ANALISIS IMPLEMENTASI SASARAN KESELAMATAN PASIEN DALAM UPAYA MENGHADAPI AKREDITASI DI KLINIK TRIO HUSADA KOTA BATU

(1)

1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kebutuhan masyarakat akan jasa layanan kesehatan semakin tinggi, hal ini disebabkan karena semakin tingginya kesadaran masyarakat akan artinya kesehatan. Untuk menjawab kebutuhan masyarakat akan jasa layanan kesehatan, maka fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama seperti klinik harus selalu berusaha untuk memenuhinya dalam penanganan kebutuhan pelayanan medik dasar dan juga harus dapat meningkatkan kemampuan dalam melakukan pelayanan kesehatan yang bermutu.

Upaya yang dilakukan kementrian kesehatan untuk meningkatkan mutu pelayanan adalah melalui kegiatan akreditasi klinik baik milik pemerintah maupun milik swasta. Dalam upaya tersebut sudah diatur di dalam permenkes tentang klinik pada pasal 38, menyebutkan dalam upaya peningkatan mutu pelayanan klinik, dilakukan akreditasi secara berkala paling sedikit 3 (tiga) tahun sekali dan setiap klinik yang telah memperoleh izin operasional dan telah beroperasi paling sedikit 2 (dua) tahun wajib mengajukan permohonan akreditasi (Permenkes RI, 2014). Pada dasarnya sesuai dengan permenkes tentang akreditasi klinik dalam pasal 2 disebutkan bahwa pengaturan akreditasi klinik bertujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan dan keselamatan pasien (Permenkes RI, 2015).


(2)

Standar akreditasi klinik 2015 disusun dalam 4 bab yaitu kepemimpinan dan manajemen klinik (KMK), layanan klinis yang berorientasi pasien (LKBP), manajemen penunjang layanan klinis (MPLK), peningkatan mutu klinis dan keselamatan pasien (PMKP). Standar akreditasi ini sudah dimulai pelaksanaannya pada tahun 2015, dan sampai saat ini semua fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama sedang mempersiapkan untuk memenuhi standart instumen akreditasi tersebut agar mampu memberikan pelayanan yang bermutu (Permenkes RI No.46, 2015).

Saat ini paradigma standar akreditasi telah mengalami perubahan di mana tujuan akreditasi adalah untuk peningkatan mutu pelayanan klinik bukan semata mata untuk mendapatkan sertifikat kelulusan, standar akreditasi harus memenuhi kriteria dan bersifat dinamis, pelayanan yang berfokus pada pasien, keselamatan pasien menjadi standar utama, dan kesinambungan pelayanan harus dilakukan baik dan hasil survey merupakan upaya pencapaian klinik terhadap scoring yang ditentukan berupa level pencapaian yaitu tidak terakreditasi, terakreditasi dasar, madya atau paripurna (Permenkes RI No.46 ,2015).

Pada saat ini mutu pelayanan kesehatan telah memasuki era keselamatan pasien. Hal ini didasari dari penetapan kelulusan akreditasi untuk pencapaian level dasar, madya, atau paripurna. Pada saat ini meningkatkan mutu pelayanan dan upaya keselamatan pasien di rumah sakit atau klinik sudah merupakan sebuah gerakan universal, berbagai negara maju bahkan telah menggeser paradigma quality kearah paradigma


(3)

baru yaitu quality-safety. Ini menunjukkan bahwa bukan hanya mutu pelayanan saja yang harus ditingkatkan tetapi yang lebih penting lagi adalah menjaga keselamatan pasien secara konsisten dan terus menerus (DEPKES, 2011).

Kualitas pelayanan dan keselamatan pasien di pelayanan primer perlu ditingkatkan di mana keselamatan pasien didefinisikan sebagai pencegahan bahaya atau cedera yang disebabkan oleh kelalaian dari petugas medis maupun non medis (IOM, 2004). Seperlima dari orang di masyarakat yang terkena kesalahan medis setinggi 34% - 42%, hasil yang didapatkan bisa kematian atau menderita luka akibat kesalahan medis tersebut (Blendon et.al, 2002). Namun, karena kasus yang parah dan rumit membutuhkan perlakuan khusus yang perlu ditangani di rumah sakit, sehingga baik penyedia pelayanan kesehatan dan masyarakat sering meremehkan pentingnya layanan kesehatan primer akibatnya pandangan masyarakat dalam pelayanan primer rentan terhadap kesalahan organisasi, pemberitahuan/ komunikasi dokter, dan juga staf (Kuzel et.al, 2004)

Survey pertama penelitian yang dilakukan di Turki tekait budaya patient safety di pelayanan kesehatan primer yang dimodifikasi dari Hospital Survey on Patient Safety Culture (HSOPSC) didapatkan bahwa frekuensi pelaporan kejadian jauh lebih rendah dibandingkan di rumah sakit (Sorra J et.al, 2004). Data survey kedua pada penelitian yang dilakukan terkait modifikasi dari (HSOPSC) yang dilakukan di pelayanan kesehatan primer didapatkan bahwa budaya keselamatan pasien di pelayanan kesehatan primer saat ini menunjukkan skor rendah untuk unit


(4)

kesehatan primer di semua dimensi dibandingkan dengan hasil untuk rumah sakit. Sebagian besar nilai rata-rata dari pelayanan kesehatan primer untuk budaya keselamatan pasien berada di bawah 50% (Sorra J, et.al, 2008).

Pada data laporan insiden keselamatan pasien di klinik rawat inap x Malang didapatkan 4 insiden atau 1,6% dari seluruh kunjungan pasien rawat inap tahun 2013. Angka ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan angka statistik nasional ataupun internasional.

Berdasarkan survey pendahuluan dengan teknik wawancara dan studi dokumen yang telah dilakukan di Klinik Trio Husada Batu pada bulan Januari 2016 didapatkan bahwa adanya program sasaran keselamatan pasien dan service excellent telah mendapatkan perhatian dan menjadi program khusus yang di laksanakan sebagai komitmen bersama di lingkungan Klinik Trio Husada Batu. Program keselamatan pasien dibentuk atas dasar untuk meningkatkan mutu dan pelayanan di Klinik Trio Husada Batu bersama seluruh karyawan baik medis maupun non medis. Tetapi pada pelaksanaanya masih belum maksimal, kurangnya pengetahuan secara maksimal tentang sasaran keselamatan pasien dan budaya melaporkan suatu kesalahan/ kejadian menjadi hambatan karena tidak adanya tindak lanjut dari penangung jawab program patient safety di Klinik Trio Husada Batu. Program tersebut hanya berjalan sekitar 6 bulan sejak program itu dibentuk dan sampai saat ini kurang mendapat perhatian kembali.


(5)

Melihat fenomena tersebut di atas, maka implementasi sasaran keselamatan pasien di Klinik Trio Husada Kota Batu diharapkan dapat merubah perilaku keselamatan pasien dan bisa menjadi prioritas di unit pelayanan kesehatan primer. Pelayanan kesehatan primer yang melakukan upaya memberikan pelayanan keselamatan pasien dapat membantu memperbaiki proses pelayanan dan juga meningkatkan mutu pelayanan kesehatan serta upaya dalam mempersiapan menghadapi akreditasi klinik di Klinik Trio Husada Kota Batu.

B. Rumusan Masalah

“ Bagaimana implementasi sasaran keselamatan pasien dalam upaya menghadapi akreditasi di Klinik Pratama Trio Husada Kota Batu ?“ C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui implementasi sasaran keselamatan pasien di Klinik Trio Husada Kota Batu dalam persiapan menghadapi akreditasi klinik.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk dapat mengetahui peningkatan implementasi 6 sasaran keselamatan pasien yang dilakukan oleh tenaga medis maupun non medis di Klinik Trio Husada Kota Batu.

b. Untuk dapat menilai kesiapan Klinik Trio Husada dalam menghadapi akreditasi klinik khususnya bab iv tentang peningkatan mutu klinis dan keselamatan pasien.


(6)

D. Manfaat Penelitian 1. Teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan referensi atau masukan dalam mengimplementasikan standar sasaran keselamatan pasien yang terdapat pada bab iv akreditasi klinik sehingga dapat memahami implementasi (PMKP) peningkatan mutu klinis dan keselamatan pasien. Khususnya ilmu manajemen rumah sakit dan klinik untuk mengetahui bagaimana persiapan dalam menghadapi akreditasi FKTP yang di tetapkan oleh kemenkes.

2. Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat mengaktifkan lagi program sasaran keselamatan pasien (patient safety) sesuai 6 sasaran keselamatan pasien, serta masukan serta evaluasi bagi tenaga medis dan non medis dalam pemahaman dan implementasinya di Klinik Pratama Trio Husada Batu. Penelitian ini juga dapat bermanfaat dalam membantu mempersiapkan bab iv dalam menghadapi akreditasi klinik khususnya pemilik dan seluruh staf dan karyawan Klinik Pratama Trio Husada Batu dalam mempersiapkan kelengkapan untuk akreditasi klinik yang dapat meningkatkan pelayanan dan mutu dari Klinik Pratama Trio Husada Batu untuk masyarakat Kota Batu.


(7)

7 A. Telaah Pustaka

1. Klinik

a. Pengertian Klinik

Klinik adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan dan menyediakan pelayanan medis dasar dan atau spesialistik, diselenggarakan oleh lebih dari satu jenis tenaga kesehatan dan dipimpin oleh seorang tenaga medis (Permenkes RI No.9, 2014) .

b. Jenis Klinik 1) Klinik Pratama

Klinik pratama merupakan klinik yang menyelenggarakan pelayanan medik dasar yang dilayani oleh dokter umum dan dipimpin oleh seorang dokter umum. Berdasarkan perijinannya klinik ini dapat dimiliki oleh badan usaha ataupun perorangan. 2) Klinik Utama

Klinik utama merupakan klinik yang menyelenggarakan pelayanan medik spesialistik atau pelayanan medik dasar dan spesialistik. Spesialistik berarti mengkhususkan pelayanan pada satu bidang tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ atau jenis penyakit tertentu. Klinik ini dipimpin seorang dokter spesialis ataupun dokter gigi spesialis. Berdasarkan


(8)

perijinannya klinik ini hanya dapat dimiliki oleh badan usaha berupa CV, ataupun PT.

Adapun perbedaan antara klinik pratama dan klinik utama adalah:

1) Pelayanan medis pada klinik pratama hanya pelayanan medis dasar, sementara pada klinik utama mencangkup pelayanan medis dasar dan spesialis;

2) Pimpinan klinik pratama adalah dokter atau dokter gigi, sementara pada klinik utama pimpinannya adalah dokter spesialis atau dokter gigi spesialis;

3) Layanan di dalam klinik utama mencangkup layanan rawat inap, sementara pada klinik pratama layanan rawat inap hanya boleh dalam hal klinik berbentuk badan usaha;

4) Tenaga medis dalam klinik pratama adalah minimal dua orang dokter atau dokter gigi, sementara dalam klinik utama diperlukan satu orang spesialis untuk masing-masing jenis pelayanan.

