkan ketiga elemen ini secara bersama-sama itulah yang kita namakan representasi. Isi atau makna dari sebuah film dikatakan dapat merepresentasikan suatu realita yang terjadi. Karena menurut Fiske, representasi merupakan sesuatu yang merujuk pada proses yang dengannya realitas disampaikan dalam komunikasi melalui kata-kata, bunyi atau kombinasinya (Fiske, 2004 : 282). Menurut Stuart Hall (1997), representasi adalah salah satu praktek penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas, kebudayaan menyangkut “pengalaman berbagi”. Seseorang dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang ada disitu membagi pengalaman yang sama, membagi kode-kode kebudayaan yang sama, berbicara dalam “bahasa” yang sama, dan saling berbagi konsep-konsep yang sama.

Konsep representasi pada penelitian ini merujuk pada pengertian tentang bagaimana seseorang, sebuah kelompok atau sebuah gagasan ditunjukkan dalam media massa (Eriyanto, 2001 : 113). Dalam film, alat-alat representasi itu sebuah narasi besar, cara bercerita, scenario, penokohan, dialog dan


(41)

beberapa unsur lain didalamnya. Menurut Graeme Turner (1991 : 128), makna film sebagai representasi dari realitas masyarakat berbeda dengan film sekedar sebagai refleksi dari realitas. Sebagai refleksi dari realitas, film sekedar memindahkan ke layar tanpa mengubah realitas itu. Sementara sebagai representasi dari realitas, film membentuk dan menghadirkan kembali realitas berdasarkan kode-kode, konvoi-konvoi dan ada idiologi kebudayaannya (Irawanto, 1999 : 15).

Dalam perspektif Marxian, film sebagai institusi sosial dianggap sebagai aspek ekonomis dan idiologis. Film senantiasa berkisar pada produksi representasi bagi masyarakat yang telah disiapkan untuk berharap (Turner, 1991 : 129). Pentingnya kajian film dalam dunia Marxis terletak pada fokus film dalam hubungannya dengan produksi, ailh-alih pada konsumsi. Film sebagai produksi makna melibatkan pembuat maupun penonton film. Bagaimanapun, hubungan antara film dan idiologi kebudayaan bersifat problematik, karena film adalah produk dari struktur sosial, politik dan budaya serta sekaligus membentuk dan mempengaruhi dinamika struktur tersebut (Irawanto, 1990 : 15).

2.1.5. Feminisme

Feminisme adalah idiologi yang dikembangkan oleh kalangan Eropa Barat dalam rangka memperjuangkan persamaan antara dua jenis manusia : laki-laki dan perempuan. Tujuan mereka adalah menuntut keadilan dan


(42)

pembebasan perempuan dari kungkungan agama, budaya, dan struktur kehidupannya lainnya. (http://alislamu.com/index.php)

Feminisme sebagai gerakan pada mulanya berangkat dari asumsi bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi, serta usaha untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi tersebut (Fakih, 2001 : 99). Sedangkan feminisme menurut M. Shiddiq, dapat diberi pengertian sebagai suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, dalam keluarga maupun ditempat kerja, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk merubah keadaan tersebut. Menurut definisi ini, seorang yang mengenali adanya sexism (diskriminasi atas dasar jenis kelamin), dominasi lelaki, serta sistem patriarkhi dan melakukan suatu tindakan untuk menentangnya adalah seorang feminis.

(http://swaramuslim.co.id//feminis.html)

Dalam sepanjang perkembangannya yang ada di masyarakat di berbagai belahan dunia, ada banyak jenis gerakan feminisme, diantaranya : feminisme liberal, feminisme marxis, feminisme radikal, feminisme sosialis, feminisme post modern, feminisme psikoanalitik dan feminisme eksistensialis.

Untuk mendapatkan gambaran pemahaman perihal gerakan-gerakan feminisme, berikut ini uraian mengenai pandangan dari berbagai paham feminisme tersebut :

1. Feminisme Liberal, ialah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan


(43)

antara dunia privat dan publik. Setiap manusia –demikian menurut mereka- punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakangan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka ”persaingan bebas” dan punya kedudukan setara dengan lelaki.

Feminisme liberal berusaha untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor domestik dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif dan menempatkan wanita pada posisi sub-ordinat. Budaya masyarakat Amerika yang materialistis, mengukur segala sesuatu dari materi, dan individualis sangat mendukung keberhasilan feminisme. Wanita-wanita tergiring keluar rumah, berkarier dengan bebas dan tidak tergantung lagi pada pria.

Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraan rasionalitas. Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang bisa gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering muncul tuntutan agar perempuan mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak upaya memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di abad 20 organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk


(44)

menentang diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam konteks Indonesia, reformasi hukum yang berprespektif keadilan melalui desakan 30% kuota bagi perempuan dalam parlemen adalah kontribusi dari pengalaman feminis liberal.

2. Feminisme Marxis, aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini –status perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaan pribadi (private property). Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mondiminasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat- borjuis dan prolentar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus.

3. Feminisme Radikal, teorinya mempersoalkan fungsi reproduksi dan melahirkan, serta perbedaan seks dan gender yang merampas kekuasaan perempuan. Dalam kaitannya dengan kekuasaan, feminis radikal mempermasalahkan perbedaan seks atas dasar biologis, kemudian dikonstruksi menjadi perbedaan gender oleh budaya patriarkhi.


(45)

4. Feminisme Sosial, pandangannya berusaha menggabungkan teori feminisme marxis dan feminisme radikal. Mereka mengkritik asumsi umum, hubungan antara partisipasi perempuan dalam ekonomi memang perlu, tapi tidak akan selalu menaikkan status perempuan. Bagi feminis sosialis, meningkatnya partisipasi perempuan dalam ekonomi lebih berakibat pada peran antagonism seksual ketimbang status (M. Fakih, 2001 : 93-95)

5. Feminisme Post Modern, penekanannya pada text dimana realitas adalah text/ intertextual baik berbentuk lisan, tulisan dan image, sehingga yang menjadi perhatian dari aliran feminisme post modern adalah penolakan cara berfikir laki-laki yang diproduksi melalui bahasa laki-laki dan cara berfikir feminis yang fanatik / tradisional. Dalam teori ini dikatakan bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan harus diterima dan dipelihara. Gender tidak bermakna identitas atau struktur sosial.

6. Feminisme Psikoanalitik, mengatakan bahwa tingkat perkembangan super ego perempuan sangat jauh berbeda dengan laki-laki, karena mereka tidak pernah bisa terlalu impersonal, atau terlalu mandiri terhadap emosi mereka. Perempuan selalu menunjukkan kurang peka terhadap keadilan, kurang siap dalam menghadapi kehidupan. Perempuan selalu terpengaruh perasaannya ketika harus melakukan penilaian. Perempuan adalah makhluk yang tidak lengkap.

7. Feminisme Eksistensialis, perempuan selalu menjadi obyek dari laki-laki dan perempuan adalah malafide menurut konsep Jean Paul Sartre dan


(46)

Simon De Beauvoir mengkritik psikoanalisa yang mengatakan bahwa perempuan adalah makhluk yang tidak lengkap, dan tidak cukup kiranya perempuan dijadikan obyek laki-laki karena segi biologis. Dianggap perempuan mempunyai keterbatasan biologis untuk bereksistensi sendiri. Beauvoir juga melihat bahwa institusi pernikahan merupakan institusi yang merenggut kebebasan perempuan.

(http://staff.blog.ui.ac.id/arif51/beberapa-aliran-feminisme)

2.1.5.1. Feminisme Liberal

Feminisme Liberal lahir pertama kali pada abad 18 dirumuskan oleh Mary Wollstonecrat dalam tulisannya A Vindication of the Right of Women (1759-1799) dan abad 19 oleh John Stuart Mill dalam bukunya Subjection of Women

dan Harriet Taylor Mills dalam bukunya Enfranchisemen of Women, kemudian pada abad 20 Betty Friedan dalam The Feminis Mistique dan The Second Stage.

Feminis Liberal ini mendasarkan pemikirannya pada konsep liberal yang menekankan bahwa wanita dan pria diciptakan sama dan mempunyai hak yang sama dan juga harus mempunyai kesempatan yang sama. Manusia berbeda dengan binatang karena rasionalitas yang dimilikinya. Kemampuan rasionalitas tersebut mempunyai dua aspek yaitu moralitas (pembuat keputusan yang otonom) dan prudensial (pemenuhan kebutuhan diri sendiri). Hak individu bagi kaum Liberal harus diprioritaskan. Setiap individu diberikan kebebasan untuk memilih apa yang baik untuk dirinya asal tidak


(47)

merugikan orang lain. Liberalisme juga menekankan pada masyarakat yang adil yang memungkinkan setiap individu mempraktekkan otonomi dirinya dalam memenuhi kebutuhannya.

Dalam hal intervensi negara atas bidang publik (masyarakat sipil), Liberallis Klasik berbeda dengan Liberallis Egalitarian. Bagi Liberalis Egalitarian setiap orang yang memasukki pasar terlebih dahulu mempunyai, keuntungan material, koneksi atau bakat yang berbeda. Apabila perbedaan tersebut sangat besar maka sulit bagi mereka untuk mengejarnya. Oleh sabab itu Negara harus intervensi secara positif agar kesejahteraan masyarakat merata. Intervensi di bidang hukum, pendidikan, perumahan, pelayanan kesehatan, kesejahteraan sosial dan penyediaan makan bagi orang miskin. Bagi Liberallis ini negara sebaiknya memfokuskan pada keadilan ekonomi bukan kebebasan sipil. Sedangkan Liberallis Klasik dalam era pasar bebas setiap individu harus diberikan kesempatan yang sama mengakumulasi keuntungannya.