Adapun bentuk pelayanan klinik dapat berupa:

1) Rawat jalan; 2) Rawat inap; 3) One day care; 4) Home care;


(9)

Perlu ditegaskan lagi bahwa klinik pratama yang menyelenggarakan rawat inap, harus memiliki izin dalam bentuk badan usaha. Mengenai kepemilikan klinik, dapat dimiliki secara perorangan ataupun badan usaha. Bagi klinik yang menyelenggarakan rawat inap maka klinik tersebut harus menyediakan berbagai fasilitas yang mencakup: (1) ruang rawat inap yang memenuhi persyaratan; (2) minimal 5 bed, maksimal 10 bed, dengan lama inap maksimal 5 hari; (3) tenaga medis dan keperawatan sesuai jumlah dan kualifikasi; (4). dapur gizi dan (5) pelayanan laboratorium klinik pratama (Permenkes RI No.9, 2014).

c. Kewajiban Klinik

Klinik memiliki kewajiban yang meliputi:

1) Memberikan pelayanan aman, bermutu, mengutamakan kepentingan pasien, sesuai standar profesi, standar pelayanan dan standar prosedur operasional;

2) Memberikan pelayanan gawat darurat pada pasien sesuai kemampuan tanpa meminta uang muka terlebih dahulu/mengutamakan kepentingan pasien;

3) Memperoleh persetujuan tindakan medis; 4) Menyelenggarakan rekam medis;

5) Melaksanakan sistem rujukan;

6) Menolak keinginan pasien yang tidak sesuai dengan standar profesi, etika dan peraturan perundang-undangan;


(10)

7) Menghormati hak pasien;

8) Melaksanakan kendali mutu dan kendali biaya;

9) Memiliki peraturan internal dan standar prosedur operasional; 10) Melaksanakan program pemerintah di bidang kesehatan

(Permenkes RI No.9, 2014) . d. Kewajiban Pihak Penyelenggara Klinik

Pihak penyelenggara klinik memiliki kewajiban yaitu: 1) Memasang papan nama klinik;

2) Membuat daftar tenaga medis dan tenaga kesehatan lainnya yang bekerja di klinik beserta nomor surat tanda registrasi (STR) dan surat izin praktik (SIP) atau surat izin kerja (SIK) dan surat izin praktik apoteker (SIPA) bagi apoteker; 3) Melaksanakan pencatatan untuk penyakit-penyakit tertentu

dan melaporkan kepada dinas kesehatan kabupaten/kota dalam rangka melaksanakan program pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan penyelenggaraan klinik ini dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Bagi klinik yang melakukan pelanggaran, maka pemerintah dapat mengenakan sanksi administratif berupa teguran, teguran tertulis dan pencabutan izin (Permenkes RI No.9, 2014) .


(11)

e. Bangunan dan Ruangan

Klinik diselenggarakan pada bangunan yang permanen dan tidak bergabung dengan tempat tinggal atau unit kerja lainnya. Dan juga bangunan klinik harus memenuhi persyaratan lingkungan sehat sesuai ketentuan peraturan perundangundangan. Bangunan klinik juga harus memperhatikan fungsi, keamanan, kenyamanan dan kemudahan dalam pemberian pelayanan serta perlindungan dan keselamatan bagi semua orang termasuk penyandang cacat, anak-anak dan orang usia lanjut.

Bangunan klinik paling sedikit terdiri atas:

1) Ruang pendaftaran/ruang tunggu; 2) Ruang konsultasi;

3) Ruang administrasi;

4) Ruang obat dan bahan habis pakai untuk klinik yang melaksanakan pelayanan farmasi;

5) Ruang tindakan; 6) Ruang/pojok asi; 7) Kamar mandi/wc; dan

8) Ruangan lainnya sesuai kebutuhan pelayanan


(12)

f. Prasarana Klinik

Berdasarkan permenkes RI No.9, 2014 tentang klinik disebutkan bahwa prasarana klinik meliputi:

1) Instalasi air; 2) Instalasi listrik;

3) Instalasi sirkulasi udara; 4) Sarana pengelolaan limbah;

5) Pencegahan dan penanggulangan kebakaran;

6) Ambulans, untuk klinik yang menyelenggarakan rawat inap; dan

7) Sarana lainnya sesuai kebutuhan.

Prasarana sebagaimana dimaksud di atas harus dalam keadaan terpelihara dan berfungsi dengan baik.

g. Peralatan Klinik

Klinik harus dilengkapi dengan peralatan medis dan nonmedis yang memadai sesuai dengan jenis pelayanan yang diberikan. Peralatan medis dan nonmedis harus memenuhi standar mutu, keamanan, dan keselamatan. Selain memenuhi standar, peralatan medis juga harus memiliki izin edar sesuai ketentuan peraturan perundang - undangan.

Peralatan medis yang digunakan di klinik harus diuji dan dikalibrasi secara berkala oleh institusi penguji atau pihak


(13)

pengkalibrasi yang berwenang untuk mendapatkan surat kelayakan alat. Peralatan medis yang menggunakan radiasi pengion harus mendapatkan izin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Penggunaan peralatan medis untuk kepentingan penegakan diagnosis, terapi dan rehabilitasi harus berdasarkan indikasi medis (Permenkes RI No.9, 2014) .

h. Ketenagaan Klinik

Pimpinan klinik pratama adalah seorang dokter atau dokter gigi. Pimpinan klinik utama adalah dokter spesialis atau dokter gigi spesialis yang memiliki kompetensi sesuai dengan jenis kliniknya. Pimpinan klinik sebagaimana dimaksud pada ayat dan ayat merupakan penanggung jawab klinik dan merangkap sebagai pelaksana pelayanan.

Tenaga medis pada klinik pratama minimal terdiri dari 2 (dua) orang dokter dan/atau dokter gigi. Lain hal nya dengan klinik utama, minimal harus terdiri dari 1 (satu) orang dokter spesialis dari masing-masing spesialisasi sesuai jenis pelayanan yang diberikan. Klinik utama dapat mempekerjakan dokter dan/atau dokter gigi sebagai tenaga pelaksana pelayanan medis. Dokter atau dokter gigi sebagaimana dimaksud di atas harus memiliki kompetensi setelah mengikuti pendidikan atau pelatihan sesuai dengan jenis pelayanan yang diberikan oleh klinik. Jenis, kualifikasi, dan jumlah tenaga


(14)

kesehatan lain serta tenaga non kesehatan disesuaikan dengan kebutuhan dan jenis pelayanan yang diberikan oleh klinik.

Setiap tenaga medis yang berpraktik di klinik harus mempunyai surat tanda registrasi dan surat izin praktik (SIP) sesuai ketentuan peraturan perundang - undangan. Begitu juga tenaga kesehatan lain yang bekerja di klinik harus mempunyai surat izin sebagai tanda registrasi/ surat tanda registrasi dan surat izin kerja (SIK) atau surat izin praktik apoteker (SIPA) sesuai ketentuan peraturan perundang - undangan.

Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di klinik harus bekerja sesuai dengan standar profesi, standar prosedur operasional, standar pelayanan, etika profesi, menghormati hak pasien, mengutamakan kepentingan dan keselamatan pasien. dan juga klinik dilarang mempekerjakan tenaga kesehatan warga negara asing (Permenkes RI No.9, 2014) .

i. Perijinan Klinik

Untuk mendirikan dan menyelenggarakan klinik harus mendapat izin dari pemerintah daerah kabupaten/kota setelah mendapatkan rekomendasi dari dinas kesehatan kabupaten/kota setempat. Dinas kesehatan kabupaten/kota mengeluarkan rekomendasi setelah klinik memenuhi ketentuan persyaratan klinik. Permohonan izin klinik diajukan dengan melampirkan:


(15)

2) Salinan/fotokopi pendirian badan usaha kecuali untuk kepemilikan perorangan;

3) Identitas lengkap pemohon;

4) Surat keterangan persetujuan lokasi dari pemerintah daerah setempat;

5) Bukti hak kepemilikan atau penggunaan tanah atau izin penggunaan bangunan untuk penyelenggaraan kegiatan bagi milik pribadi atau surat kontrak minimal selama 5 (lima) tahun bagi yang menyewa bangunan untuk penyelenggaraan kegiatan;

6) Dokumen upaya pengelolaan lingkungan (UKL) dan upaya pemantauan lingkungan (UPL);

7) Profil klinik yang akan didirikan meliputi struktur organisasi kepengurusan, tenaga kesehatan, sarana dan prasarana, dan peralatan serta pelayanan yang diberikan; dan

8) Persyaratan administrasi lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.

Izin klinik diberikan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang dengan mengajukan permohonan perpanjangan 6 (enam) bulan sebelum habis masa berlaku izinnya. Pemerintah daerah kabupaten/kota dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima harus menetapkan menerima atau menolak permohonan izin atau permohonan perpanjangan izin. Permohonan


(16)

yang tidak memenuhi syarat ditolak oleh pemerintah daerah kabupaten/kota dengan memberikan alasan penolakannya kepada pihak penanggung jawab klinik pratama yang bersangkutan (Permenkes RI No.9, 2014).

2. Sasaran Keselamatan Pasien (Patient Safety) a. Pengertian Patient Safety

Patient safety adalah pasien bebas dari cedera yang tidak seharusnya terjadi atau bebas dari cedera yang potensial akan terjadi (penyakit, cedera fisik/sosial psikologis, cacat, kematian) terkait dengan pelayanan kesehatan (KKP-RS, 2008).

Patient safety (keselamatan pasien) rumah sakit adalah suatu sistem di mana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Hal ini termasuk: assesment resiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya resiko. Sistem ini mencegah terjadinya cedera yang di sebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (DepKes, 2008).

b. Kebijakan Depkes Tentang Keselamatan Pasien

Kebijakan depkes RI tentang keselamatan pasien di rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan lainya antara lain:

1) Terciptanya budaya keselamatan pasien dirumah sakit/ faskes.


(17)

2) Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat.

3) Menurunnya kejadian tak diharapkan (KTD).

4) Terlaksananya program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan KTD.

c. Kebijakan Akreditasi Klinik Tentang Patiens Safety

Komisi akreditasi telah mengeluarkan kebijakan standar akreditasi fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama 2015, yang memuat tentang instrumen akreditasi klinik . Dalam standar akreditasi klinik 2015 ini, patients safety ditempatkan sebagai salah satu komponen penting dalam Intrumen akreditasi rumah sakit di Indonesia.

Standar ini disusun dengan mengacu pada standar permenkes tentang keselamatan pasien rumah sakit atau sasaran internasional keselamatan pasien (SIKP) yang berisikan enam sasaran keselamatan pasien. Enam sasaran keselamatan pasien menurut permenkes No.1691 tahun 2011 tersebut adalah sebagai berikut; sasaran 1

ketepatan identifikasi pasien ; sasaran 2 peningkatan komunikasi yang efektif; sasaran 3 peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai (high-alert medications); sasaran 4 kepastian lokasi, tepat-prosedur, tepat-pasien operasi; sasaran 5 pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan; sasaran 6 pengurangan risiko pasien jatuh

Uraian keenam sasaran keselamatan pasien adalah sebagai berikut:


(18)

1) Sasaran I: ketepatan identifikasi pasien

Standar SKP I rumah sakit mengembangkan pendekatan untuk memperbaiki/ meningkatkan ketelitian identifikasi pasien. Maksud dan tujuan SKP I kesalahan karena salah pasien sebenarnya terjadi di semua aspek diagnosis dan pengobatan. Keadaan yang dapat mengarahkan terjadinya error / kesalahan dalam mengidentifikasi pasien, adalah pasien yang dalam keadaan terbius / tersedasi, mengalami disorientasi, atau tidak sadar sepenuhnya; mungkin bertukar tempat tidur, kamar, lokasi di dalam rumah sakit; mungkin mengalami disabilitas sensori; atau akibat situasi lain.

Maksud ganda dari sasaran ini adalah : pertama, untuk dengan cara yang dapat dipercaya/reliable mengidentifikasi pasien sebagai individu yang dimaksudkan untuk mendapatkan pelayanan atau pengobatan dan kedua untuk mencocokkan pelayanan atau pengobatan terhadap individu tersebut.

Kebijakan dan/atau prosedur yang secara kolaboratif dikembangkan untuk memperbaiki proses identifikasi, khususnya proses yang digunakan untuk mengidentifikasi pasien ketika pemberian obat, darah atau produk darah; pengambilan darah dan spesimen lain


(19)

untukpemeriksaan klinis; atau memberikan pengobatan atau tindakan lain.

Kebijakan atau prosedur memerlukan sedikitnya dua cara untuk mengidentifikasi seorang pasien, seperti nama pasien, dengan dua nama pasien, nomor identifikasi menggunakan nomor rekam medis, tanggal lahir, gelang (identitas pasien) dengan bar-code, atau cara lain. Nomor kamar atau lokasi pasien tidak bisa digunakan untuk identifikasi.

Kebijakan dan/atau prosedur juga menjelaskan penggunaan dua pengidentifikasi/penanda yang berbeda pada lokasi yang berbeda di rumah sakit, seperti di pelayanan ambulatori atau pelayanan rawat jalan yang lain, unit gawat darurat, atau kamar operasi. Identifikasi terhadap pasien koma yang tanpa identitas, juga termasuk. Suatu proses kolaboratif digunakan untuk mengembangkan kebijakan dan/atau prosedur untuk memastikan telah mengatur semua situasi yang memungkinkan untuk diidentifikasi.

Elemen penilaian sasaran I adalah (1). Pasien diidentifikasi menggunakan dua identitas pasien, tidak boleh menggunakan nomor kamar atau lokasi pasien; (2). Pasien diidentifikasi sebelum pemberian obat, darah, atau produk darah; (3). Pasien diidentifikasi sebelum mengambil


(20)

darah dan spesimen lain untuk. pemeriksaan klinis; (4). Pasien diidentifikasi sebelum pemberian pengobatan dan tindakan/prosedur; (5). Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan identifikasi yang konsisten pada semua situasi dan lokasi.

2) Sasaran II: Peningkatan komunikasi yang efektif

Standar SKP II rumah sakit mengembangkan pendekatan untuk meningkatkan efektivitas komunikasi antar para pemberi layanan. Maksud dan tujuan SKP II adalah komunikasi efektif, yang tepat waktu, akurat, lengkap, jelas, dan yang dipahami oleh resipien/penerima, akan mengurangi kesalahan, dan menghasilkan peningkatan keselamatan pasien. Komunikasi dapat secara elektronik, lisan, atau tertulis.

Komunikasi yang paling mudah mengalami kesalahan adalah perintah diberikan secara lisan dan yang diberikan melalui telpon, bila diperbolehkan peraturan perundangan. Komunikasi lain yang mudah terjadi kesalahan adalah pelaporan kembali hasil pemeriksaan kritis, seperti laboratorium klinis menelpon unit pelayanan pasien untuk melaporkan hasil pemeriksaan segera/cito.

Rumah sakit secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan dan/atau prosedur untuk perintah lisan dan melalui telepon termasuk: menuliskan (atau memasukkan


(21)

ke komputer) perintah secara lengkap atau hasil pemeriksaan oleh penerima informasi; penerima membacakan kembali (read back) perintah atau hasil pemeriksaan; dan mengkonfirmasi bahwaapa yang sudah dituliskan dan dibacakan ulang dengan akurat untuk obatobat yang termasuk obat NORUM/LASA dilakukan eja ulang.

Elemen penilaian sasaran II adalah; (1) perintah lengkap secara lisan dan yang melalui telepon atau hasil pemeriksaan dituliskan secara lengkap oleh penerima perintah; (2) perintah lengkap lisan dan telpon atau hasil pemeriksaan dibacakan kembali secara lengkap oleh penerima perintah; (3) perintah atau hasil pemeriksaan dikonfirmasi oleh pemberi perintah atau yang menyampaikan hasil pemeriksaan; (4) kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan verifikasi keakuratan komunikasi lisan atau melalui telepon secara konsisten. 3) Sasaran III: peningkatan keamanan obat yang perlu

diwaspadai (high alert medications)

Standar SKP III adalah rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk memperbaiki/ meningkatkan keamanan obat-obat yang perlu diwaspadai (high-alert). Maksud dan tujuan SKP III adalah bila obat-obatan adalah bagian dari rencana pengobat-obatan pasien, maka


(22)

penerapan manajemen yang benar penting/krusial untuk memastikan keselamatan pasien.

Obat-obatan yang perlu diwaspadai (high-alert medications) adalah obat yang persentasinya tinggi dalam menyebabkan terjadi kesalahan/error dan/atau kejadian sentinel (sentinel event), obat yang berisiko tinggi menyebabkan dampak yang tidak diinginkan (adverse outcome) demikian pula obat-obat yang tampak mirip/ucapan mirip (nama obat, rupa dan ucapan mirip/NORUM, atau look-alike sound-alike / LASA).

Daftar obat-obatan yang sangat perlu diwaspadai tersedia di WHO. Yang sering disebut-sebut dalam isu keamanan obat adalah pemberian elektrolit konsentrat secara tidak sengaja (misalnya, kalium/potasium klorida [sama dengan 2 mEq/ml atau yang lebih pekat]), kalium/potasium fosfat [(sama dengan atau lebih besar dari 3 mmol/ml)], natrium/sodium klorida (lebih pekat dari 0.9%), dan magnesium sulfat (sama dengan 50% atau lebih pekat).

Kesalahan ini bisa terjadi bila staf tidak mendapatkan orientasi dengan baik di unit asuhan pasien, bila perawat kontrak tidak diorientasikan sebagaimana mestinya terhadap unit asuhan pasien, atau pada keadaan gawat darurat/emergensi. Cara yang paling efektif untuk


(23)

mengurangi atau mengeliminasi kejadian tersebut adalah dengan mengembangkan proses pengelolaan obat-obat yang perlu diwaspadai termasuk memindahkan elektrolit konsentrat dari unit pelayanan pasien ke farmasi.

Kebijakan dan/atau prosedur juga mengidentifikasi area mana yang membutuhkan elektrolit konsentrat secara klinis sebagaimana ditetapkan oleh petunjuk dan praktek profesional, seperti di IGD atau kamar operasi, serta menetapkan cara pemberian label yang jelas serta bagaimana penyimpanannya di area tersebut sedemikian rupa, sehingga membatasi akses untuk mencegah pemberian yang tidak disengaja/kurang hati-hati.

Elemen penilaian sasaran III adalah; (1) kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan agar memuat proses identifikasi, menetapkan lokasi, pemberian label, dan penyimpanan elektrolit konsentrat; (2) implementasi kebijakan dan prosedur; (3) elektrolit konsentrat tidak berada di unit pelayanan pasien kecuali jika dibutuhkan secara klinis dan tindakan diambil untuk mencegah pemberian yang kurang hati-hati di area tersebut sesuai kebijakan; (4) elektrolit konsentrat yang disimpan pada unit pelayanan pasien harus diberi label yang jelas, dan disimpan pada area yang dibatasi ketat (restricted).


(24)

4) Sasaran lV: kepastian lokasi, prosedur, tepat-pasien operasi.

Standar SKP IV adalah rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk memastikan tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien operasi. Maksud dan tujuan SKP IV adalah salah lokasi, salah prosedur, salah pasien operasi, adalah kejadian yang mengkhawatirkan dan biasa terjadi di rumah sakit. Kesalahan ini adalah akibat dari komunikasi yang tidak efektif atau tidak adekuat antara anggota tim bedah, kurang/ tidak melibatkan pasien di dalam penandaan lokasi (site marking), dan tidak ada prosedur untuk memverifikasi lokasi operasi.

Rumah sakit perlu untuk secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan dan/atau prosedur yang efektif di dalam mengeliminasi masalah yang mengkhawatirkan ini. Kebijakan termasuk definisi dari operasi yang memasukkan sekurang-kurangnya prosedur yang menginvestigasi dan/atau mengobati penyakit dan kelainan/disorder pada tubuh manusia dengan caramenyayat, membuang, mengubah, atau menyisipkan kesempatan diagnostik/terapeutik. Kebijakan berlaku atas setiap lokasi di rumah sakit dimana prosedur ini dijalankan.

Praktek berbasis bukti, seperti yang diuraikan dalam Surgical Safety Checklist dari WHO Patient Safety (2009),


(25)

juga di The Joint Commission’s Universal Protocol for Preventing Wrong Site, Wrong Procedure, Wrong Person Surgery. Penandaan lokasi operasi melibatkan pasien dan dilakukan dengan tanda yang segera dapat dikenali. Tanda itu harus digunakan secara konsisten di seluruh rumah sakit; dan harus dibuat oleh orang yang akan melakukan tindakan; harus dibuat saat pasien terjaga dan sadar; jika memungkinkan, dan harus terlihat sampai pasien disiapkan dan diselimuti. Lokasi operasi ditandai pada semua kasus termasuk sisi (laterality), struktur multipel (jari tangan, jari kaki, lesi), atau multiple level (tulang belakang).

Maksud dari proses verifikasi praoperatif adalah untuk: memverifikasi lokasi, prosedur, dan pasien yang benar; memastikan bahwa semua dokumen, foto (images), dan hasil pemeriksaan yang relevan tersedia, diberi label dengan baik, dan dipampang, memverifikasi keberadaan peralatan khusus dan/atau implant-implant yang dibutuhkan. Tahap “sebelum insisi” / Time out memungkinkan setiap pertanyaan yang belum terjawab atau kesimpang-siuran dibereskan. Time out dilakukan di tempat tindakan akan dilakukan, tepat sebelum tindakan dimulai, dan melibatkan seluruh tim operasi. Rumah sakit menetapkan bagaimana proses itu didokumentasikan (secara ringkas, misalnya menggunakan checklist).