Mereka juga menekankan bahwa negara harus melindungi kebebasan sipil seperti, hak memilih, hak berorganisasi, hak kepemilikan dan kebebasan. Akan tetapi dalam hal intervensi Negara untuk menjamin hak individu, kaum Liberallis sepakat bahwa intervensi negara harus seminim mungkin. Baik dalam aspek negara, organisasi, keluarga sampai ke tempat tidur

Feminis Liberal pada abad 18, pendidikan yang sama untuk perempuan Mary Wollstonecrat dalam bukunya A Vindication of the Right of Women


(48)

dimana perempuan dikekang didalam rumah tidak diberikan kesempatan untuk masuk dipasar tenaga kerja dan melakukan pekerjaan rumah tangga. Sedangkan laki-laki diberikan kebebasan untuk mengembangkan diri soptimal mungkin. Padahal kalau perempuan diberikan kesempatan yang sama juga bisa mengembangkan diri secara optimal, asal perempuan juga diberikan pendidikan yang sama dengan pria.

Wollestone juga mengkritik Email, novel karya Jean Jackques Rosseau yang membedakan pendidikan laki-laki dan perempuan. Pendidikan laki-laki lebih menekankan rasionalitas & mempelajari ilmu alamiah, ilmu sosial dan humaniora, karena nantinya akan bertanggung jawab sebagai kepala keluarga sedangkan pendidikan untuk perempuan lebih menekankan pada emosional, mempelajari puisi, seni, karena perempuan akan menjadi istri yang penuh pengertian, responsive, perhatian dan keibuan. Jalan keluar yang ditawarkan Wollestone adalah mendidik perempuan sama dengan mendidik laki-laki dengan mengajarkan kepada perempuan juga rasionalitas sehingga perempuan mampu menjadi diri sendiri, tidak menjadi mainan laki-laki.

Feminis Liberal pada abad 19 tentang hak sipil dan ekonomi bagi perempuan dan laki-laki. Satu abad kemudian J S Mill dan Harriet Tailor Mill bergabung dengan Wollestonecraft menekankan pentingnya rasionalitas untuk perempuan. J S Mill dan Harriet Tailor Mill lebih jauh menekankan agar persamaan perempuan dan laki-laki terwujud, tidak cukup diberikan pendidikan yang sama tetapi juga harus diberikan kesempatan untuk berperan dalam ekonomi dan dijamin hak sipilnya yang meliputi hak untuk


(49)

berorganisasi, kebebasan untuk berpendapat, hak untuk memilih dan hak milik pribadi, serta hak-hak sipil lainnya.

Sumbangan lain pemikiran mereka berdua adalah dua-duanya menekankan pentingnya pendidikan, kemitraan dan persamaan. Mill lebih menekankan pada pendidikan dan hak, sedangkan Taylor lebih menekankan kemitraan. Mill lebih jauh juga mempertanyakan superioritas laki-laki, menurutnya bahwa laki-laki itu tidak lebih superior secara intelektual dari perempuan. Pemikiran Mill yang juga menarik bahwa kebajikan yang ditempelkan pada perempuan seringkali merugikan perempuan karena perempuan tidak bisa menjadi diri sendiri, sebab ia akan menjadi orang yang dikehendaki masyarakat.

Feminisme Liberal pada abad 20, The Feminis Mistique yang ditulis oleh Betty Frieden, bila dibandingkan dengan buku yang ditulis sebelumnya oleh Wollestone, J S Millsdan Harriet Taylor terkesan tidak radikal. Menurut Betty perempuan kelas menengah yang menjadi ibu rumah tangga merasa hampa dan muram, sehingga mereka menghabiskan waktunya untuk berbelanja, mempercantik diri, bagaimana memuaskan nafsu suami dsb. Jalan keluar yang ditawarkan Frieden adalah kembali ke sekolah dan berkontribusi dalam ekonomi keluarga dengan tetap berfungsi sebagai ibu rumah tangga dengan tetap masih mencintai suami dan anak.