(26)

Elemen penilaian sasaran iv adalah; (1) rumah sakit menggunakan suatu tanda yang jelas dan dimengerti untuk identifikasi lokasi operasi dan melibatkan pasien di dalam proses penandaan; (2) rumah sakit menggunakan suatu checklist atau proses lain untuk memverifikasi saat preoperasi tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien dan semua dokumen serta peralatan yang diperlukan tersedia, tepat, dan fungsional; (3) tim operasi yang lengkap menerapkan dan mencatat prosedur “sebelum insisi/time-out” tepat sebelum dimulainya suatu prosedur/tindakan pembedahan; (4) kebijakan dan prosedur dikembangkan untuk mendukung proses yang seragam untuk memastikan tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien, termasuk prosedur medis dan dental yang dilaksanakan di luar kamar operasi.

5) Sasaran V: pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan.

Standar SKP V adalah rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk mengurangi risiko infeksi yang terkait pelayanan kesehatan. Maksud dan tujuan SKP V adalah pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan tantangan praktisi dalam kebanyakan tatanan pelayanan kesehatan, dan peningkatan biaya untuk mengatasi infeksi


(27)

yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan merupakan keprihatinan besar bagi pasien maupun para profesional pelayanan kesehatan.

Infeksi umumnya dijumpai dalam semua bentuk pelayanan kesehatan termasuk infeksi saluran kemih-terkait kateter, infeksi aliran darah (blood stream infections) dan pneumonia (sering kali dihubungkan dengan ventilasi mekanis). Pokok dari eliminasi infeksi ini maupun infeksi lain adalah cuci tangan (hand hygiene) yang tepat. Pedoman hand hygiene yang berlaku secara internasional bisa diperoleh dari WHO. Rumah sakit mempunyai proses kolaboratif untuk mengembangkan kebijakan dan/atau prosedur yang menyesuaikan atau mengadopsi pedoman hand hygiene yang diterima secara umum untuk implementasi pedoman itu di rumah sakit.

Elemen penilaian sasaran V adalah; (1) rumah sakit mengadopsi atau mengadaptasi pedoman hand hygiene terbaru yang diterbitkan dan sudah diterima secara umum (al.dari WHO Patient Safety); (2) rumah sakit menerapkan program hand hygiene yang efektif; (3) kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan pengurangan secara berkelanjutan risiko dari infeksi yang terkait pelayanan kesehatan.


(28)

Standar SKP VI adalah rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk mengurangi risiko pasien dari cedera karena jatuh. Maksud dan tujuan SKP VI adalah jumlah kasus jatuh menjadi bagian yang bermakna penyebab cedera pasien rawat inap. Dalam konteks populasi/masyarakat yang dilayani, pelayanan yang diberikan, dan fasilitasnya, rumah sakit perlu mengevaluasi risiko pasien jatuh dan mengambil tindakan untuk mengurangi risiko cedera bila sampai jatuh.

Evaluasi bisa meliputi riwayat jatuh, obat dan telaah terhadap obat dan konsumsi alkohol, penelitian terhadap gaya / cara jalan dan keseimbangan, serta alat bantu berjalan yang digunakan oleh pasien. Program ini memonitor baik konsekuensi yang dimaksudkan atau yang tidak sengaja terhadap langkah - langkah yang dilakukan untuk mengurangi jatuh. Misalnya penggunaan yang tidak benar dari alat penghalang aau pembatasan asupan cairan bisa menyebabkan cedera, sirkulasi yang terganggu, atau integrasi kulit yang menurun. Program tersebut harus dapat diterapkan di rumah sakit.

Elemen penilaian sasaran VI adalah; (1) rumah sakit menerapkan proses asesmen awal atas pasien terhadap risiko jatuh dan melakukan asesmen ulang pasien bila diindikasikan terjadi perubahan kondisi atau pengobatan,


(29)

dan lain-lain; (2) langkah-langkah diterapkan untuk mengurangi risiko jatuh bagi mereka yang pada hasil asesmen dianggap berisiko jatuh; (3) langkah-langkah dimonitor hasilnya, baik keberhasilan pengurangan cedera akibat jatuh dan dampak dari kejadian tidak diharapkan; (4) kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan pengurangan berkelanjutan risiko pasien cedera akibat jatuh di rumah sakit.

d. Kewajiban Patient Safety Bagi Setiap Rumah Sakit

Kebijakan patient safety merupakan kewajiban bagi setiap rumah sakit untuk melaksanakan patient safety, yakni:

1) Rumah sakit wajib melaksanakan sistem keselamatan pasien.

2) Rumah sakit wajib melaksanakan 7 langkah menuju keselamatan pasien.

3) Rumah sakit wajib menerapkan standart keselamatan pasien.

4) Evaluasi pelaksanaan keselamatan pasien akan dilakukan melalui program akreditasi rumah sakit (Permenkes No. 1691, 2011)

e. Sistem Keselamatan Pasien Rumah Sakit

Berdasarkan (Permenkes No. 1691, 2011) sistem keselamatan pasien yaitu :


(30)

2) Analisa, belajar, riset masalah dan pengembangan taxonomy.

3) Pengembangan dan penerapan solusi serta monitoring/evaluasi.

4) Penetapan panduan, pedoman, sop, standart indikator keselamatan pasien berdasarkan pengetahuan dan riset. 5) Keterlibatan serta pemberdayaan pasien dan keluarganya. f. Standar Akreditasi Klinik Sasaran Keselamatan Pasien

Berdasarkan (Permenkes RI No.9, 2014) standar akreditasi pada bab VI yang membahas tentang keselamatan pasien adalah :

1) Tanggung jawab tenaga klinis

Perencanaan ,monitoring, dan evaluasi mutu layanan klinis dan keselamatan menjadi tanggung jawab tenaga yang bekerja di pelayanan klinis.

2) Pemahaman mutu layanan klinis

Mutu layanan klinis dan keselamatan dipahami dan didefinisikan dengan baik oleh semua pihak yang berkepentingan.

3) Pengukuran mutu layanan klinis dan sasaran keselamatan pasien.

Mutu layanan klinis dan sasaran keselamtaan pasien diukur, dikumpulkan dan dievaluasi dengan tepat.


(31)

Perbaikan mutu layanan klinis dan keselamayan pasien diupayakan, dievaluasi dan dikomunikasikan dengan baik. g. Langkah Penerapan Patient Safety

Menurut DepKes RI (DepKes.2008) penerapan program patient safety, terdiri dari:

1) Membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien. 2) Membangun komitmen dan fokus yang jelas tentang

keselamatan pasien.

3) Membangun sistem dan proses managemen resiko serta melakukan identifikasi dan assessmen terhadap potensial masalah.

4) Membangun sistim pelaporan.

5) Melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien.

6) Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien dengan melakukan analisis akar masalah.

7) Mencegah cedera melalui implementasi sistim keselamatan pasiendengan menggunakan informasi yang ada.

h. Indikator Patient Safety

Indikator patient safety (IPS) merupakan ukuran yang digunakan untuk mengetahui tingkat keselamatan pasien selama dirawat di rumah sakit. Indikator patient safety bermanfaat untuk menggambarkan besarnya masalah yang dialami pasien selama dirawat di rumah sakit, khususnya yang berkaitan dengan berbagai tindakan medik yang berpotensi menimbulkan risiko di sisi pasien.


(32)

Dengan mendasarkan pada IPS ini maka rumah sakit dapat menetapkan upaya-upaya yang dapat mencegah timbulnya outcome klinik yang tidak diharapkan pada pasien (Dwi Prahasto, 2008).

Secara umum IPS terdiri atas 2 jenis, yaitu IPS tingkat rumah sakit dan IPS tingkat area pelayanan.

1) Indikator tingkat rumah sakit (hospital level indicator) digunakan untuk mengukur potensi komplikasi yang sebenarnya dapat dicegah saat pasien mendapatkan berbagai tindakan medik di rumah sakit. Indikator ini hanya mencakup kasus-kasus yang merupakan diagnosis sekunder akibat terjadinya risiko pasca tindakan medik.

2) Indikator tingkat area mencakup semua risiko komplikasi akibat tindakan medik yang didokumentasikan di tingkat pelayanan setempat (kabupaten/kota). Indikator ini mencakup diagnosis utama maupun diagnosis sekunder untuk komplikasi akibat tindakan medik

Indikator patient safety antara lain: komplikasi anesthesi, angka kematian yang rendah, ulkus dekubitus, kematian oleh karena komplikasi pada pasien rawat inap, benda asing tertinggal selama prosedur, pneumotoraks iatrogenic. Infeksi akibat perawatan, patah tulang pascaoperasi, pendarahan atau hematoma pascaoperasi, gangguan fisiologis dan metabolik pascaoperasi, kegagalan pernapasan pascaoperasi, pulmonary embolism atau deep vein thrombosis, sepsis pascaoperasi, luka pada pasien bedah


(33)

abdominopelvik, luka tusukan dan laserasi, reaksi transfusi, trauma lahir - cedera pada neonatus, trauma kebidanan oleh karena persalinan dengan instrument, trauma kebidanan oleh karena persalinan tanpa instrument, trauma kebidanan - kelahiran sesaria.

Elemen patient safety meliputi: kesalahan pengobatan yang merugikan, menggunakan restraint, infeksi nosokomial, kecelakaan bedah, luka karena tekanan (dicubitus), keamanan produk darah, resistensi antimikrobial, Imunisasi, falls (jatuh), darah stream (aliran), perawatan kateter pembuluh darah serta tindak lanjut dan pelaporan insiden keselamatan pasien.

Akar penyebab kesalahan keselamatan pasien paling umum disebabkan antara lain: masalah komunikasi, kurangnya informasi, masalah manusia, pasien yang berhubungan dengan isu-isu, transfer pengetahuan dalam organisasi, staffing pola/alur kerja, kegagalan teknis, kurangnya kebijakan dan prosedur. Tujuan umum atau sasaran keselamatan pasien, yakni: mengidentifikasi pasien dengan benar, meningkatkan komunikasi yang efektif, meningkatkan keamanan obat, hilangkan salah tempat, salah-pasien, prosedur tindakan yang salah, mengurangi resiko infeksi terkait perawatan kesehatan dan mengurangi risiko bahaya pasien dari jatuh (KARS, 2012).

3. Akreditasi Klinik

a. Pengertian Akreditasi Klinik

Akreditasi puskesmas, klinik pratama, tempat praktik mandiri dokter, dan tempat praktik mandiri dokter gigi yang selanjutnya


(34)

disebut akreditasi adalah pengakuan yang diberikan oleh lembaga independen penyelenggara akreditasi yang ditetapkan oleh menteri setelah memenuhi standar akreditasi (Permenkes RI No.46, 2015).

Klinik pratama adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perseorangan dengan menyediakan pelayanan medik dasar baik umum maupun khusus.

Pengaturan akreditasi puskesmas, klinik pratama, tempat praktik mandiri dokter, dan tempat praktik mandiri dokter gigi bertujuan untuk:

1) Meningkatkan mutu pelayanan dan keselamatan pasien; 2) Meningkatkan perlindungan bagi sumber daya manusia

kesehatan, masyarakat dan lingkungannya, serta puskesmas, klinik pratama, tempat praktik mandiri dokter, dan tempat praktik mandiri dokter gigi sebagai institusi; dan

3) Meningkatkan kinerja puskesmas, klinik pratama, tempat praktik mandiri dokter, dan tempat praktik mandiri dokter gigi dalam pelayanan kesehatan perseorangan dan/atau kesehatan masyarakat.

b. Penyelenggaraan akreditasi

Puskesmas, klinik pratama, tempat praktik mandiri dokter, dan tempat praktik mandiri dokter gigi wajib terakreditasi. Akreditasi puskesmas dan klinik pratama dilakukan setiap 3 (tiga) tahun. Akreditasi tempat praktik mandiri dokter dan tempat praktik mandiri dokter gigi dilakukan setiap 5 (lima) tahun. Pemerintah daerah


(35)

berkewajiban mendukung, memotivasi, mendorong, dan memperlancar proses pelaksanaan akreditasi puskesmas, klinik pratama, tempat praktik mandiri dokter, dan tempat praktik mandiri dokter gigi (Permenkes RI No.46, 2015)..

Dalam menyelenggarakan akreditasi dapat dilakukan pendampingan dan penilaian praakreditasi. Puskesmas yang telah terakreditasi wajib mendapatkan pendampingan pasca akreditasi. Klinik pratama, tempat praktik mandiri dokter, dan tempat praktik mandiri dokter gigi yang telah terakreditasi dapat mengajukan permohonan pendampingan pasca akreditasi kepada dinas kesehatan kabupaten/kota (Permenkes RI No.46, 2015).

c. Penetapan Akreditasi

Penetapan akreditasi sebagaimana merupakan hasil akhir survei akreditasi oleh surveior dan keputusan rapat lembaga independen penyelenggara akreditasi. Penetapan akreditasi dilakukan oleh lembaga independen penyelenggara akreditasi yang ditetapkan oleh menteri. Penetapan akreditasi dibuktikan dengan sertifikat akreditasi.

Penetapan status akreditasi puskesmas terdiri atas: 1) Tidak terakreditasi;

2) Terakreditasi dasar; 3) Terakreditasi madya; 4) Terakreditasi utama; atau 5) Terakreditasi paripurna.


(36)

Penetapan status akreditasi klinik pratama terdiri atas: 1) Tidak terakreditasi;

2) Terakreditasi dasar; 3) Terakreditasi madya; atau 4) Terakreditasi paripurna.

Penetapan status akreditasi tempat praktik mandiri dokter dan tempat praktik mandiri dokter gigi terdiri atas:

1) tidak terakreditasi; atau 2) terakreditasi.

Puskesmas, klinik pratama, tempat praktik mandiri dokter, dan tempat praktik mandiri dokter gigi yang telah mendapatkan status Akreditasi dapat mencantumkan status akreditasi di bawah atau di belakang nama puskesmas, klinik pratama, tempat praktik mandiri dokter, atau tempat praktik mandiri dokter gigi, dengan huruf lebih kecil (Permenkes RI No.46, 2015).

d. Penilaian Akreditasi

Penetapan struktur standar akreditasi klinik terdiri dari 4 Bab, dengan total 503 elemen penilaian. Setiap bab akan diuraikan dalam standar, tiap standar akan diuraikan dalam kriteria, tiap kriteria diuraikan dalam elemen penilaian untuk menilai pencapaian kriteria tersebut: bab i kepemimpinan dan manajemen fasilitas pelayanan kesehatan (KMFK) dengan 122 ep; bab ii layanan klinis yang berorientasi pasien (LKBP) dengan 151 ep; bab iii manajemen penunjang layanan klinis (MPLK) dengan 172 ep dan bab iv.


(37)

peningkatan mutu klinis dan keselamatan pasien (PMKP) dengan 58 ep.

Penilaian akreditasi dilakukan dengan menilai tiap elemen penilaian pada tiap kriteria. Pencapaian terhadap elemen-elemen penilaian pada setiap kriteria diukur dengan tingkatan sebagai berikut: 1) Terpenuhi : bila pencapaian elemen ≥ 80 % dengan nilai 10, 2) Terpenuhi sebagian : bila pencapaian elemen 20 % - 79 %,

dengan nilai 5,

3) Tidak terpenuhi : bila pencapaian elemen < 20 %, dengan nilai 0.

Penilaian tiap bbab adalah penjumlahan dari nilai tiap elemen penilaian pada masingmasing kriteria yang ada pada bab tersebut dibagi jumlah elemen penilaian bab tersebut dikalikan 10, kemudian dikalikan dengan 100 % (Permenkes RI No.46, 2015).

e. Alur Akreditasi Klinik

Fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama untuk mendapatkan status akreditasi harus melalui mekanisme seperti gambar berikut :


(38)

Gambar 2.1. Mekanisme Atau Alur Akreditasi FKTP Sumber : (Kemenkes, 2015).

B. Penelitian Terdahulu

1. Yuniar Hanawati, 2015. Implementasi manajemen keselamatan pasien (patient safety) Dalam usaha pencegahan medication error di RSUD dr. Moewardi. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pelaksanaan manajemen keselamatan pasien pada pencegahan dari kesalahan pengobatan yang mengacu pada tujuh langkah untuk keselamatan pasien. Jenis dan rancangan dalam penelitian ini adalah kualitatif yang bertujuan untuk menggali informasi tentang implementasi manajemen keselamatan pasien dalam usaha pencegahan medication error di rumah sakit, dengan menggunakan pendekatan critical incidents. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan manajemen keselamatan pasien sudah dilakukan dengan baik. Tapi ada kelemahan dalam cara menentukan gradasi yang berbeda antara tim keselamatan pasien dan farmasi. Tim hanya


(39)

melaporkan insiden keselamatan pasien hanya untuk RCA dan untuk KKP-RS PERSI, dan tidak ada hadiah untuk staf yang berani melaporkan kejadian tersebut. Perbedaan penelitian implementasi yang dilakukan dengan penelitian implementasi adalah dalam metode penelitian dimana metode yang digunakan dalam penelitian implementasi sasaran keselamatan pasien menggunakan action research di mana peneliti mengimplementasikan 6 standar SKP. Sehingga peneliti dapat mengetahui sejauh mana pemahaman tenaga medis dan non medis di Klinik Pratama Trio Husada Batu dapat merubah sikap dan perilaku setelah mendapatkan implmentasi patient safety tersebut dan juga dalam persiapan menghadapi akreditasi klinik khususnya bab iv tentang peningkatan mutu dan keselamatan pasien.

2. Firawati, 2012. pelaksanaan program keselamatan pasien di RSUD Solok. Penelitian kualitatif berikut ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan program keselamatan pasien di RSUD Solok. Hasil penelitian didapatkan dari tujuh langkah menuju keselamatan pasien, lima langkah sudah dilaksanakan seperti, bangun kesadaran akan nilai keselamatan, pimpin dan dukung staf anda, integrasikan aktivitas pengelolaan risiko, belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien dan cegah cedera melalui implementasi keselamatan pasien, meskipun pelaksanaan baru sebagian. Namun, kembangkan sistem pelaporan dan libatkan dan berkomunikasi dengan pasienbelurn dilaksanakan. Kesimpulan penelitian ini, dari tujuh langkah menuju keselamatan pasien, lima langkah sudah dilaksanakan, dan dua langkah belum dilaksanakan. Disarankan untuk


(40)

melengkapi fasilitas, merevisi standar keselamatan pasien, memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan dari program keselamatan pasien. Perlu uji coba pelaksanaan program keselamatan pasien di satu unit ruangan. Perbedaan penelitian penerapan ini dengan penelitian implementasi adalah dalam metode penelitian di mana metode yang digunakan dalam penelitian implementasi sasaran keselamatan pasien menggunakan action research dimana peneliti mengimplementasikan 6 standar SKP sesuai standart permenkes patient safety. Sehingga peneliti dapat melihat hasil dari pemahaman tenaga medis dan non medis di Klinik Pratama Trio Husada Batu dapat merubah sikap dan perilaku setelah mendapatkan implmentasi patient safety tersebut dan juga dalam persiapan menghadapi akreditasi klinik khususnya bab iv tentang peningkatan mutu dan keselamatan pasien.


(41)

C. Kerangka Teori

Gambar 2.2. Skema Kerangka Teori implementasi sasaran keselamatan pasien di klinik pratama dalam persiapan menghadapi akreditasi. Plan :

Pengorganisasian dan kebijakan

sasaran keselamatan

pasien

Do : Implementasi 6

sasaran keselamatan

pasien

Check : Hasil Implementasi 6

sasaran keselamatan

pasien

Act : Evaluasi & Tindak lanjut

sasaran keselamatan

pasien 6 Sasaran keselamatan pasien (Permenkes, 2014)

Siklus PDCA (Sugeng, 2009)

Akreditasi Klinik :

Bab IV. Peningkatan Mutu Klinis dan Keselamatan Pasien (PMKP)


(42)

D. Kerangka Konsep

Gambar 2.3. Skema Kerangka Konsep Penelitian Implementasi Sasaran Keselamatan pasien 1) Ketepatan identifikasi pasien;

2) Peningkatan komunikasi yang efektif;

3) Peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai; 4) Kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepat-pasien

operasi;

5) Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan; dan

6) Pengurangan risiko pasien jatuh.

Hasil

Peningkatan sikap perilaku tentang Patient Safety dan nilai

akreditasi klinik bab 4 80% Kebijakan

(Permenkes Sasaran Keselamatan Pasien)

Telaah Tertutup (Dokumen Akreditasi bab IV)

Telusur (Implementasi 6


(43)

E. Pertanyaan Penelitian

Adapun beberapa pertanyaan penelitian yang dapat diajukan dalam penelitian ini di antaranya adalah :

1. Bagaimana penerapan implementasi 6 sasaran program patient safety di Klinik Trio Husada ?

2. Bagaimana persiapan Klinik Trio Husada dalam menghadapi akreditasi klinik khususnya pada bab iv ?


(44)

44

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan tindakan (action research), yaitu metode penelitian yang bertujuan untuk memperbaiki kinerja sehingga hasil action research dapat diterapkan di dalam penelitian ini. Gibson (2012), menyatakan bahwa pembelajaran merupakan suatu dari proses dasar yang melandasi perilaku. Berdasarkan kebutuhan itu peneliti membuat penelitian action reseach dalam implementasi sasaran keselamatan pasien dalam upaya menghadapi akreditasi klinik.

Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan, Kurt Lewin mengembangkan penelitian tindakan atas dasar konsep pokok bahwa penelitian tindakan terdiri dari empat komponen pokok yang juga menunjukkan langkah, yaitu :

1) Perencanaan (planning), 2) Tindakan (acting),

3) Pengamatan (observing), dan

4) Refleksi (reflecting). (Kurt Lewin, 1990)

Hubungan antara keempat komponen tersebut menunjukkan sebuah siklus atau kegiatan yang berulang. “Siklus” inilah yang sebetulnya menjadi salah satu ciri utama dari penelitian tindakan, yaitu bahwa pnelitian tindakan


(45)

Plan *Apa yang akan dikerjakan *

bagaimana mengerjakanya.