Frieden meyakini bahwa karier dan rumah tangga bisa berjalan seiring. Baru duapuluh tahun kemudian ia menyadari dalam bukunya The Second Stage bahwa menangani karier dan rumah tangga sangat sulit, karena dia harus


(50)

melayani dua majikan suaminya dan atasannya di kantor. Ia memberikan jalan keluar bahwa perempuan harus melakukan pergerakan sehingga menyadari keterbatasan-keterbatasan dirinya yang diciptakan masyarakat sehingga bisa memperbaiki kondisi. Bekerja sama dengan laki-laki untuk merubah pola pikir masyarakat pada bidang publik, kepemimpinan, struktur institusi dan privat suami mulai ikut memikul beban keluarga yaitu ekonomi, rumah dan anak-anak secara bersama-sama.

Arah Feminis Liberal menginginkan terbebasnya perempuan dari peranan gender yang opresif. Mereka berargumentasi bahwa dalam masyarakat yang patriarkhi pekerjaan yang cocok untuk perempuan diasosiasikan pada sifat feminin seperti guru, perawat, sekretaris, kasir di bank dsb. Penentangan stereotipe tersebut harus melalui pendidikan androgini –yang mempunyai dimensi laki-laki dan perempuan- baik di sekolah maupun dirumah. Androgini telah membantu mereka dalam meraih kebebasan, persamaan hak dan keadilan. Negara ikut bertanggung jawab untuk menjamin tidak ada lagi diskriminasi pada perempuan baik seksual maupun penghasilan dan menjamin perempuan terbebas dari pelecehan seksual, pemerkosaan dan kekerasan. Feminis Liberal sangat penting dalam pergerakan feminis dengan perjuangannya untuk perempuan di barat untuk meraih persamaan hak, peniadaan diskriminasi ditempat kerja dan perubahan hukum yang lebih menguntungkan perempuan. Kritik pada Feminis Liberal pertama Jean Bethke Elshtain dalam bukunya A Polotical Theorist. Mengkritik bahwa semua perempuan ingin menjadi seperti laki-laki, mengadopsi sifat laki-laki


(51)

mengutamakan rasionalitas tidak boleh menunjukkan sifat emosionalnya untuk mengurangi ketertindasannya. Menurut Elshtain, perempuan tidak boleh mengadopsi cara berfikir laki-laki. Perempuan mempuyai cara berfikir sendiri yang bisa dipertahankan. Laki-laki maupun perempuan harus mengadopsi dua-duanya baik cara berfikir laki-laki maupun perempuan. Kita tidak boleh mendikotomikan nurture dan nature.

Perubahan tidak bisa dilakukan hanya melalui kelompok-kelompok kecil. Karena dalam kelompok-kelompok kecil justru akan menghancurkan kumunalitas. Padahal untuk melobi pemerintah harus melalui gerakan massa (komunal), untuk itu penting sekali adanya committe organizer yang bisa mengorganisasi massa. Kritik kedua dalam Feminist politics dan Human Nature, Alison Jaggar menfomulasikan kritik yang kedua, seperti Elshtain jaggar juga mengkritik feminis Liberal bahwa perempuan harus mengadopsi nilai laki-laki yaitu rasionalitas dan otonomi. Sedangkan menurut Jaggar tidak boleh mendikotomi nilai laki-laki dan perempuan justru laki-laki dan perempuan harus mengadopsi nilai kedua-keduanya secara seimbang. Jaggar juga mengkritik feminis liberal yang melihat perempuan itu satu, padahal menurut Jaggar perempuan tidak satu tapi bermacam-macam. Sehingga tidak bisa melalui pendidikan dan dianggap akan menyelesaikan seluruh persoalan perempuan. Karena perempuan berbeda-beda keberadaanya.

Maka strategi pemecahannyapun juga harus berbeda-beda pula. Kritik ketiga Feminis Liberal telah menjenalisir perempuan itu sama, padahal perempuan tidak hanya perempuan kulit putih, heteroseksual dan kelas


(52)

menengah dan dari kelompok terpelajar, tetapi juga ada PSK, buruh, ada perbedaan suku / budaya, agama, sehingga penyebab ketertindasan perempuanpun juga tidak satu dan tentu strategi pemecahan masalahnyapun tidak bisa sama. Misalnya : perempuan kulit putih dari kelas menengah tentu berbeda dengan perempuan kulit hitam dari kelas bawah.

(http://www.asppuk.or.id)

2.1.5.2. Feminisme Marxis

Tak seperti feminisme liberal, feminis Marxis percaya bahwa kapitalisme hanya dapat membuat "sukses" untuk sejumlah kecil perempuan. Dan sejarahnya ia hanya membuat demikian dibawah tekanan dari bawah. Kesetaraan penuh bagi semua perempuan tak bisa dicapai di bawah kapitalisme. Pembebasan individual adalah mustahil karena seksisme adalah persoalan sosial yang berhembus dari penindasan institusional terhadap perempuan dalam kapitalisme.