Do * Kerjakan yang sudah direncanakan

Check * Apakah sesuatu berjalan menurut rencana

Act * Bagaimana pengembangan yang akan datang

harus dilaksanakan dalam bentuk siklus, bukan hanya satu kali intervensi saja. (Arikunto, 2006)

Dari tahapan tersebut peneliti menggunakan gabungan antara tahapan tersebut dengan siklus deming (plan-do-study/check- action) . Landasan yang digunakan dalam pelaksaaan implementasi sasaran keselamatan pasien tersebut adalah (P-D-C-A) , seperti gambar berikut :

Gambar 3.1. Landasan Proses Manajemen Siklus PDCA- Deming Sumber : (Sugeng , 2007)

Plan merupakan kegiatan yang bertujuan untuk memantapkan tujuan dan proses yang dibutuhkan untuk mencapai hasil yang sesuai dengan persyaratan dan kebijakan perusahaan. Do merupakan kegiatan yang bertujuan untuk menjalankan proses, fokus dari tahap ini adalah kerjakan apa yang sudah direncanakan. Check merupakan tahapan proses monitoring atau evaluasi terhadap proses dan pembelajaran yang tidak sesuai dengan standar atau kebijakan, tujuanya adalah untuk melaporkan hasil dari pembelajran tersebut. Act merupakan tahapan melaksanakan tindakan untuk proses


(46)

pengembangan dan berkelanjutan (Sugeng, 2007). Berikut ini adalah tahapan alur penelitian yang digunakan :

(Kembali ke Siklus2)

Gambar 3.2. Diagram Alur Penelitian Sumber : Hasil Data Analisis , Februari 2016

Tahap 3 (Refleksi) Peningkatan sikap perilaku tentang

patient safety dan kesiapan menghadapi akreditasi klinik bab 4

Output : 1. Dokumen SKP 80 % 2. Sikap dan Perilaku

80%

3. Akreditasi klinik bab 4 80%

Siklus 1

Tahap 1 Plan :

- Menyusun dokumen sasaran keselamatan pasien target 6 SKP Do :

- Pelaksanaan implementasi 6 SKP kepada seluruh staf

- Metode yg digunakan ceramah (1x20 menit) dan demontrasi (1x30 menit) - Dilaksanakan 1 x pertemuan,

dilakukan 2 sesi (karena

mengumpulkan karyawan susah). Check :

- Hasil pembelajaran tentang 6 SKP Action :

- Menganalisa hasil pembelajaran dan wawancara ke responden secara langsung.

Tahap 2 Plan :

- Melakukan pengecekan dokumen dengan checklist

Do :

- Implementasi langsung kepada pasien tentang patient safety sesuai 6 SKP

- Penyusunan dokumen SKP dan akreditasi

- Melakukan post test Check :

- Hasil implementasi dan kelengkapan dokumen + hasil post test

- Survey akreditasi klinik bab 4 Action :

- Menganalisa dari hasil implementasi secara langsung kepada pasien.

Siklus 2

Siklus 3


(47)

1) (Planning)

Pada tahap perencanaan dilakukan persiapan sebagai berikut :

a) Menilai sejauh mana program sasaran keselamatan pasien sudah berjalan.

b) Melakukan pretest terhadap seluruh karyawan tentang pengetahuan terhadap sasaran keselamatan pasien.

c) Menilai dokumen sasaran keselamatan pasien yang ada di klinik

Pada tahap asessment di bawahnya terdapat membuat perencanaan di mana dalam hal ini adalah :

a) Menetapkan standar sasaran keselamatan pasien di klinik

b) Menyiapkan instrumen dan media pendukung dalam pelaksanaan sasaran keselamatan pasien.

c) Menyiapkan instrumen evaluasi. 2) Tahap 1 (Implementasi)

Pada tahap implementasi ini akan dilaksanakan dengan menggunakan metode ceramah dan demostrasi 2 sesi (pagi dan sore ) untuk sesi pertama akan dibahas 2 SKP dan sesi ke 2 dibahas 4 SKP Setiap sasaran terdapat 2 metode, yaitu ceramah dan demonstrasi di mana metode ceramah (1 x 20 menit) dan metode demontrasi (1 x 30 menit). Total pertemuan dalam 6 sasaran keselamatan pasien adalah 1 kali pertemuan dengan 2 sesi full. 6 sasaran keselamatan pasien tersebut di antaranya :


(48)

a) Ketepatan identifikasi pasien;

b) Peningkatan komunikasi yang efektif;

c) Peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai;

d) Kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepat-pasien operasi; e) Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan; dan f) Pengurangan risiko pasien jatuh.

Metode yang digunakan :

a) Memberitahukan tujuan pelaksanaan

b) Menyampaikan manfaat memahami dan melakukan materi yang akan diajarkan

c) Menunjuk dari salah satu karyawan medis dan non medis untuk mempraktekan setiap sasaran yang telah diajarkan di akhir metode ke 2 (Demontrasi).

d) Membuat kesimpulan hasil pelaksanaan pemberian materi dan demostrasi.

3) Tahap 2 (Implementasi)

Pada tahap implementasi ini meliputi kegiatan implementasi langsung yang akan dilaksanakan kepada pasien oleh responden. Evaluasi dilakukan dengan menganalisis hasil observasi dan hasil implementasi serta melakukan checklist pengecekan pada saat ke pasien. Peneliti juga memeriksa langsung dan membantu dalam penyusunan dokumen 6 sasaran keselamatan pasien dan akreditasi di Klinik Trio Husada. Serta peneliti juga melakukan


(49)

post test untuk melihat apakah sudah memahami dari materi dan juga dari implementasi yang dilakukan. Peneliti selanjutnya melakukan survey akreditasi bersama direktur dan tim mutu dan keselamatan pasien untuk menilai kesiapan akreditasi klinik bab 4. Hasil evaluasi ini digunakan sebagai dasar untuk melihat sudah tercapai atau belum dari implementasi pelaksanaan sasaran keselamatan pasien di Klinik Trio Husada Kota Batu dalam menghadapi akreditasi klinik. Apabila hasil evaluasi belum tercapai maka akan kembali lagi ke tahap ke 2, yaitu perencanaan dan implementasi ulang dari sasaran keselamatan pasien yang belum terpenuhi. Jika hasil evaluasi tercapai maka akan disimpulkan rekomendasi hasil dan output/indikator dari keberhasilan pelaksaan sasaran keselamatan pasien.

4) Tahap 3 (Reflecting)

Refleksi dari hasil penelitian tersebut diharapkan dapat meningkatan pengetahuan, sikap perilaku tentang patient safety dan kesiapan menghadapi akreditasi klinik bab 4. Indikator /output yang dihasilkan yaitu meliputi : kelengkapan dokumen 80 %, perubahan sikap dan perilaku 80%, serta kelengkapan dokumen akreditasi klinik bab 4 minimal 80%, semua hal tersebut dapat dinilai dari hasil kuisioner yang akan diberikan kepada pasien dan juga hasil observasi serta telusur dokumen dan implementasi bab 4 akreditasi klinik yang dilakukan untuk merefleksi apakah implementasi ini sudah berjalan dengan sesuai dan serta


(50)

terbentuknya penanggung jawab dari sasaran keselamatan pasien yang dipimpin oleh petugas medis sehingga dapat membantu mempersiapkan peningkatan mutu dan keselamatan pasien dan persiapan akreditasi klinik bab 4.

B. Objek Penelitian

Objek pada penelitian ini adalah Klinik Trio Husada Kota Batu

C. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Klinik Trio Husada Batu pada Bulan Februari 2016 s.d Maret 2016

Tabel 3.1 Waktu Penelitian dan Implementasi TGL Obs Pretest SKP1 SKP2 SKP3 SKP4 SKP5 SKP

6

Susun dokumen

Implementasi Refleksi

1/2/16 – 5/2/16 6/2/16

7/2/16 - 14/2/16 15/2/16 Sampai 5/3/16 6/3/16


(51)

D. Populasi dan Sampel

Dalam penentuan populasi dan sampel, peneliti menggunakan purposive sample, yaitu mengambil beberapa responden yang diambil dengan pertimbangan akan mempengaruhi hasil dari penelitian. Responden dalam penelitian ini adalah Seluruh karyawan Klinik Trio Husada baik medis maupun non medis. Petugas medis terdiri dari 3 dokter dan 12 perawat , karyawan non medis berjumlah 5 orang diantaranya : prewakilan apotek 2 orang , resepsionis dan administrasi 1 orang , cleaning service 2 orang , Total subjek adalah 20 orang

Dalam penelitian ini peneliti melibatkan perwakilan setiap unit yang berada di Klinik Trio Husada Batu yang terdiri dari manajer , penanggung jawab SDM , dan penanggung jawab patient safety dengan total jumlah informan sebanyak 3 orang dan juga melibatkan independen yaitu pembina klinik (Ka.Bid Yankes) dari Puskesmas Beji Kota Batu sebanyak 1 orang.

Selain dari internal dan independen peneliti juga mengambil beberapa informan dari pasien untuk dijadikan informan terkait pelayanan patient safety sebanyak 5 pasien dengan kasus yang sesuai dengan implementasi 6 SKP.

E. Variabel Penelitian

Penelitian ini terdiri dari satu variabel yaitu Implementasi patient safety dengan beberapa sub variabel adalah :

1. Pengorganisasian patient safety

2. Kebijakan, panduan dan SOP patient safety 3. Sarana dan prasana patient safety


(52)

4. Sikap dan perilaku terhadap patient safety 5. Proses pelayanan patient safety

F. Definisi Operasional

Definisi operasional bertujuan untuk membantu atau sebagai pedoman dalam penelitian , dalam penelitian ini terdapat beberapa definisi operasional , yaitu :

1. Klinik Pratama Trio Husada adalah sebuah klinik rawat jalan dan rawat inap yang menangani pelayanan kasus medik dasar dan rawat inap. Klinik Trio Husada berada di jl.Wukir Torongrejo Junrejo – Batu , di Klinik Trio Husada terdapat 5 dokter umum , 12 tenaga paramedis, dan penanggung jawab di pegang oleh dokter umum. Klinik Pratama Trio Husada mempunyai ruang rawat jalan 3 ruang dan mempunyai ruang rawat inap 10 ruang dimana mampu melayani kebutuhan medis dasar untuk masyarakat Kota Batu dan sekitarnya.

2. Pelaksanaan patient safety adalah ukuran sukses bagi petugas medis maupun non medis dalam pelaksanaan program patients safety. Dimensinya adalah, peraturan, kebijakan/prosedur, koordinasi, dan supervisi. Adapun indikatornya adalah:

a) Perilaku kerja, didapatkan pada kuisioner nomor (1,2,3,4,5,6,8,9,1,12,13,14,15,16,17,18,19,20,21,22,23,24) b) keterampilan kerja, didapatkan pada kuisioner nomor


(53)

c) proteksi risiko kerja, didapatkan pada kuisioner nomor (1,2,3,9,10,11,14,15,16,17,18,19,24)

d) efisiensi kerja, didapatkan pada kuisioner nomor (1,6,10,14,19,20,22,24)

e) hasil kerja didapatkan pada kuisioner nomor (1,7,8,9,10,13,14,20,21,23,24)

3. Akreditasi adalah menilai kesiapan Klinik Trio Husada dimana akreditasi tersebut digunakan sebagai alat untuk menuju tujuan terjapainya peningkatan kualitas mutu dan keselamatan pasien. Akreditasi pada penelitian ini dilakukan secara internal dengan menilai akreditasi pada bab 4 sesuai dengan proses penilaian akreditasi.

G. Instument Penelitian

Instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1) Standar permenkes patient safety

Standar permenkes ini digunakan untuk dasar dari tindakan yang akan dilakukan , sehingga peneliti menginginkan hasil sesuai dengan 6 standar sasaran keselamtan pasien sesuai dengan permenkes sebagai acuanya.

2) Kuisioner tentang patien safety

Kuisioner dalam hal ini akan diberikan berupa soal pretest dan post test ini digunakan dalam siklus 2 di mana soal ini akan mengacu pada sikap dan perilaku tentang patient safety. Penjelasan hasil kuisioner ini dilihat dari hasil pretest dan post test, di mana


(54)

dari hasil pretest akan mampu membuat rancangan untuk tindakan yang akan dilakukan , dan untuk post test akan digunakan sebagai reflecting dari tindakan yang sudah dilakukan.

3) Format wawancara dengan observer (penanggung jawab klinik ) Format wawancara dengan observer di mana adalah penanggung jawab klinik yang tahu sejauh mana laporan dan tindakan tentang patient safety di Klinik Trio Husada Batu sehingga dapat membantu mengobservasi segala tindakan yang di lakukan oleh peneliti dan format wawancara ini dimaksudkan untuk menambah informasi kepada peneliti apakah tindakan dari implementasi sasaran keselamatan pasien dapat dipahami oleh karyawan.

4) Format wawancara dengan penilai (KaBid. Yankes Puskesmas Beji).

Format wawancara ini berbeda dengan format kepada observer , karena dalam hal ini yaitu perwakilan dari puskesmas setempat akan menjadi tim penilai untuk patient safety dan juga kesiapan klinik sesama FTKP untuk persiapan akreditasi klinik khususnya pada peningkatan mutu dan keselamatan pasien. Diharapkan dari format wawancara ini psukesmas dapat menilai hasil dari tindakan yang dilakukan peneliti apakah sudah berhasil memberikan perubahan dalam sikap dan perilaku terhadap implementasi patient safety dan juga kesadaran akan peningkatan mutu dan sasaran keselamtan pasien di Klinik Trio Husada Batu.


(55)

5) Studi dokumentasi merupakan salah satu cara peneliti untuk mendapatkan gambaran dari sudut pandang subjek melalui suatu media tertulis dan dokumen lainnya yang ditulis atau dibuat langsung oleh subjek yang bersangkkutan (Herdiansyah, 2010). Dokumen yang di pelajari pada penelitian ini meliputi dokumen-dokumen yang berkaitan langsung dengan implementasi patient safety seperti ; SOP, kebijakan yang ada, struktur organisasi, SK direktur terkait dengan patient safety.

6) Instrumen akreditasi klinik bab 4

Penelitian ini menggunakan instrumen akreditasi klinik bab 4 untuk menilai kelengkapan dari hasil capaian nilai akreditasi yang dilaksanakan di Klinik Trio Husada Batu.

7) Checklist atau daftar tilik.

Penelitian ini menggunakan daftar tilik untuk menilai prosentase kelengkapan studi dokumen, kepatuhan SDM dan beberapa fasilitas patient safety yang ada di Klinik Trio Husada yang disesuaikan dengan standar akreditasi patient safety 6 SKP. H. Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data penulis menggunakan metode sebagai berikut :

1. Metode Wawancara

Metode pengumpulan data yang digunakan melalui wawancara mendalam (indepth interview), dokumentasi, observasi dan triangulasi/gabungan. Metode triangulasi menggabungkan


(56)

antara pedoman wawancara dan observasi untuk menggali hasil observasi yang tidak dapat digali lebih mendalam. Alat pengumpulan data yang paling utama adalah peneliti sendiri, selain itu digunakan pedoman wawancara yang telah disusun peneliti yang disesuaikan dengan tujuan penelitian, alat tulis, dan alat perekam.

2. Metode Observasi

Pengamatan secara langsung pada subyek penelitian. Peneliti akan mengobservasi kelengkapan dokumen dan sarana prasarana serta melihat sejauh mana dokumen itu sudah sesuai dengan standar instrumen akreditasi. Data observasi tersebut akan menjadi dasar untuk menilai dan mempersiapkan melengkapi dokumen agar sesuai dengan standar akreditasi, dengan telaah tertutup/ pengecekan dokumen .

3. Metode Before – After (pre test dan post test)

Pretest dan Post test merupakan metode pengumpulan data dengan cara memberikan soal kepada subyek penelitian sebelum dan sesudah pemberian materi. Data tersebut dapat digunakan sebagai acuan dalam menentukan perencanaan dan menilai hasil dari implmentasi materi yang diberikan. Metode ini akan membantu dalam menentukan hasil akhir dari pelaksanaan dalam pemberian materi dan demontrasi sudah dapat di pahami dan dilaksanakan oleh responden.


(57)

4. Metode Demontrasi

Dalam metode demontrasi ini yaitu si peneliti akan memberikan sebuah penjelasan secara tindakan langsung atau demonstrasi terhadap 6 sasaran keselamatan pasien kepada responden sehingga diharapkan nantinya responden dapat merefleksikan apa yang sudah didemontrasikan. Data ini juga akan akan memperlihatkan seberapa antusiasnya karyawan terhadap kegiatan ini.

I. Pengolahan Data

Proses pengolahan data dalam penilaian hasil implementasi pelaksanaan 6 sasaran keselamatan pasien di Klinik Trio Husada Batu yaitu menggunakan kategori hasil nilai dimana penilaian tersebut digunakan untuk membandingkan kuisioner sebelum dilakukan implementasi dan sesudah dilakukan implementasi (Suyanto, 2006).

Dalam penelitian ini instrument pretest – postest akan diukur untuk mengetahui hasil perubahan setelah dilakukan implementasi 6 sasaran keselamatan pasien di Klinik Trio Husada Batu.

J. Tahap Penelitian

Proses pengumpulan data tahap PDCA di atas dilaksanakan melalui beberapa tahap :

1. Tahap Orientasi

Pada tahap ini, sebelum peneliti menjelaskan maksud dan tujuan penelitian, peneliti memperkenalkan diri dan membina hubungan saling percaya terlebih dahulu dengan informan dan


(58)

subjek, dengan membaur bersama informan dan subjek untuk menjelaskan maksud dan tujuan penelitian, kerahasiaan data yang diberikan dan menjelaskan hak partisipan. Kemudian peneliti menanyakan kepada partisipan tentang kesediaan untuk berpartisipasi pada penelitian. Apabila partisipan bersedia, partisipan diminta menandatangani lembar persetujuan.

2. Tahap Pelaksanaan

Proses penelitian dimulai saat peneliti mendapat persetujuan informan dan subjek untuk diajak bekerjasama dalam implementasi patient safety, kemudian peneliti dengan informan dan subjek menentukan waktu untuk presentasi, demonstrasi, pembagian kuisioner, wawancara, studi dokumen, sampai dengan implementasi. Sementara waktu presentasi dan demontrasi belum dilaksanakan, peneliti melakukan observasi terhadap dokumen, fasilitas, dan proses layanan. Dalam penelitian ini presentasi, demonstrasi, wawancara, dilakukan hanya satu kali, validitas hasil wawancara dilakukan dengan langsung mengkroscek jawaban informan sesaat setelah wawancara. Peneliti mencatat hal-hal yang peneliti anggap penting. Selama wawancara berlangsung direkam dengan hand phone. Studi dokumen, kuisioner dan implementasi akan dilakukan crosscheck 2 kali sebelum mendapatkan info checklist standart dokumen patient safety dan pengetahuan patient safety dan sesudah mendapatkan informasi.


(59)

Wawancara yang dilakukan merupakan wawancara semi terstruktur, artinya pertanyaan yang diberikan merupakan pertanyaan terbuka dan fleksibel namun ada patokan agar pembicaraan tidak keluar jalur. Hasil wawancara dicatat dalam bentuk verbatim. Verbatim wawancara berisi tentang proses semua hal yang dibicarakan dan kemudian diubah menjadi bentuk tulisan apa adanya, tanpa satu katapun yang dilewatkan, dikurangi atau diedit.

Implementasi yang dilakukan yaitu berupa demontrasi lalu diadakan pretest internal seluruh staf tentang kesiapan implementasi langsung, dan setelah siap maka akan dilakukan implementasi langsung kepada pasien. Hasil dari implementasi tersebut akan menjadi tolak ukur perilaku dalam implementasi patient safety dan diukur dalam prosentase hasil.

Proses penelitian ini dilakukan selama kurang lebih 3 bulan efektif dimulai pada bulan Februari 2016 s.d April 2016, selama proses penelitian, peneliti ikut serta dalam proses implementasi patient safety di Klinik Trio Husada Batu untuk mendapatkan gambaran secara utuh proses implementasi dari patient safety yang dilakukan.

3. Tahap Penutup

Setelah melakukan tahapan pelaksanaan, peneliti mengecek keabsahan data dan kualitas data dengan cara memindahkan hasil data dengan cara ;


(60)

Tabel 3.2 Pengukuran Data dan Instrumen Yang Digunakan.

No Data yang

dikumpulkan

Instrumen Subjek Analisa Hasil

1 Data struktur organisasi, kebijakan, pedoman, dan panduan di instalasi pusat sterilisasi

Checklist, studi dokumentasi & observasi

Manajer Klinik dan penanggung jawab patient safety Prosentase kelengkapan dokumen Minimal (80%)

2 Sarana dan prasarana patient safety

checklist dan wawancara Penanggung jawab patient safety Prosentase Kelengkapan sarana prasarana Minimal (80%)

3 Pengetahuan dan kepatuhan

Kuisioner pretest dan post test , demostrasi ,

checklist

Dokter , paramedis dan karyawan non medis

Prosentase Kepatuhan, sikap dan perilaku Minimal (80%)

4 Pelayanan patient safety Observasi, wawancara Dokter, paramedis, independen, dan pasien Prosentase Pemahaman pelayanan patient safety Minimal (80%)

K. Analisis Data

Analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satu uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema tertentu (Herdiansyah, 2012). Proses analisa dalam penelitian ini mengunakan langkah-langkah dari Miles & Hubermann (1986) (Herdiansyah, 2012). Berikut ini merupakan gambaran tahapan-tahapan beserta alur teknik anlisa data dengan model interaktif yang dikemukakan oleh Miles & Huberman.