Kapitalisme berdasarkan pada peranan sedikit orang yang berkuasa yang memiliki semua sumber ekonomi dan industri, diluar kita semua yang dipaksa untuk kerja upahan untuk hidup-kelas pekerja. Sistem ini alat untuk kebutuhan minoritas, untuk pengejaran keuntungan dan karenanya menimbulkan perampasan, eksploitasi, dan penindasan (dalam segala bentuk) dari mayoritas. Dan setiap institusi besarnya mendukung yaitu : pemerintah, keluarga, media, polisi, sistem pendidikan, dan sistem legal.


(53)

Sebenarnya, satu-satunya jalan bagi perempuan, dan semua kaum tertindas untuk memenangkan pembebasan adalah dengan melawan untuk sebuah sistem baru yang demokratik- masyarakat yang berfungsi untuk menemukan kebutuhan mayoritas orang dan lingkungan lebih baik dari minoritas yang haus keuntungan.

Satu-satunya kekuatan yang mampu untuk membuat masyarakat sosialis baru ini adalah kelas pekerja, membuat semua kesejahteraan masyarakat. Pertempuran melawan penindasan lain yang memisahkan kelas pekerja-rasisme, seksisme, penindasan bangsa- adalah tak dapat dihindari untuk menggulingkan kapitalisme karena kelas pekerja yang terbelah tidaklah cukup kuat untuk mengalahkan kelas kapitalis yang sedang berkuasa. Penindasan perempuan adalah bagian yang esensial dari sistem kapitalis.

Seksisme pernah dibenarkan, menopang suatu institusi yang penting bagi kapitalisme yaitu keluarga. Keluarga mengizinkan kelas berkuasa untuk menghapuskan semua tanggung jawab bagi kesejahteraan ekonomi dan perawatan pekerja mereka dan menimbulkan pembagian masyarakat ke dalam kelas-kelas dengan mengizinkan pemilikan properti dari satu generasi ke generasi lainnya dalam kelas mereka.

Unit keluarga individual menjaga para pekerja berkompetisi untuk bertahan hidup, mendorong pembagian sosial buruh berdasarkan penaklukan dan ketergantungan ekonomi perempuan, dan membantu untuk mensosialisasikan generasi baru dalam hubungan otoriterian hirarki yang diperlukan untuk membuat kelas pekerja tetap pasif.


(54)

Seksisme membuat perempuan bekerja keras mengurusi pekerjaan rumah tangga, semuanya dilakukan dengan gratis. Ia menyebabkan majikan untuk menggaji perempuan lebih sedikit. Semua perempuan tertindas sebagai perempuan, tetapi dampak penindasan itu berbeda bagi perempuan pada kelas yang berbeda.

Perjuangan seputar aspek-aspek spesifik dari penindasan perempuan memerlukan terlibatnya perempuan dari latar sosial berbeda. Tetapi gerakan masa pembebasan perempuan Marxis bertujuan untuk mendirikan akan menjadi dasar kelas pekerja dalam komposisi, orientasi, dan kepemimpinan karena hanya sebuah gerakan bisa meraih pembebasan perempuan sejati. Gerakan feminis massa, yang berjuang bagi kesetaraan bagi semua perempuan, tak dapat dihindarkan lagi membutuhkan reorganisasi total dalam masyarakat dalam kepentingan minoritas, yaitu membuka kapitalisme. Sebuah gerakan akan menuntut hak bagi perempuan untuk mengontrol tubuh mereka sendiri legal penuh, kesamaan politik dan sosial, hak untuk merdeka secara ekonomi dan kesetaraan, kesempatan studi yang setara, hak untuk bebas dari kekerasan dan eksploitasi, dan bebas dari penindasan seksualitas manusia. Hanya masyarakat sosialis yang bisa memenuhi tuntutan ini, memindahkan paksaan ekonomi dibalik perbudakan perempuan dalam keluarga, mengambil pertanggung jawaban sosial bagi tugas-tugas yang tadinya dilakukan dengan gratis oleh perempuan dalam rumah; memindahkan eksploitasi kelas.


(55)

Dibawah sosialisme sebagian besar manusia baik perempuan atau laki-laki akan menikmati eliminasi penindasan perempuan sebagaimana masih akan membiarkan perkembangan penuh hubungan kebutuhan manusia bebas dari distorsi seksisme dan pengasingan seksualitas yang dibuat oleh masyarakat kelas.