(1)

perawat dan juga dokter sudah menggunakan dan dapat melakukan komunikasi metode SBAR secara benar mulai dari komunikasi konsultasi dengan dokter, komunikasi dengan RS rujukan dan juga operan dengan perawat shift selanjutnya. Seperti halnya pada penelitian yang dilakukan oleh Ira, menyebutkan bahwa pelatihan komunikasi S-BAR efektif dalam meningkatkan mutu operan jaga.11

3. Pembahasan Sasaran Keselamatan Pasien Peningkatan Keamanan Obat yang perlu diwaspadai (High Alert Medications).

Obat – obatan menjadi bagian dari rencana pengobatan pasien, manajemen klinik harus berperan secara kritis untuk memastikan keselamatan pasien. Nama Obat, rupa dan ucapan mirip (NORUM), yang membingungkan staf pelaksana merupakan salah satu penyebab yang paling sering dalam kesalahan obat (medication error).

Setelah melakukan sosialisasi obat HAM dan juga mengarahkan

dalam pemberian label obat HAM sampai dengan pengelolaan dan penyimpanan obat HAM kepada apoteker dan petugas apotek dan unit terkait lainya seperti perawat, didapatkan bahwa unit instalasi farmasi / apotek paling banyak berubah terkait tentang penanganan dan pendistribusian obat high alert, mulai dari penyimpanan obat high alert, pemberian label terkait pada obat – obatan NORUM (Nama Obat Rupa Mirip) atau LASA (Look Alike Sound Alike).

Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hermanto, intervensi berupa sosisalisai dalam bentuk pelatihan, penyusunan daftar obat HAM, pelabelan obat HAM serta sistem penyimpanan obat terbukti dapat meningkatkan pengelolaan obat.12 4. Pembahasan Kepastian Tepat

Lokasi, Tepat Prosedur, dan Tepat pasien Operasi.

Hasil penelitian terkait kepastian tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien operasi pada saat telusur dokumen


(2)

menunjukan bahwa tidak adanya dokumen SOP dan juga kebijakan karena di klinik trio husada batu memang tidak melayani tindakan operasi sampai saat ini. Semua tindakan operasi kecil maupun besar akan dilakukan pengiriman ke Puskesmas dan RS terdekat.

Sesuai dengan peraturan PERMENKES tentang KLINIK dijelaskan bahwa klinik pratama dilarang melakukan tindakan bedah yang diharuskan menggunakan anastesi.5

5. Pembahasan Pengurangan Risiko Infeksi

Klinik trio husada berupaya dalam mengurangi risiko infeksi yang terkait pelayanan kesehatan mulai dari unit tenaga medis maupun non medis sesuai dengan aturan kebijakan dan SOP yang telah dibuat.

Dari hasil penelitian yang dilakukan peneliti didapatkan bahwa fasilitas penunjang untuk mencegah terjadinya infeksi berupa cairan antiseptik, poster , dan cara cuci tangan sudah terpasang diseluruh ruangan rawat

inap, wastafel dan jalur umum. Semua informasi tersebut sudah di sosialisasikan kepada pasien maupun keluarga pasien oleh perawat.

Terdapat 6 langkah dalam teknik cuci tangan dengan air dan sabun yang dikeluarkan oleh WHO.13 Durasi untuk melakukan cuci tangan adalah selama 40-60 detik. Sedangkan durasi untuk melakukan hand hygiene dengan

alcohol basedformulation adalah

selama 20-30 detik.14

Untuk mencegah kegagalan dalam pelaksanaan hand hygienepasien rawat jalan dan rawat inap sudah diberikan penyuluhan tentang penggunaan antiseptik dan didokumentasikan di dalam sebuah buku laporan dimana setiap edukasi yang diberikan dan harus ditandatangai oleh pasien hal ini sangat efektif dalam meningkatkan pengetahuan pasien tentang risiko infeksi dan juga mencegah terjadinya infeksi nosokomial yang ada di klinik trio husada. Pemberdayaan pasien adalah konsep baru di pelayanan


(3)

kesehatan yang sekarang sudah diperluas menjadi bidang patient safety.15

6. Pembahasan Pengurangan Risiko Pasien Jatuh

Kebijkan dari klinik serta aturan sop dalam pengkajian risiko jatuh, klnik trio husada yaitu menggunkan skala MFS untuk pengkajian pasien risiko jatuh pasien dewasa dan skala Humpty Dumpty untuk pasien anak. 16 Dari hasil observasi yang peneliti lakukan, perawat sudah memasangkan tanda risiko jatuh kepada pasien bukan dengan gelang warna kuning melainkan tanda stiker warna kuning mulai dari RM dan juga di bed pasien, perawat juga memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga pasien tentang tanda risiko jatuh yang diberikan serta perawat memberikan edukasi tentang risiko jatuh kepada pasien dan didokumentasikan sehingga dapat dimengerti oleh pasien maupun keluarga pasien.

Universitas Hospitals Birmingham menyebutkan untuk

menurunkan risiko pasien jatuh dilakukan beberapa hal yaitu penggunaan pengaman tempat tidur (pasien jatuh dari ketinggian), penggunaan alas kaki yang aman bagi pasien, duduk pasien yang aman bagi pasien, penyebaran leaflet tentang pencegahan pasien jatuh,

memberikan bantuan

mengantarkan dan menunjukkan ke toilet dan mendekatkan bel dengan pasien.17

7. Pembahasan Dokumen Akreditasi Klinik Bab 4

Hasil dari survey internal yang dilakukan oleh direktur dan juga penanggung jawab mutu dan keselamatan pasien mendapatkan skor 520 dari total 580 skor total dari elemen penilaian akreditasi klinik bab 4, dan mendapatkan capaian nilai 89,66%. Penilaian tiap bab adalah penjumlahan dari nilai tiap elemen penilaian pada masing - masing kriteria yang ada pada bab tersebut dibagi jumlah elemen penilaian bab tersebut dikalikan 10, kemudian dikalikan dengan 100 %.1 Penjelasan diatas dapat


(4)

menjelaskan bahwa penilaian akreditasi klinik di klinik trio husada sudah terpenuhi dengan nilai capaian > 80% yaitu 89,66% pada bab 4.1

8. Pembahasan Refleksi

implementasi Sasaran

Keselamatan Pasien dan Persiapan Akreditasi Klinik Bab 4 Di Klinik Trio Husada Kota Batu.

Implementasi 6 sasaran keselamatan pasien dan persiapan akeditasi klinik bab 4 yang dilakukan di klinik trio husada kota batu sudah tercapai. Indikator keberhasilan yang di dapatkan adalah :

a) Dokumen SKP 90% dari target hanya 80%

b) Sikap dan perilaku 80%

c) Akreditasi klinik bab 4 89,66 %

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:

1. Implementasi sasaran keselamatan pasien di klinik trio husada berjalan dengan baik, keseluruhan dokumen dan SOP serta hasil implementasi 6

sasaran keselamatan pasien kepada pasien juga didapatkan hasil yang baik. Terdapat peningkatan dalam perilaku dan sikap dari seluruh karyawan trio husada baik medis dan non medis dalam penerapan 6 sasaran keselamatan pasien.

2. Kesiapan Klinik Trio Husada dalam mempersiapkan akreditasi Klinik khususnya bab 4 tentang peningkatan mutu dan keselamatan pasien sudah terpenuhi dan mendapatkan hasil nilai skor dan capaian yang baik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2015,Tentang Akreditasi Puskesmas, Klinik Pratama, Tempat Praktik Mandiri Dokter, Dan Tempat Praktik Mandiri Dokter Gigi, 14 Juli 2015, Berita Negara Republik Indonesia Nomor 1049, Jakarta.

2. Depkes RI, 2011. Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit.Jakarta: Depkes RI


(5)

3. Blendon RJ, DesRoches CM, Brodie Met al, 2002. Views of practicing physicians and the public on medical errors.N Engl J Med;347:1933-40.

4. Sorra J, Famolaro D, Dyer Net al, 2008.Hospital Survey on PatientSafety Culture: 2008 Comparative Database Report, Parts II and III.Rockville, MD: AHRQ Publication No. 08-0039.

5. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014, Tentang Klinik, 19 Februari 201, Berita Negara Republik Indonesia Nomor 232, Jakarta.

6. Departemen Kesehatan RI (ed.), 2008. Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah

Sakit (Patient Safety).

Utamakan Keselamatan Pasien edisi 2. Jakarta: Depkes RI. 7. Kemenkes RI, 2011. Peraturan

Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor 1691/

MENKES/ PER /VIII / 2011 tentang Keselamatan Pasien

Rumah Sakit. Jakarta: Depkes RI.

8. Suzanne, 2003. Patient identification, a crusial aspect of patient safety – patient safety first. Journal of Patient Safety , 73:5, 148- 152.

9. Aprilia, S, 2011, Faktor -faktor yang Mempengaruhi Perawat dalam PenerapanIPSG (Intenational Ptient Safety Goals) pada Akreditasi JCI (JointCommission

International) di Instalasi Rawat Inap RS Swasta X.Skripsi. Jakarta: Fakultas Ilmu Keperawatan Program PascasarjanaUniversitas

Indonesia Jakarta

10. Renkola, H.K., & Hietala, S. 2014. Bachelor's Thesis: Tool for Quality Reporting for Nursing Students. Tampere University of Applied Sciences. 11. Wahyuni, Ira dan Maria Rosa,

Elsye, 2014. Efektifitas Pelatihan Komunikasi S-Bar Dalam Meningkatkan Mutu Operan Jaga Di Bangsal


(6)

Muhammadiyah Yogyakarta Unit II tahun 2014 Tesis.Yogyakarta : Magister Manajemen Rumah Sakit Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

12. Bambang Hermanto (2015) Pengelolaan Obat High Alert

Medication Pada Tahap

Distribusi Dan Penyimpanan di

RS PKU Muhammadiyah

Yogyakarta Unit II. Yogyakarta: MRS 15 UMY.

13. WHO, 2009. Who guidelines on hand hygiene in health care, first global patient safety challenge, clean care is safer care. 2009. Geneva: World Health Organization.

14. Boyce, J.M., Pittest, D., 2002, Guideline for hand hygiene in

health-care settings.

Recommendations of the

healthcare infection control practices advisory committee

and then

HIPAC/SHEA/APIC/IDSA hand

hygiene task force’, PUBMED, 30, 1-46.

15. McGuckin, M., Storr, J., Longtin, Y., Allegranzi, B., Pittet D., , Patient empowerment and multimodal hand hygiene promotion: A

win-win strategy. American

Journal of Medical Quality,26, 10-17.

16. Gardner Lea Anne, Feil Michelle, 2013. Falls: Risk asessment, prevention and measurement. Pensylvania : National Patient Safety Foundation.

17. UHB guideline on patient falls and injuries prevention, inpatient falls and injuries prevention procedure. 2012. United Kingdom: University Hospital Birmingham.