Sosialisme juga satu-satunya sistem yang bisa meniadakan penindasan lain yang diderita banyak perempuan, seperti rasisme, dan eksploitasi dunia ketiga oleh bangsa imperialis maju. Perempuan tak bisa memenangkan masyarakat baru ini dan pembebasan mereka tanpa bergabung dengan perjuangan pembebasan lain dan dengan kelas pekerja secara keseluruhan. Laki-laki sebagai individual maupun kelompok, mempunyai kepentingan material dalam dan menikmati penindasan terhadap perempuan. Sebagai kelamin mereka mempunyai akses yang lebih baik ke pendidikan, pekerjaan dan upah yang lebih baik. Mereka tak memikul dua beban kerja upahan dan buruh domestik gratis, karena situasi ekonomi mereka yang lebih baik mereka mempunyai akses seksual terhadap perempuan, melalui industri seksual. Penindasan perempuan dalam masyarakat sosial membawa laki-laki menerima keistimewaan yang melembaga dan keuntungan terhadap perempuan.

Bagaimanapun penindasan perempuan berjalan memukul kepentingan kelas laki-laki kelas pekerja, karena ia memisahkan kelas pekerja dan memperlemah kemampuan mereka untuk berjuang dan menggulingkan sang penindas, yaitu kapitalis. Tetapi sampai laki-laki kelas pekerja mengembangkan kesadaran kelas sampai mereka menyadari kepentingan


(56)

kelas mereka diatas kepentingan mereka sebagai individu, dan karenanya mengerti kebutuhan untuk bergabung dengan kaum feminis bertempur melawan seksisme mereka akan meletakkan kepentingan mereka sebagai anggota kelas berkuasa dahulu.

Perjuangan Marxis untuk mengembangkan kesadaran ini dalam kelas pekerja karena analisis mereka membawa mereka untuk mengerti bahwa perjuangan oleh perempuan melawan penindas mereka sebagai perempuan dan perjuangan untuk menghilangkan ketidaksetaraan kelas berjalan terus. Tetapi ini bukan berarti bahwa perempuan harus menunda perjuangan mereka sampai "setelah revolusi". Sebaliknya hubungan yang erat antara penindasan gender dan kelas memberikan kepada perjuangan sosialisme sebuah perjuangan terpadu juga, "Tak ada revolusi sosialis tanpa pembebasan perempuan, tak ada pembebasan perempuan tanpa revolusi sosialis". (WordPress.com)

2.1.5.3. Feminisme Radikal

Pada tahun 1967 dibentuklah “Student for a Democratic Society” (SDS)

yang mengadakan konvensi nasional di Ann Arbor kemudian dilanjutkan di Chicago. Dari sinilah mulai muncul kelompok “Feminisme Radikal” dengan membentuk “Women’s Liberation Workshop” (Women Lib’s). Organisasi ini mengamati bahwa peran kaum perempuan dalam hubungannya dengan kaum laki-laki dalam masyarakat kapitalis terutama Amerika Serikat tidak lebih seperti hubungan yang dijajah dan penjajah.


(57)

Feminis Radikal lahir dari aktivitas dan analisis politik mengenai hak-hak dan gerakan-gerakan perubahan sosial pada tahun 1950-1960an. Gerakan ini muncul sebagai reaksi atas seksisme di Barat tahun 60-an. Gerakan ini percaya bahwa penindasan perempuan berakar pada kaum laki-laki. Bahkan pada tahun 1880, Elizabeth Cuddy Stanton menentang hak-hak seksual laki-laki terhadap perempuan (Saulnier, 2000). Penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki itu adalah bentuk dasar penindasan dan patriarkhi adalah sistem hirarkhi seksual dimana laki-laki memiliki kekuasaan superior dan privilage ekonomi. Jadi sesungguhnya mereka ahistoris, karena menganggap patriarkhi universal dan akar segala penindasan (Fakih, 1997:102-103). Lebih dari itu, diantara kaum feminis radikal tidak hanya menuntut persamaan hak dengan laki-laki tetapi juga persamaan ”seks” (Ramazanoglu, 1989:2 dalam Sumiarni, 2004:66).

Dalam kualifikasi feminis radikal, menganggap dan yakin bahwa sistem seks / gender adalah penyebab fundamental dari opresi / penindasan terhadap perempuan. Menurut Alison Jaggar dan Paula Rothenberg, klaim tersebut dapat diinterpretasi bermakna sebagai berikut :

1. Bahwa perempuan adalah, secara historis, kelompok teropsesi yang pertama.

2. Bahwa opresi terhadap perempuan adalah paling menyebar, dan ada di dalam hampir setiap masyarakat yang diketahui.

3. Bahwa opresi terhadap perempuan adalah yang terdalam, yang berarti bahwa opresi ini merupakan bentuk opresi ini merupakan bentuk opresi


(58)

yang paling sulit dihapuskan, dan tidak dapat dihilangkan dengan perubahan sosial yang lain, misalnya dengan penghapusan masyarakat kelas.

4. Bahwa opresi terhadap perempuan menyebabkan penderitaan yang paling buruk bagi korbannya, baik secara kulitatif maupun kuantitatif, meskipun penderitaan yang ditimbulkan muncul dengan tidak disadari karena adanya prasangka seksis, baik dari pihak opresor maupun pihak korban.

5. Bahwa opresi terhadap perempuan memberikan model konseptual untuk memahami bentuk opresi yang lain (Tong, 1998:69).

Adapun pokok pikiran yang lain adalah seperti yang di ungkapkan oleh beberapa feminis radikal yang tergabung dalam kelompok feminis radikal New York yang terbentuk pada desember 1969 oleh Shulamith Firestone, Anne Koedt, Diane Crothers, dan Cellestine Ware yang mengemukakan manifesto, ”Politik Ego”. Pernyataan ini diawali oleh Koedt ini beranggapan bahwa penindasan perempuan bermula terutama dari faktor psikologis, bukan dari masalah ekonomi. Mereka yakin bahwa tujuan sauvinisme laki-laki itu terutama untuk mendapatkan kepuasan diri secara psikologis, dan yang kedua ialah kenyataan yang berkaitan dengan masalah ekonomi. Selanjutnya laki-laki membentuk kelelaki-lakiannya yang berbanding lurus dengan kemampuannya sehingga egonya bisa mengendalikan kemampuan perempuan, dan laki-laki itu mendapatkan kekuatan dan harga dirinya dari proses tersebut. Sementara itu menurut Barbara Burris dalam The Fourth World Manifesto (1971) beranggapan bahwa, di seluruh dunia perempuan membentuk sebuah kasta


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan

Dalam penelitian semiotika yang dilakukan terhadap film komedi “Ku Tunggu Jandamu”, melalui tokoh Persik maka peneliti menarik kesimpulan bahwa dalam film tersebut terdapat makna atau pesan tentang feminisme. Unsur feminisme dalam penelitian ini terdapat dalam beberapa penggalan scene. Sosok yang mencerminkan seorang feminisme liberal, feminisme marxis, feminisme radikal-kultural, feminisme sosialis, feminisme post modern, dan feminisme eksistensialis. Dalam sosok Persik dianggap peneliti mewakili feminisme liberal berdasarkan karakter Persik antara lain, mengkonstruksi ulang peranan yang bersifat gender dan sebagai seorang feminisme liberal, Persik bersikap dan bertindak secara otonom sebagai manusia yang utuh dan mandiri, terutama dalam mengambil keputusan. Dalam sosok Persik dianggap peneliti mewakili feminisme marxis berdasarkan karakter Persik antara lain, membebaskan perempuan dari keperluan pertukaran (exchange), yaitu laki-laki mengontrol produksi untuk pertukaran dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari property dan sebagai seorang feminisme marxis Persik menolak bahwa penindasan perempuan adalah bagian yang esensial dari sistem kapitalis. Dalam hal ini Persik mendominasi dan menjadikan laki-laki hanya sebagai mainan belaka.


(2)

117

Dalam sosok Persik dianggap peneliti mewakili feminisme radikal-kultural berdasarkan karakter Persik antara lain, sebagai feminis Persik menolak adanya sistem masyarakat patriarkhi, dimana laki-laki lebih berkuasa dan mendominasi atas perempuan dan Persik sebagai feminis menyadari bahwa perempuan tidak ditakdirkan untuk menjadi pasif, seperti juga laki-laki tidak ditakdirkan untuk menjadi aktif, dan kemudian mengembangkan kombinasi apapun dari sifat feminin dan maskulin yang paling baik merefleksikan kepribadian unik mereka masing-masing. Dalam hal ini Persik selalu menolak semua laki-laki yang ingin menjadikannya menjadi seorang istri, Persik menganggap itu semua hanya dominasi dan kekuasaan dari laki-laki untuk mendapatkan dirinya.

Dalam sosok Persik dianggap peneliti mewakili feminisme sosialis berdasarkan karakter Persik antara lain, sebagai feminis Persik mengkritik asumsi umum, yaitu meningkatnya partisipasi perempuan dalam ekonomi lebih berakibat pada peran antagonism seksual ketimbang status. Dalam hal ini Persik mengkritik bahwa laki-laki perlahan-lahan mengalienasi perempuan dari tubuhnya, tubuh perempuan mulai terasa seperti benda semata, sekedar mesin untuk mengeluarkan tenaga untuk bekerja.

Dalam sosok Persik dianggap peneliti mewakili feminisme post modern berdasarkan karakter Persik antara lain, sebagai feminis Persik menolak perbedaan antara laki-laki dan perempuan harus diterima dan dipelihara. Gender tidak bermakna identitas atau struktur sosial. Dalam hal ini Persik


(3)

selalu menekankan perbedaan antara laki-laki dan perempuan, dan antara perempuan sendiri, baik berdasarkan ras, kelas, agama, etnik atau psikologis. Dalam sosok Persik dianggap peneliti mewakili feminisme eksistensialis berdasarkan karakter Persik antara lain, sebagai feminis Persik menolak bahwa perempuan adalah makhluk yang tidak lengkap, dan tidak cukup kiranya perempuan dijadikan obyek laki-laki karena segi biologis. Dianggap perempuan mempunyai keterbatasan biologis untuk bereksistensi sendiri. Dalam hal ini Persik memilih kebebasan tanpa harus diatur-atur oleh laki-laki, Persik juga tidak suka digariskan jalan hidupnya dan lebih memilih menerima tanggung jawab. Dan yang terpenting Persik sebagai perempuan harus dapat menolak dijadikan obyek, dan kenyataannya Persik juga bisa mengobyekkan laki-laki.

5.2. Saran

Saran peneliti untuk penelitian berikutnya adalah bagaimana representasi maskulin melalui media televisi atau film. Media televisi atau film sangat berperan besar dalam membangun pemikiran, dan opini, serta mempengaruhi masyarakat Indonesia. Terutama dalam hal ini adalah, untuk menyusupkan nilai-nilai dan ideologi baru kepada masyarakat. Alangkah baiknya jika suatu tayangan yang sarat akan muatan ideologi tertentu, tidak dibumbui dengan karakter-karakter serta ciri khas yang membangun image dan stereotipe buruk di masyarakat terhadap golongan tertentu. Media televisi atau`film sangat besar peranannya dalam membentuk ideologi dan pendidikan moral di


(4)

119

masyarakat, maka alangkah baiknya bila hal itu dimanfaatkan dengan baik oleh pihak media. Pemanfaatan tersebut dilakukan dengan memberikan tayangan yang lebih bermutu, berkualitas, berbobot, dan bermanfaat untuk menjadi contoh yang baik di masyarakat dengan memberikan tayangan yang mendidik kearah kebaikan demi keselamatan masyarakat luas. Karena menurut peneliti, film yang memberikan makna yang positif masih sangat kurang.


(5)

xv Yogyakarta : PT Jalasutra

Arivia, gadis. 2006. Feminisme : Sebuah Kata Hati, Jakarta : Kompas Media Nusantara

Effendy, Onong Uchjana, 1993. Televisi Siaran, Teori dan praktek, Bandung : CV Mandar Maju

Eriyanto, 2002. Analisis Framing; Konstruksi Ideologi dan Politik Media, Yogyakarta : Lkis

Fiske, John, 2006. Cultural and Communication Studies, Yogyakarta : Jalasutra Kassiyan, 2008. Manipulasi dan Dehumanusasi Perempuan dalam Iklan,

Yogyakarta : Penerbit Ombak

Kurniawan, 2001. Semologi Roland Barthes, Magelang : Indonesia Tera

Mc Quail, Dennis, 1987. Teori Komunikasi Massa Suatu Pengantar, Jakarta : Erlangga

Moleong, Lexy, 2002. Metodelogi Penelitian Kualitatif, Bandung : PT Remaja Rosdakarya

Piliang, Amir, 2003. Wanita dan Media, Bandung : PT Remaja Rosdakarya ..., Yasraf Amir, 2003. Hipersemiotika : Tafsir Cultural Studies Atas Matinya

Makna, Yogyakarta : Jalasutra

Poloma, Margareth M, 2000. Sosiologi Kontemporer, Jakarta : Rajawali Pers Rakhmat, Jalaludin, 2005. Psikologi Komunikasi (Edisi Revisi), Bandung : PT

Remaja Rosdakarya

Sobur, Alex, 2001. Analisis Teks Media, Bandung : PT Remja Rosdakarya ..., 2004. Semiotika Komunikasi, Bandung : PT Remaja Rosdakarya Tong, Rosemarie Putman, 1998. Feminist Thougt ; Pengantar paling

Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis, Yogyakarta : PT Jalasutra


(6)

xvi

Hassan, Fuad, Berkenalan dengan Eksistensialisme,cet.5, Pustaka Jaya, Jakarta, 1992

Non Buku :

http:www.sinarharapan.co.id/hiburan/budaya/2002/03/4bud02.html www.lingkarpeduliperempuan.blogspot.com

http:f/situskunci.tripod.com/teks/victor1.html http://alislamu.com/index.php

http://swaramuslim.co.id//feminis.html

http://staff.blog.ui.ac.id/arif51/beberapa-aliran-feminisme http://www.asppuk.or.id

http://www.wordpress.com http://www.yuwie.com